Minggu, 27 Agustus 2017

SIGMUND FREUD


Sigmund Freud ; Agama adalah Neurosis Kolektif

Dia yang berilmu dan berseni, Maka dia pun beragama, Tapi dia yang tak berilmu maupun berseni, Maka baiklah jika dia beragama—Goethe

apa yang tidak dapat kita peroleh dari ilmu pengetahuan akan bias kita dapatkan di lain tempat---Sigmund Freud
 
A. Pendahuluan
Sigmund Freud selalu menganggap dirinya seorang ateis. Dia bahkan mengatakan tidak pernah mengalami suatu perasaan “bagaikan samudera” (sentation of eternity) yang digambarkan banyak orang sebagai “sensasi akan kebaikan”.   Meskipun Freud tidak punya perasaan religius namun dia sangat hormat terhadap agama dari kliennya---dalam praktek psikoanalisisnya dia memperlihatkan toleransi.  Dia menyatakan bahwa psikoanalisis adalah suatu alat netral membantu pembebasan manusia, bukan senjata melawan keyakinan agama. Dalam praktek, dia mengijinkan pastor untuk melibatkan pasiennya dengan suatu agama: sublimasi religius kadang-kadang dapat menekan suatu neurosis individu.
Ketika Freud menyelidiki  asal-usul agama, dia melihat agama hanya merupakan suatu produk imajinasi.  Bahwa realitas religius ”bukan lain adalah sesuatu yang bersifat psikologis yang di proyeksikan kedunia luar.”  Lalu bagaimana mungkin proyeksi itu terjadi? Menurut Freud, subjek dari proyeksi tersebut adalah suatu psike yang mengacuhkan dirinya sendiri dalam mengubah suatu kandungan yang pada kenyataannya merupakan milik psike itu sendiri, menjadi suatu realitas “supra-sensibel”  (supra-sensible).  Dengan demikian agama tidak menyembunyikan suatu rahasia dan tidak tahan terhadap analisis---segera setelah seseorang menyentuhnya, ide tentang tuhan menghilang kedalam kepadatan psike manusia.
Kesimpulan Freud; “tuhan merupakan ciptaan kekuatan psike yang terdapat dalam diri manusia.”   Mereka bekerja dibawah nama pinjaman, mereka hanyalah figuran: dari sisi samping, kita selalu (melihat Tuhan) sekilas sebagai figur dari seorang bapak. Prilaku Religius secara sosial merupakan suatu pengulangan hubungan anak-bapak yang dimantapkan.  Tugas yang disusun Freud sendiri adalah mengeluarkan semua tuhan dari psike manusia. Apapun yang telah dibangun oleh agama, ilmu pengetahuan harus membongkarnya.  Ilmu pengetahuan ”mengubah metafisika menjadi metapisikologi”, yaitu ilmu pengetahuan harus menerjemahkan teologi kedalam istilah-istilah psikoanalisis.

B. Oedipus Complex
Perbedaan cara energy psike ditanamkan bukan pilihan yang dibuat secara bebas.  Dari sini kemudian muncul konflik bagaimana  mengatur adaptasi satu dengan lainnya atau untuk mempengaruhi beberapa eliminasi atau untuk mencapai suatu keseimbangan.  Agama seperti neurosis, merupakan hasil dari sebuah kompromi.  Bagaimana kompromi ini bisa muncul? Freud melalui Oeidipus Complex memberikan penjelasan; situasi konfliktual terjadi pada masa kecil sebagai tahap oedipal (oedipal stage) kira-kira usia empat atau lima tahun, suatu kedekatan afektif terhadap Ibunya dan  pertentangan yang diilhami-kebencian (hatred-inspired) terhadap Bapaknya.  Ada saat ketika dia membangkitkan ide tentang cinta, dia beralih dengan sangat alami pada objek afektif pertama---ibunya---dan menyatakan objek ini sebagai hak milik ekslusifnya.  Bapaknya kemudian tampak sebagai suatu lawan karena ibunya adalah milik Bapaknya dan akhirnya, Bapaknya menjadi sasaran permusuhan yang keras.  Kebencian ini membawa suatu hasrat nyata  untuk membunuh Bapaknya, Sang Bapak harus dihilangkan.  Tapi Sang Bapak adalah musuh yang sangat kuat yang mengontrol Sang Anak, Sang Anak harus menyerah  dan mematuhi kehendak (will) Bapaknya.
Neurosis adalah model yang digunakan Freud untuk menjelaskan fenomena agama.  Dia percaya bahwa konflik Oedipus merupakan sumber tidak hanya bagi neurosis tapi juga bagi agama. Lewat penyelidikan historis dan mencoba menemukan suatu Konpleks Oedipus Kolektif dalam sejarah masa lalu ras manusia, Freud membuat hipotesa bahwa; sesuatu yang mirip dengan konflik oedipal telah terjadi pada awal sejarah ras manusia.  Untuk menopang hipotesanya dengan fakta-fakta yang mebuatnya menjadi masuk akal, hipotesanya dianalisis dengan menggunakan system patriarkal dari Darwin dan mengambil analisis totem dari Robertson Smith.  Dengan menggunakan  sistem patriarkal: Sang Bapak mempunyai semua otoritas dan memonopoli kenikmatan. Sang Anak tidak memiliki apapun dan tergantung kehendak baik Sang Bapak. Sang anak laki-laki, karena lelah untuk tunduk pada otoritas Sang Bapak dan dicabut nikmatnya, membentuk suatu kelompok untuk melawan Sang Bapak dan membunuhnya.  Pembunuhan menjadikan suatu peradaban tapi sekaligus meninggalkan suatu tanda mendalam pada umat manusia.  Trauma pembunuhan menimbulkan jejak dalam bentuk suatu perasaan bersalah.
Pembunuhan primal berlanjut menjadi suatu beban dalam kesadaran manusia.  Pembunuhan ini menciptakan perasaan bersalah dimana umat manusia tidak pernah berhasil membuangnya dan membimbing manusia menciptakan agama---sebagaimana banyak srategi lain untuk membebaskan manusia dari perasaan bersalah.  Perasaan akan kebebasan yang diharapkan, tidak pernah terjadi.  Ketaksadaran kolektif, yang menampakan diri dalam konteks ini lalu dialihkan dan agama menjadi cara untuk menetralkan suatu perasaan bersalah.  Agama adalah suatu usaha untuk mengusir perasaan bersalah yang disebabkan oleh pembunuhan dan untuk mewujudkan penyesalan karena tindakan itu.  Melalui analisisi totem dari  Robertson Smith, menurut Freud; totem selalu merepresentasikan Sang Bapak; pemakan totem merupakan suatu pesta  merayakan kemenangan Sang Anak laki-laki melawan Sang Bapak; Sang Anak laki-laki merayakan pembunuhan atas Bapaknya melalui acara makan (totem) yang sama mereka mengapropriasi kekuatan Sang Bapak untuk dari mereka sendiri. Segera setelah Sang Bapak dibunuh,  Sang Anak laki-laki lalu mengorganisasi kehidupan bersama mereka dan untuk mecegah retrogesi (kembali masa lalu) serta menjauh dari kekerasan, mereka lalu memantapkan aturan bagi kehidupan social---khususnya larangan inses dan pembunuhan. Dari sinilah awal dimulainya suatu peradaban (civilization).
Jika semua bukti gabungan diatas dibuat hukumnya, maka hipotesis Kompleks Oedipus (Oedipus Complex) ditetapkan bahwa; semua umat manusia mengalaminya---larangan inses dan pembunuhan  meyimpulkan eksitensi dari suatu kompleks semacam itu. Larangan inses dan pembunuhan  diidentifikasikan dalam tiga situasi dimana Freud ingin memperbandingkannya; tahap oedipal (represi cinta terhadap Sang Ibu dan kebencian terhadap Sang Bapak), neurosis (suatu fiksasi pada tahap oedipal dan suatu kristalisasi tahap ini dalam bentuk suatu kompleks) dan umat manusia primitif (yang menemukan dalam dua macam larangan sebagai satu-satunya jalan menghindari konfrontansi berdarah dan mendapat sirkulasi perempuan dan pertukaran perempuan di antara anggota-anggota suatu klan).  Penemuan unsur-unsur yang sama dalam berbagai situasi menegaskan Freud bahwa Kompleks Oedipus memunyai kesamaan di antara ketiganya.

C. Analisis antara Neurosis dan Agama
Agama suatu bentuk prilaku yang sejalan dengan prilaku neurosis.  Apakah agama itu kalau bukan suatu ketaatan seremonial yang diatur secara ketat, suatu kepatuhan pada larangan, penerimaan pada ritual yang dikodifikasi dari mana sebuah tingkah dan kesalahan di keluarkan dari kodifikasi?  Agama berkarakter “universal” sedang neurosis berkarakter “prifat” (private).  Persamaa antara dua fenomena tersebut membawa Freud membuat hipotesis; mereka mempunyai suatu kesamaan asal-usul, sedang perbedaannya membawa dia untuk melihat akar neurosis dalam “Psike Individu” dan akar agama dalam “Psike Kolektif” yang dibentuk pada permulaan eksistensi ras dan tetap berlangsung pada semua umat manusia.  Kedua fenomena secara dekat saling terhubungkan, tidak hanya pada tingkat gejala-gejala tapi juga pada tingkat sebab-sebab.   Freud tidak ragu  merubah terminologi dan mendeskripsikan  “neurosis obsesional sebagai suatu system religius privat dan agama sebagai suatu neurosis observasional yang universal.” Masing-masing istilah dapat saling mengantikan diantara keduanya tanpa mendistorsi realitas.
Satu-satunya jalan untuk kembali pada kesamaan asal-usul ini (baca eksis) adalah melalui psike itu sendiri---dalam situasi ini, sublimasi atau represi merupakan reaksi terhadap konflik oedipal.  Freud menganggap bahwa Neurosis merupakan tanda dari suatu konflik. Neurosis suatu bentuk kesalahan, suatu prilaku yang dikembangkan oleh ego karena menghindari bahaya.  Ego selalu mengartikan dirinya dalam suatu situasi membahayakan, sehingga ego harus tetap melalui jalannya sendiri sambil menghindari dua jebakan---satu ditentukan oleh id (suatu bak penampungan insting) yang lain ditentukan oleh super-ego (tuntutan yang dipaksakan oleh masyarakat).  Ego selalu bimbang di antara insting seksual id (yang menuntut suatu pemuasan langsung yang maksimum) dan perintah super-ego (yang merespresentasikan tuntutan realitas dan mempunyai kekuatan hukum); merintangi,  mencegah, melarang.   Ego dapat dibandingkan dengan seorang borjuis jujur yang menjadi korban kebetulan dari suatu konfrontasi antara bangsat jahat (insting) dan polisi yang menyebalkan (aturan yang di keluarkan oleh super-ego).
Terperangkap dalam jalan di antara dua tuntutan yang saling berlawanan,  ego secara konstan menghasilkan kompromi---neurosis salah satu jenis komromi.   Kompromi patologis yang di kembangkan ego demi mendapat kerugian dari insting (dimana ego dengan mati-matian merespresi insting).   Kompromi lain adalah mungkin secara khusus dalam penanaman energi psike dalam bentuk aktifitas tertentu yang secara sosial dapat diterima: seni, sastra, pemujaan-diri (self-sacrifice).  Dalam neurosis, energy psike  suatu hastrat dipakai habis tapi dengan kerugian yang sedikit. Energi digunakan dalam suatu perjuangan luar biasa melawan hastrat itu sediri tanpa pernah ego mencapai suatu keseimbangan yang memuaskan. Dalam agama, energy psike ini secara bermanfaat dijalankan dalam suatu pengabdian dengan maksud yang dapat diterima secara sosial. Dalam kasus ini kompromi dapat membawa pada suatu keseimbangan yang meguntungkan bagi ego.
   
D. Penutup
Melalui Kompleks Oedipus (Oedipus Complex), Freud mendapatkan akar kuno semua agama. Pada dasar setiap agama---termasuk dasar setiap neurosis---dapat ditemukan ”inti-bapak” (father-nucleus).  Bentuk agama-agama itu mungkin bervariasi tapi semua tumbuh dari akar psikologis yang sama.  Walaupun   hipotesis Freud pada pembunuhan primal sebagai sumber dari suatu agama dengan maksud membantu umat manusia mengatasi hubungan yang sulit dengan Sang Bapak, namun dia menekankan pada fungsi agama yang nyata yaitu; untuk menghibur orang-orang yang mengalami pengabdian hidup yang kasar. ”Hidup sebagaimana kita ketahui, terlalu keras bagi kita, hidup membawa kita pada banyak penderitaan, kekecewaan dan tugas-tugas yang mustahil.” Menurut Freud, orang-orang mengalami kekerasan dengan tiga cara; mereka merasa dihancurkan oleh alam, terkutuk sampai mati dan terluka akibat hubungan dengan orang lain.   Agama kemudian  berusaha  mengatasi tiga kesalahan ini dan mengusir takdir manusia yang keras; ”tuhan mempertahankan tiga macam tugasnya; mereka harus mengusir teror dari alam, mereka harus mendamaikan manusia dengan takdirnya yang keras, khususnya sebagaimana terlihat pada kasus kematian, dan mereka harus memberikan kompensasi pada manusia karena penderitaan dan kekurangannya yang telah dipaksakan pada manusia oleh keberadaban hidup secara umum.”
Maka, apa agama itu? Ia merupakan suatu ilusi, suatu harapan yang di ilhami, oleh suatu keinginan tertentu.   Agar hidup dapat dijalani, hasrat yang frustasi menciptakan suatu ilusi yang kita sebut agama---kepercayaan akan Tuhan yang baik dan kepercayaan akan keabadian. Beberapa orang mencari perlindungan dalam penderitaan, yang lain pada obat-obatan, sedang lainnya mencari hiburan. Kebanyakan orang mencoba menetralisir kekerasan hidup dengan mencari penghiburan melalui narkotik yang dikenal sebagai agama. Dengan mengarahkan pengikut-pengikutnya menjadi suatu mania kelompok, agama menyiapkan mereka untuk menjadi beban dari neurosis individu.
  Umat manusia harus berusaha menjadi dewasa; pengiburan agama tidak lagi pantas mendapat kepercayaan dari umat manusia. Manusia harus memasuki tahap ilmiah dan mencoba menguasai dunia; apapun yang dipaksakan pada mereka, mereka harus tabah. mereka harus menerima kematian demi satu hal, sebagai suatu nasib yang tak terelakkan.  Freud mengharapkan suatu perkembangan semacam itu (tahap ilmiah) diantara orang terdidik. Ilmu pengetahuan tidak menjanjikan dalam kantungnya; ia hanya punya satu tugas untuk menentukan sesuatu di hadapan kita, “tapi suatu ilusi akan beranggapan bahwa apa yang tidak dapat kita peroleh dari ilmu pengetahuan akan bias kita dapatkan di lain tempat”.  Seperti dilihat Freud,  ilusi agama sedikit demi sedikit kehilangan pegangannya dalam pikiran umat manusia bersamaan  berlalunya waktu.

MARTIN HEIDEGGER


Martin Heidegger---Mistik Keseharian ; Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit


“Jika badai menimpa pondok itu dan salju turun, itulah saat yang tepat untuk berfilsafat.”(Martin Heidegger)

Kiranya aku tahu benar mengapa hanya manusia satu-satunya mahluk yang tertawa; dia satu-satunya yang menderita begitu dalam, hingga harus menemukan tawa (Friedrich Nietzsche)

“Kebenaran adalah apa yang harus  ditertawakan.” (Jean Baudrillard)



1. Avant Propos; Prawacana Memahami Sein und Zeit
Akulah imoralis pertama kata Nietzsche; aku dengan demikian sang penghancur par excellence.  Didasar ungkapanku imoralis melibatkan dua penyangkalan; Pertama sebuah corak manusia  yang sampai sekarang dihitung sebagai yang tertinggi—baik, dermawan, murah hati---aku sangkal kemudian sejenis moralis  telah diterima dan mendominasi sebagai moralitas dalam dirinya sendiri---moralitas dekaden.  Kedua dapat dipandang sebagai (pertentangan) yang menentukan, karena penilaian yang berlebihan terhadap kebaikan dan kemurah-hatian secara garis besar telah kuhitung sebagai sebuah konsekuensi dari dekadensi---sebuah gejala dari kelemahan, sebagai sesuatu yang tidak cocok dengan kehidupan yang meningkat dan afirmatif.  Syarat bagi keberadaan orang yang baik menurut Nietzsche adalah dusta---diekspresikan secara berbeda, hasrat untuk tidak melihat isi realitas yang fundamental dengan harga berapapun, yakni bukan untuk memanggil naluri-naluri kemurahan hati sepanjang waktu, bahkan lebih sedikit lagi untuk mengizinkan campur tangan oleh tangan-tangan bersifat baik yang hanya dapat melihat jarak dekat sepanjang waktu.
Kondisi modern telah menanduskan kehidupan yang ilahi. Akankah orang tidak lagi terbuka pada dasar-dasar kenyataan dan kehidupan sehari-hari dan terus menjadi kerumunan nomad? Telah hilangkah yang mistis? Tidak, begitulah jawaban Martin Heidegger.  Manusia  memikul nasib tertentu. Disatu sisi  selalu mengalami kejatuhan, yakni larut dalam keseharian dan karena itu terasing dari Ada-nya. Namun disisi lain manusia adalah makhluk penanya Ada-nya sebuah  momen yang oleh Heidegger disebut kecemasan (Angst) sehingga, dasar-dasar keseharian kita menjadi transparan; selubung yang memalsukan Sang Aku dikoyak.  Kecemasan menelanjangi manusia sebagai Ada yang terlempar dan menuju kematian sekaligus memberi tawaran untuk bermukim dalam rumah eksistensi.

2. Riwayat Hidup dan Karyanya
Martin Heidegger lahir di kota Meskirch  26 September 1889,  Rektor di Universitas Freiburg dan pemikir terkemuka dalam sejarah filsafat Barat.    Pada 30 September 1909  Ia memutuskan untuk masuk novisiat Serikat Yesus di Tisis kemudian keluar dengan alasan kesehatan lalu melanjutkan studi dibidang filsafat dan teologi di kota Freiburg im Bresgau.   Pemikiran Heidegger  Dibentuk oleh sikap resmi gereja Katolik pra-konsili Vatikan II yang anti modernis,.  Setelah meninggalkan pendidikan imamat, Heidegger mempelajari fenomenologi  Edmund Husserl  (1859-1938) sebuah disiplin baru dalam filsafat  masa itu dan    menulis Sein und Zeit sebagai  praktek fenomenologi yang melihat fenomen yang biasa-biasa saja tetapi dengan cara yang luar biasa melalui sudut pandang ontologis.
Heidegger promosi pada 1913 dengan tema Die Lehre vom Urteil im Psychologismus (Teori Putusan dalam Psikologisme) membahas pertentangan psikologisme dan logisme. Kalau psikologisme menganggap 2x2=4 didasarkan proses psikis karena perhitungan kita adalah 4 adapun logisme berpendapat bahwa 2x2=4 dan 4 tidak berasal dari perhitungan kita saja melainkan kenyataan di luar pikiran.
Pada 1959 ia studi untuk menjadi professor dengan menulis Habilitationsschrift (karya tulis untuk menjadi professor di Jerman) bertema filsafat skolastik, Die Kategorien-und Bedeutungslehre des Duns Scotus (Teori Dun Scotus tentang Kategori-kategori dan Makna). Sebagai  pemikir, menguasai filsafat abad petengahan khususnya metafisika yang berkemabang masam itu dan ide Allah menjadi pusat pemikiran metafisis---Duns Scotus (1266-1308) termasuk salah seorang filsuf besar zaman itu disamping Thomas Aquinas.    Menurut kesaksian Gadamer, Heidegger  sangat ahli dalam filsafat yunani kuno. Kuliah-kuliahnya tentang Aristoteles pada 1922 sewaktu ia bekerja diMarburg memudarkan kekuatan magis yang menarik banyak pendengar dan dalam bidang ontologi sejak 1923 sudah dijuluki sebagai filosofiekonig (raja filsafat).  Menghembuskan nafas terakhirnya  26 Mei 1976 dan dikuburkan di kota kelahirannya Messkirch.

3. Tentang Sein und Zeit
Sein und Zeit—Ada dan Waktu—diterbitkan oleh Max Nemeyer Tubingen sebagai edisi khusus majalah fenomenologi yang di asuh  Husserl dan Max Scheller dalam Jurnal Tahunan Filsafat dan Penelitian Fenomenologis yang dipersembahkan Heidegger sebagai penghormatan dan persahabatannya dengan Edmund Husserl.  Terbit pertama kali 1927 ditulis berakar pada konteks sejarah  saat krisis politis dan historis yang parah dalam masyarakat Eropa diantara dua perang dunia  dan dalam suasana hati yang murung dan serba tak pasti, kecemasan dan kematian menjadi benang merah  yang menjelujuri seluruh isinya.
Filsafat sebagai pemikiran tentang Ada---dikenal dengan nama metafisika atau ontology---tidak unik bagi Heidegger.     Tetapi yang baru pada Heidegger karena Ada dipikirkan dalam pertautannya dengan waktu sekaligus  menyelam kedalam keseharian yang banal untuk  meraih kedalaman makna Ada. Sein und Zeit---masterpiece  Heidegger---merupakan buku kunci filsafat setelah politeia (Negara) Platon (sktr. 428-347 SM) dan Phaenomenologie des Geistes (Fenomenologi Roh, 1807) G.W.F Hegel (1770-1831).   Filsafat bagi Heidegger adalah pemikiran tentang Ada dengan mistik keseharian menjadi inti pemikiran yang diyakini akan meluruskan segala kesalahpahaman yang terjadi akibat pemikiran  yang terbatas pada aspek-aspek realitas belaka. Tidak reduksionistis melainkan total dan radikal menyalami Ada dan Tiada.    Sein und Zeit: menjernihkan keseharian, sehingga dasarnya menjadi tampak dihadapan kesadaran. Sein un Zeit merupakan pisau eksistensial untuk membedakan yang otentik dan inotentik, yang banal dan yang radikal bertolak dari keseharian kita untuk menghayati waktu dan kemewaktuan dengan lebih bening.  

4. Membiarkan Ada Terlihat
Segala yang terlihat oleh kesadaran  disebut fenomen. Tetapi fenomen yang kita lihat tidak selalu menampakkan  diri apa adanya bahkan  sering sudah dimuati anggapan-anggapan.  Buku Sein und Zeit dengan pendekatan fenomenologi---kata ‘fenomenologi’ berarti ilmu (logos) tentang hal-hal yang menampakkan diri (phainomenon) atau dalam bahasa Yunani phainesthai berarti ‘yang menampakkan diri’---ingin menyingkap fenomen asli sebelum ditafsirkan oleh masyarakat atau kebudayan, yakni fenomen apa adanya.   Sebab itu fenomenologi adalah suatu pendekatan deskriptif murni bukan normatif atau seperti istilah   Maurice Natanson   a science of beginnings bahwa  untuk bisa berfenomenologi orang harus bersikap sebagai pemula (beginner).  Pemula dalam hal apa? Dalam segala hal!    Pemula dalam segala hal adalah suatu sikap seolah-olah, melalui sikap ini memungkinkan kita melihat fenomen apa adanya. Seolah-olah bagaimana? Seolah-olah fenomen itu untuk pertama kalinya dilihat. Bagaimana itu mungkin?   Matahari diatas kita atau pohon di depan kita dalam keseharian sering kita andaikan begitu saja. Sikap taken for granted  oleh Husserl disebut  naturliche Einstellung (sikap alamiah) sebagai kepercayaan naif bahwa dunia luar itu ada begitu saja. Fenomenologi anti terhadap sikap natural ini. Jika melihat matahari seolah-olah baru pertama kalinya, kita tak akan percaya begitu saja bahwa benda itu ada di atas sana, yakni di luar kesadaran kita. Kita akan terus bertanya apakah matahari itu hasil rekaan pikiran kita saja atau memang ada di luar pikiran.
Fenomenologi selalu bertanya , apakah semua pengalaman kita adalah konstruksi kesadaran kita atau memang sudah ada di luar kesadaran, dan bagaimana struktur penampakannya? Dengan kata lain, fenomenologi ingin menjelaskan asal-usul sikap natural itu.  Fenomen ekonomi misalnya,  tidak pernah tampak apa adanya karena sudah selalu ditafsirkan oleh para ahli, misalnya diteropong sebagai bentuk sosialisme, liberalism, atau neo-liberalisme. Tetapi fenomen ekonomi itu pada dirinya? Dia merupakan bagian iterkasi sosial, suatu fenomen pertukaran barang dan jasa. Percakapan tentang neo-liberalisme atau kapitalisme hanyalah konstruksi rasional yang memberi bentuk pada pengalaman naif sehari-hari.   Bagi aktor, ekonomi tak lain daripada pemenuhan kebutuhan lewat pertukaran. Bagaimana ekonomi dihayati oleh para aktor dalam dunia-kehidupan inilah yang diminati oleh fenomenologi ekonomi. Hal itu tidak berarti bahwa konstruksi-konstruksin rasional, seperti neo-liberalisme atau kapitalisme global tidak dibahas. Konstruksi-konstruksi itu tidak dimasukkan kedalam tanda kurung, yakni ditangguhkan dulu, agar ekonomi tampak sebagai mana dihayati dalam dunia kehidupan para aktor.

5. Mendekati Ada sebagai Fenomen
Ada banyak ilmu tentang kenyataan-kenyataan di bidang-bidang tertentu namun diantara berbagai cabang ilmu tersebut  kita belum menemukan ilmu yang membahas ‘kenyataan itu sendiri’. Kita tahu bahwa meja, kolam, binatang semuanya sebagai kenyataan-kenyataan, tetapi apakah ‘kenyataan itu sendiri’? Kita harus memikirkan segala kenyataan khusus macam itu dalam satu paket, yaitu satu ketegori, agar semuanya dapat dipikirkan sebagai satu objek pikiran.   Apakah kategori yang mencakup semua kenyataan itu? Itulah ‘Ada’. Semua kenyaataan itu dapat dikemas dalam satu kata yaitu ‘yang ada’ dan Ilmu yang membahas ‘yang ada’ (tetapi juga yang tiada) inilah ontology.
Bagaimanan mendekati Ada sebagai fenomen? Menurut Heidegger, kita harus membiarkan Ada “menampakkan diri pada dirinya sendiri.” Artinya, kita tidak memaksakan penafsiran-penafsiran kita begitu saja, melainkan membuka diri, yaitu membiarkan Ada terlihat (Sehenlassen).  Sikap yang tepat terhadap Ada adalah membuka diri, bukan sekedar menganalisis. Jadi, bayangkanlah bagaimana seorang mendekati fenomen Ada. Ia pertama-tama akan heran, mengapa segala sesuatu Ada dan tidak tiada. Keheranan itu umuncul dari sikapnya sebagai pemula dalam meilhat Ada.
Mengapa Ada itu Ada? Satu bukti bahwa kita ini penanya tentang Ada—baik karena bermenung ataupun tercenung.  Namun menurut Heiddeger, penampakan Ada ternyata tidak sederhana.  Pertama, sesuatu bisa menampakkan diri seolah-olah mirip sesuatu  atau kemiripan saja (Scheinen). Misalnya anda mengira melihat bapak anda datang, tapi ternyata orang itu bukan bapak anda, melainkan orang lain yang sosoknya kebetulan serupa. Kedua, sesuatu bisa juga menampakkan diri sedemikian rupa sehingga muncul sebagai sesuatu yang lain, sementaran diri sejatinya tetap tersembunyi di balik penampilannya (Erscheinung). Sebagai contoh, demam adalah penampakan suatu penyakit, sementara penyakit itu sendiri tidak menampakkan diri.  Disini terjadi “penyingkapan diri sesuatu yang tidak menampakkan diri”. Dalam arti terakhir ini, Erscheinung memahami penampakkan Ada. Tidak seluruh ada menampakkan diri, karena dalam penampakkannya Ada menyembunyikan diri. “Apa yang dalam arti ini tetap tersembunyi atau kembali terselubung atau hanya pura-pura menampakkan diri,” bagi Heidegger, “bukanlah mengada ini atau itu, melainkan…Ada dari mengada-mengada. [Ada] bisa terus terselubung sehingga dilupakan, dan pernyataan tentangnya serta maknanya tak muncul”. Ada seolah bermain dengan menyingkap dalam ketersembunyiannya dan bersembunyi dalam ketersingkapannya. Disinilah Fenomenologi  digunakan untuk mengakses Ada, yakni dengan membiarkan Ada terlihat.

6. Membuat Keseharian Tembus Pandang
Untuk memahami seluruh realitas, Heidegger melakukan pembedaan ontologis (Ontologische Differenz) yakni antara Sein (Ada) dan Sainders (Mengada).  Semut diatas meja ini, meja ini, ruangan ini, gedung ini, perumahan ini, kota ini, pulau jawa, Negara Indonesia, bumi, tata surya, galaksi dan alam semesta---perhatikan gerak cakupan yang makin luas—semuanya adalah megada-mengada (bentuk plural: Seiende).  Lalu apakah Ada (Sein)? Jika kita mencakup segala entitas yang ada,  apakah kita akan menemukan Ada? Menurut Heidegger tidak. Ada bukanlah kumpulan atau jumlah Mengada-mengada. ‘Ada’ jelas bersifat paling umum, tetapi bukan sekedar cakupan yang paling luas dari segala cakupan. ‘’Keumuman’ ada,’’ menurut Heidegger ‘’melampaui segala keumuman cakupan.’’ Ada menopang Mengada-mengada dan memungkinkan Mengada-mengada ada. Ada bersifat transendental. Kita terpaku  pada Mengada-mengada dan melupakan Ada yang di belakangnya (atau di bawahnya, di atasnya, di sampingnya? Anda tentukan sendiri. Yang penting ada itu tak tampak, sehingga mudah terlupakan).
Menurut Heidegger kita harus mulai dari suatu Mengada yang menanyakan Ada. Tidak semua Mengada bisa menanyakan Ada-nya. Orangutan, mobil, batu, atau buah durian, misalnya, tidak pernah mempersoalkan Ada-nya.   Apakah yang dimaksud dengan ‘menanyakan Ada’? maksudnya tak lain adalah tidak sekedar menjalani hidup seperti orangutan atau tergeletak saja di garasi seperti mobil, melainkan bergumul dengan dirinya sendiri dan bertanya, mengapa dia ‘ada’.  Keseluruhan Mengada-mengada di luar manusia, “ada” begitu saja dan tidak mengambil jarak terhadap Ada-nya maka dia tidak  pernah menanyakan ada-nya. Yang bisa melakukan itu hanya Dasein.
Apa itu Dasein? Kata Jerman berarti “Ada-di-sana” dan dibedakan dengan kita ‘ada begitu  saja’ atau  faktisitas (faktizitat), ‘keterlemparan’ (Geworfenheit) .   Yang membedakan Dasein dari Mengada-mengada lain adalah bahwa dasein menyadari keterlemparan ini lalu berupaya memahaminya sedang Mengada-mengada yang lain ‘ada begitu saja’, tetapi tidak mempersoalkan fakta tentang ‘ada begitu saja’nya karena tidak mempunyai akses ke Ada-nya.  Dasein bisa menanyakan Ada karena memiliki hubungan dengan Ada-nya--- hubungan dengan Ada-nya itu disebut eksistensi (Existenz)---yakni terbuka terhadap Ada-nya. Papan catur misalnya, tidak sadar akan Ada-nya tetapi pecatur tentu sadar akan hal itu.
Kita ‘ada’ berarti kita juga sedang ‘mengada’, dan ‘mengada’ berarti dalam proses menjadi ‘Ada’, maka lebih tepat mengatakan bahwa kita itu ‘mungkin ‘ada’, karena kita juga ‘mungkin-tiada’.   ‘Ada’ Dasein adalah suatu ‘menjadi’ karena  terus-menerus mengada dan belum ada secara penuh.  Dalam arti inilah Heidegger lalu menyebut bahwa Dasein adalah kemungkinan itu sendiri (Seinkonnen). Ada Dasein tak lain daripada sesuatu yang ia tentukan sendiri yang oleh Heidegger disebut Jemeinigkeit---dari kata je meines yang artinya ‘dalam setiap hal yang khas memilikku’. Itulah ber-eksistensi sebagai  fakta bahwa Dasein ada-di-sana, mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya, sehingga Dasein selalu melampaui dirinya.  Kontak dengan Ada bersifat eksistensial (existenzial) sedang  kontak dengan mengada-mengada lain  bersifat eksistensiil (existenziell).   Sifat eksistensial paralel dengan ontologis (ontologisch) sebab berkaitan dengan Ada Mengada sedang sifat eksistensiil parallel dengan ontis (ontisch) yakni berkaitan dengan Mengada.

IMMANUEL KANT


Sintesis Rasionalisme dan Empirisme Kritisisme Immanuel Kant

BANGUN dan bangkitlah!
Robohkan fondasi istana kaum kaya
Didihkan darah kaum tertindas dengan api iman
Ajarlah burung gereja biar berani melawan elang
Saat rakyat berdaulat sudah dekat
Hapuskan sisa sisa hokum dan kebiasaan masa lalu
Buanglah bulir gandum di tegalan
Yang gagal member kehudupan kaum tani
Kemudian arahkan pandang kepada para pendeta
Dan singkirkan mereka dari gereja
Sebab mereka berdiri bagaikan tirai besi yang memisahkan
Tuhan dan manusia
Padamkan lampu di semua kelenteng dan mesjid
Karena mereka mencoba menipu Tuhan dan berhala berhala
Dengan sujud dan bicara tanpa makna
Aku muak dengan kemegahan palsu kelenteng pualam
Bangunkah daku kelenteng dari tanah
(Sir Muhammad Iqbal)



A. Riwayat Hidup Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant hidup saat pencerahan mencapai puncak di Jerman.  Pribadinya  sangat tertib dan  membujang seumur hidup. Tinggal bersahaja di kota Koenigsberg di Prusia Timur  dalam sebuah keluarga yang sangat di pengaruhi oleh pietisme. Filsafatnya merupakan sintesis kritis atas dua kecenderungan pokok yang sudah ada sebelum pencerahan; rasionalisme dan empirisme---proses penalaran sekaligus proses observasi dalam fisika---sebagai sebuah sistem pengetahuan baru yang teruji, bukan  karena sesuai dengan kenyataan dan memenuhi asas penalaran tetapi berdaya guna bagi kesejahteraan manusia.  Melalui sintesis ini, Kant menghasilkan sebuah cara berfilsafat yang baru yang menjadi pijakan  sejarah selanjutnya.
Semangat jaman ini sedikit banyak tercermin dalam filsafat Kant.  Semangat intelektual Jerman saat itu menilai bahwa; orang yang beradab sebagai seorang yang berpendidikan tinggi, bebas dari prasangka-prasangka sempit, mendukung kemajuan seni dan ilmu pengetahuan, menghayati hidup tertib dan harmonis. Bahkan para cendekiawan Jerman sangat berambisi  menyumbangkan sebuah sistem pemikiran yang merupakan sintesis universalitis atas berbagai kecenderungan yang bertentangan di abad-abad sebelumnya yang dinilai picik.
Sewaktu studi di Koenigsberg, Kant mempelajari hampir semua mata kuliah  dan mendapat pengaruh rasionalisme Wolf melalui dosennya Martin Knutzen.  Kant mempelajari fisika Newton serta sistem-sistem metafisika dan logika.  Masa kerja sebagai Privaddozen (dosen lepas) antara tahun 1755-1770  sebagai “periode pra-kritisnya”-nya menjadikan Kant seorang dosen yang sangat luar biasa dalam penguasaannya atas hampir semua ilmu. Periode saat Kant mengembangkan sistemnya sendiri---dalam Krtitik der reinen Vernunt (Kritik atas rasio Murni)---disebut “periode kritis” berlangsung setelah tahun tujuh puluan. Pada tanggal 12 Februari 1804, Kant meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun.

B. Proyek Filosofis Kant
Pemikran Kant di periode kritis bermaksud menjawab tiga pertanyaan dasar; (1) Apa yang dapat saya ketahui? (2) Apa yang seharusnya saya lakukan? dan (3) Apa yang bisa saya harapkan? Pertanyaan pertama di jawab dalam Kriitik der reinen Vernunt, yang kedua dalam kritik der praktischen Vernunt, dan yang ketiga dalam Kritik der Urteilkraf.  Melalui karya-katya tersebut Kant  ‘memeriksa kesahihan‘ secara kritis, tidak terutama dengan pengujian empirik, melainkan dengan asas-asas apriori dalam diri subjek. Karena itu filsafatnya disebut ‘transendentalisme’ sebab dia mau menemukan asas-asas apriori dalam rasio kita yang berkaitan dengan objek-objek dunia luar---apa yang di sebutnya die Bedingung der Moeglichkeit (syarat-syarat kemungkinan) dari pengetahuan kita. Sebuah penelitian menurut Kant di sebut “transendental” kalau memusatkan diri pada kondisi-kondisi murni dalam diri subjek pengetahuan. Kant membuat sintesis antara empirisme yang mementingkan pengetahuan a posteriori dengan rasionalisme yang mementingkan pengetahuan       a priori  sehingga  filsafat Kant dijelaskan sebagai hasil sintesis antara unsur-unsur    a priori dan a posteriori.          
Filsafat Kant disebut ‘kritisisme’ dipertentangkan dengan ‘dogmatisme’. Kalau dogmatisme menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasnya maka kritisisme  menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum memulai penyelidikannya.   Kant mengatakan bahwa kritisisme adalah filsafat yang lebih dahulu menyelidiki kemampuan die Bedingung der Moeglichkeit (syarat-syarat kemungkinan) pengetahuan kita—filsuf   sebelum Kant disebut filsuf dogmatis yang bermetafisika tanpa menguji kesahihan metafisika. Kata “Kritik” oleh Kant dipahami sebagai “pengadilan tentang kesahihan pengetahuan” atau “ pengujian kesahihan”—gambaran proses pengadilan diandaikan karena dalam proses itu klaim-klaim pengetahuan seolah-olah diperiksa sebagai terdakwa. Cara berfisafat semacam itu disebut ‘proseduralisme’: alih-alih memusatkan diri pada isi pengetahuan, Kant lebih meminati proses atau cara memperoleh pengetahuan itu.

C. Kritik atas Rasio Murni
Dalam Krtitik der reinen Vernunt,  ‘pengetahuan a priori’ atau ‘pengetahuan murni’ adalah suatu pengetahuan yang konsep-konsepnya tidak diturunkan dari pengalaman tetapi dari struktur-struktur pengetahuan subjek sendiri—kosong dari pengalaman empiris.     Buku Krtitik der reinen Vernunt terdiri dua bagian pokok. Bagian pertama ajarannya mengenai unsur-unsur a priori pengetahuan (traszendentale Elementalehre) dengan  dua sub-bagian; 1) ‘estetika trasendental’ (die trazsendentale Aesthetik) tentang bentuk-bentuk a priori dari pengindraan dan bagaimana matematika itu mungkin. 2)  ‘logika trasendental’ (die traszendentale Logik) terdiri dua bagian; ‘analitika trasendental’ (die traszendentale Analitytik) yang membahas kategori-kategori a priori dan bagaimana fisika itu mungkin, dan diaklektika transendental (die transzendentale Dialektik) yang membahas bagaimanakah dan apakah metafisika itu mungkin.  Bagian pokok kedua buku Kant mengenai metode trasendental (traszendentale Methodenlehre) sebagai pembahasan Kant tentang “refolusi Kopernikan” dalam filsafat.  Maksud istilah ini dapat dijelaskan demikian. Dulu para filsuf memahami relitas dengan asumsi bahwa subjek mengarahkan diri pada dari pada objek, tetapi Kant mau memahami kenyataan dengan asumsi bahwa objek mengarahkan diri pada subjek: pengenalan berpusat pada subjek.

1. Estetika Transendental: Pengtahuan pada Taraf Indra
Kant menerima pandangan para filsuf empiris Inggris bahwa pengetahuan berhubungan dengan pengalaman indrawi tetapi menurut Kant tidak seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman. Bagaimana kita berhubungan dengan objek pengetahuan di luar diri kita? Jawab Kant dalam ‘estetika trasendental’ adalah lewat istitusi langsung---tetapi Kant menambahkan bahwa institusi kita mengandaikan bahwa kita di pengaruhi objek dengan cara tertentu. Kemampuan subjek untuk menerima representasi (Vorstelung) objek disebutnya “sensibilitas” atau “kemampuan mengindrai” (Sinnlichkeit). Jadi, institusi manusia adalah ‘institusi indrawi’. Efek sebuah objek pada kemampuan repsentasi atau pikiran (Gemuet) sejauh dipengaruhinya disebut ‘pengindraan’ (Empfindung). Objek pengindran disebutnya ‘penampakan’ (Erscheinung).
Kant menolak anggapan empirisme bahwa pengindraan bersifat murni a posteriori. Menurutnya, ada dua unsur dalam penampakan objek, yaitu unsur materi (materia) dan unsur bentuk (forma).  Unsur materi adalah sesuatu yang berhubungan dengan (isi) pengindraan sedang forma adalah sesuatu yang memungkinkan berbagai penampakan itu tersusun dalam hubungan-hubungan tertentu.  Jadi, forma merupakan unsur a priori dari pengindraan sedang materi merupakan unsur                 a posteriori. Kant mengatakan ada dua forma murni pengindraan, yakni ruang dan waktu.
Kant mengatakan ‘penampakan objek’ bukanlah ‘objek’. Objek di luar kita itu, menurutnya, tidak kita ketahui---istilah Kant, “das Ding an sich” (benda pada dirinya) tidak kita ketahui. Yang kita tangkap sebagai penampakan itu sudah merupakan sintesis antara efek objek pada subjek dan unsur a priori, yakni forma ruang dan waktu yang sudah ada pada subjek. Lalu Kant membedakan antara ‘pengindraan eksternal’ yakni persepsi atas objek dari luar diri kita, dan ‘pengindraan internal’ yakni persepsi atas keadaan eksternal kita.  Forma ruang adalah bentuk penampakan dari pengindraan internal, sedang forma waktu adalah pengindraan internal itu. Dengan mengatakan bahwa ruang dan waktu bersifat a priori, Kant tidak memaksudkan bahwa keduanya tidak riil. Menurut Kant, memang “das Ding an sich” tidak kita ketahui, tetapi kenyataan empiris selalu sudah merupakan sintesis antara unsur a priori dan a posteriori. Jadi, kenyataan yang tampak itu tidak hanya kelihatannya berada dalam ruang dan waktu, melainkan sungguh berada dalam ruang dan waktu. Keduanya menjadi “syarat kemungkinan” penampakan objek empiris. Kant mengatakan bahwa ruang dan waktu itu secara empiris riil, tetapi secara transendental ideal. Secara empiris riil karena ruang dan waktu bukan ilusi, melainkan sesuatu yang nyata secara indrawi. Secara transendental ideal, karena ruang dan waktu bisa diterapkan pada penampakan, tidak pada “das Ding an sich”, jadi lebih ditentukan oleh struktur subjek.

2. logika transcendental
Tentang asas akal budi---logika; dimaksudkan bukan logika formal yang  mengabstraksi objek-objek sampai lepas dari isi empirisnya---melainkan “logika transendental” yang meskipun sama a priorinya namun tetap menjaga kaitannya dengan objek empiris. Dengan kata lain, logika transendental memusatkan diri pada asas-asas a priori (pikiran kita) atas objek sejauh menentukan pemahaman kita, dan bukan pada asas-asas a priori yang lepas dari objek.  Logika transendental merupakan forma a priori dalam akal-budi.  Kant mengatakan bahwa kegiatan intelek tampil dalam putusan. Intelek itu sendiri tidak lain adalah kemampuan untuk membuat putusan (Urteilbildung). Berpikir adalah membuat putusan.  Dalam putusan terjadi sintesis antara data-indrawi dan unsur a priori akal budi. Unsur-unsur a priori akal budi itu disebut Kant “kategori-kategori”. Tanpa sintesis itu, kita bisa mengindrai penampakan tetapi tidak mengetahuinya. Dengan kata lain, kategori-kategori merupakan syarat a priori pengetahuan---dengan ‘revolusi kopernikan’ Kant memandang bahwa agar objek diketahui, objek itu harus menyesuaikan diri dengan kategori-kategori itu, dan bukan sebaliknya.
a. Analitika Transendental: Pengetahuan pada Taraf Intelek; menurut Kant, dalam diri subjek terdapat dua kemampuan, yakni untuk menerima data-indrawi dan untuk membentuk konsep. Kemampuan mengindrai sudah disebut sebagai ‘sensibilitas’. Lalu kant menyebut kemampuan untuk mengasilkan konsep sebagai pemahaman, atau dengan istilah Kant “Verstand” (diterjemahkan ‘intelek’). Hubungan kedua kemampuan ini sangat erat. Tanpa sensibilitas objek tidak dapat masuk dalam subjek, dan tanpa akal objek tidak dapat dipikirkan---Disinilah Kant mendamaikan empirisme dan rasionalisme, sementara rasionalisme memutlakkan rasio dan empirisme memutlakkan sensibilitas, Kant memperlihatkan, bagaiman pengetahuan merupakan sintesis keduanya.
b. Dialektika Transendental: Pengetahuan pada Taraf Rasio; dalam ‘dialektika transendental’, Kant membedakan rasio (Vernunft) dari akal-budi (Verstand). Istilah “Vernunft” mengacu pada kemampuan lain yang lebih tinggi dari pada intelek.  Rasio menghasilkan ide-ide transendental yang tidak bisa memperluas pengetahuan kita tetapi memiliki fungsi mengatur (regulatif) putusan-putusan kita ke dalam sebuah argumentasi. Sementara intelek langsung berkaitan dengan penampakan, rasio berkaitan secara tidak langsung dengan mediasi intelek. Rasio menerima konsep-konsep dan putusan-putusan akal-budi untuk menemukan kesatuan dalam terang asas yang lebih tinggi. Misalnya, putusan “semua binatang itu bisa mati”, dan “manusia itu binatang”, lalu kesimpulannya “manusia itu bisa mati”. Putusan ketiga yang merupakan kesimpulan silogisme itu dihasilkan dari dua putusan lain dan merupakan kesatuan dari keduanya. Putusan ketiga itu tidak langsung berdasarkan penampakan. Dalam hal ini rasio mengusahakan kesatuan itu, dan bahkan menurut Kant, aturan (maksim) logis rasio adalah terus mengusahakan kesatuan yang makin besar, makin menuju keadaan akhir yang tidak dikondisikan atau murni.
Kant menyebutkan adanya tiga tipe kesimpulan silogistis yang mungkin, yaitu: kesimpulan kategoris, hipotesis, dan disjungtif. Ketiganya berkaitan dengan tiga kategori akal-budi yang diterangkan di atas, yaitu: substansi, kausalitas, dan komunitas atau resiprositas. Ketiga kesimpulan itu juga  berkaitan dengan tiga macam kesatauan tanpa syarat yang merupakan postulat (dalil) dari rasio. Ketiga macam kesatuan akhir itu menjadi asumsi terakhir yang mutlak, maka hanya dipostulatkan (tanpa syarat). Ketiganya disebut “idea-ide rasio murni”. Idea pertama menjamin kesatuan akhir dalam pengalaman subjek (kesadaran atau cogito) dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan disebut “ide jiwa”. Idea kedua menjamin kesatuan akhir dalam hubungan-hubungan kausal dalam penampakan objek dan disebut “Idea Dunia”. Idea ketiga menjamin kesatuan akhir dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan entah yang tampak atau tidak dan disebut “Idea Allah”.
 
D. Kritik atas Rasio Praktis
Rasio yang dijelaskan di atas disebut “rasio murni” atau rasio teoritis. Rasio ini menghasilkan ilmu pengetahuan. Dalam kritik der praktichen Vernunft, Kant berusaha menemukan bagaimana pengetahuan moral itu terjadi. Pengetahuan moral, misalnya dalam putusan “orang harus jujur”, tidak menyangkut kenyataan yang ada (das Sein), melainkan kenyataan yang seharusnya ada (das Sollen). Pengetahuan macam ini bersifat a priori, sebab tidak menyangkut tindakan empiris, melainkan asas-asas tindakan itu dihasilkan oleh “rasio praktis” kita. Sebagai ‘rasio dalam keguanaan praktisnya’. Seperti juga rasio murni, dia mengacu pada rasio praktis pada dirinya, bukan rasio praktis orang tertentu. Tentu saja rasio pada akhirnya satu saja, tetapi ada dua cara rasio mendekati objeknya. Sementara rasio murni menetapkan objek lewat kognisi, rasio praktis membuat objek (tindakan) menjadi nyata lewat penentuan kehendak. Dengan berusaha menemukan asas-asas itu, Kant memisahkan etika dari teologi. Baginya, etika tidak tergantung pada teologi, melainkan pada kesadarn subjek rasional.

E. Kewajiban sebagai Dasar Moralitas
Dalam Grundlegung, Kant merumuskan bahwa tidak ada hal lain yang baik secara mutlak kecuali “kehendak baik” (guter Wille) sebagai kehendak yang baik pada dirinya (an sich), tidak tergantung pada yang lain. Kehendak baik adalah sesuatu yang baik pada dirinya, tanpa pamrih, tanpa syarat. Kant membedakan antara “tindakan yang sesuai dengan kewajiban” dan “tindakan yang dilakukan demi kewajiban”. Yang pertama ini, baginya, tidak berharga secara moral dan disebut “legalitas” (legalitaet), sedang yang kedua bernilai moral dan disebut moralitas (moralitaet). Sebuah tindakan moral yang luhur adalah tindakan yang dilakukan demi kewajiban an sich. Pandangan Kant kerap disebut ”rigorisme moral” (rigor=keras, kaku, ketat), karena dia menolak dorongan hati (belas kasih, setia kawan, dan seterusnya) sebagai tindakan moral.
Kant lalu menghubungkan kewajiban dengan hukum hukum dimengerti sebagai hukum an sich, dengan sifatnya yang universal dan tidak mengizinkan kekecualian. Bertindak demi kewajiban adalah bertindak dengan mengacu pada hukum itu. Nilai moral (baik buruknya tindakan), menurut Kant, tidak terletak pada hasil tindakan, melainkan pada sesuatu dalam kesadaran subjek moral yang disebutnya “maksimum”. Maksim dibedakan dari asas-asas (prinsip-prinsip). Sementara asas-asas terstruktur secara objektif dalam rasio praktis setiap makhluk rasional (asas-asas objektif moralitas), maksim merupakan kehendak (Wille) subjektif yang juga asasi (asas-asas subjektif kehendak). Ada dua macam maksim, yaitu maksim empiris atau material dan maksim a priori atau formal. Yang bernilai moral adalah maksim a a priori itu. Maksim ini mematuhi hukum universal an sich dan tidak mengacu pada hasrat-hasrat indrawi, sedangkan maksim empiris mengacu pada efek-efek tindakan.

F. Imperatif Kategoris
Menurut Kant, asas moralitas (asas rasio praktis) seharusnya sesuai dengan asas kehendak (maksim)---terjadi kalau manusia itu subjek moral rasional murni. Dalam kenyataan, sering ada kesenjangan atau ketidak sesuaian antara maksim dan asas, antara kehendak subjektif dan asas moral objektif. Dalam kasus ini, asas objektif disadari sebagai perintah dan kewajiban. Kalau keduanya sesuai (ini menurut Kant terjadi apada diri Allah), tidak ada printah ataupun kewajiban. Kant membedakan ‘perintah’ dan ‘imperatif’---Perintah adalah asas objektif sejauh mengharuskan kehendak subjektif, sedang imperatif adalah bentuk putusan dari perintah, dirumuskan dengan ‘seharunya’ (sollen).
Dalam Grundlegung, Kant membedakan dua macam imperatif. Yang pertama disebut ‘imperatif hipotesis’. Dengan ini dimaksudkan bahwa asas-asas tertentu yang bersifat objektif akan dilakukan dengan syarat tertentu, yaitu kalau tujuan pelaku tercapai dengan melaksanakan asas-asas itu. Rumusnya: “jika menginginkan X, anda harus melakukan Y”. misalnya, putusan “jika mau belajar filsafat, anda harus membaca buku F.” Di sini orang bisa mau atau tidak belajar filsafat, sehingga tidak harus membaca buku F karena masih terbuka kemungkinan tidak melaksanakannya, imperatif ini juga disebut “imperatif hipotetis problematis”. Imperatif ini bukan imperatif moral. Kant juga menyebutk imperatif hipotetis jenis lain. Misalnya, putusan ”kalau mau bahagia, anda harus melakukan tindakan T.” Di sini orang mau bahagia dan tidak mau menolaknya, sehingga harus melakukan T. imperatif ini juga hipotetis, yaitu tindakan tertentu diperintahkan sebagai sarana untuk tujuan tertentu (bahagia), namun berbeda dari yang sebelumnya, syarat itu (kalu mau bahagia) ditegaskan (assert), maka disebut “imperatif hipotesis asertorik”. Imperatif ini-pun bukan imperatif moral.
Menurut Kant, imperatif moral terdapat dalam bentuk ketiga yang disebut “imperatif kategoris”. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan karena perintah itu baik pada dirinya. Imperatif ini bersifat a priori. Kant menemukan imperatif kategoris sebagai berikut: misalnya, dalam kasus keinginan berderma kepada  tetangga yang tidak dipedulikan orang lain, kita bertanya apakah kehendak (maksim) untuk berderma itu bisa dijadikan hukum universal atau tidak. Kalau bisa, maksim kita itu di benarkan secara moral. Imperatif kategoris ini merupakan perintah rasio praktis kita yang harus dilaksanakan tanpan syarat, bersifat apodiktis (apodiktisch): harus dilaksanakan secara mutlak perlu. Kehendak subjektif untuk melaksanakan imperatif kategoris inilah maksim a priori.            

Sabtu, 26 Agustus 2017

SOCRATES


Sokrates; Maju Tak Gentar Membela Yang Benar


“Akan kusajikan kepada kalian bukti yang kuat dan menyajikan tentang hal itu---bukan cuma kata-kata, tapi suatu bukti yang kalian hargai, yakni tindakan.  Dengarkanlah aku sementara aku menceritakan pengalamanku kepada kalian, supaya kalian dapat mengetahui bahwa aku tidak mau menyerah kepada satu orang hanya karena takut mati, supaya aku tidak bertindak melawan apa yang adil.  Aku juga tidak mau melakukan hal itu, seandainya-pun aku akan seketika kehilangan nyawaku.  Kepada kalian aku akan menyebut hal-hal kasar yang lumrah terjadi di ruang pengadilan; namun hal-hal ini benar”---Apologia-Sokrates


A. Riwayat Hidup
Sokrates laihir di Athena, di Deme Alopeke, sekitar tahun 470 SM dengan wajah buruk dan miskin.  Louis-Andre Dorion,  Platon dan Xenophon menggambarkan fisik Sokrates; hidung pesek dan lebar, matanya melotot keluar, bibir bawahnya tebal, perutnya buncit dan besar.  Sedemikian jelek sehingga dua muridnya menamaknnya dengan Silene.  Sokrates tidak menyembunyikannya, misalnya mencari pakaian yang bisa menyamarkan kejelekan tubuhnya.  Musim panas atau dingin, memakai pakaian yang sama dan berjalan kemana-mana dengan telanjang kaki.  Meski  buruk rupa, Sokrates adalah figur perayu ulung sehingga  anak-anak muda kaya mengikutinya dan mulai ikut-ikutan berjalan dengan kaki telanjang, berhenti mandi dan lain-lain---Aristophanes menciptakan kata baru “bertingkah seperti Sokrates (esokraton)” untuk menggambarkan  pengikut setia Sokrates yang “rambutnya panjang, kotor dan  kelaparan.
Sokrates tidak menulis satu bukupun namun semua sekolah filsafat yang muncul sesudahnya menganggap sebagai guru mereka.  Hidup Sokrates (menurut pengakuannya sendiri) merupakan wujud ketaatannya pada “yang ilahi”.  Sementara yang ilahi, sebagaimana aku meyakininya sepenuhnya, memberiku kewajiban untuk menjalankan kehidupan filosofis dengan memeriksa diriku dan diri orang lain.  Kehidupan Soktares adalah sikap yang sepenuhnya taat kepada polis (negara kota) Athena  seperti warga negara lainnya; ikut serta dalam berbagai pertempuran karena warga Athena wajib membela negaranya. Aktif menjadi anggota lembaga demokratis polisnya, dan berbicara terbuka mengungkap pendapatnya disitu. Namun akhirnya diangap pemberontak dan dihukum mati oleh polis Athena dengan tuduhan memberi pengaruh buruk kepada anak-anak  muda, mengajarkan atheisme (tidak mempercayai dewa-dewi yang di hormati polis) serta memasukan dewa-dewi baru yang tidak dikenal. Pamflet tulisan polykrates menuduh Sokrates: a) menjadi inspirator Kritis Alkibiades (musuh-musuh demokrasi), b) mengajak para pengikutnya  tidak mentaati istitusi demokrasi (misalnya pemilihan   pemimpin dengan model undian) dan c) menjadi partisan rejim Tirani 30.
Selain Platon dan Xenophon, banyak tulisan lain bernada apologetis untuk menunjukan bahwa Sokrates adalah model orang yang hidup menurut keutamaan, bahwa pertemuan dan perbincangan nya dengan anak-anak muda bukan untuk ‘’merusak’’ melainkan memperbaiki hidup mereka.  Sokrates tidak pernah dekat dengan rejim manapun.  Ia menjadi korban situasi politik yang berkembang saat itu yang serba resah (saat-saat menyakitkan pasca kekalahan perang saudara pada tahun 404 SM), munculnya bencana baru dalam ujud Tiran 30, pendirian lagi demokrasi yang diwarnai hawa balas dendam antara unsur dalam masyarakat dan kekecewaan atas para “intelektual”---kaum sofis dimana Sokrates dianggap salah satunya---yang telah mengharubirukan Athena namun ternyata tidak pernah membawa Athena berjaya.  Sokrates dianggap orang berbahaya dalam konteks seperti itu, sama seperti dulu ia juga dianggap musuh rejim Tirani 30.
Louis-Andre Dorion, dalam Socrate  memberi argumentasi mengenai hukuman mati Sokrates; Pertama, “tuduhan atheisme”,  baik Platon maupun Xenophon menunjukkan bahwa Sokrates adalah orang saleh yang tetap menghormati Zeus dan dewa-dewi yang bertahta di gunung Olympus jadi tentu saja ia tidak mengkritik para dewa-dewi yang tidak bermoral.  Kedua, tuduhan mengintrodusir “dewa-dewi baru” merujuk kepada Sokrates yang sering mengatakan bahwa  mendapat “inspirasi” dari yang ilahi.  Cara bertindak demikian, sama sekali tidak dilarang mengingat orang-orang Athena sering menggunakan peramal dan para normal yang memiliki klaim yang sama tentang “inspirasi”.  Ketiga, bahwa Sokrates “merusak anak-anak muda” lebih dalam motif politis untuk pembungkaman Sokrates.  Tuduhan ini mau mengatakan tentang pengaruh berbahaya yang telah disebarkan Sokrates di kalangan anak-anak muda.  Praktek elegkhos/dialektika dalam arti penyanggahan yang diajarkan Sokrates membuat mereka mampu membongkar kedok “sok tahu”  orang-orang “tua” yang selama ini di tokohkan sebagai “pandai bijaksana”.  Bahwa Alkibiades, Xarmides dan Kritias---tiga orang yang dianggap musuh-musuh demokrasi dan  ketiganya terlibat di Pemerintahan Tiran 30 atau berkolaborasi dengan Sparta---orang-orang muda yang dekat dengan Sokrates.

B. Membela yang Benar
Sokrates membela diri tidak seperti yang biasa dilakukan  pengacara yang rela memelintir argumentasi untuk memenangkan hati hakim.  Di depan model juri rakyat yang melakukan voting untuk mengadili kasusnya, Sokrates “memenangkan kasusnya” justru kelihatan provokatif.  Sokrates menolak bersikap seolah-olah  butuh dikasihani dengan meratap dan memohon-mohon---Ia tidak peduli dengan penilaian orang mengenai citra dirinya.  Sikap keras kepala Sokrates selama pengadilan juga berkontribusi sehingga proses pengadilan berujung pada keputusan fatal---sebenarnya tidak menjadi maksud para penuduhnya (mereka tidak bermaksud menghukum mati dan hukuman pembuangan sudah lebih dari cukup.  Seperti dalam Apologia; “kalian tahu, aku telah dituduh dihadapanmu oleh banyak orang untuk waktu yang lama, bahkan sebetulnya sudah selama bertahun-tahun sampai sekarang oleh orang yang tidak mengatakan satu kata kebenaranpun.  Orang-orang inilah yang aku takutkan, lebih dari Anytus dan kerumunannya, meskipun mereka juga berbahaya.  Tapi orang-orang itu lebih berbahaya, wahai saudara-saudara (para pengadil); mereka telah memengaruhi pikiran kalian sejak masa kanak-kanak kalian, dan telah membuat tuduhan-tuduhan terhadapku yang menyakitkan kalian.
Di Apologia 38d-e dikisahkan; “Wahai saudara-saudara, barangkali kalian membayangkan bahwa aku telah dijatuhi hukuman mati karena aku tidak memakai argumen yang seharusnya dapat kupergunakan untuk meyakinkan kalian,  seandainya aku percaya bahwa aku dapat mengatakan atau melakukan suatu apapun yang dapat membebaskanku.  Tetapi ini sama sekali tidak benar.  Aku telah dijatuhi hukuman mati bukan karena aku tidak memiliki argumen, melainkan karena aku tidak memiliki sifat tidak tahu malu dan tidak memiliki keinginan untuk berbicara kepada kalian dengan memakai kata dan ungkapan yang paling menyenangkan kalian, yakni menangis dan meratap, dan melakukan serta mengatakan (e) banyak hal lain  yang aku nilai sangat tidak patut bagi diriku---hal-hal yang biasa kalian dengar dari orang lain.  Tetapi, sama seperti aku tidak berpikir, selama pembelaan diriku, bahwa aku harus melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh seorang bebas hanya karena aku sedang dalam bahaya, maka kinipun aku sama sekali tidak menyesali gaya pembelaan diriku seperti yang sudah aku perlihatkan.  Malah aku harus lebih jauh lagi menyampaikan pembelaan diri yang seperti ini, lalu mati, ketimbang aku tetap hidup dengan membela diriku sendiri dengan gaya orang lain”

C. Filsafat Socrates
Di Athena 25 abad yang lalu, Sokrates menjadi inspirasi bagi jamannya. Kaum megarik, kaum sinis, Platon (dan Platonisme), Epikurisme dan Stoicisme, adalah contoh aliran-aliran filsafat yang melandaskan diri pada guru kaum Megarik, dengan pelopornya Euklides, mengembangkan aspek Socrates yang jago dialog sanggahan (elekhos). Kaum Kirenaik yang dipimpin  Aristippos menekankan aspke  <<humanisme agnostik>>  Socrates.  Sementara Anthistenes yang pemimpin aliran kaum Sinis, akan mengikuti cara hidup Sokrates yang meremehkan segala apa yang bersifat material dan adat kebiasaan masyarakat yang terlalu konvensional dan <<baik-baik>>.
Sokrates “tidak tahu apa’’. Namun, menurutnya, kita semua “tidak tahu apa-apa’’.  Dalam filsafat,Socrates bersikap sebagai orang yang mencari dan belajar sehingga selalu dalam posisi tidak tahu.sebagai guru par excellence, Socrates adalah murid abadi yang berupaya menggapai pengetahuan (dalam arti sophia/kebijaksanaan) yang senantiasa lolos dari tangkapannya.Kebijaksanaan tak pernah bisa di rengkuh,digenggam,dihentikan dan diobjekkan persis karena kebijaksanaan adalah milik semua orang tanpa satu orang pun bisa mengatakan sebagai miliknya. pengetahuan akan kebijaksanaan hanya bisa di tangkap secara sementara dalam dialog dalam perbincangan  antara mita wicara.
Figur Sokrates sebagai orang bijak yang  ”tidak tahu apa-apa’’ hanya salah satu gambaran yang di berikan orang-orang Yunani kuno kepada Sokrates. Xenopon menggambarkan Soktares sebagai ahli pendidikan yang membentuk para politisi Athena. Para filsuf abad ke-18 figur Socrates (rasionalis).   Aristophanes menggambarkan Socrates sebagai bagian dari kaum phusikoi (para pemikir tentang physis/nature/kodrat-alam). Dan Platon sebagai mana Socrates sebagai figur yang selalu mengatakan bahwa “dirinya tidak tahu apa-apa’’.  Kisah hidup dan  pemikirannya kita ketahui dari penulis-penulis yang hidup di jamannya (Aristophanes), dari murid (Platon dan Xenophon) atau dari kesaksian tidak langsung  (misalnya dari Aristoteles). Ia senantiasa berusaha mengisi hidupnya dengan cara urip in pepadhang (hidup secara terang, selalu jelas dengan dirinya sendiri). Baginya, setiap ide, pengetahuan, pikiran dan bahkan cara hidup, selalu harus dikonfrontasikan dengan orang lain. Kebenaran adalah jalan yang tak pernah selesai, kecintaan pada kebenaran  (filsafat) adalah praktek hidup, dan hidup adalah tuntutan untuk urip in pepadhang (hidup secara terang, dengan berani dan rela hati meninggalkan kegelapan dan seluruh kerumitannya yang sumir berbau kemunafikan).

D. Sikap Politik
Pada tahun 431 SM pecah perang saudara yang di kenal dengan nama perang Peloponessos (berakhir tahun 404 SM). Athena, yang hegemoninya atas polis-polis  lain di Yunani sedang  membesar, mendirikan konfederasi bernama Liga Delos. Ia berhadapan dengan resistensi polis-polis lain di bawah pimpinan Sparta yang mendirikan Liga Peloponessos. Pada tahun  (429 SM), Athena di landa wabah sampar, dan pada saat inilah Perikles meninggal dunia.  Lima tahun kemudian (424 SM) Sokrates kembali berpartisipasi dalam peperangan polisnya  Athena melawan Thebes di kota Delion. Pada tahun 422 SM dan  Sokrates kembali membela polisnya di Amfipolis. Sekitar tahun 420 SM, lewat orakel di Delphoi, dewa apollon menyatakan bahwa Sokrates adalah orang yang palng bijaksana. Atas dasar inspirasi ini, Sokrates memulai perjalanan hidupnya untuk menanyai, memeriksa, dan menguji orang-orang sejamannya di Athena. Sekitar tahun 412 SM, dikisahkan bahwa Sokrates menolak tawaran Arkhelaos, raja Makedonia, untuk bergabung ke istananya bersama penyair dan ahli-ahli musik Yunani lainnya seperti Agathon dan Euripides. Mulai tahun 407 SM, Platon menjadi murid Sokrates. Dan setahun kemudian (406 SM) Sokrates terpilih menjadi prutaneis di majelis. Keberanian politisi yang ia tunjukan ketika di bawah pemerintahan Tirani 30, dengan risiko di kenai hukuman mati, Sokrates menolak perintah para Tiran supaya ia ikut menangkap (secara ilegal) Leon dari Salamis. Hal ini menunjukan bahwa di bawah  rejim politisi apa pun, Sokrates selalu teguh memegang prinsipnya untuk tidak melakukan sesutau yang tidak adil/benar.
Setelah puluhan tahun perang saudara, Athena akhirnya di kalahkan Sparta. Muncullah Tirani 30, rejim boneka buatan Sparta dan salah satu anggotanya bernama Kritias (sahabat Sokrates). Tahun ini tercatat kematian Alkibiades (salah satu sahabat Sokrates yang membelok ke Sparta). Hanya setahun Para Tiran berkuasa, pada tahun 403 SM, rejim demokrasi di Athena di pulihkan.  Pada saat ini, Anaxgoras dan Protagoras sebelum Sokrates di hadapkan ke pengadilan dan di jatuhi hukuman mati. Sokrates sebenarnya bisa memilih hukuman pengasingan untuk menghindar dari kematian. Namun kecintaan dan ketaatannya kepada polis mendorongnya memilih hukuman mati meminum racun. Sikap hidupnya yang tanpa kompromi hendak urip in pepadhang sehingga hidup etis ia pegang erat-erat di anggap mengganggu di masa demokrasi Athena.
Sokrates menolak memainkan unsur penting dalam proses demokrasi formal yang di sebut politik citra; bertindak “seolah-olah”...” supaya suara terbanyak terbujuk mengikutinya. Bagi Sokrates, kebenaran dan jalan hidup  politiknya, dalam polisnya, dihayati Sokrates secara atipik. Membedakan publik (apa-apa yang kelihatan dan tampak di depan umum) dan privat (apa-apa yang mestinya di jaga sebagai ruang intim pribadi masing-masing). Mereka bisa membedakan apa yang bersifat publik (misalnya, harta publik milik polis, partisipasi dalam pemerintah dan pertahanan polis) dan apa yang bersifat privat (yang brekenaan dengan kepentingan pribadi, hidup keluarga, hidup ekonomi berkenaan dengan harta milik pribadi, serta pendidikan anak-anak termasuk sekolah-sekolah filsafat).
Sokrates menyerang inti model politik demokrasi yang di pusatkan pada suara terbanyak kaum kebanyakan. Di mata Sokrates, dari pada memilih kebenaran, orang kebanyakan lebih muda di alihkan perhatiannya pada apa-apa yang tampaknya benar. Padahal bagi Sokrates, soal pilihan tidak bisa di buat main-main. “Supaya sebuah piliihan itu tepat, menurutku, ia harus di landaskan pada pengetahan (episteme)”  dan bukan pada opini (doxa) atau faktor-faktor irasional yang bermain di wilayah subliminal. Semua yang berkaitan dengan hasrat emosional (thumos) dan hasrat epithumia (makan, minum dan seks, singkatnya uang) merupakan wilayah irasional yang membuat akal sehat kita berkabut dan tidak mampu lagi mengatakan dan memilih mana yang benar. Sokrates menjalankan apa yang di sebut sebagai private politics, yang baginya adalah satu-satunya politik yang sebenarnya---mohon jangan marah jika aku memberitahu kalian kebenaran. Sesungguhnya, tidak ada orang yang kehidupnya akan terpelihara oleh kalian atau kebanyakan orang lainnya, jika orang itu sungguh-sungguh melawan banyak ketidak adilan dan pelanggaran hukum, dan berusaha mencegah semuanya ini dalam kota kita. Melainkan, siapapun yang dengan sungguh-sungguh berjuang untuk apa yang adil, dia harus, jika ingin tetap bertahan hidup untuk waktu yang pendek sekalipun, bertindak secara pribadi dan bukan di muka umum (idioteuein alla me demosieuein)” (Apologia, 31d-32a, terj. Iones Rakhmat, hl.110).
Politik yang sebenarnya, seperti hidup yang sebenar-benarnya, adalah memperjuangkan yang baik dan adil. Praktek politik yang politicking, entah dari seorang diktator, sekumpulan demagog atau anarki massa, di tolak Sokrates. Dan memperjuangkan politik otentik seperti ini risikonya, selain sibuk “memeriksa diri dan orang lain”, juga kemiskinan material karena tidak sempat memperhatikan apa-apa yang normalnya menjadi ambisi orang: kekayaan, posisi sosial dan politis.  Kesibukan politisnya tidak ia jalankan di depan khalayak ramai, melainkan dalam dialog satu lawan satu, dalam relasi intim dan private.  Keterlibatan Sokrates pada kehidupan polisnya ia tunjukan lewat ketekunan memeriksa diri dan orang lain dengan metode elegkhos (dialog sanggahan) yang secara konsisten ia terapkan dimana pun ia bertemu mitra dialog. Di mulut Sokrates sendiri, hidup seperti itulah yang merupakan politik otentik.  Sebagaimana yang diungkapkannya sendiri; sementara aku sudah berpikir untuk tidak berdiam diri saja atau menganggur dalam kehidupanku? Malah sebetulnya aku telah mengabaikan hal-hal yang paling diperhatikan orang; mencari uang, mengurus perkebunan, mendapatkan kehormatan sipil dan militer atau posisi kekuasaan lainnya  atau mengambil bagian dalam kelompok dan partai politik yang terbentuk dalam kota kita.
Politik otentik Socrates adalah hidup dalam arti sedalam-dalamnya, yang dijalankan dengan memeriksa diri dan orang lain, serta mencari dan mengusahakan kebenaran/keadilan dan kebaikan secara pribadi maupun dalam hidup bersama.  C.D.C. Reeve, Socrates, menerangkan bahwa hidup kita, entah itu yang bersifat pribadi maupun publik (politis), meski terarahkan  kepada kebijaksanaan (wisdom) dan kebaikan (goodness).  Sebagai warga negara sebuah entitas politis, secara pribadi kita mesti mengusahakan agar jiwa kita menjadi yang terbaik dan sebijaksana mungkin.  Dan pun bila mau masuk dalam hidup politik (menjadi jenderal, pimpinan politik atau anggota partai politik), tugas pertama yang mesti di emban adalah mengusahakan bahwa polis itu sendiri (dengan masing-masing warga negara didalamnya) akan menjadi yang terbaik dan sebijaksana mungkin.

E. Daimonion Sokrates
Hidup Sokrates mengikuti bisikan dari daimonion yang mencegahnya melakukan tindakan tertentu. Daimonion ini yang membuat Sokrates menghindari politik. Sokrates berbicara mengenal tanda dari yang ilahi (to tou theou semeion) atau suara daimonion (daimonion fone) yang kerap datang kepadanya sejak masa kanak-kanak yang melarangnya melakukan atau mengatakan sesuatu, namun suara itu tidak pernah mendorongnya melakukan sesuatu (Apologia 31c-d,40a-b (bdk. 24c), 41 d; Euthyphron 3b). Ioanes rakhmat kata daimon ini merujuk pada  <<bagian irasional>>  jiwa Sokrates yang membberikan instruksi positif (sebagaimana di kemukakan oleh john burnet), atau sebuah <<kepercayaan religius>> (Brickhouse dan Smith), atau sebuah suara batin yang bertindak sebagai hati nuraninya (Roslyn Weiss). Sokrates menyatakan dirinya merasa mendapatkan kekuatan yang melampaui daya manusiawi. Ia sadar akan keterbatasan rasio manusiawi dan menyadari adanya kekuatan supra rasional yang  mendorongnya melakukan itu semua. Pertama, dalam Aplogia, Sokrates cukup menekankan keterbatasan (pengetahuan manusiaw);    Kedua ada kesan kuat bahwa Sokrates sendiri percaya bahwa misi yang diembannya bersifat “religius” dan;  ketiga, dalam mengembang misi sepanjang hidupnya Sokrates sering kali menggambarkan dirinya  “dihinggapi”  kekuatan tersebut---Henri Bergson dengan tegas mengatakan bahwa Sokrates benar-benar percaya suara dari daimonion-nya.
Misi yang ia emban adalah misi religius dan mistik dalam arti yang kita pahami saat ini, artinya, seluruh ajaran Sokrates yang rasional sebenarnya tergantung pada sesuatu yang suprarasioanal (suara daimonion ). Sikap Sokrates sendiri terhadap sesuatu yang berulang kali ia katakan sebagai daimonion, sesuatu yang memiliki ciri illahi. Di teks Apologia kita tahu bahwa (yang illahi) itu dikatakan (tidak pernah memberitahukan sesuatu secara positif).  Adalah (yang illahi) mencegahnya melakukan ini atau itu. Namun “yang illahi” ini tidak pernah mewahyukan secara positif sesuatu yang harus di lakukan (yang illahi) itu hanya mengintervensi tindakan sehari-hari Sokrates dalam bentuk negasi, seolah-olah “yang illahi” dalam dirinya sendiri tetap tertutup dalam misterinya sendiri. Sepertinya “yang illahi” memang hanya bisa di dekati oleh rasio Sokrates secara (negatif).   Sokrates mendengarkan suara daimonion yang berujud negasi, namun mengenai apa yang mesti dibuat, daimonion itu diam seribu basa.
Barang kali sadar akan karakter “yang illahi” yang tak bisa ditembus rasio manusia inilah Sokrates berbicara memakai bahasa jamannya tentang daimon. Sebuah entitas antara “yang illahi” dan manusia.   “Semua yang di sebut daimon berada di antara para dewa dan kaum mortal.  Terletak di antara yang satu dan yang lainnya, ia memenuhi interval (antara keduanya).  Para dewa tidak pernah mencampuri (urusan) manusia (secara langsung); lewat para daimon- lah para dewa berbicara dan berkomunikasi dengan manusia, entah pada saat bangun maupun pada saat tidur.

F. Penutup
Sokrates, setelah empat abad  kematiannya orang-orang Kristiani melihat dalam diri  filsuf dan pemikir spekulatif ini figur pendahulu Yesus Kristus.  Kelompok religius lain juga melihat semacam Budha-nya Barat atau  Konfusius-nya Barat. Bahkan para  filsuf modern menjadi terpilah-pilah;  Montaigne sangat terinspirasi  doktrin moral Sokratik.  Rousseau melihat bayangan dirinya sendiri dalam figur Sokrates sebagai “orang benar yang tertindas”.  Voltaire agak sinis menyebutnya “orang Athena yang cerewet”  dan memberi julukan  “si bijak berhidung pesek” namun Voltaire sangat bersimpati kepada figur yang menjadi korban intoleransi (agama).  Hegel melihat dalam figur Sokrates “momen pembalikan terpenting bagi Roh yang mulai mengarahkan dirinya ke interrioritas”.
Dalam momen sejarah, Sokrates adalah hero tragis yang sudah mulai melihat bahwa “subjektivitas ditemukan dalam kesadaran diri yang mengandung universalitas.  Namun sayangnya, kesadaran itu belum mampu mengaktualkan yang universal di luar dirinya secara objektif.  Kierkegaard akan berbicara dengan penuh hormat kepada Sokrates, sang bidan.  Di mata murid-muridnya, bidan ini hanyalah pembantu supaya mereka bisa kembali pada diri sendiri dan menemukan apa yang menjadi pusat dari diri mereka sendiri.  Sedangkan Nietzche, benci sekaligus kagum di depan “ wajah ganda yang sangat misterius dan ironis”.  Nietzche menyebutnya “rakyat jelata”, “dekaden”, “blasteran” yang membenci kehidupan dan menderita hipertrodi (pembengkakan) rasio.  Dan Henri Bergson justru melihat dalam diri Sokrates mistikus sehingga menempatkannya diantara para nabi dan kaum santo (orang suci) karena pandangannya tentang “moral yang terbuka”.  Maurice Marleau Porty memuja Sokrates sebagai “patron” para filsuf yang berani mengambil resiko demi pemikiran yang bebas dan hidup.  Sokrates memang berwajah seribu, enigmatik dan tak bisa digenggam.  Karena hidup dan kematiannya yang luar biasa historisitas figur ini berubah semacam mitos.

ARISTOTELES


Hidup Bahagia ; Perjalanan Manusia Mencapai Puncak Keabadian Sebuah Penelusuran Jejak Berpikir Aristoteles


Ya! Dari mana asalku kutahu pasti
Tak terkenyangkan bagai api
Aku membara habisi diri,
Segala kupegang menjelma cahaya,
Yang kulepas arang belaka;
Pastilah aku api sejati
(Nietzzsche)



1. Riwayat Hidup dan Karyanya
Aristoteles lahir tahun 384 SM di Stageira Yunani Utara.  Usia 17 atau 18 di kirim ke Athena belajar di Akademia sampai Platon meninggal tahun 348/7SM.  Selama di  Akademia menerbitkan beberapa karya dan mengajar logika dan retorika.  Setelah kematian Platon, Aristoteles berangkat ke Assos di pesisir Asia Kecil—saat itu Hermias (murid Akademia) menjadi penguasa negara dan atas permintaan Platon membuka sekolah di Assos. Tahun 345 SM  Hermias di tangkap dan di bunuh oleh tentara Parsi   Aristoteles melarikan diri dari Assos ke Mytilene di pulau Lesbos atas undangan Theophrastos.  Di Assos dan Mytilene Aristoteles mengadakan riset dalam bidang biologi dan zoologi kemudian terkumpul dalam Historia animalium.
Sekitar tahun 342 SM Aristoteles di undang  Raja Philippos dari Makedonia—anak Amyntas II—untuk mendidik anaknya Alexander--- waktu itu usianya 13 tahun.  Tahun 340 SM Alexander di angkat menjadi pejabat raja Makedonia dan empat tahun kemudian menjadi raja Makedonia di usia 19 tahun.  Seteah Alexander  menjadi raja, Aristoteles kembali ke Athena dan mendirikan sekolah sendiri Lykeion (dilatinkan Lyceum)—Aristoteles membangun  perpustakaan sebagai perpustakaan pertama dalam sejarah manusia.  Kematian Alexander Agung 323 SM memunculkan gerakan anti Makedonia untuk melepas Athena dari kerajaan Makedonia.  Aristoteles di tuduh karena kedurhakaan (asebeia) lalu melarikan diri dengan mengatakan “tidak akan membiarkan Athena berdosa terhadap filsafat untuk kedua kali” (dengan alusi kepada Socrates).  Tahun berikutnya ia jatuh sakit dan meninggal di tempat pembuangan pada usia 62 atau 63 tahun.
Karya Aristoteles hasil perkembangan panjang meliputi seluruh keaktifannya sebagai dosen di Akademia.  Murid-murid Aristoteles menyusun dan mengumpulkan semua bahan menyangkut suatu produk tertentu dalam berbagai periode hidupnya  meliputi tiga zaman:
a. Waktu Aristoteles dalam Akademia, ia menganut filsafat Platon termasuk juga ajarannya mengenai ide-ide.  Disini ia menulis dialog-dialognya (kecuali Perihal filsafat) tetapi juga beberapa bagian dari buku-bukunya yang besar (Physica I,II dan VII, De Caelo I, Politica II, 2-3, De Anima III).  Rethorica dan buku-buku tentang logika   sebagian di tulis dalam Akademia;
b. Waktu Aristoteles`berada di Assos, Mytilene dan dalam istana di Pella.  Dalam periode ini Aristoteles berbalik dari gurunya Platon  mengkritik ajarannya mengenai ide-ide dan membentuk filsafatnya sendiri.  Disini Aristoteles terutama giat dalam bidang filsafat spekulatif.  Dalam zaman ini harus ditempatkan dialog Perihal Filsafat, karena kritiknya atas`ajaran mengenai ide-ide.  Juga bagian-bagian besar dari Aristoteles berasal dari zaman ini; bagian tertua dari Metaphysica (“Urmetaphysik” menurut perkataan Jaeger), seluruh Ethica Eudemia, Politica VII-VIII dan beberapa bagian kecil lain, Physica III-VI, De Caelo II-IV dan De generatione et corruptione).
c. Aristoteles mengajar dalam Lykeion  di Athena.  Sekarang minatnya terbalik dari filsafat spekulatif dan terutama dipusatkan kepada penyelidikan empiris.  Itu tidak berarti bahwa ia meninggalkan filsafat tetapi dalam filsafatnya ia terutama mengindahkan yang kongkret dan individual.  Dalam zaman ini harus di golongkan: Historia animalium dan semua karya biologis, Meteorologica, De anima I-II (bukan buku III yang sangat dekat dengan Platon), semua Parva naturalia, Metaphysica XII, 8 dan mungkin beberapa tambahan dalam Physica VIII.  Karya Aristoteles yang mengumpulkan data-data empiris semuanya disusun dalam zaman ketiga.

2. Tentang Gerak
Objek penyelidikan fisika dan semua macam perubahan diberi nama “kinesis” atau “gerak” dan dibedakan menjadi dua: pertama,  gerak karena kekerasan (misalnya batu yang di lempar orang) dan kedua, gerak spontan menurut kodrat (batu yang di lepas menuju ke bawah atau jatuh).  Aristoteles mempersamakan gerak sama dengan perubahan pada umumnyam (bagi awam “gerak” hanya menunjuk satu macam perubahan saja, yaitu: perubahan lokal atau perubahan menurut tempat). Gerak oleh Aristoteles dapat terjadi: 1) mungkin bahwa suatu hal menjadi sesuatu yang lain (Gerak Substansial) yaitu dari satu substansi menjadi subtansi  lain.  Misalnya, seekor anjing mati—dari mahluk yang hidup menjadi bangkai. 2) mungkin bahwa suatu hal menjadi lain (Gerak Aksidental) artinya perubahan  menyangkut salah satu aspek saja yang dapat berlangsung dalam tiga cara. Pertama ada gerak lokal.  Misalnya, meja tadinya di tempat A berpindah ke tempat B.  Kedua ada gerak kualitatif, artinya suatu kualitas atau ciri menjadi lain.  Misalnya, kertas putih menjadi kuning dan Ketiga ada gerak kuantitatif.  Misalnya pohon kecil berubah (tumbuh) menjadi besar.

a. Gerak Aksidental
Dalam menganilisis gerak (Gerak Aksidental), Aristoteles  mencontohkan; “air dingin menjadi panas”.  Dalam contoh ini, gerak berlangsung antara dua hal yang berlawanan—panas-dingin.  Namun ada hal ketiga yaitu: air—dalam contoh tadi; ternyata bukan dingin menjadi panas, tetapi ada sesuatu yang dahulu dingin dan kemudian menjadi panas.  Jadi terdapat tiga faktor yang mempunyai peranan; 1) keadaan/ciri yang dahulu, 2) keadaan/ciri yang baru, dan 3) suatu subratum atau alas yang tetap.  Dalam contoh air dingin menjadi panas; mula-mula air mempunyai ciri “panas”, sementara itu air tetap tinggal air.  Dari sini Aristoteles mengemukakan suatu perbedaan antara aktual dan potensial, antara “aktus” (entelekheia) dan “potensi”(dynamis).  Fase pertama dari proses perubahan: ciri “panas” belum ada secara aktual, artinya air belum benar-benar panas.  Baru dalam fase kedua, air mempunyai ciri “panas” secara aktual (sebagai hasil perubahan).  Tetapi sudah dapat dikatakan bahwa dalam fase pertama: ciri “panas” sudah terdapat pada air secara potensial.  Dengan “potensial” dimaksudkan bahwa air sudah mempunyai kemampuan atau potensi untuk menjadi panas.  Dalam fase pertama: ciri “panas” sudah terdapat pada air sebagai kemungkinan atau kemampuan.  Dalam fase pertama: air (menurut aktusnya masih dingin) sudah panas, biarpun hanya menurut potensi saja.  Melalui perbedaan antara “aktual” dan “potensial” Aristoteles  mengartikan gerak perubahan:  peralihan dari potensi ke aktus atau sesuatu yang potensial menjadi aktual.
Dengan aktus dan potensi, Aristoteles lalu membedakan “bentuk” (eidos atau morphe) dan “materi” (hyle).  Pemahat misalnya; mengukir sepotong kayu menjadi patung;  Ketika  kayu (telah) mendapat bentuk baru (patung) lebih dahulu kayu sudah mempunyai bentuk lain (misalnya sebatang balok).  Demikian pula “materi”  selalu mempunyai bentuk tertentu.  Materi dan bentuk merupakan dua konsep (pengertian) yang korelatif: yang satu menunjuk kepada yang lain sehingga materi tidak pernah lepas dari bentuk tertentu.  Suatu benda yang terdiri dari materi dan bentuk, dapat menjadi “materi” yang menerima suatu bentuk lain lagi dan seterusnya.  Kembali ke contoh mengenai air dingin  menjadi panas dapat diterangkan: air merupakan “materi” yang mendapat bentuk baru yaitu panas.  Dalam fase pertama: materi (air) sudah mempunyai potensi untuk menerima bentuk baru (panas).  Baru dalam fase kedua potensi itu menjadi aktus karena ciri panas menjadi sesuatu yang benar-benar “membentuk” air.

b. Gerak Substansial
Tetapi menjadi sesuatu yang lain (misalnya: air menjadi udara) Aristoteles mengartikan sebagai perubahan substansial; yaitu perubahan (mengakibatkan) satu substansi menjadi substansi lain.  Misalnya, seekor anjing mati.  Dari mahluk anjing yang hidup berubah menjadi bangkai (atau mahluk yang tidak hidup).   Perubahan ini meliputi tiga faktor:1) keadaan yang dahulu—anjing hidup— 2)  keadaan yang baru—bangkai—dan 3) semacam subratum tetap.   adalah materi—materi ini  tidak merupakan suatu benda seperti contoh di  air—paling fundamental  sebagai “Materi Pertama” (“Materi Prima”).  Selanjutnya, Materi Pertama selalu mempunyai salah satu bentuk dan tidak pernah dapat dilepaskan dari segala bentuk.  Karena adanya materi ini maka perubahan yang terjadi jika seekor anjing mati, yaitu: materi yang semula  bentuk pertama (anjing hidup) kemudian memperoleh bentuk kedua (bangkai).  Dalam fase pertama proses perubahan, materi sudah punya potensi  menerima bentuk baru.  Dengan demikian perubahan tidak lain adalah peralihan dari potensi ke aktus.

3. Tentang penyebab.
Bagi orang awam, kata “penyebab”  hanya diartikan dengan penyebab lahiriah atau tidak ada penyebab di luar penyebab efisien dan penyebab final.   Aristoteles tidak puas dengan penyebab lahiriah, kedua faktor yang menyusun suatu benda dari dalam—materi dan bentuk—harus diberi nama “penyebab” dan tiap kejadian  mempunyai empat penyebab untuk  dibedakan :
a. Penyebab material (material cause); bahan dari mana benda dibuat. Misalnya, kursi di buat dari kayu;
b. Penyebab formal (formal cause); bentuk yang menyusun bahan.  Misalnya bentuk kursi di tambah pada kayu sehingga kayu menjadi sebuah kursi.
c. Penyebab efisien (efficient cause);  faktor yang menjalankan kejadian.  Misalnya, tukang kayu yang membuat sebuah kursi;
d. Penyebab final (final cause); tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian.  Misalnya kursi di buat supaya orang dapat duduk;

4. Physis
Dalam buku II  Physica, Aristoteles membicarakan physis sebagai istilah yang diturunkan dari kata kerja phyestai (tumbuh, lahir dari). Kata ini dipilih untuk menunjukkan prinsip perkembangan semua benda alamiah—bertentangan dengan benda-benda artifisial (buatan manusia, misalnya meja atau patung) yang tidak mempunyai prinsip perkembangan sendiri. Karena prinsip ini,  benda-benda alamiah mempunyai sumber gerak atau diam dalam diri sendiri. Maksudnya, pohon kecil tumbuh besar  karena physisnya dan pohon  tetap sebagai pohon—kata physis dalam bahasa Indonesia  kita memilih kata “kodrat”.
Mahluk-mahluk yang boleh disebut fisis karena mempunyai physis; binatang, tumbuhan dan keempat anasir (air, tanah, udara, api). Physis meliputi bentuk maupun tujuan. Dalam semua makhluk, physis  merupakan penyebab formal sekaligus penyebab final dan dalam  arti tertentu juga merupakan penyebab efisien—Bentuk satu pohon umpamanya membuat benda ini menjadi sebenarnya pohon ( penyebab formal ), tujuan yang di kejar oleh pohon  ( penyebab final ) dan sumber yang mengakibatkan perkembangan itu (penyebab efisien). Aristoteles mempergunakan istilah physis dalam arti luas tidak menunjukkan suatu prinsip intern, melainkan keseluruhan makhluk  yang mempunyai physis sebagai prinsip intern dan bekerja sama dengan cara selaras (kata physis  dalam bahasa Indonesia sebagai “alam”atau “nature” dalam bahasa Inggris).

5. Jiwa
Dalam Psykhe atau jiwa,  Aristoteles menganggap jiwa sebagai prinsip hidup dan segala sesuatu yang hidup mempunyai jiwa; tumbuhan, binatang dan manusia.  Dalam Dialog Eudemos, Aristoteles—menganut ajaran pra eksistensi jiwa—  berpendapat bahwa jiwa akan hidup terus sesudah kematian manusia. Dalam De anima ia mengatakan; Jiwa dan badan  merupakan dua aspek dalam satu substansi.  Dua aspek ini  berhubungan satu sama lain sebagai “materi” dan “bentuk”. Badan adalah materi dan jiwa adalah bentuk-nya. Karena materi dan bentuk masing-masing  punya peranan sebagai potensi dan aktus dengan sendirinya: badan adalah potensi sedang jiwa berfungsi sebagai aktus.  Dalam De anima. Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai “Aktus Pertama” (antelekheia) dari satu bagian organis (“the first entelechy of a natural organic body”-De anima,II,I,412b 5-6) karenanya jiwa merupakan aktus paling fundamental sehingga badan menjadi badan yang hidup. Semua aktus lain merupakan aktus kedua yang berdasarkan Aktus Pertama. Sebagai contoh; seekor kucing mengeong suatu aktualisasi dari suatu aktus. Tetapi mengeong (aktus yang terakhir) merupakan “aktus yang kedua” terhadap suatu aktus yang pertama, yaitu: aktus yang membuat kucing menjadi seekor kucing. Kucing tidak menjadi kucing karena aktus mengeong. Kucing adalah kucing karena jiwanya. Jiwa merupakan aktus pertama.

6. Pengenalan Indrawi
Indrawi menerima bentuk benda tanpa materinya. Sepotong lilin yang di cap dengan sebuah meterai hanya menerima bentuk meterai saja, bukan materinya. Entah meterai  dari besi atau emas atau bahan apapun, selalu hasilnya sama: lilin  hanya menerima bentuknya. Menurut Aristoteles, semua kualitas terdapat dalam benda-banda sendiri, seperti misalnya warna, bunyi, rasa dan lain-lain. Warna merah suatu bunga dan sifat keras sebuah batu memang terdapat dalam bunga dan dalam batu. Semuanya merupakan “bentuk-bentuk” yang menentukan materi (bunga atau batu). Misalnya tentang  warna; menurut Aristoteles setiap warna merupakan campuran dua warna berlawanan, yaitu: putih dan hitam. Demikian juga warna merah merupakan campuran putih dan hitam menurut proporsi tertentu. Kalau saya mengamati bunga merah, menurut Aristoteles campuran yang sama yang terdapat dalam bunga di hasilkan juga dalam mata. Mata seakan–akan menjadi merah tetapi mata tidak menjadi bunga. Demikianlah sehingga Aristoteles mengatakan: dalam pengenalan indrawi kita hanya menerima bentuk tanpa materi. Supaya pengamatan warna dapat di jalankan, salah satu syarat  mata sendiri tidak berwarna. Organ indra yang menerima suatu bentuk, tidak boleh mempunyai kualitas itu sendiri atau organ indra tidak boleh mempunyai kualitas itu sendiri secara aktual. Tetapi organ indra sudah mempunyai kualitas bersangkutan secara potensial. Dengan itu Pengenalan indrawi; peralihan dari potensi ke aktus. Mengenal dengan indra berarti  organ indra yang sudah secara potensial mempunyai kualitas bersangkutan, sekarang mendapat kualitas itu secara aktual.

7. Pengenalan rasio
Dalam buku III De anima, Aristoteles membicarakan nus (rasio atau pemikiran) sebagai kekhususan manusia. Bertentangan dengan panca indra, rasio tidak membatasi diri pada satu aspek saja. Organ mata hanya melihat warna, organ telinga hanya mendengar bunyi—mustahil melihat bunyi atau mendengar warna. Aktivitas rasio tidak terbatas pada satu aspek saja yang terdapat dalam kenyataan. Rasio  menangkap segala sesuatu yang ada. Objek rasio bersifat sama sekali umum. Karena itu menurut Aristoteles, rasio dapat “menjadi” segala sesuatu.     Dalam pengenalan indrawi  suatu bentuk di terakan kepada panca indra sedang  pengenalan rasional suatu bentuk diterima oleh ratio sebagai suatu bentuk intelektual—sebagai hakikat atau esensi suatu benda. Memahami segitiga berarti menerima hakikat atau esensinya dalam rasio dan pemahaman baik terhadap segitiga maupun lingkaran sampai membawa pengertian hubungan antara keduanya.
Aristoteles kemudian membedakan dua fungsi rasio manusia; pertama,  “Rasio Pasif” ( nus pathetikos; “intellectus possibilis”) sebab rasio “menerima” esensi tadi.  Kedua, “Rasio Aktif” (nus poietikos; “intellectus agens”).  Aristoteles  mengumpamakan  dengan cahaya yang memungkinkan kita melihat warna. Cahaya menampilkan warna bagi kita dan tanpa perantaraan cahaya  warna tidak dapat di lihat. Demikian-pun rasio aktif menampilkan esensi yang di terima oleh rasio pasif. Aristoteles mengatakan bahwa rasio aktif “terpisah” dan “tak tercampur”. Itu berarti—seperti juga di akui oleh Aristoteles sendiri—rasio aktif adalah baka  sedang rasio pasif akan binasa bersama dengan kematian tubuh. Alexander dari Aphrodisias—komentator Aristoteles hidup abad ke-2SM dan permulaan abad ke-3SM—beranggapan bahwa rasio aktif  disamakan dengan rasio Allah. Interpretasi Ibn Rushd (Averroes:1126-1198) dengan prinsip metafisikanya: rasio pasif disamakan dengan rasio aktif dan keduanya disamping membentuk satu substansi yaitu rohani sekaligus  milik bersama seluruh umat manusia—di sebut “monopsikisme”= ajaran mengenai satu jiwa.

8. Substansi, Esensi dan Aksiden
Setiap bentuk tertuju kepada materi dan tidak dapat di lepaskan daripadanya. Bentuk itu merupakan esensi suatu benda. Matematika umpamanya membahas bukan suatu segitiga tertentu, melainkan segitiga pada umumnya.  Rasio  mempunyai kemampuan  “melepaskan” esensi dari benda-benda konkret sebagai proses abstraksi.  Kata substansi berarti “yang berdiri sendiri”. Sesuatu merupakan “substansi” jika sesuatu itu dapat menerima keterangan-keterangan, sedang sesuatu itu sendiri tidak dapat di tambah sebagai keterangan pada sesuatu yang lain. Di samping substansi terdapat “aksiden”(simbebekos)  yaitu suatu hal yang tidak berdiri sendiri tetapi hanya dapat di kenakan pada sesuatu yang lain yang berdiri sendiri . Aksiden hanya bisa berada dalam suatu substansi dan tidak pernah lepas daripadanya. Warna merah misalnya tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari suatu substansi. Kita tidak pernah bertemu dengan “merah” begitu saja, tetapi kita melihat suatu gambar merah, memakai topi merah dan sebagainya. Jadi, kata “merah” hanya dapat berfungsi sebagai keterangan yang di kenakan pada suatu substansi. Contoh lain, tentang Sokrates, kata “manusia” di pakai sebagai substansi, tetapi “muda”, ”tua “, “duduk” semua merupakan aksiden-aksiden yang di kenakan pada  substansi (manusia).

9. Tentang Metafisika
Menurut Aristoteles, kosmos  terdiri dari dua wilayah dengan sifat berbeda; 1) terdapat wilayah sublunar ( di bawah bulan atau bumi) dan 2) terdapat wilayah jagat raya; bulan, planet-planet, dan bintang-bintang.  Pertama: bumi terdiri empat anasir (api, udara, tanah, dan air). Semua badan  di bumi  merupakan badan tunggal atau badan majemuk. Badan tunggal terdiri dari salah satu anasir dalam keadaan tidak tercampur sedang badan majemuk di bentuk oleh dua anasir atau lebih. Setiap anasir menuju ke tempat kodrati (“ lokus naturalis”) dalam gerak garis lurus dan berat-ringannya didasarkan gerak kodratinya— Api dan udara; ringan karena membubung ke atas sedang tanah dan air; berat karena bergerak ke arah pusat bumi. Sekalipun masing-masing anasir  terpisah dari anasir-anasir lain, namun terdapat kemungkinan satu anasir berubah menjadi anasir lain. Kedua,  badan-badan jagat raya di luar bumi: semua terdiri dari suatu anasir lain—anasir kelima, yaitu aether.  Anasir ini tidak  musnah dan tidak  berubah menjadi anasir lain. Gerak kodrati zat ini bukan  garis lurus tetapi gerak lingkaran. Menurut Aristoteles, jagat raya di bentuk oleh beberapa lingkaran (“spheres”)  dari aether dan masing-masing lingkaran pada revolusinya mengangkut badan-badan jagat raya (juga dari aether) yang melekat padanya.
Teorinya mengenai gerak dan physica—bahwa segala sesuatu yang bergerak menerima geraknya dari sesuatu yang lain—dan   penyelidikannya tentang substansi mengenai ajaran  Allah,  Aristoteles kemudian  menegaskan pendiriannya tentang  “Penggerak pertama yang tidak di gerakkan”: gerak dalam jagat raya tidak mempunyai permulaan maupun penghabisan—karena setiap yang bergerak di gerakkan oleh suatu yang lain, perlulah menerima satu Penggerak Pertama yang menyebabkan gerak itu, tetapi Ia sendiri tidak di gerakkan.  Pengerak Pertama bersifat abadi temasuk gerak yang di sebabkan olehnya—Penggerak ini bukan materi (tapi immateri) karena segala yang mempunyai materi mempunyai potensi untuk bergerak sementara Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mempunyai potensi apapun.  Allah di anggap: Aktus Murni.
Sebagai Aktus Murni, Ia  disamakan dengan kesadaran atau pemikiran.  Aktivitasnya hanya berpikir—segala aktivitas jenis lain selalu menuntut objek yang ada di luar dan dengan itu menuntut juga ketergantungan (potensi).  Aktus pemikiran berlangsung terus dan tidak berhenti karena tidak mungkin berada dalam keadaan potensi saja.  Objek pemikirannya  paling tinggi dan paling sempurna.  Sehingga objek pemikirannya adalah pemikiran Ilahi sendiri;  Allah adalah “pemikiran yang memandang pemikirannya” (noesis noeseos, “thought of thought).  Dengan demikian Allah menikmati kebahagiaan sempurna dengan tiada henti-hentinya menjalankan aktivitas yang tertinggi dan diarahkan kepada objek yang tertinggi.  Penggerak Pertama menyebabkan gerak  jagat raya bukan sebagai penyebab efisien—karena penyebab efisien akan dipengaruhi oleh hasilnya dan karenanya akan mempunyai potensi—tetapi Allah menyebabkan sebagai penyebab final.  Aristoteles  mengungkapkan hal itu dengan suatu perkataan: “Ia menggerakkan karena di cintai” (kinei de hos eromenon: “He Produces motion as being loved”).  Segala sesuatu yang ada mengejar penggerak yang sempurna.  Gerak dalam jagat raya sama saja dengan menuju Allah.  Tetapi Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mengenal atau mencintai sesuatu yang lain dari pada dirinya sendiri—karena kalau Allah mengenal dunia Dia juga  mempunyai potensi dan bukan lagi Aktus Murni.  Aristoteles menegaskan hanya ada satu penggerak yang tidak digerakkan (XII, 10, 1076 a3-4).  “Dari prinsip itu (Penggerak Pertama) tergantunglah langit dan alam semesta” (XII, 7, 1072b 13-14). Dalam Buku XII  Metaphysica:  “Penggerak Pertama yang tidak di gerakkan” mengakibatkan gerak dari Penggerak Pertama yang  di gerakkan, yakni; lingkaran paling luar dengan bintang-bintang tetap. Lingkaran ini menyerahkan  gerakannya kepada lingkaran-lingkaran lain. Pada gilirannya lingkaran-lingkaran itu menyebabkan gerak yang terdapat di bumi, yaitu gerak berupa garis lurus dari keempat anasir.

10. Hidup Bahagia
Segala perbuatan manusia mengejar suatu tujuan.  Ia selalu mencari sesuatu yang baik baginya.    Menurut Aristoteles, tujuan tertinggi ialah kebahagiaan (eudaimonia).  Kebahagiaan harus disamakan dengan suatu aktivitas, bukan potensialitas belaka, karena aktus mempunyai prioritas terhadap potensi.  Manusia mendapat kesempurnaannya bukan karena potensi begitu saja tetapi  potensinya sudah mencapai aktualisasinya.  Agar benar-benar bahagia ia harus menjalankan aktivitasnya “menurut keutamaan” sebab hanya pemikiran yang disertai keutamaan (arete) membuat manusia menjadi bahagia.
Manusia bukan saja merupakan mahluk intelektual, melainkan juga mahluk yang mempunyai perasaan, keinginan, nafsu dan lain sebagainya.  Dari sebab itu, menurut Aristoteles terdapat dua macam keutamaan;  intelektual dan  moral.

a. Keutamaan moral; Aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap watak yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan.  Keutamaan selalu merupakan pertengahan antara kelebihan dan kekurangan, keselarasan dan keseimbangan.  Mempunyai sikap yang tetap bukan kebetulan  untuk memilih jalan tengah.
b. Keutamaan intelektual; rasio mempunyai dua fungsi; pertama, rasio teoritis yang  memungkinkan manusia mengenal kebenaran.  Kedua, rasio praktis yang memberikan petunjuk supaya orang mengetahui apa yang harus diputuskan dalam keadaan tertentu.

Aristoteles membedakan dua macam keutamaan yang menyempurnakan rasio:1) kebijaksanaan teoritis (sophia) dan 2)  kebijaksanaan praktis  (phronesis).  Bagi Platon tidak ada orang yang mempunyai cara hidup lebih luhur dari pada seorang filsuf.  Filsuf mengenal kebenaran dan memandang ide-ide.  Jadi hidup yang bahagia ialah hidup sebagai filsuf dan karena rasio merupakan  unsur ilahi dalam diri manusia maka menjalankan aktivitas rasio adalah suatu hidup Ilahi.