Jumat, 25 Agustus 2017

DUNIA FILSAFAT

                           DUNIA FILSAFAT

I. EXISTENSIALISM AND HUMANISM JEAN PAUL SARTRE
Filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre lahir di Paris tanggal 21 Juni 1905. Karir filsafatnya baru mendapatkan perhatian yang besar dari publik intelektual setelah ia menulis dan menerbitkan L’être et le néant. Essai d’ontologie phénomenologique (1943). Dengan buku ini segera Sartre menjadi filsuf ternama dan diidolakan sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Meskipun buku ini mengorbitkan nama Sartre namun toh harus diakui bahwa tidak begitu banyak orang yang memahami pemikirannya yang memang rumit, khususnya yang berbicara tentang kesadaran. Untuk mempopulerkan idenya itu, maka tiga tahun kemudian Sartre mengeluarkan buku kecil berjudul L’existentialisme est un humanisme (1946). Lewat buku ini Sartre menyingkatkan pemikirannya sekaligus berupaya menanggapi sejumlah kritik yang dialamatkan kepadanya[3], khususnya dari kaum komunis dan pihak Kristen.

Buku itulah yang kini ingin kami eksplorasi dalam tulisan singkat ini. Adapun tujuan dekat dari penulisan ini adalah untuk memberikan sekelumit gambaran yang lebih terang mengenai eksistensialisme sebagaimana dimaksud Sartre dan dari situ kita bisa belajar sejumlah tema umum eksistensialisme seperti liberté (kebebasan), engagement (komitmen), angoisse (kecemasan), responsibilité (tanggungjawab), subjectivité (subjektivitas) dan bahwa ‘eksistensi mendahului esensi.’ Tujuan jauh dari tulisan ini adalah agar pembaca tergerak untuk langsung membaca dari sumber-sumber pertama dan bukan melulu tergantung dari keterangan yang diberikan dalam buku Sejarah Filsafat atau kritik atasnya. Selanjutnya diharapkan agar kita dapat menjadi kritis terhadap situasi dunia di sekeliling kita, kritis terhadap ideologi-ideologi yang bertebaran di sana-sini dan tidak lupa untuk menjadi kritis terhadap pemikiran Sartre dan terhadap diri sendiri. Tulisan akan dibagi menjadi 3 bagian pokok yang satu dengan lainnya saling berkaitan, walaupun mungkin secara longgar. Bagian pertama akan berbicara tentang eksistensialisme itu sendiri dengan keberagaman nuansanya. Dalam bagian kedua, penulis akan melihat apa yang dimaksud Sartre dengan humanisme. Pada bagian ketiga akan disampaikan sejumlah kritik atas pandangan Sartre. Mengingat keterbatasan ruang pengungkapan, tidak semua tema menarik yang dihantar oleh Sartre dalam bukunya tersebut akan penulis uraikan di sini.

Penjernihan istilah Eksistensialisme oleh Sartre

Atas sekian banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya, atau kepada aliran pemikiran yang ia geluti, yaitu Eksistensialisme, Sartre menanggapinya dengan menggunakan cara menidak, “Eksistensialisme itu tidak seperti ini dan tidak seperti itu.” Eksistensialisme, misalnya dituduh sebagai nama lain dari pesimisme, quietisme[4], bahkan filsafat keputus-asaan yang sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia melainkan sisi gelap dan jahat darinya[5]. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre mengatakan bahwa kejelekan atau keburukan itu diidentikkan dengan eksistentialisme[6]. Dari pihak Komunis, Eksistensialisme juga dituduh sebagai sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu identik dengan filsafat kaum bourgeois.

Dari pihak Katolik, seperti Mlle.Mercier, dilancarkan tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal-ihwal yang memalukan, yang rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan dalam situasi konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen disakralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu melulu voluntary. Artinya, bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai.

Ada lagi yang berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam ke-terisolir-annya. Dan ini, dalam pandangan kaum komunis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya pada subjektivitas murni---seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cogito-nya---karenanya, eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang tentang solidaritas.

Namun, apakah memang tepat tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Sartre dan eksistensialisme ini? Bagaimana Sartre membela dirinya dan membela paham yang ia anut? Pertama, ia sendiri juga menyayangkan bahwa istilah “eksistensialisme” dipakai secara teramat longgar untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda, dan radikal sehingga istilah “eksistensialisme” nyaris tidak punya arti apa-apa lagi[7]. Kedua, guna meluruskan salah-kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendefinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human universality of condition[8]. Dua definisi yang baru saja disebut di sini hanyalah awalan saja. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa eksistensi itu (hadir) mendahului esensi[9] dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif. Apa maksud Sartre dengan proposisi ini?

Secara sederhana, Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan maksud dari “bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi.” Ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife).[10] Seorang pembuat pisau kertas, disebut artisan, tentu mempunyai konsepsi terlebih dahulu di benaknya apa yang mau ia buat, kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu, yaitu keseluruhan dari rumusan pembuatan (formulae) serta kualitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Dengan kata lain, produksinya mendahului eksistensinya. Di sini, kita memandang dunia dari sudut pandang teknis. Namun, hal itu berbeda tatkala kita membayangkan Allah sebagai Sang Pencipta yang berarti mengatribusikan padaNya kualitas “seorang” supernatural artisan. Apapun doktrin yang kita anut mengenai penciptaan ini, kita selalu mengandaikan bahwa tatkala Allah menciptakan, Ia tahu persis apa yang sedang Ia ciptakan. Dengan begitu,  tiap individu manusia adalah realisasi dari konsepsi tertentu yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan begitu, manusia memiliki kodrat tertentu (human nature). Artinya konsepsi tentang esensi dirinya, di mana masing-masing manusia adalah sebuah contoh khusus dari suatu konsepsi universal: konsepsi tentang Manusia, entah itu animal rationale (Aristoteles), atau wild man of the woods (Rousseau), man in the state of nature (Thomas Hobbes), dan the bourgeois (Karl Marx).

Justru pandangan di mana “esensi manusia mendahului eksistensinya” seperti ini yang keliru dan dikritik tajam oleh Sartre. Bagi Sartre, jika Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya ada sebelum esensinya, sebuah makhluk yang eksis sebelum ia dibatasi oleh macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu adalah manusia.

Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan “eksistensi mendahului esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia). Singkatnya, Manusia adalah[11].

Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama dari eksistensialisme: Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya?

Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis----bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?

Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya ini yaitu tentang humanisme.

Humanisme dalam pandangan Sartre

Di atas sudah kita singgung secara sepintas bahwa Sartre menempatkan martabat manusia lebih luhur daripada benda-benda. Dengan ini saja kita bisa beranggapan bahwa yang menjadi pusat perhatian Sartre adalah manusia dengan segala kompleksitas eksistensinya. Pandangan Humanisme yang kalau kita lacak dalam sejarah pemikiran Barat sebenarnya bertolak dari gerakan Humanisme di Eropa pada abad ke-15 dengan tokohnya yaitu Erasmus Huis. Gerakan Humanisme ini mencapai puncaknya pada saat Revolusi perancis (k.l. 1789-1799) di mana kebebasan (liberté), kesetaraan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) menjadi tiga pilar pokok yang mendasari kesadaran tidak hanya manusia sebagai individu yang bebas dan otonom (dalam artian menentukan dirinya sendiri), namun juga kesadaran akan nilai intrinsik dari manusia itu sendiri dan tempatnya sebagai pusat dari realitas. Lalu, apakah Sartre sebenarnya hanya mengulangi apa yang sudah didengung-dengungkan beberapa ratus tahun sebelumnya dengan mengatakan humanisme? Apa yang baru dalam konsepsi Sartre tentang humanisme? Apa hubungannya eksistensialisme dengan humanisme?

Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya[12].  Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement). Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan dan kemanusiaan, dan untuk itu Allah harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip Dostoevsky[13], “Jika Allah tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan.” Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre. Manusia lantas tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan terhitung sejak ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action dan bukan quietism. Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life is.”[14] Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia. Namun tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. A man is no other than a series of undertakings that he is the sum, the organisation, the set of relations that constitute these undertakings. Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. I ought to commit myself and then act my commitment. Dan komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.

Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri, satu-satunya hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme yang  mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada materi[15], Sartre mau membangun kerajaan manusia (bukan Kerajaan Allah!) sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi. Subyektivitas sebagaimana sudah disinggung pada bagian satu di atas tidak bisa dipersempit artinya menjadi individual subjectivism. Sebabnya apa? Meminjam istilah yang digunakan Descartes, namun sekaligus mengoreksinya, dalam kesadaran cogito, aku berpikir, tidak hanya diri sendiri yang ditemukan namun juga orang lain. Manusia tidak bisa menjadi apapun kecuali kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian. Penyingkapan jati diriku pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang lain sebagai sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasanku. Berhadapan baik dalam artian “bagi” atau “melawan.” Dengan begitu, kesadaran akan diriku dalam dunia ini sifatnya adalah inter-subjectivity. Berkenaan dengan itu, meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre mengakui adanya a human universality of condition. Tanpa bermaksud masuk ke dalam detil dari uraian ini, cukuplah dikatakan di sini bahwa human universality ini bukan sesuatu yang sudah jadi (given), namun yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan tindakan pemilihan lagi dan lagi selama hidupnya.

Sebagai penutup dari bagian ini, kiranya pantas diajukan argumen ketiga yang memberikan ciri pada humanisme Sartre. Berangkat dari keberatan yang diajukan pada Sartre, “nilai-nilaimu itu tidaklah serius sebab bukankah kamu sendiri yang memilih mereka,”[16] Sartre menyanggahnya demikian. Pertama, Sartre sudah menekankan bahwa tidak ada Tuhan yang menciptakan nilai-nilai bagi manusia. Manusia sendirilah yang harus menemukan (invent dan bukan create) nilai-nilai bagi dirinya sendiri. Dan penemuan nilai-nilai ini berarti bahwa tidak ada yang à priori dalam hidup. Hidup belumlah apa-apa jika belum dihayati. Dan penghayatan ini, engkau sendirilah yang menetukannya. Dan nilai atau makna atas kehidupan ini tak lain tak bukan adalah sesuatu yang engkau pilih. Karenanya menjadi jelas bahwa selalu ada kemungkinan untuk menciptakan sebuah komunitas manusia. Dengan itu, Sartre mau menegaskan bahwa yang ia maksud dengan humanisme di sini bukanlah humanisme dalam kerangka teori yang meninggikan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan sebagai nilai tertinggi (supreme value).[17] Bagi Sartre ini humanisme yang absurd sebab hanya anjing atau kuda yang paling mungkin berada dalam posisi untuk melontarkan penilaian umum atas apa manusia itu. Seorang eksistensialis tidak pernah menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab manusia masih harus ditentukan[18]. Humanity yang absurd semacam ini akan menggiring manusia pada pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-dirinya-sendiri sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste Comte (Comtian humanism), dan berpuncak pada Fascisme.

Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Karena manusia adalah makhluk yang mampu melampaui dirinya sendiri, self-surpassing, dan mampu meraih obyek-obyek hanya dalam hubungannya dengan ke-self-surpassing-annya, maka ialah yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya (bukan dalam pengertian bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam pengertian self-surpassing). Dan relasi antara transendensi manusia dengan subjectivitas (dalam pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri melainkan selalu hadir dalam semesta manusia) itulah yang disebut Sartre dengan existential humanism. Ini disebut humanisme karena mengignatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindak[19] secara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.

Kritik dan tanggapan atas pandangan Sartre

Jeff Mason dalam tulisannya di philosophers.net[20] pernah mengatakan bahwa lebih indah dan lebih aman bagi manusia jika ia memiliki esensi lebih dulu daripada eksistensi. Ia dapat beristirahat dengan damai dalam relung nasib dan tidak perlu berjuang dengan susah-payah untuk mendefinisikan diri. Kalau itu yang terjadi, tidak perlu ada pilihan-pilihan eksistensialis, tidak akan ada tanggungjawab yang tak terpikul, tidak akan ada kecemasan yang mengalir. Kiat tinggal berharap akan imortalitas dan dunia “di sana.” Namun justru di sinilah kritik Sartre masuk dan mengena. Kita tidak bisa menipu diri sendiri (self-deception atau istilah Sartre mauvaise foi) dengan menghindar dari tanggungjawab pelibatan (engagement), lebih-lebih dalam artian sosial-politis. Walter Kaufmann bagaimanapun juga menafsirkan situasi manusia yang Sartre bangun dengan filsafatnya sebagai situasi yang absurd dan tragis. Dunia Sartre lebih dekat dengan dunia Shakespeare yang tragis-melankolis daripada dunia dalam pandangan Buddhist di mana life follows on life and salvation remains always possible[21]. Berikutnya...

Ada situasi-situasi tertentu di mana apapun keputusan dan pilihan yang kita buat, kita tidak bisa lari dari rasa bersalah. Walau demikian, dalam rasa bersalah dan kegagalan itu manusia tetap dapat mempertahankan integritasnya dan memberontak terhadap kungkungan-kungkungan maupun ancaman-ancaman yang datang dari dunia.[22]

Mengenai kebebasan sebagaimana didewakan Sartre dalam mengartikan eksistensi eksistensi=kebebasan), kita mungkin bisa meratap bersama John Macquarrie yang mengatakan bahwa semakin kita berbicara tentang kebebasan, semakin kebebasan itu tidak menjadi jelas artinya karena sifatnya yang elusif[23]. Sudah barang tentu, Sartre agak naïve saat mengatakan bahwa manusia itu bebas secara total dan sepenuhnya menentukan dirinya sendiri. Frederick Copleston lebih realistis tatkala berkomentar bahwa kebebasan kita itu sudah barang tentu dibatasi oleh segala macam faktor-faktor baik internal maupun eksternal. Apa saja misalnya? Faktor-faktor fisik dan psikis, lingkungan, pemeliharaan, pendidikan, tekanan sosial yang dihimpitkan pada kita secara terus menerus tanpa kita sadari[24] (atau bagi saya, lebih tepatnya, tatkala kita masih belum sampai pada tahap kesadaran untuk menyadari sesuatu yang membentuk diri kita). Mungkin yang baik saya anjurkan di sini, belajar dari Sartre, adalah  bahwa manusia itu dalam menentukan dirinya, ia terbuka terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan (opennes to possibilities). Dalam ruang kemungkinan-kemungkinan yang tanpa batas itulah manusia eksis, bertindak, mewujudkan dirinya dan setia terhadap janjinya (komitmen) dalam mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Dalam konteks sejarah di mana Sartre hidup (dunia yang dicabik-cabik oleh dua perang dunia, invasi tentara Jerman ke kota Paris pada tahun 1940, kekejaman NAZI atas nama ‘kemanusiaan’ demi pemurnian ras yang berujung pada puncak tragedi kemanusiaan selama abad ke-20 yaitu peristiwa Holocaust.) kritik dan filsafat Sartre ini memang kuat bersuara dan dengan lantang mengkritik orang-orang yang menipu dirinya sendiri, khususnya para penguasa/régime yang menyalahgunakan kekuasaannya dan melecehkan harkat kemanusiaan, entah dengan excuse ilmiah dan demi kemajuan (lalu bertindak kejam dan absurd) maupun dengan menghindar dari tanggungjawab sosial sembari berkata “kami tidak bisa berbuat apa-apa. Itu di luar kuasa kami. Itu sudah merupakan keniscayaan sejarah.”

Kini, puluhan tahun sesudah Sartre menerbitkan bukunya Existentialism and Humanism, kita dipanggil untuk menemukan otentisitas (authenticité) diri kita sebagai individu di tengah kepungan fenomena massa yang tanpa identitas dan juga dalam arus kemajuan teknologi-informasi yang semakin cepat berkembang di satu sisi namun juga semakin cepat mendevaluasi martabat manusia di sisi lain; dalam budaya pop yang menyetir keinginan-keinginan manusia dan pada gilirannya menentukan diri manusia (dan berarti merampas hak manusia untuk menentukan dirinya sendiri: self-determination). Bagaiamanapun, pesan filosofis dan analisis Sartre atas situasi manusia pada zamannya masih tetap relevan hingga kini.

Catatan Kaki :
[1] Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism. Translated from ‘L’Existentialisme est un humanisme’, Paris: Les Editions Nagel (1946), Translation and Introduction by Philip Mairet,London: Eyre Methuen Ltd, 1948.
[2] Pada bagian pengantar ini, penulis mengutip sebagian dari deskripsi historis yang disampaikan Prof. Dr. K. Bertens dalam Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Prancis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 84-86.
[3] Keyakinan ini sudah dikatakan oleh Sartre di bagian paling awal dari bukunya tersebut, “Tujuan saya menulis buku ini adalah untuk membela eksistensialisme dari sejumlah kritik yang ditujukan padanya.” (ibid. hlm. 23)
[4] Pengertian Quietisme di sini, sebagaimana disebutkan Sartre sendiri, adalah sikap orang yang berkata “biarkan orang lain mengerjakan apa yang tidak bisa kukerjakan.” (ibid. hlm. 41) Quietisme di sini dekat dengan pengertian non-doing, atau bahkan, seperti yang sering dikritik Sartre, cara hidup abad pertengahan: via contemplativa. Dan bukan via activa, hidup yang melibatkan diri dengan persoalan real yang dihadapi masyarakat, termasuk menceburkan diri ke dalam alam politik. Untuk pembedaan yang lebih terelaborasi mengenai tema ini (via activa vs. via contemplativa), lihat karya Hannah Arendt, The Human Condition, New York: Double Day Press, 1957.
[5] Ibid., hlm. 24, “The essential charge laid against us is that of over-emphasis upon the evil side of human life.” Di tempat lain ia mengatakan bahwa ada sejumlah orang yang mengeluh, “that existentialism is too gloomy a view of things.” (ibid., hlm. 25)
[6] Ibid. Di sini Sartre agak humoris dengan mengambil contoh dari seorang wanita yang saat terkaget atau sedang stress lalu mengumpat dengan kata-kata vulgar,  dan setelahnya memaafkan dirinya dengan berkata “I believe I am becoming an existentialist.”
[7] Ibid.,  hlm. 25-26.   [8] Ibid.,  hlm. 46.    [9] Ibid., hlm. 26.
[10] Yang dimaksud dengan paper knife ini bisa jadi berupa cutter (pemotong kertas) atau pembuka surat yang bentuknya memang seperti pisau tetapi ujungnya majal. Namun yang penting di sini bukan contoh benda konkretnya melainkan bagaimana Sartre menjelaskan analogi eksistensi dan esensi dengan menggunakan contoh benda-benda konkret.
[11] Ibid., hlm. 28. pantas dikutip secara panjang lebar di sini apa yang dikatakan Sartre, yang menurut hemat saya, menjadi  pemikiran sentral Sartre atas siapakah manusia itu. Dikatakan, “What do we mean by saying that existence precedes essence? We mean that man first of all exists, encounters himself, surges up in the world---and then defines himself afterwards. If man as the existentialist sees him is not defineable, it is because to begin with he is nothing. He will not be anything until later, and then he will be what he makes of himself. Thus, there is no human nature, because there is no God to have a conception of it. Man simply is.”
[12] Ibid., hlm. 33
[13] Dostoevsky dalam The Brothers Karamazov sebagaimana diucapkan oleh tokoh utama dalam cerita itu, Ivan.    [14] Ibid., hlm. 41.
[15] Ibid., hlm. 45. Dikatakan di situ, “All kinds of materialism lead one to treat everyman including oneself as an object---that is a set of pre-determined reactions, in no way different from the patterns of qualities and phenomena which constitute a table, or a chair or a stone.”   [16] Ibid., hlm. 54.
[17] Ini kritik Sartre atas humanisme à la Era Pencerahan (Aufklärung) yang terutama berpuncak pada imperatif kategoris Kant yang kedua yang kira-kira berbunyi demikian, “Perlakukanlah manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan bukan sebagai sarana atau alat untuk mencapai sesuatu”
[18] oleh dirinya sendiri dan bukan oleh kategori-kategori yang dipaksakan dari luar dirinya seperti dari tradisi atau pepatah bijak masa lalu.    [19] Sartre, op. cit., hlm. 56.
[20] Jeff Mason, Sartre"s Existential Humanism Part 1 taken from http://www.philosophersnet.com/article.php?id=172
[21] Walter Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky to Sartre,Cleveland: The World Publishing Company, 1956, hlm. 47
[22] Bisa dibandingkan dengan integritas tokoh Ibbieta yang teruji di hadapan maut (regu tembak) dalam Novel “Dinding” (Le Mur, Editions Gallimard, 1939, hlm. 9-35) karya Sartre
[23] John Macquarrie, Existentialism , Middlesex-England: Penguin Books, 1972, hlm. 138. Dikatakan di situ, “But how can we talk at all of freedom or try to conceptualize it? However we try to grasp it, it seems to elude us. However precious we may esteem it, by its very nature it is insubstantial and fleeting.”
[24] Frederick Copleston, A History of Philosophy: From Bergson to Sartre; Chapter XVI ∓mp; XVII: The Existentialism of Sartre, Garden City, Doubleday Co.: Image Books, 1962, hlm. 355.








DIALEKTIKA MATERIALIS ~Jack Trotsky~
Bila masalah-masalahnya tidak dibatasi sekedar tentang kehidupan sehari-hari, maka dialektika dapat memahami masalah-masalah yang lebih rumit dan bisa mengerti proses-proses mendesak yang harus diperbincangkan. Jadi, dialektika merupakan suatu pengetahuan mengenai bentuk pemikiran, yang bukan fiksi atau mistik. Perbandingan antara logika dialektik dan logika formal, dilihat dari bobotnya, menyerupai suatu hubungan antara matematika tingkat tinggi dengan matematika tingkat rendah.

Disini aku akan mencoba untuk membuat sketsa substansi masalah dalam sebuah format yang sangat ringkas. Silogisme sederhana logika Aristotelesian bermula dari preposisi bahwa “A” sama dengan “A”. Postulat tersebut diterima sebagai sebuah aksioma bagibanyak sekali tindakan praktis manusia dan jenaralisasi-jeneralisasi elementer.Tapi, pada kenyataannya, “A” bisa tidak sama dengan “A”. Hal tersebut mudahuntuk kita buktikan jika kita meneliti dua huruf tersebut di bawah sebuah lensa pembesar _satu dengan yang lainnya sama sekali berbeda. Namun, orang bisa saja berkeberatan karena hal-hal lain (misalnya) semata-mata simbol bagi kwantitas-kwantitas yang sederajat, contohnya, satu pon gula, masalahnya bukan ukuran atau bentuk darihuruf-huruf tersebut. Keberatan tersebut tidaklah penting; pada kenyataannya satu pon gula tidakpernahsama persis dengan satu pon gula lainnya _ sebuah pengukuran yangtelitiselalu menyingkapkan adanya penyimpangan. Lagi-lagi orang dapatberkeberatan : tapi satu pon gula adalah sama dengan dirinya sendiri. Ini juga tidak benar _ semua bentukan tanpa bisa dicegah berubah dalam ukuran, berat, warna, dan lain sebagainya. Semua tak pernah sama dengan dirinya sendiri. Seorangsophis akan menganggap bahwa satu pon gula adalah sama dengan dirinya sendiri “pada saattertentu”.

Terlepas dari nilai praksis yang ekstrim, yang meragukan “aksioma” tersebut, ia takkan bertahan juga terhadap kritisisme teoritis. Bagaimana kita seharusnya benar-benar memahami kata “saat”? jika ia adalah interval waktu yang sangat kecil, maka satu pon gula didudukkan sebagai sasaran selama berlangsungnya “sat” tersebut, dan oa  tunduk pada perubahan-perubahan yang tak dapat dielakkan. Atauapakah “saat” adalah sebuah abstraksi yang murni matematis , yaitu, sebuah kehampaan yang terlepas dariwaktu? Tapi, semua hal eksis dalam waktu; dan eksistensi sendiriadalah sebuah proses yang tak berhenti dari transformasi; waktu secara konsekwen adalahsebuah elemen fundamental bagi eksistens. Jadi aksioma “A” adalah sama dengan “A” _ yang menandai bahwa suatu hal adalah sama dengan dirinya sendiri _berlakujika ia tidak berubah, itu artinya jika ia tidak eksis.
Secara sepintas kelihatannya “kepelikan-kepelikan tersebut tak ada gunanya. Dalam realita, hal-hal tersebut sangat menentukan arti. Di satu sisi, aksioma “A” sama dengan “A” muncul sebagai titik keberangkatan bagi semua pengetahuankita tapi, di sisi lain, ia juga merupakan titikkeberangkatan segala kekeliruan dan kesalahan dalam pengetahuan kita. Penggunaan aksioma “A”sama dengan “A” yang bebas resikohanyalah mungkin jika ada batasan-batasan pasti. Ketika tugas-tugas interupsi, intervensi atau gangguan yang adatidak berarti bagi perubahan-perubahan kuantitatif “A”, maka kemudian kita bisa memperkirakan bahwa “A”adalah sama dengan “A”. conthnya adalh cara ketika seorang pembeli dan penjual memperhitungkan kepastian, kepastian satu pon gula: apakah kita tidak harusmempertimbangkan suhu matahari? Sampaisaat ini, kita mempertimbangkan kekuatan mata uang dolar dengan cara yang sama. Tetapi perubahanperubahan kuantitatif, yang mendobrak batasan-batasanpasti, terkonversi menjadikualitatif. Ketika satu pon gula tunduk pada tindakan suhu (matahari), air, ataubensin, berhentu ialah menjadi satu pon gula. Satu dolar dari tangan presiden berhenti sebagai satu dolar. Menentukan titik kritis pada saat yang tepat, saat kwantitas berubahmenjadi kwalitas, adalah merupakan tugas yang paling penting serta paling susah di dalam semua bidang pengetahuan, termasuk sosiologi.

Setiap pekerja mengetahui bahwa mustahil membuat dua benda yang sepenuhnya sama, karenanya diperkenankan adanya sebuah deviasi atas kedua benda tersebut yang, bagaimanapun, tidak boleh melewati batasa-batasan tertentu (itu yang disebut toleransi). Mengamati norma-norma toleransi,intinya adalah mempertimbangkan kesetaraan (“A” adalah sama dengan “A”). Saat toleransi menjadi berlebihan, maka kwantitas berlanjut menjadi kwalitas; dengan kata lain, benda tersebut menjadi inferior atau sepenuhnya tak berharga, rusak.

Pemikiran ilmiah kita hanyalah salah satu bagian dari keseluruhan tindakan praktek kita, termasuk teknik-teknik. Dalam konsep-konsep, eksisitensi “toleransi” juga diperkenankan. Toleransi tersebut ditegakkan bukan dengan logika formal yang berasal dari aksioma “A”sama dengan “A”, tapi dengan logika dialektik yang berasal dari aksioma bahwa semua hal selalu berubah. “Akal sehat” dikarakterisasi oleh kenyataan bahwa ia secara sistematis melampaui “toleransi” dialektik.

Pemikiran vulgar juga beroperasi dalam konsep-konsep seperti kapitalisme, moral, kebebasan, negara pekerja, dan lain sebagainya. Sebagai abstraksi-abstraksi pasti, diperkirakan bahwa kapitalisme adalah sama dengan kapitalisme, moral adalah sama dengan moral, dan seterusnya.pikiran dialektik menganalisa semua hal dan fenomena dalam perubahannya yang terus menerus berlangsung, sambil menetapkan kondisi-kondisi material bagi perubahan-perubahannya, yang batas-batas kritisnya di luar atau tidak dalam pengertian “A” berhenti menjadi “A”, negara pekerja berhenti menjadi negara pekerja.

Kekurangan fundamental pemikiran vulgar terletak dalam kenyataan bahwa ia berharap dapat mengisidirinya sendiri dengan cetakan tetap (tak berubah) suatu realitas _ yang, sebnarnya, mengandung gerak abadi. Dengan cara memperketat perkiraan-perkiraan, koreksi-koreksi, kongkritisasi; pemikiran dialektik memberikan sebuah kekayaan mengenai isi dan fleksibelitas konsep-konsep; bahkan bisa aku katakan bahwa suatu kelambnan dalam bidang tertentu membawanya lebih dekat pada fenomena yang nyata hidup. Bukan kapitalisme secara keseluruhan, melainkan suatu kapitalisme tertentu pada suatu tahap perkembangan tertentu. Bukan suatu negara pekerja secara keseluruhan, tetapi suatu negara pekerja tertentu dalam sebuah negara terbelakang, dalam sebuah pengepungan kaum imperialis, dan lain sebagainya.

Hubungan antar pemikiran dialektik dengan pemikran vulgar, dengan cara yang sama, seperti analogi hubungan antara film yang bergerak (motion picture) dengan foto yang ajeg. Film yang bergerak tidak berada di luar hukum foto yang ajeg tapi mengkombinasikan suatu urutan foto-foto tersebut yang sesuai dengan hukum-hukum gerak. Dialektika tidak mengingkari silogisme, tapi mengajari kita untuk menggabungkan silogisme dalam cara yang sedemikian rupa agar pengertian kita bisa menjadi lebih dekat pada realitas yang berubah secara abadi. Dalam bukunya, Logic, Hegel menetapkan satu rangkaian ketentuan-ketentuan: perubahan kwantitas menjadi kualitas, perkembangan melalui kontradiksi, konflik mengenai isi dan bentuk, interupsi terhadap kontinuitas, perubahan kemungkinan menjadi hal yang tak dapat dihindarkan (niscaya), dan lain sebagainya.., yang sama pentingnya bagi pemikiran teoritis, sepenting silogisme sederhana dalam tugas-tugas yang lebih elementer.

Hegel menulis sebelum Darwin dan Marx. Terima kasih Hegel pada dorongan kuat yang diberikan Revolusi Prancis (pada perkembangan pemikiran) tercermin saatia mengantisipasi gerakan ilmu pengetahuan secara menyeluruh. Tapi, karena hanyalah semata-mata suatu antisipasi, meskipun dilakukan oleh seorang jenius, maka Hegel tak dapat terlepas dari ciri idealismenya. Hegel mengoperasikan bayang-bayang ideologis sebagai realitas terakhir. Marx menunjukkan bahwa gerak bayang-bayang ideologis tersebut tidak merefleksikan apa-apa kecuali merupakan gerak dari tubuh-tubuh materi.

Kita menamakan dialektika kita, materialis, sebab ia tak berakar baik di surga maupun di kedalaman “kehendak bebas” kita, melainkan dalam realitas objektif, dalam alam. Kesadaran timbul dari bawah sadar, psikologi dari fisiologi, dunia organi dari dunia inorganik, galaksi dari nebula. Ditiap undakan tangga perkembangan tersebut, perubahan-perubahan kwantitatif ditransformasikan menjadi kwalitatif.  Pikiran kita, temasuk pikiran dialektik, hanyalah suatu bentuk ekspresi zat yang berubah. Dalam sistem ini tak tersedia tempat bagi metafisika, setan, jiwa akal, tidak juga norma-norma abadi dari hukum dan moral. Dialektika pemikiran, yang timbul dari dialektika alam,  secara konsekwen memiliki karakter  yang seluruhnya materialis. Darwinisme, yang menjelaskan evolusi spesies melalui transformasi kwantitatif berlanjut menjadi kwalitatif, merupakan suatu kemenangan tertinggi dialektika dalam seluruh lapangan yang mengurusi perkara organik.  Kemenangan besar lainnya adalah penemuan tabel berat atom unsur kimia dan transformasi lebih lanjut dari suatu elemen  menjadi elemen lainnya.

Secara erat transformasi-transformasi tersebut (spesies, elemen, dan lain sebagainya) berkaitan dengan masalah klasifikasi, sama pentingnya bagi ilmu alam juga ilmu sosial.  Sistem Linneaus (abad ke-18) mempergunakan imutabilitas spesies sebagai titik awalnya, terbatas pada deskripsi dan klasifikasi pertanian yang sesuai dengan karakteristik-karakteristik abadinya.  Periode awal (kanak-kanak/infantil) botani adalah analogis dengan periode awal logika, karena bentuk-bentuk pemikiran kita berkembang sperti semuahal yang hidup. Hanya penyangkalan yang tak dapat disanggah _ dengan ditemukannya perkembangan/ perubahan spesies yang ada sekarang, dengan adanya studi mengenai sejarah evolusi peranian dan anatominya _ bisa menyiapkan basis bagi suatu klasifikasi yang benar-benar ilmiah.

Marx, yang berbeda dengan Darwin, adalah seorang dialektikus yang sadar, berhasil menemukan basis bagisuatu klasifikasi ilmiah mengenai masyarakat-masyarakat manusia dalam perkembangan  tenaga-tenaga produktif dan struktur kepemilikannya, yang membentuk anatomi masyarakat. Marxisme memberikan substitusi _ berupa sebuah klasifikasidialektika materialis _ bagi klasifikasi vulgar dalam menganalisa masyarakat dan negara yang, bahkan hingga sekarang, masih tumbuh subur dalam berbagai universitas. Hanya dengan menggunakan metode Marx lah  dimungkinkan bisa ditentukan secara benar apakah itu konsep mengenai sebuah negara pekerja maupun juga momen keruntuhannya.

Kita lihat sendiri, semua itu sama sekali tak mengandung hal-hal yang “metafisik” atau “skolastik” _ ungkapan ketidaktahuan yang congkak. Logika dialektika mengungkapkan hukumgerak dalam pemikiran ilmiah kontemporer, dan perjuangan menentangdialektika materialis, sebaliknya, mencerminkan masa lalu yang berjarak, konservatisme borjuis kecil, keangkuhan diri para pengusung rutinitas universitas, dan… sekilat harapan bagi kehidupan yang berubah.














Filsafat Manusia Menurut Para Filsuf

Banyak tulisan modern sarat dengan perasaan absurditas, kebosanan, kemuakan dan ketidak-artian. Bagaimana timbulnya semua perasaan muram ini? Jelaslah antara lain karena dua kali terjadi perang dunia yang disertai badai kekerasan, kebencian serta ketidak-manusiawian dan mengakibatkan korban berjuta-juta, ditambah lagi semua pengungsi dan orang yang kehilangan tempat tinggal. Barangkali yang paling buruk bukanlah kekerasan fisik, melainkan pembusukan kepribadian serta hati nurani karena perang memaksa manusia memainkan peranan-peranan di mana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan mengkhianati keterlibatannya. Perang seolah-olah mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menghancurkan kemungkinan untuk bertindak dengan cara yang sungguh-sungguh manusiawi. Pertanyaan yang menarik bagi kita ialah apakah kita sebagai pribadi atau sebagai masyarakat, masih sanggup memberikan suatu makna kepada kehidupan kita. Kita berefleksi tentang diri kita sendiri dan tentang pertanyaan eksistensial ini: apakah hidup kita masih mempunyai makna? Dan kalau masih ada makna yang bagaimana? Dalam tulisan ini kami berusaha untuk menampilkan beberapa filsuf yang representatif berbicara mengenai manusia. Beberapa thema yang penting yang menjadi pokok pembahasan yang digeluti misalnya seperti tentang siapakah manusia (Sokrates), makna tertinggi keberadaan manusia (Plato), esensi atau hakekat manusia (Descartes), eksistensi manusia (Kierkegaard, Sartre), tubuh manusia (Plato, Marcel). Dan akhirnya kami mengakhiri tulisan ini dengan sebuah mini eksegese dari tulisan Paulus kepada jemaat di Roma (pasal 12:1-2) yang menurut hemat kami menjadi jawaban yang mengakhiri semua perdebatan filsuf-filsuf tentang manusia.

PRE-SOKRATES --- SOKRATES
Pada permulaan perkembangan pemikiran filsafat Yunani, tampaknya semata-mata berurusan dengan dunia fisik saja. Kosmologi jelas amat mengungguli penyelidikan-penyelidikan dalam cabang-cabang filsafat lainnya.
· Mazhab Milesian mengembangkan filsafat jasmaniah.
· Mazhab Pythagorean mengembangkan filsafat matematis. Aliran ini berpendapat bahwa unsur-unsur kualitatif kosmos berasal dari unsur-unsur kuantitatif, yaitu bilangan-bilangan. Mazhab ini juga menaruh perhatian yang dalam pada masalah manusia, tetapi terutama dari sudut keagamaan di dalam kelompok tertutup tempat mereka hidup.
· Para pemikir Eleatik menjadi orang-orang pertama yang menggariskan cita-cita logika. Mereka menegaskan bahwa hanya rasio yang dapat membuka jalan ke arah Ada yang benar dan nyata.
· Heraklitos berdiri pada garis perbatasan antara pemikiran kosmologis dan pemikiran antropologis. Dia menolak konsep tentang Ada yang dikemukakan Mazhab Eleatik. Bagi dia, pengenalan indrawi menjadi titik tolak yang terpecaya meskipun ia sangat menjunjung tinggi rasio (logos) sebagai kemampuan untuk mengenal, namun rasio itu sama bergerak dan terlibat dalam proses menjadi seperti segala sesuatu yang ada.
· Protagoras, seorang sofis, mengatakan bahwa bukanlah Ada yang menentukan pengenalan kita, melainkan pengenalan kita yang menentukan Ada. Jadi bukan obyektivisme, melainkan subyektivisme. Oleh sebab itu dia berpendapat bahwa "manusia adalah tolok ukur untuk segala-galanya".

Meskipun mereka tergolong filsuf alam, namun Heraklitos sudah yakin bahwa mustahil menyelami rahasia alam tanpa mempelajari rahasia manusia. Kita harus memenuhi tuntutan akan pengenalan diri bila kita hendak tetap menguasai realitas dan memahami maknanya. Oleh sebab itu Heraklitos menyebut seluruh filsafatnya dengan dua kata edizesamen emeoton ("Aku mencari diriku sendiri"). Namun kecendrungan berpikir yang baru ini, baru matang pada masa Sokrates, sehingga persoalan tentang manusia merupakan patokan yang membedakan pemikiran Sokrates dengan pemikiran pre-Sokrates. Ungkapan Sokrates yang sangat terkenal adalah "kenalilah dirimu sendiri". Manusia adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. Sokrates berkata dalam Apologia, "Hidup yang tidak dikaji" adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Bagi Sokrates, manusia adalah makhluk yang bila disoroti pertanyaan yang rasional dapat menjawab secara rasional pula. Menurut Sokrates, hakekat manusia tidak ditentukan oleh tambahan-tambahan dari luar, ia semata-mata tergantung pada penilaian diri atau pada nilai yang diberikannya kepada dirinya sendiri. Semua hal yang 'ditambahkan dari luar' kepada manusia adalah kosong dan hampa. Kekayaan, pangkat, kemasyhuran dan bahkan kesehatan atau kepandaian semuanya tidak pokok (adiaphoron). Satu-satunya persoalan adalah kecendrungan sikap terdalam pada hati manusia. Hati nurani merupakan "hal yang tidak dapat memperburuk diri manusia, tidak dapat juga melukainya baik dari luar maupun dari dalam".

PLATO (427 - 347 SM)
Terjadi titik balik dalam kebudayaan dan pemikiran Yunani ketika Plato menafsirkan semboyan "kenalilah dirimu sendiri" (gnothi seauton) dengan cara yang sama sekali baru. Penafsiran ini memunculkan persoalan yang tidak hanya tidak terdapat pada pemikiran pre-Sokrates, tetapi juga di luar jangkauan metode Sokrates sendiri. Untuk memenuhi permintaan orakel Delphi, untuk memenuhi kewajiban religius berupa pengkajian diri serta pengenalan diri, Sokrates mendekati manusia sebagai individu. Pendekatan Sokrates ini oleh Plato dianggap punya keterbatasan-keterbatasan. Bagi Plato, untuk memecahkan persoalan tersebut kita harus membuat rancangan yang lebih luas. Dalam pengalaman individual, kita menghadapi gejala-gejala yang demikian beraneka, rumit dan saling bertentangan, sehingga kita sulit melihatnya secara jelas. Manusia seharusnya dipelajari dari sudut kehidupan sosial dan politis. Menurut Plato, manusia adalah ibarat teks yang sulit, maknanya harus diuraikan oleh filsafat. Tapi dalam pengalaman kita sebagai pribadi, teks itu ditulis dengan huruf-huruf yang terlampau kecil sehingga tidak terbaca. Maka sebagai tugas pertama, filsafat harus 'memperbesar' tulisan-tulisan tersebut. Filsafat hanya dapat mengajukan teori yang memadai tentang manusia apabila sampai pada teori tentang negara. Dalam teori tentang negara, sifat-sifat manusia ditulis dengan huruf-huruf besar. Dalam teori tentang negara, arti 'teks' yang semula tersembunyi seketika muncul, dan apa yang semula kabur dan ruwet menjadi jelas dan dapat dibaca. Namun negara bukanlah segala-galanya, serta negara tidak mencerminkan dan tidak menyerap seluruh aktivitas manusia, meskipun kegiatan manusia dalam perkembangan sejarahnya berhubungan erat dengan bertumbuhnya negara. Plato bertitik tolak dari manusia yang harmonis serta adil dan dalam hal itu ia menggunakan pembagian jiwa atas 3 fungsi, yaitu:
· Epithymia (suatu bagian keinginan dalam jiwa).
· Thymos, (suatu bagian energik dalam jiwa).
· Logos, (suatu bagian rasional dalam jiwa dan sebagai puncak dan pelingkup).

Menurut Plato, negara diibaratkan sebagai Manusia Besar, sebagai organisme yang terdiri atas 3 bagian atau golongan yang masing-masing sepadan dengan suatu bagian jiwa, yaitu:
· Epithymia, golongan produktif yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang.
· Thymos, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit.
· Logos, golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan.

Plato juga mengajarkan teori tentang pra-eksistensi jiwa. Dia mengatakan sebelum kita dilahirkan, atau sebelum kita memperoleh suatu status badani, kita sudah berada sebagai jiwa-jiwa murni dan hidup di kawasan lebih tinggi di mana kita memandang suatu dunia rohani. Sejak kita dilahirkan, kita berada di bumi dan jiwa kita meringkuk dalam penjara tubuh, terbuang dari daerah tinggi itu. Karena penjelmaan dalam tubuh itu, jiwa kita tidak lagi menyadarkan diri dan dengan mendadak tidak lagi menyadari pengetahuan tentang idea-idea dalam dunia kayangan dulu. Dari sini Plato kemudian mengembangkan teori tentang manusia. Manusia pada mulanya adalah roh murni yang hidup dari kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi. Jadi, kemungkinan dan makna ultimate keberadaan manusia mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang baik, yang benar, dan yang indah. Tetapi kita gagal mencapai kehidupan yang sebagaimana mestinya karena kita menyimpang dari kiblat idea-idea tersebut, sehingga kita langsung terhukum dengan dipenjarakannya jiwa ke dalam tubuh. Kita harus berusaha naik ke atas dan memperoleh perhatian dan cinta besar untuk dunia ideal dan ilahi itu. Akan tetapi kemungkinan untuk mewujudkan makna ini sangat dibatasi karena kita terbelenggu dalam materi. Bagi kita, dunia jasmani dan tubuh menjadi kemungkinan-kemungkinan buruk untuk tersesat lebih jauh lagi dan tenggelam dalam rawa-rawa materi dan sensual. Kemungkinan yang paling jahat ialah menyerahkan diri sepenuhnya kepada dirinya sendiri (egoisme radikal) dan kepada benda-benda jasmani (materialisme dan sensualisme). Jadi, bagi manusia, dunia dan tubuh itu bersifat ambivalen, artinya dunia serta tubuh dapat merayu dia ke arah kemungkinan-kemungkinan yang jahat, tetapi dapat juga mendorong dia kepada kemungkinan-kemungkinan yang baik. Manusia memiliki suatu daya yang kuat dan gemilang yang dapat mendorong dia ke atas, yaitu cinta (eros). Eros adalah daya kreatif dalam diri manusia, pencetus kehidupan, inspirator para penemu, seniman dan genius. Eros memenuhi kita dengan semangat kebersamaan, membebaskan kita dari kesendirian kita, dan mengajak kita ke pesta, musik, tarian, dan permaian. Plato menyebutnya sebagai "bapak segala kehalusan, segala kepuasan dan kelimpahan, segala daya tarik, keinginan dan asmara". Eros mendorong kita semakin tinggi, sehingga kita dapat beralih dari cinta yang kelihatan kepada cinta yang tidak kelihatan, ideal, ilahi. Menurut Plato, kematian hanyalah permulaan suatu reinkarnasi baru yang lebih rendah atau lebih tinggi daripada keberadaannya sebelumnya. Dalam karyanya: Phaidros, Plato berkata bahwa setelah 10.000 tahun, jiwa akan kembali ke asal usulnya. Jadi menurut pandangan Plato, manusia mempunyai banyak jiwa dan banyak manusia individu.

RENE DESCARTES (1596-1650)
Filsafat Rasionalismenya membawa dampak terhadap pandangan tentang manusia. Pemikiran-pemikiran penting dalam filsafatnya:
· Ada dua bentuk realitas yang berbeda, dua "substansi". Yang pertama adalah gagasan (res cogitan), atau "pikiran", dan yang kedua adalah perluasan (res extensa). Pikiran itu adalah kesadaran, tidak mengambil tempat dalam ruang. Materi adalah perluasan, mengambil tempat dalam ruang dan tidak mempunyai kesadaran.
· Kedua substansi tersebut tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Pikiran sama sekali tidak tergantung pada materi, sebaliknya proses materi juga tidak tergantung pada pikiran à dualisme.
· Manusia adalah makhluk ganda yang mempunyai pikiran dan badan perluasan. Apa yang kita pikirkan dengan akal kita tidak terjadi di dalam badan - itu terjadi di dalam pikiran, yang sama sekali tidak tergantung pada realitas perluasan. Namun Descartes tidak dapat menyangkal bahwa ada interaksi konstan antara pikiran dan badan. Interaksi konstan berlangsung antara "roh" dan "materi". Pikiran dapat selalu dipengaruhi oleh perasaan dan nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan badaniah. Namun pikiran dapat menjauhkan diri dari impuls-impuls 'tercela' semacam itu dan bekerja tanpa tergantung pada badan (jika aku merasakan sakit yang amat-sangat pada perutku, jumlah sudut dalam sebuah segitiga tetap 180 derajat. Maka manusia mempunyai kemampuan untuk bangkit mengatasi kebutuhan-kebutuhan badaniah dan bertindak secara rasional. Dalam hal ini pikiran lebih unggul daripada badan.

SÖREN KIERKEGAARD (1813-1855)
Sebagai Bapak Eksistensialisme, pandangan filosofis Kierkegaard tentunya banyak membahas tentang manusia, khususnya eksistensinya. Beberapa point yang penting dalam filsafatnya:
· Individu tidak ditempatkan di hadapan Ketiadaan, melainkan di hadapan Tuhan.
· Dia menganggap Hegelianisme sebagai ancaman besar untuk individu, untuk manusia selaku persona.
· Yang harus dipersoalkan terutama subyektivitas dari kebenaran, yaitu bagaimana kebenaran dapat menjelma dalam kehidupan individu. Kebenaran obyektif - termasuk agama - harus mendarah daging dalam si individu.
· Yang penting ialah bahwa aku memahami diriku sendiri, bahwa kulihat dengan jelas apa yang Tuhan kehendaki sungguh-sungguh agar aku perbuat. Yang terutama kubutuhkan ialah mendapatkan suatu kebenaran yang adalah benar untuk aku, suatu ide yang bisa mengilhami kehidupan dan kematianku. Apakah gunanya menemukan suatu kebenaran yang disebut obyektif dan mempelajari semua sistem filosofis . Sejauh mana ada baiknya bagiku dapat menjelaskan arti agama Kristen bila agama itu tidak mempunyai arti mendalam untuk aku sendiri dan kehidupanku ." Kierkegaard mencari
kebenaran yang konkret serta eksistensial, suatu pengetahuan yang dihayati (connaissance vécue), a real knowledge.
· Dia membedakan manusia dalam stadium estetis, etis dan religius.
· Pada stadium estetis manusia membiarkan diri dipimpin oleh sejumlah besar kesan-kesan indrawi, mengikuti prinsip kesenangannya, lebih dijadikan hidup daripada ia hidup sendiri. Manusia menyibukkan diri dengan rupa-rupa hal, tetapi ia tidak melibatkan diri; ia hanya tinggal seorang penonton yang berminat. Ia bisa menjadi seorang hedonis yang sempurna, seorang "perayu" seperti Don Juan, atau seorang yang "sok tahu" dan seorang Sofis (mis. Mendalami filsafat dan teologi).
· Kebosanan, kekurangsenangan dan kecemasan memimpin seseorang ke arah stadium etis. Mulai mekar keinsafan akan kemungkinan-kemungkinan kita, akan kebebasan, tanggung jawab dan kewajiban kita. Kita sampai pada diri kita sendiri, menggantungkan kehidupan kita pada norma, bertumbuh menjadi persona. Kita semakin mengikat diri, dari penonton menjadi pelaku, kita melibatkan diri. Dalam stadium ini juga, manusia menyadari keadaannya yang tragis dan bercacat; ia menginsafi bahwa ia penuh kekurangan. Ia akan merasa jengkel karena ketidaksempurnaannya serta ketidaksanggupan morilnya dan mungkin akan memberontak terhadap seluruh tatanan etis.
· Manusia bisa merasa dirinya kecil dan tidak berdaya sambil mendambakan topangan serta bantuan Tuhan, yang mengulurkan tangan-Nya untuk membantu manusia yang terkoyak-koyak (bandingkan Mat 5:3). Bila kita menangkap tangan ini dan membuka diri untuk Tuhan, maka kita tiba pada stadium religius. Sebagai orang Kristen - ia berani menerjunkan diri ke dalam petualangan untuk - dengan ketidakpastian intelektual yang besar - mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Iman kepercayan Kristiani itu bersifat paradoks, sebagaimana Kristus merupakan Paradoks besar yang mempersatukan keabadian serta keduniawian, keilahian serta kemanusiawian. Hidup sebagai Kristen adalah cara hidup tertinggi yang merupakan kemungkinan ultim dan makna keberadaan manusia.

GABRIEL MARCEL (1889-1973)
Salah satu thema utama dalam filsafatnya adalah mengenai tubuh. Beberapa hal yang penting:
· Masalah mengenai "mempunyai" dan "Ada" dikaitkan dengan tubuh. Saya mempunyai tubuhku atau saya adalah tubuhku? Tubuhku bagi saya bukan obyek, melainkan selalu melibatkan pengalaman saya sendiri tentang organisme fisis-kimiawi, inilah yang ingin diselidiki oleh Marcel.
· Analogi "saya mempunyai tubuhku" dengan "saya mempunyai anjingku" harus dihentikan karena tiga aspek: 1) antara saya dan tubuhku tidak terdapat struktur qui-quid (subyek yang mempunyai dan yang dipunyai) seperti antara saya dan anjingku; 2) tubuh tidak berada di luar saya seperti halnya dengan anjing; 3) saya tidak merupakan "yang lain" terhadap tubuhku seperti saya memang merupakan "yang lain" terhadap anjingku.
· Tubuh bukanlah alat. Martil berada antara tukang kayu dan papan yang sedang dikerjakan. Tubuh tidak berada antara aku dan apa yang sedang dikerjakan. Bila saya menulis, tubuh tidak berada antara "aku" dan kertas.
· Tubuh adalah "alat absolut", artinya alat yang memungkinkan alat2 tetapi tidak merupakan alat bagi sesuatu yang lain.
· Tubuh adalah "prototipe" di bidang "mempunyai", yang memungkinkan untuk mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain.
· Sekalipun demikian saya tidak identik begitu saja dengan tubuhku. Tetapi jelas penengahan antara saya dan tubuhku tidak bersifat instrumental. Marcel menyebutnya sympathetic mediation: penengahan pada taraf "merasakan" (sentir). Saya adalah tubuhku, hanya sejauh saya adalah makhluk yang merasakan.
· Proses "merasakan" harus dimengerti sebagai suatu "message" dari luar yang diterima di dalam subyek. Garis pemisah yang ditarik antara "di luar" dan "di dalam" harus ditolak karena "menerima" dalam hal perasaan tidak pernah sama dengan "menerima semata-mata pasif". "Menerima" di sini harus dimengerti sebagai partisipasi, membuka diri, memberikan diri; "menerima" seperti tuan rumah menyambut tamu-tamunya. "Merasakan" berarti menerima dalam wilayah yang merupakan wilayah saya.
· "Inkarnasi" manusia hanya mungkin karena dengan tubuhku saya berada dalam dunia, bukan saja dalam arti bahwa saya dapat mempengaruhi benda-benda, tetapi juga dalam arti bahwa saya terpengaruhi oleh benda-benda. Dualisme antara "di luar" dan "di dalam" harus ditinggalkan. Inkarnasi itu merupakan titik tolak refleksi filosofis dan bukan cogito atau kesadaran.

JEAN PAUL SARTRE (1905 -1980)
Manusia merupakan suatu proyek ke masa depan yang tidak mungkin didefinisikan.Manusia adalah sebagaimana ia diperbuat oleh dirinya sendiri. Ia adalah masa depannya. Moral dan etika harus diciptakan oleh manusia sendiri. Kita adalah kebebasan total, "kita dihukum untuk bertindak bebas". Inilah kemegahan dan sekaligus kemalangan bagi kita, sebab kebebasan mengandung juga tanggung-jawab. Kita bertanggung-jawab atas seluruh eksistensi kita dan bahkan kita bertanggung-jawab atas semua manusia karena terus-menerus kita adalah manusia yang memilih dan dengan memilih diri kita sendiri, kita sekaligus memilih untuk semua orang. Dari tanggung-jawab yang mengerikan ini lahirlah kecemasan atau keputus-asaan. Kita berusaha meloloskan diri dari kecemasan serta keputusasaan itu melalui sikap malafide (mauvaise foi) serta keikhlasan (sincerite), dengan berlagak seolah-olah kita bisa ada sebagaimana seharusnya kita ada dan secara diam-diam menyisipkan suatu identifikasi antara en-soi (Ada-pada-dirinya) dan pour-soi (kesadaran kita).

Mungkinkah kehidupan manusia tanpa Tuhan? Apakah hidup manusia masih mempunyai makna? Secara obyektif kehidupan kita memang tidak mempunyai makna sedikitpun dan absurd sama sekali. Kita tidak mempunyai alasan untuk berada. Manusia merupakan une pasion inutile, suatu gairah yang tidak berguna. Namun kita bisa memberi makna kepada kehidupan kita dan dengan itu kehidupan manusiawi sebetulnya baru menjadi mungkin. Jadi seorang manusia dapat memberi makna kepada keberadaannya dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada, dengan merancang dirinya. Sartre pernah menyebut orang lain "neraka", tetapi kemudian ia menginginkan suatu ikatan dan ia menemukan orang lain sebagai syarat untuk eksistensinya sendiri. Untuk memperoleh kebenaran tentang diri saya sendiri, saya memerlukan orang lain. Jadi Sartre yang sebagai atheis ingin menciptakan suatu way of life yang baru, yaitu semacam moral manusiawi yang baru. Karena saya terikat dengan orang lain, maka kebebasan saya harus memperhitungkan juga kebebasan orang lain itu. Saya tidak boleh membuat kebebasan saya menjadi tujuan tanpa membuat hal yang sama dengan kebebasan orang lain. Setelah semua manusia mati, seluruh sejarah umat manusia dapat disingkatkan dengan mengatakan, "begitulah manusia". Akan tetapi, siapakah yang dapat mengetahui serta mengatakan hal itu karena tidak ada lagi manusia? Selama masih ada manusia hidup, selalu terlalu pagi untuk mengatakan "begitulah manusia". Bagi manusia individu, kemungkinan ultimate adalah kematian, tetapi kemungkinan ultimate seluruh umat manusia tidak kita ketahui.

RASUL PAULUS
Kita akan mengkonsentrasikan pandangan Paulus, khususnya dalam suratnya kepada jemaat di Roma (pasal 12:1-2). Di sini Paulus mengaitkan tubuh (sebagai persembahan yang hidup kepada Allah), keberbedaan kita dengan dunia, pembaharuan budi dan mengetahui kehendak Allah (yang baik dan sempurna).

· Berbeda dengan Plato dan Descartes yang cenderung melihat tubuh sebagai penjara jiwa, yang seringkali menghalangi akal sehat yang seharusnya memimpin, berbeda juga dengan Marcel yang cenderung memberhalakan tubuh sebagai "alat absolut" yang tidak dijadikan oleh sesuatu apapun yang lain, maka Paulus menasihatkan kita untuk mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup kepada Allah. Di sini kita melihat pandangan yang positif tentang tubuh (bukan sesuatu yang jahat), sekaligus dilarang untuk memberhalakannya, karena Allah sebagai Pencipta tubuh kita berhak untuk memakainya, bahkan "mempunyainya" sebagai "alat" di tangan-Nya.

· Berbeda dengan Marcel yang mengatakan bahwa kita seharusnya terbuka terhadap setiap "message" dari luar yang diterima (dirasakan) oleh tubuh, terpengaruhi oleh benda-benda dlsb, Paulus mengatakan agar kita tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Permasalahannya di sini bukanlah bahwa kita harus memiliki satu sikap eksistensial berani ditransformasi oleh segala sesuatu "yang lain", melainkan pertanyaan "apa yang mentransformasi kita?" Alkitab mengatakan bahwa transformasi itu terjadi dalam "pikiran" (mind) yang mengenal kehendak Allah. Transformasi pikiran inilah sebenarnya yang dikejar dan didambakan oleh Plato dan yang disebutnya sebagai "kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi". Alkitab tidak pernah mengajarkan agar kita memberikan diri untuk ditransformasi oleh apa saja (asal bersedia ditransformasi), melainkan bahwa yang mentransformasi kita adalah firman Tuhan. Transformasi yang dikerjakan oleh firman Tuhan membuat kita semakin mengerti dan mengenal kehendak Allah. Di sini kita melihat bahwa Alkitab menghendaki pengertian pikiran kita (understanding of our mind) terus-menerus disempurnakan, sehingga menjadi orang kristen yang berkenan kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari mengerti dan memikirkan apa yang kita percaya karena di situlah transformasi itu terjadi. Sebagaimana dikatakan oleh John Piper, orang kristen seharusnya menjadi seseorang yang memiliki "a mind in love with God". Mind corresponds to the understanding of the truth of God's perfections. Love corresponds to the delight in the worth and beauty of those perfections. God is glorified both by being understood and by being delighted in. He is not glorified so much by one brand of evangelicals who divorce delight from understanding. And he is not glorified so much by another branch of evangelicals who divorce understanding from delight (John Piper, God's Passion for His Glory. Wheaton: Crossway Books, 1998, p.82).

· Plato mengatakan bahwa kemungkinan dan makna ultimate keberadaan manusia mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang baik, yang benar, dan yang indah. Paulus mengatakan bahwa mengetahui dan dapat membedakan kehendak Allah adalah apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Plato secara samar-samar memiliki pengertian tentang makna ultimate keberadaan manusia, namun Pauluslah yang dipercayakan Tuhan untuk menyatakan apa yang baik itu, yang benar, yang indah, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna yaitu mengetahui kehendak Allah. Dengan mengetahui kehendak Allah sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya manusia menemukan makna ultimate keberadaan dirinya.











Agama dan Ilmu Pengetahuan

( Tulisan ini diambil dari tiga tulisan yang membahas tema "agama dan Ilmu" yang pertama ditulis New York Times Magazine 9 November 1930; yang kedua disampaikan pada princeton Theological Seminary, 19 Mei 1939; dan yang ketiga dimuat pada Science, Philosophi, and Religion: Sympisium yang diterbitkan pada 1941 oleh Comference on Scince, Philosophie, and Religion in Their Relation to The Democratic Way of Life Disini Sengaja diambil satu tulisan lengkap dan sebagian dari dua tulisan lainnya agar gagsan Einstain terungkap secara utuh, tetapi tidak ditumpang tindih diterjemahkan oleh Zainal Abidin dari Sonja Bargman (ed), Ideas and Opinions by Albert Einstein, Bonanza)

Selama abad yang lalu, dan sebagian abad sebelumnya, tersebar luas pendangan bahwa ada pertentangan yang tidak dapat didamaikan antara ilmu dan agama. Pandangan yang dianut oleh tokoh zaman itu adalah bahwa sudah saatnya iman digantikan oleh pengetahuan. Iman yang tidak bersandar pada pengetahuan adalah takhayul, dan karenanya harus ditolak. Menurut konsepsi ini, fungsi saru-satunya pendidikan adalah untuk membuka jalan kepada pemikiran dan manusia, haruslah memenuhi hanya tujuan itu saja.

Memang amat sulit kita temukan –kalaupun ada– sudut pandang rasionalistik yang diungkapkan dalam bentuk sekonyol itu; karena setiap orang yang dapat dengna mudah melihat betapa sepihaknya pernyataan itu. Tetapi kita perlu menyatakan suatu tesis secara tajam dan telanjang sama sekali, jika ingin mengetahui hakikat sejatinya.

Adalah benar bahwa keyakinan hanya dapar didukung dengan baik oleh pangalaman dan pikiran jernih. Pada titik ini, kita mesti bersepakat sepenuhnya dengan kaum rasionalis ekstrim. Bagaimanapun, titik lemah ini adalah bahwa keyakinan tersebut –yang amat penting dan menentukan perilakku dan penilaian kita–tak dapat ditemukan hanya pada wilayah ilmu yang ketat ini.

Ini disebabkan metode ilmiah tidak dapat mengajarkan apa pun tentang bagaimana fakta-fakra berhubungan, dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Pengahargaan kepada pengetahuan objektif harus diberikan kepada orang-orang dengan kemampuan tertinggi yang mengembangkannya, dan saya harap Anda tidak menuduh saya ingin mengecilkan pencapaian-pencapaian dan usaha-usaha heroik dari orang-orang yang bergiat di bidang ini. Namun, sama jelasnua adalah bahwa pengetahuan tentang apa yang sebenarnya tidaklah langsung membukakan pintu bagi apa yang seharusnya. Seseorang dapat memperoleh pengetahuan yang paling lengkap dasn paling jelas tentang apa sebenarnya, tetapi tidak mampu meyimpulkan darinya suatu tujuan dari aspirasi kemanusiaan kita. Pengetahuan objektif melengkapi kita dengan alat ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, tetapi tujuan puncak itu sendiri dan rasa rintu untuk mencapainya harus datang dari sumber lain. Dan hampir tidak perlu memperdebatkan pandangan bahwa kemaujudan dan aktivitas kita memperoleh makna hanya dengan penetapan tujuan seperti itu dan nilai-nilai yang berhubungan dengannya. Pengetahuan tentang kebenaran seperti apa adanya adalah menakjubkan, tetapi hanya sedikit perannya sebagai pembimbing, karena bahkan pengetahuan itu sendiri tak dapat mebuktikan konsepsi yang murni rasional dari kemajuan kita.

Tetapi kita juga tidak dapat mengasumsikan bahwa pemikiran akal tidak dapat berperan sama sekali dalam pembentukan tujuan dan penilaian etis . Ketika seseorang menyadari bahwa untuk mencapai suatu tujuan diperlukan suatu cara, di situ cara itu sendiri sudah menjadi tujuan. Meskipun demikian, berpikir semata tidak dapat suatu kepekaan atau rasa akan tujuan akhir. Bagi saya, inilah tampaknya peranan terpentung yang harus dimainkan oleh agama dalam kehidupan sosial manusia. Yaitu, untuk memperjelas tujuan dan penilaian fundamental ini, dan untuk menancapkannya dalam kehidupan emosional manusia. Dan jika ada yang bertanya, dari otoritas mena kita mesti mendapatkan tujuan fundamental ini –karena tujuan itu tidak dapat dinyatakan dan dijastifikasi hanya oleh nalar–maka jawabannya adalah: tujuan tesebutmajud dalam masyarakat yang seharusnya sebagai tradisi yang kuat, yang mempengaruhi perilaku, harapan-harapan, dan penilaian anggotanya; tujuan iru ada disana, yaitu, sesuatu yang hidup, tanpa merasa perlu menemukan jastifikasi bagi keberadaannya. Tujuan-tujuan itu meujud tanpa melalui pembuktian atau demonstrasi, tetapi melalui semacam pewahyuan, dengan perantaraan pribadi-pribadi tangguh. Tak perlu menjastifikasinya, tetapi yang penting adalah merasakan hakikatnya, secara sederhana dan jernih.

Kini, meskipun wilayah agama dan ilmu masing-masing sudah saling membatasi dengan jelas, bagaimanapun ada hubungan dan ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya. Meskipun agama adalah yang menentukan tujuan, tetapi dia telah belajar dalam arti yang paling luas, dari ilmu, tentang cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Dan ilmuhanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah teri-lhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama. Termasuk juga disini adalah kepercayaan akan kemungkinan bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini bersifat rasional, yaitu dapat dipahami nalar. Saya tak dapat percaya ada ilmuwan yang tidak memiliki kepercayaan tersebut. Keadaan ini dapat diungkapkan dengan suatu citra ; ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta.

Meskipun saya sudah menyatakan di atas bahwa sesungguhnya tak boleh ada pertentangan antara ilmu dan agama, saya mesti menekankan sekali lagi peryataan itu pada titik yang esensial, dengan mengacu kepada kandunagn aktual agama-agama dalam sejarah. Pembahasan ini berhubungan dengan konsep Tuhan.

Perasaaan Religius-Kosmik
Semua yang dilakukan dan dipikirkan manusia adalah berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang amat dirasakannyadan usaha menghindari perasaan tidak enak. Ini harus tetap diingat jika kita akan memahami gerakan-gerakan spritual dan perkembangannya.Perasaan dan keinginan adalah kekuatan pendorong segala upaya dan kreasi manusia, betapapun tersamarnya ia menampakkan diri kepadakita. Kini, perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan apakah yang telah membawa manusia kepada pemikiran dan keyakinan religius dalam artinya yang paling luas? Pengamatan sepintas saja sudah cukup menunjukkan kepada kita bahwa pemikiran dan pengalaman religius dilahirkan oleh perasaan-perasaan yang amat beragam. Bagi orang primitif, rasa takutlah, diatas segalanya, yang menimbulkan gagasan religius-takut lapar, binatang buas, sakit, dan mati. Karena pada tingkat kemaujudan ini pemahaman akan berhubungan sebab-akibat biasanya tak cukup berkembang, maka akal manusia menciptakan wujud-wujud khayali yang sedikit banyak berfungsi sebagai bagian bagian dari hubungan sebab-akibat : peristiwa-peristiwa menakutkan terjadi sebagai akibat kehendak dan perbuatan wujud-wujud khayali tersebut. Dengan demikian, seseorang berusaha memenuhi keinginan wujud-wujud itu denagan menyajikan kuraban-kurban dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang- menurut tradisi yang diteruskan secara turun temurun ke tiap generasi-bertujuan mendamaikan wujud-wujud itu atau membuat mereka bersikap baik kepada manusia. Di sini saya sedang berbicara tentang agama-takut. Agama ini adalah suatu tahap penting yang, meskipun tak diciptakan, diteguhkan oleh pembentukan suatu kelompok kependetaan istimewa yang meletakkan dirinya sebagai perantara antara manusia denag wujud-wujud yang mereka takuti itu, dan kasta ini membangun kekuasaan diatas dasar ini. Seringkali seorang pemimpin, penguasa, atau suatu golongan privilese, yang mendapatkan posisisnya karena faktor-faktor lain, mengkombinasikannya dengan fungsi kependetaan agar otoritas sekularnya itu dapat lebih aman terjamin. Atau, para penguasa politik dan kelompok kependetaan bekerja sama demi kepengtingan masing-masing.

Desakan-desakan sosial adalah sumber lain dari terbentuknya suatu agama. Bapak, ibu, danpara pemimpin masyarakat makhluk-makhluk yang fana dan dapat berbuat salah. Kebutuhan mereka akan perlindungan, kasih sayang dan dukungan mendorong manusia untuk membuat konsepsi sosial, atau moral tentang Tuhan. Inilah Tuhan sang Pemelihara yang melindungi, memberi kepastian, memberi ganjaran, dan menghukum ; Tuhan yang- sesuai denag batas pandangan orang yang percaya- mencintai dan memuliakan kehidupan suatu suku atau kehidupan umat manusia, atau bahkan kehidupan itu sendiri ; Tuhan yang menjadi penghibur dalam penderitaan dan dalam keinginan yang tak terpuasi ; dialah yang memelihara jiwa-jiwa orang yang telah mati. Inilah konsepsi sosial atau moral tentang Tuhan. Kitab suci agama Yahudi dengan menarik meggambarkan perkembangan dari agama-takut ke agama-moral ini – sebuah perkembangan yang berlanjut dalam Perjanjian Baru. Agama bangsa-bangsa beradab, khususnya bangsa-bangsa Timur, pada pokoknya adalah agama moral. Perkembangan dari agama-takut ke agama-moral adalah satu langkah besar dalam kehidupan umat manusia. Namun, kita tetap harus mewaspadai prasangka bahwa agama primitif didasarkan sepenuhnya pada rasa takut, dan agama bangsa beradab sepenuhnya pada moralitas. Yang benar adalah bahwa semua agama merupakan campuran yang beragam dari kedua tipe tersebut, dengan satu perbedaan: pada tingkat kehidupan sosial yang lebih tinggi, agama moralitas lebih menonjol.

Satu hal yang ada pada semua tipe ini adalah watak antropomorfis dalam konsepsi tentang Tuhan. Pada umumnya, hanyalah orang-orang yang mempunyai bakat istimewa dan yang cerdas, yang merupakan perkecualian, yang dapat naik sampai ke suatu tingkat jauh di atas tingkat ini. Tetapi, ada tingkat ketiga dari pengalaman religius yang ada pada semua tipe tersebut, meskipun jarang ditemukan dalam bentuknya yang murni: saya menyebutnya dengan "perasaan religius-kosmik". Sangatlah sulit menjelaskan perasaan ini kepada orang yang sama sekali tak memilikinya, khususnya karena tidak ada konsepsi antropomorfis tentang Tuhan yang berhubungan dengan perasaan itu.

Orang itu merasakan betapa sia-sianya keinginan dan tujuan manusia, dan merasakan kelembutan dan ketertiban yang menakjubkan yang mengungkapkan dirinya dalam alam dan dunia pemikiran. Kemaujudan Individual hanya terkesan sebagai semacam penjara dan ia mengalami alam semesta sebagai suatu keseluruhan tunggal yang bermakna. Awal perasaan religius-kosmik sudah muncul pada tingkat awal perkembangan, sebagai contoh, dalam banyak Kitab Zabur Nabi Dawud dan pada beberapa Nabi. Agama Budha seperti yang kita pelajari, terutama dari tulisan-tulisan Schopenhauer, berisi unsur yang lebih kuat dari perasaan tersebut.


Para jenius religius dari segala zaman dibedakan oleh perasaan religius semacam ini, yang tidak mengenal dogma dan konsepsi Tuhan dalam bentukan citra manusia; maka tak akan ada gereja yang ajaran-ajaran utamanya didasarkan pada hal tersebut. Karenanya, kita menemukan orang-orang yang penuh dengan perasaan religius tertinggi ini hanya diantara para heretik (yang dianggap melakukan bid’ah-bid’ah) di setiap zaman; dan dalam banyak hal mereka dipandang oleh orang-orang sezamannya sebagai orang ateis, kadang-kadang juga sebagai santo (wali). Dari sudut pandang ini, orang-orang seperti Demokritos, Francis Assisi, dan Spinoza, sangat mirip satu dengan lainnya.

Bagaimana mungkin perasaan religius-kosmik dikomunikasikan kepada orang lain, kalau perasaan itu memunculkan tak satupun gagasan yang mutlak tentang Tuhan, dan memunculkan tak satu pun teologi? Dalam pandangan saya, inilah fungsi terpenting seni dan ilmu, yaitu, untuk membangkitkan perasaan ini dan memeliharanya agar tetap hidup pada orang-orang yang dapat menerimanya.

Dengan demikian, kini kita sampai kepada suatu konsepsi yang sangat berbeda dari biasanya tentang hubungan antara ilmu dan agama. Jika seseorang melihat masalah ini secara historis, ia akan cenderung untuk melihat ilmu dan agama sebagai dua hal yang saling berlawanan yang tak dapat didamaikan – dan ada alasan yang jelas untuk ini.

Manusia Religius
Selama periode awal evolusi spritual umat manusia, khayalan manusia telah menciptakan Tuhan-Tuhan dalam citra manusia sendiri, yang – dengan berlangsungnya kehendak mereka – ingin menentukan, atau paling tidak mempengaruhi sampai tingkat tertentu, dunia fenomenal. Manusia berusaha mengubah ketentuan Tuhan-Tuhan ini untuk kebaikan mereka sendiri dengan cara magis dan penyembahan. Gagasan Tuhan pada saat ini adalah penghalusan dari konsep lama tentang Tuhan-Tuhan. Sifat antropomorfisnya tampak, misalnya, pada kenyataan bahwa manusia memuja Wujud Ilahiah dalam sembahyang-sembahyangnya, dan memohon dipenuhinya keinginan-keinginan mereka.

Sudah pasti, tak seorang pun akan menolak gagasan adanya suatu Tuhan personal yang mahakuasa, adil, dan maha pemurah dapat menjadi pelipur lara, pemberi bantuan dan pembimbing manusia; juga, disebabkan sederhananya gagasan itu, ia dapat dipahami oleh orang yang pikirannya paling lemah sekalipun. Tapi, di pihak lain, ada kelemahan yang amat penting dalam gagasan antropomorfis ini sendiri, yang terasa amat menyakitkan sejak permulaan sejarah. Yaitu bahwa jika Wujud ini mahakuasa, maka setiap peristiwa, termasuk setiap perbuatan manusia, setiap pikiran manusia, dan setiap perasaan dan aspirasi manusia adalah juga karya-Nya; bagaimana mungkin kita berpendapat bahwa manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya dan pemikirannya di depan Wujud mahakuasa seperti itu? Dalam memberikan hukuman dan ganjaran, Ia akan melewati penilaian terhadap Diri-Nya sendiri. Bagamana ini dapat dikombinasikan dengan kebaikan dan kemurahan yang menjadi sifat-Nya? Sumber utama dari pertentangan masa ini antara ilmu dan agama terletak pada konsep Tuhan yang personal ini.

Orang yang yakin sepenuhnya pada berlakunya hukum sebab akibat secara unuversal, tak akan bisa menganut suatu gagasan tentang satu wujud yang ikut campur dalam terjadinya peristiwa-peristiwa tentunya, dengan syarat ia memperlakukan hipotesis sebab-akibat itu secara serius. Ia tidak butuh lagi agama-takut, begitu juga agama-moral. Suatu Tuhan yang memberi ganjaran dan menghukum, tidak dapat lagi dipahaminya, karena alasan sederhana bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan harus dilakukan, sehingga di mata Tuhan ia tak dapat bertanggung jawab – persis sama sebagaimana halnya suatu benda mati tak bertanggung jawab atas gerakan-gerakan yang dijalaninya. Demikianlah, maka ilmu telah dituduh menghancurkan moralitas, tapi tuduhan itu tidaklah adil. Perilaku etis manusia harus didasarkan secara efektif pada simpati, pendidikan, hubungan sosial, dan kebutuhan-kebutuhan; tak diperlukan dasar agama. Manusia pasti akan menjadi miskin kalau ia harus dikekang oleh perasaan takut akan hukuman dan harapan akan ganjaran setelah mati.

Maka, mudah Kita pahami mengapa gereja selalu memerangi ilmu dan mendukung para pendukungnya, di pihak lain perasaan religius kosmik merupakan motif paling kuat dan mulia bagi penelitian keilmuan. Hanya mereka yang mengerti usaha yang luar biasa dan pengabdian yang telah mewujudkan semua karya pionir dalam ilmu teoritis, yang dapat menangkap kekuatan emosi yang karenanya karya-karya tersebut - yang begitu jauh dari kenyataan hidup sehari-hari dapat tercipta. Betapa dalamnya keyakinan tentang rasionalitas alam semesta, dan betapa kuatnya dorongan untuk memahami yang pasti dimiliki Kopler dan Newton sehingga mereka dapat bertahan dalam kerja sunyinya yan bertahun tahun untuk menguraukan prinsip-prinsip mekanik alam semesta. Mereka yang pengalamannya dalam penelitian keilmuan didapat dari terutama hasil-hasil praktisnya dengan mudah mengembangkan gagasan yang sama sekali salah tentang mentalitas manusia yang – dalam lingkungan alam skeptis – telah menunjukkan dalam sesamanya suatu semangat yang terserak keseluruh dunia dan sepanjang masa. Hanya sesoran yang mengabdikan hidupnya yang gambkang dengan apa yang telah mengilhami orang-orang itu dan yang memberi mereka kekuatan untuk tetap setia kepada tujuan-tujuan mereka, meski mengalami kegagalan-kagagalan yang tak terhitung adalah perasaan religius-kosmik yang memberi seseorang kekuatan semacam itu. Seorang dari zaman kita telah mengatakan bahwa yang materialistik ini hanyalah pekerja ilmu yang serius yang benar –behnar merupakan orang religius.












Baruch De Spinoza dan Pemikirannya
 1/28/2013 10:53:00 PM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments


Zaman modern adalah zaman dimana akal sangat diagung-agungkan. Selain itu pengaruh gereja sudah tidak dominan lagi karena kekuasaan gereja yang begitu agung di zaman Renaissance tersebut sudah runtuh. Keruntuhan kekuasaan gereja ini membawa dampak positif bagi perkembangan keilmuan di zaman ini. Tak heran bila di zaman ini muncul banyak filosof-filosof hebat yang begitu buah pemikirannya mampu mengguncang dunia. Salah satu filosof hebat tersebut adalah Baruch de Spinoza.

Baruch de Spinoza (24 November 1632 – 21 Februari 1677) lahir di kota Amsterdam dari pasangan Yahudi yang mengungsi dari Portugal. Pikiran beliau berakar dalam tradisi Yudaisme. Beliau mempunyai tiga pemikiran yaitu teori substansi tunggal, teori politik, dan teori emosi. Diantara ketiga pemikiran tersebut yang terkenal adalah ajaran mengenai Substansi tunggal Allah atau alam. Hal ini ia katakan karena baginya Tuhan dan alam semesta adalah satu dan Tuhan juga mempunyai bentuk yaitu seluruh alam jasmaniah. Oleh karena pemikirannya ini, beliau disebut sebagai penganut panteisme-monistik.

Biografi Spinoza (1632-1677)
Benedictus de Spinoza adalah filosof besar yang paling dihargai dan dihormati. Secara intelektual, beberapa filosof lain mengunggulinya, tetapi secara etis, dialah yang tertinggi. Konsekwensinya, selama hidupnya dan satu abad setelah kematiannya, Spinoza dianggap sebagai orang yang sangat jijik pada kejahatan.

Beliau lahir di kota Amsterdam pada tanggal 24 November 1632 dengan nama Baruch de Spinoza. Beliau lahir dari pasangan Yahudi yang mengungsi dari Portugal. Ayahnya merupakan seorang pedagang yang kaya. Nama panggilan Spinoza adalah "Bento" yang artinya sama dalam Bahasa Portugis sebagaimana juga Baruch dalam Bahasa Hebrew dan Benedictus dalam Bahasa Latin yang berarti “yang diberkati”.

Lingkungan tempat beliau dibesarkan merupakan sekelompok masyarakat yang masih percaya kepada takhayul dan hal-hal yang bersifat tabu religious. Di masa kecilnya, beliau telah menunjukkan kecerdasannya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa beliau bisa menjadi seorang rabbi. Dalam kehidupannya, beliau tidak hanya belajar matematika dan ilmu-ilmu alam, beliau juga mempelajari bahasa Latin, Yunani, Belanda, Spayol, Perancis, Yahudi, Jerman, Hebrew, dan Italia. Pada usianya yang ke 18 tahun, beliau membuat marah komunitas Yahudi karena beliau meragukan Kitab Suci sebagai Wahyu Allah, mengkritik posisi imam Yahudi, mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi sebagai umat pilihan Yahweh, dan keterlibatan Allah secara personal dalam sejarah manusia.

Sikap yang ditunjukkan beliau kepada orang Yahudi, membuat para tokoh agama Yahudi mengambil sebuah sikap. Para tokoh agama Yahudi pada saat itu menjadi gelisah dengan semua ajaran-ajaran beliau. Para tokoh agama ini terus menerus memaksa agar beliau kembali lagi pada ortodoksi agama, namun hal ini tidak pernah berhasil. Akhirnya pada tahun 1656, beliau dikucilkan dari Sinagoga bahkan dianggap mati oleh komunitasnya. Hal yang lebih menyakitkan lagi adalah kenyataan bahwa keluarganya pun turut mengucilkannya. Setelah ada keturunan Yahudi fanatic yang mencoba membunuh beliau, beliau kemudian meninggalkan Amsterdam dan pindah ke Den Haag. Meskipun demikian, beliau tetap tenang mengatasi masalah hidupnya. Hingga Akhirnya beliau mengganti nama dirinya dengan Benedictus de Spinoza sebagai tanda kehidupan barunya.

Setelah dikucilkan dari Sinagoga, beliau mencari tempat tinggal di tengah-tengah sekelompok orang Kristen yang mendapat pencerahan dengan membentuk suatu lingkungan filsafat dan akhirnya beliau dipilih untuk menjadi pemimpinnya. Dalam keadaan yang telah terkucilkan kehidupan beliau sangatlah sederhana. Beliau mencari nafkah dengan cara membuat lensa untuk kaca mata dan mikroskop sambil terus menerus menuliskan pemikiran-pemikirannya.

Disamping itu beliau juga menjadi guru pribadi pada keluarga kaya sampai beliau berkenalan dengan politisi Belanda yang kaya pada saat itu yaitu Jan De Witt. Tahun 1673 beliau diundang sebagai pengajar di Universitas Heidelberg tetapi beliau menolaknya karena bagi beliau tidak ada yang lebih mengerikan dari pada kenyataan bahwa orang-orang dihukum mati karena berpikir bebas. Akhirnya pada tanggal 21 Februari 1677 beliau meninggal pada usia 44 tahun karena penyakit TBC paru-paru yang telah lama beliau derita.

Pemikiran-Pemikiran Spinoza (1632-1677)
Pemikiran-pemikiran Spinoza menumbuhkan beberapa teori, yaitu teori substansi tunggal, teori politik, dan teori emosi. Yang pertama adalah teori substansi tunggal. Teori ini merupakan buah pemikiran beliau yang paling terkenal. Pemikiran ini merupakan tanggapan beliau atas pemikiran Descartes tentang masalah substansi dan hubungan antara jiwa dan tubuh. Dalam filsafat Descartes, terdapat sebuah permasalahan yaitu bagaimana Allah, jiwa, dan dunia material dapat dipikirkan sebagai satu kesatuan utuh.

Melalui bukunya yang berjudul Ethica, ordine geometrico demonstrata (Etika yang dibuktikan dengan cara geometris), beliau mencoba menjawab permasalahan ini. Ia memulai menjawab permasalahan dari filsafat Descartes dengan memberikan sebuah pengertian mengenai substansi. Substansi dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya.

Menurut beliau, sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Bagi beliau, hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah. Menurut beliau, sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Hanya Allah yang memiliki sifat yang tak terbatas, abadi, mutlak, tunggal, dan utuh.  Selain itu, beliau juga mengajarkan apabila Allah adalah satu-satunya substansi, maka segala yang ada harus dikatakan berasal dari pada Allah. Hal ini berarti semua gejala pluralitas dalam alam baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora dan fauna, bahkan bintang) maupun yang bersifat rohaniah (perasaan, pemikiran, atau kehendak) bukanlah hal yang berdiri sendiri melainkan tergantung sepenuhnya dan mutlak pada Allah. Untuk menyebut gejala ini, beliau menggunakan sebuah istilah yaitu Modi. Modi merupakan bentuk atau cara tertentu dari keluasan dan pemikiran.

Dengan demikian, semua gejala dan realitas yang kita lihat dalam alam hanyalah modi saja dari Allah sebagai substansi tunggal. Dengan kata lain, alam dan segala isinya adalah identik dengan Allah secara prinsipil. Kata kunci ajaran beliau adalahDeus sive natur (Allah atau alam). Yang berbeda dari ajaran ini hanyalah istilah dan sudut pandangnya saja. Sebagai Allah, alam adalah natura naturans (alam yang melahirkan). Natura naturans dipandang sebagai asal-usul, sebagai sumber pemancaran, sebagai daya pencipta yang asali.

Sebagai dirinya sendiri, alam adalah natura naturata (alam yang dilahirkan) yaitu sebuah nama untuk alam dan Allah yang sama tetapi dipandang menurut perkembangannya yaitu alam yang kelihatan. Dengan ini beliau membantah ajaran Descartes bahwa realitas seluruhnya terdiri dari tiga substansi (Allah, jiwa, materi). Bagi beliau hanya ada satu substansi saja, yakni Allah/alam. Karena Tuhan telah menciptakan keduanya (jiwa dan materi) dan dapat melenyapkannya jika mau. Tapi kecuali dalam kaitannya dengan kemahatahuan Tuhan, pikiran dan materi adalah dua zat yang independen dan didefinisikan berturut-turut oleh sifat-sifat pemikiran dan pengembangan. Spinoza tidak mempunyai pemikiran yang seperti itu. Menurut beliau, pemikiran dan pengembangan adalah sifat-sifat Tuhan. Tuhan juga memiliki sifat-sifat lainnya yang tak terbatas jumlahnya, karena dia tidak terbatas dalam setiap aspek-Nya; tetapi sifat-sifat lain tersebut tidak kita ketahui. Jiwa individu dan potongan-potongan meteri yang terpisah bagi beliau merupakan kata sifat; semua itu bukanbenda, tetapi sekedar aspek-aspek dari yang Maha Suci.

Tidak ada keabadian pribadi seperti yang dipercaya oleh orang-orang Kristen, tetapi keabadian impersonal yang diperoleh dengan menjadi semakin dan semakin menyatu dengan Tuhan. Sesuatu yang terbatas didefinisikan oleh batas-batasnya, baik fisik maupun logis, yakni oleh apa yang bukan sesuatu: “semua determinasi adalah negasi”. Hanya ada Tuhan Esa yang seluruhnya positif, dan Dia pasti tidak terbatas secara absolute. Karena pemikirannya tersebut beliau dikenal sebagai penganut panteisme-monistik yang lengkap dan keras. Yang kedua adalah teori politik, teori politik Spinoza kebanyakan berasal dari Hobbes, selain perbedaannya yang sangat temperamental di antara kedua filosof ini. Spinoza mengatakan bahwa dalam keadaan alami (state of nature) tidak ada benar maupun salah, Karena kesalahan itu berupa pelanggaran hukum. Katanya lebih lanjut, bahwa raja tidak dapat berbuat salah, dan beliau setuju dengan Hobbes bahwa gereja sepenuhnya harus tunduk pada negara.

Beliau menentang semua pemberontakan, sekalipun terhadap sebuah pemerintahan yang buruk, dan mencontohkan kekacauan-kekacauan di Inggris sebagai bukti atas persoalan yang disebabkan oleh resistansi paksa terhadap penguasa. Tetapi beliau tidak setuju dengan Hobbes dalam memandang demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang “paling alami”. Beliau juga tidak setuju dengan pendapat bahwa warga Negara tidak boleh mengorbankan seluruh haknya demi sang raja.Secara khusus beliau melihat kebebasan berpendapat itu penting.

Yang ketiga adalah teori emosi. Teori ini dikemukakan setelah pembahasan metafisis tentang sifat dan asal mula pikiran, yang menuntun pada dalil yang mengejutkan bahwa “pikiran manusia cukup bisa mengetahui esensi Tuhan yang abadi dan tak terbatas”. Selain itu beliau juga mempunyai konsep tentang hasrat yang diuraikan dalam Buku Ketiga Ethics. “Segala sesuatu”, kata beliau, “sejauh hidup sendiri, berusaha mempertahankan keberadaannya sendiri”. Karenanya, muncullah cinta, kebencian, dan percekcokan. “Kebencian semakin menjadi-jadi karena dibalas dengan kebencian, dan dapat dihentikan dengan cinta”.

Menurut beliau alasan mendasar yang menggugah hasrat adalah menyelamatkan diri; tetapi menyelamatkan diri mengubah perannya ketika kita menyadari bahwa apa yang nyata dan positif pada diri kita adalah apa yang menyatukan kita dengan keseluruhan, bukannya apa yang melanggengkan keterpisahan. Selain itu beliau juga beranggapan bahwa kesenangan semata itu baik, tetapi harapan dan kekhawatiran itu buruk, demikian juga kerendahan hati dan tobat: “orang yang menyesali suatu perbuatan itu sial dua kali atau lemah”.

Beliau juga memandang waktu sebagai tidak nyata, dan makanya semua emosi yang berhubungan dengan suatu peristiwa masa depan atau masa lalu bertentangan dengan akal. “Sejauh pikiran memahami sesuatu dengan petunjuk akal, maka pikiran sama-sama dipengaruhi oleh ide tentang sesuatu masa kini, masa lalu, atau masa depan”. Pemikiran-pemikiran Spinoza banyak dituangkan dalam karya-karyanya, diantaranya: Ethica more geometric demonsrtata (Etika dibuktikan secara geometris,1677), Renati Descartes Principorium Philosophiae(Prinsip Filsafat Descartes,1663), Tractatus Theologico-Politicus (Traktat Politisi-teologis,1670), Tractactus de intellectus emendation (Traktat tentang perbaikan pemahaman,1677), dan Tractatus Politicus.

























BAGAN FILSAFAT EDISI FULL






Bagan Filsafat Hellenisme Hingga Filsafat Pertengahan (Bagian Kedua)




Bagan Filsafat Shopies dan Filsafat Yunani Klasik (Bagian Satu)

Akar Kolonialisme dan Empirialisme di Indonesia (Part 2, Belanda)
 8/23/2013 12:26:00 PM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments
Sebuah perjalanan panjang bangsa indonesia pra kemerdekaan, Kerajaan belanda merupakan bangsa ketiga selain Portugis dan Spanyol yang tercacat dalam sejarah indonesia yang telah menjajah Indonesia (Nusantara). Dalam kurun waktu yang tidaklah singkat, yaitu ± 3,5 abad, Ekspansi kerajaan belanda menjelajahi belahan dunia dikarenakan sebuah kesadaran kerajaan belanda terhadap kemajuan portugis dan spanyol dalam berbagai hal dan tercatat dalam berbagai literatur terkait, Belanda datang ke Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain adalah sebagai berikut:

Pada mulanya pedagang-pedagang Belanda yang berpusat di Rotterdam membeli rempah-rempah dari Lisabon.Pada waktu itu Belanda masih dalam penjajahan Spanyol,kemudian terjadilah perang 80 tahun,dan berhasil melepaskan Belanda terhadap Spanyol,serta menjadikan William Van Oranye sebagai pahlawan kemerdekaan Belanda.
Pada tahun 1580 Raja Philip dari Spanyol naik tahta,ia berhasil mempersatukan Spanyol dan Portugis ,Akibatnya Belanda tidak dapat lagi mengambil rempah-rempah dari Lisabon yang sedang dikuasai Spanyol,hal itulah yang mendorong Belanda mulai mengadakan penjelajahan samudera untuk mendapatkan daerah asal rempah-rempah
Adanya petunjuk jalan ke Indonesia dari Jan Huygen Van Linscoten,mantan pelaut Belanda yang berkerja pada portugis dan pernah keIndonesia.

Meskipun kerajaan belanda tidak seperti kerajaan Portugis dan Spanyol yang melakukan ekspansi menjelajahi belahan dunia atas izin paus Alexander VI, tetapi kerajaan belanda tetaplah menggunakan misi yang sama dalam ekspansinya yaitu Misi “feitoria, fortaleza, dan igreja” atau lebih dikenal dengan istilah 3G “Gold, Glory and Gospel”.

Perjalanan Belanda ke Indonesia
Pada tahun 1595 Linscoten berhasil menemukan tempat-tempat di Pulau Jawa yang bebas dari tangan Portugis dan banyak menghasilkan rempah-rempah untuk diperdagangkan,Peta yang dibuat olehLinscoten diberi nama Interatio yang artinya keadaan didalam atau situasi di Indonesia.


Kemudian, berangkatlah 4 buah kapal di bawah pimpinan Cornelis de houtman pleter de kalzer menuju Indonesia melalui lautan atlantik. Mereka menyusuri pantai barat afrika dan sanapal di tanjung harapan. Dari tanjung harapan, mereka mengarungi lautan hHindia dan kemudian masuk ke Indonesia melalui selat sunda. Mereka menghindari jalur selat malaka karena portugis menguasai malaka. Tibalah mereka di pelabuhan banten. Banten,dan pada mulanya kedatangan mereka mendapat sambutan baik dari masyarakat Banten. Kedatangan Belanda diharapkan dapat memajukan perdagangan dan dapat membantu usaha penyerangan ke Palembang yang dipimpin oleh raja Maulana Muhammad,akan tetapi sikap De Houtman semakin kaku dalam perdagangan (hanya mau membeli rempah-rempah pada musim panen dan membeli melalui pejabat atau cina perantara,akhirnya Ia ditangkap dan dibebaskan setelah membayar uang tebusan kemudian meninggalkan Banten). Walaupun demikian de Houtman disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat Belanda, ia dianggap sebagai pelopor pelayaran menemukan jalan laut ke Nusantara.

Pada tanggal 28 November 1598 pelayaran baru Belanda dipimpin oleh Jacob van Neck dan Wybrect van Waerwyck dengan 8 buah kapal tiba di Banten.Pada saat itu hubungan Banten dengan Portugis sedang memburuk sehingga kedatangan Belanda diterima dengan baik. Karena sikap Van Neck yang sangat hati-hati dan pandai mengambil hati para pembesar Banten ,maka 3 buah kapalnya yang penuh muatan rempah-rempah berhasil dikirim ke Belanda dan 5 buah kapal yang lainnya menuju Maluku. Di Maluku ,Belanda juga diterima dengan baik oleh rakyat Maluku karena dianggap sebagai musuh Portugis yang sedang bermusuhan dengan rakyat Maluku.

Berdirinya VOC (Vereenigde Oost Compagnie)

Keberhasilan ekspedisi-ekspedisi Belanda dalam mengadakan perdagangan rempah-rempah mendorong pengusaha-pengusaha Belanda yang lainnya untuk berdagang ke Nusantara.Diantara mereka terjadi persaingan.Disamping itu mereka harus harus menghadapi persaingan dengan Portugis,Spanyol dan Inggris.Akibatnya mereka saling menderita kerugian,lebih lebih dengan sering terjadinya perampokan perampokan oleh bajak laut.

Atas prakarsa dari 2 orang tokoh Belanda yaitu Pangeran Maurits dan Johan van Olden Barnevelt pada tahun 1602 kongsi-kongsi dagang Belanda dipersatukan menjadi sebuah kongsi dagang besar yang diberinama VOC (Verenigde Oost Indesche Compagnie ) atau ‘Persekutuan Maskapai Perdagangan HHindia Timur’, pengurus pusat VOC terdiri dari 17 orang. VOC membuka kantor pertamanya di Banten yang dikepalai oleh Francois Witter .Selain untuk menjaga persaingan dengan Bangsa lain yang mencoba masuk ke Indonesia, VOC didirikan untuk tujuan lain, yaitu:

Menghindari persaingan tidak sehat diantara sesama pedagang Belanda untuk keuntungan maksimal.
Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan,baik dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya maupun dengan bangsa-bangsa Asia.
Membantu dana pemerintah Belanda yang sedang berjuang menghadapi Spanyol.
Dengan berdirinya VOC maka pemerintah Belanda pun memberikan hak-hak istimewa bagi VOC, agar dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal dan hak-kak itu adalah: Memonopoli perdagangan, Mencetak dan mengedarkan uang, Mengangkat dan memperhentikan pegawa, Mengadakan perjanjian dengan raja-raja, Memiliki tentara untuk mempertahankan diri, Mendirikan benteng, Menyatakan perang dan damai dan Mengangkat dan memberhentikan penguasa-penguasa setempat.

Legalisasi Perbudakan dimulai oleh VOC
Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudak diresmikan dengan adanya Undang-Undang Perbudakan. Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak. Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu, terutama di zaman Romawi. Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak. Selama Perang Salib/Sabil yang berlangsung sekitar 200 tahun, ratusan ribu orang dari berbagai etnis yang ditawan, dijual sebagai budak sehingga membanjiri pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak waktu itu.

Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan. Di Amerika Serikat –negara yang mengklaim sebagai sokoguru demokrasi- perbudakan secara resmi baru dihapus tahun 1865, namun warga kulit hitam masih harus menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka memperoleh hak memilih dan dipilih.


Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah Hindia-Belanda, perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun ketika Inggris berkuasa di Hindia-Belanda (The British inter-regnum). Perang koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di Hindia-Belanda. Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di Hindia Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian di Eropa, kembali membawa perubahan di HHindia Belanda di mana Belanda “menerima kembali” HHindia-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga Pemerintah HHindia Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak.
Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun 1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.
Dari data/tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak.

Runtuhnya VOC
Penjajahan Pemerintah Hindia-Belanda Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para residen. Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi.

Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Hancur karena korupsi).


Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan VOC, diambil alih –termasuk utang VOC sebesar 134 juta gulden- oleh Pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian politik kolonial resmi ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda. Yang menjalankan politik imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan Hindia-Belanda (Nederlands-Indië) di bawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal.

Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797 – 1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia-Belanda pertama (1800 – 1801).

Kolonialisasi Belanda
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalamPerang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya - baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.

Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Politik Etis (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.

Akhir Penjajahan Belanda

Politik etis “Ethische Politiek” Belanda ternyata berdampak sistemik terhadap rakjat Indonesia, sejak didirikannya STOVIA pada tahun 1901, kesadaran untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan hadir, sehingga ada 1905 gerakan nasionalis yang pertama, Serikat Dagang Islam dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, Budi Utomo. Belanda merespon gerakan-gerakan SDI dan Boedi Oetomo tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno.


Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.








Akar Kolonialisme dan Empirialisme di Indonesia (Part 1, Portugis dan Spanyol)
 8/22/2013 11:16:00 PM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments
Dampak Perang Salib.


Perkembangan peradaban dunia sangatlah berkembang pesat pasca Perang Salib tanpa disadari telah membuka mata orang Eropa tentang peradaban yang jauh lebih unggul ketimbang mereka. Eropa mengalami pencerahan akibat bersinggungan dengan orang-orang Islam dalam Perang Salib ini. Merupakan fakta jika jauh sebelum Eropa berani melayari samudera, bangsa Arab telah dikenal dunia sebagai bangsa pedagang pemberani yang terbiasa melayari samudera luas hingga ke Nusantara. Bahkan kapur barus yang merupakan salah satu zat utama dalam ritual pembalseman para Fir’aun di Mesir pada abad sebelum Masehi, didatangkan dari satu kampung kecil bernama Barus yang berada di pesisir barat Sumatera tengah.

Dari pertemuan peradaban inilah bangsa Eropa mengetahui jika ada satu wilayah di selatan bola dunia yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yang tidak terdapat di belahan dunia manapun. Negeri itu penuh dengan karet, lada, dan rempah-rempah lainnya, selain itu Eropa juga mencium adanya emas dan batu permata yang tersimpan di perutnya. Tanah tersebut iklimnya sangat bersahabat, dan alamnya sangat indah. Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Nusantara. Mendengar semua kekayaan ini Eropa sangat bernafsu untuk mencari semua hal yang selama ini belum pernah didapatkannya.

Misionaris “feitoria, fortaleza, dan igreja”.
Paus Alexander VI pada tahun 1494 memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas. Dengan adanya perjanjian ini, Paus Alexander dengan seenaknya membelah dunia di luar daratan Eropa menjadi dua kapling untuk dianeksasi. Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas itu mengikuti lingkaran garis lintang dari Tanjung Pulau Verde, melampaui kedua kutub bumi. Ini memberikan Dunia Baru—kini disebut Benua Amerika—kepada Spanyol. Afrika serta India diserahkan kepada Portugis. Paus menggeser garis demarkasinya ke arah timur sejauh 1.170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brazil pun jatuh ke tangan Portugis. Jalur perampokan bangsa Eropa ke arah timur jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Spanyol berlayar ke Barat dan Portugis ke Timur, keduanya akhirnya bertemu di Maluku, di Laut Banda.

Sebelumnya, jika dua kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka mereka akan berkelahi, namun saat bertemu di Maluku, Portugis dan Sanyol mencoba untuk menahan diri. Pada 5 September 1494, Spanyol dan Portugal membuat perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer dari Tanjung Verde. Garis itu berada di timur dari kepulauan Maluku, di sekitar Guam.

Masuk pada awal tahun 1500an saat petualangan itu dimulai biasanya para pelaut negeri Katolik itu diberkati oleh pastor dan raja sebelum berlayar melalui Sungai Tagus. Ekspansi yang dikenal dengan kata bahasa Portugis, yakni feitoria, fortaleza, dan igreja. Arti harfiahnya adalah emas, kejayaan, dan gereja atau perdagangan, dominasi militer, dan penyebaran agama Katoliksaat dan pada tahun 1502 Vasco da Gama memulai petualangan ke timur.

Pada saat itulah ekspansi besar-besaran portugis ke wilayah asia tenggara khususnya indonesia sebagai target eksploitasi sumber daya alam terkhusus pala dan rempah-rempah. Periode 1511-1526, selama 15 tahun, Nusantara menjadi pelabuhan maritim penting bagi Kerajaan Portugis, yang secara reguler menjadi rute maritim untuk menuju Pulau Sumatera, Jawa, Banda, dan Maluku. Pada tahun 1511 Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka. Pada tahun 1512 Portugis menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang, terutama lada. Perjanjian dagang tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 21 Agustus 1522 dalam bentuk dokumen kontrak yang dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal. Pada hari yang sama dibangun sebuah prasasti yang disebut Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal di suatu tempat yang saat ini menjadi sudut Jalan Cengkeh dan Jalan Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. Dengan perjanjian ini maka Portugis dibolehkan membangun gudang atau benteng di Sunda Kelapa.

Pada tahun 1512 juga Afonso de Albuquerque mengirim Antonio Albreu dan Franscisco Serrao untuk memimpin armadanya mencari jalan ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Sepanjang perjalanan, mereka singgah di Madura, Bali, dan Lombok. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara hingga tiba di Ternate. Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon.Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen. Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama.

Sejak itulah, ekspansi ke seluruh belahan dunia baru Portugis dan Spanyol berdasarkanPerjanjian Tordesillas, berhasil memperluas wilayah ekspansi, berhasil membawa banyak rempah-rempah dari pelayarannya dan berhasil pula menyebarkan agama khatolik terhadap penduduk di bawah kekuasaan mereka. Seluruh Eropa mendengar hal tersebut dan mulai berlomba-lomba untuk juga mengirimkan armadanya ke wilayah yang baru di selatan. Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru, pengertian antara perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel. Seluruh penguasa, raja-raja, para pedagang, yang ada di Eropa membahas tentang negeri selatan yang sangat kaya raya ini. Mereka berlomba-lomba mencapai Nusantara dari berbagai jalur. Sayang, saat itu belum ada sebuah peta perjalanan laut yang secara utuh dan detil memuat jalur perjalanan dari Eropa ke wilayah tersebut yang disebut Eropa sebagai Hindia Timur. Peta bangsa-bangsa Eropa baru mencapai daratan India, sedangkan daerah di sebelah timurnya masih gelap.

Dibandingkan Spanyol, Portugis lebih unggul dalam banyak hal. Pelaut-pelaut Portugis yang merupakan tokoh-tokoh pelarian Templar (dan mendirikan Knight of Christ), dengan ketat berupaya merahasiakan peta-peta terbaru mereka yang berisi jalur-jalur laut menuju Asia Tenggara. Peta-peta tersebut saat itu merupakan benda yang paling diburu oleh banyak raja dan saudagar Eropa. Namun ibarat pepatah, “Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, maka demikian pula dengan peta rahasia yang dipegang pelaut-pelaut Portugis. Sejumlah orang Belanda yang telah bekerja lama pada pelaut-pelaut Portugis mengetahui hal ini. Salah satu dari mereka bernama Jan Huygen van Linschoten. Pada tahun 1595 dia menerbitkan buku berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien, Pedoman Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis, yang memuat berbagai peta dan deksripsi amat rinci mengenai jalur pelayaran yang dilakukan Portugis ke Hindia Timur, lengkap dengan segala permasalahannya.

Awal Keruntuhan Portugis.
Buku itu laku keras di Eropa, namun tentu saja hal ini tidak disukai Portugis. Bangsa ini menyimpan dendam pada orang-orang Belanda. Berkat van Linschoten inilah, Belanda akhirnya mengetahui banyak persoalan yang dihadapi Portugis di wilayah baru tersebut dan juga rahasia-rahasia kapal serta jalur pelayarannya. Para pengusaha dan penguasa Belanda membangun dan menyempurnakan armada kapal-kapal lautnya dengan segera, agar mereka juga bisa menjarah dunia selatan yang kaya raya, dan tidak kalah dengan kerajaan-kerajaan Eropa lainnya.

kemudian mereka membangun benteng di Ternate tahun 1511, kemudian tahun 1512 membangun Benteng di Amurang Sulawesi Utara. Portugis kalah perang dengan Spanyol maka daerah Sulawesi utara diserahkan dalam kekuasaan Spanyol (1560 hingga 1660).Persahabatan Portugis dan maluku Ternate berakhir pada tahun 1570 yang kurang lebih hanya setengah abad. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.

Pada tahun 1595 Belanda mengirim satu ekspedisi pertama menuju Nusantara yang disebutnya Hindia Timur. Ekspedisi ini terdiri dari empat buah kapal dengan 249 awak dipimpin Cornelis de Houtman, seorang Belanda yang telah lama bekerja pada Portugis di Lisbon. Lebih kurang satu tahun kemudian, Juni 1596, de Houtman mendarat di pelabuhan Banten yang merupakan pelabuhan utama perdagangan lada di Jawa, lalu menyusur pantai utaranya, singgah di Sedayu, Madura, dan lainnya. Kepemimpinan de Houtman sangat buruk. Dia berlaku sombong dan besikap semaunya pada orang-orang pribumi dan juga terhadap sesama pedagang Eropa. Sejumlah konflik menyebabkan dia harus kehilangan satu perahu dan banyak awaknya, sehingga ketika mendarat di Belanda pada tahun 1597, dia hanya menyisakan tiga kapal dan 89 awak. Walau demikian, tiga kapal tersebut penuh berisi rempah-rempah dan benda berharga lainnya.

Orang-orang Belanda berpikiran, jika seorang de Houtman yang tidak cakap memimpin saja bisa mendapat sebanyak itu, apalagi jika dipimpin oleh orang dan armada yang jauh lebih unggul. Kedatangan kembali tim de Houtman menimbulkan semangat yang menyala-nyala di banyak pedagang Belanda untuk mengikut jejaknya. Jejak Houtman diikuti oleh puluhan bahkan ratusan saudagar Belanda yang mengirimkan armada mereka ke Hindia Timur. Sehingga pada masa Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku. Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC. Pada saat inilah portugis terusir hingga ke timut timor timur (sekarang timor leste).















Keruntuhan Atheisme
 5/31/2013 11:23:00 PM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments

Tokoh materialisme dimulai pada abad ke-18 dengan hadirnya tokoh-tokoh seperti ‘denis.c.dero, baum.d.holba, dan david hume’ yang melakukan penegasan bahwa “tidak ada sesuatu selain materi”. Sehingga dengan menguatnya isme-isme ini mendapat dukungan terbesar dari charles darwin yang menolak teori penciptaan karena darwin menyatakan bahwa terdapat mekanisme di alam sehingga dapat menghidupkan benda yang tak hidup. Memasuki abad ke-19 isme-isme materialis semakin kokoh dengan hadirnya tokoh-tokoh seperti neitzhe, karl marx, angel, emile durkheim dan sigmund freud yang menerapkan pemikiran atheisme kesejumlah bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Kaum materialisme membentuk mindset dan paradigma sendiri tentang segala  hal dengan mengatakan alam bukanlah hadir dari sebuah penciptaa.n melainkan dari kebetulan.

Kaum materialisme mengatakan akan ada selamanya dan hadir tanpa tujuan apapun. Namun, pemikiran ini mulai runtuh dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, dalam buku ‘God the Evidence’ karya Patrick Glynn menyatakan “the reconsiliation of faith nd reason in a postsecular world” penelitian selama 20 tahun telah menjungkirbalikkan semua asumsi dan perkiraan mendasar dari para pemikir sekuler dan atheis modern tentang masalah ketuhanan. Selama 1 abad terjadi perdebatan antara ilmu pengetahuan dan agama, namun kini data mengarah kuat pada hipotesis keberadaan Tuhan.

Kosmologi “Fakta Penemuan Penciptaan”
Para filsuf-filsuf yunani kuno menyatakan konsepsi kosmos dengan sebuah gagasan tak hingga, karena tidak ada satupun filsuf yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan penciptaan alam semesta dengan melakukan pendekatan rasional melainkan hanya pendekatan irrasional. Memasuki era hingga akhir abad ke-14, semua pendekatan ilmu pengetahuan teruntuhkan dengan kuatnya mashab-mashab skriptual patristik dan skolatik. Namun, memasuki abad ke-15 yang merupakan era kebangkitan ilmu pengetahuan menghantarkan pada banyaknya hipotesa teori alam semesta seperti di abad ke-18 hipotesa filsuf pertama di era baru Immanuel kant menyatakan bahwa “Jagad raya telah ada sejak dahulu kala dan bukan dari penciptaan”.

Bukti alam memiliki permulaan.
Meskipun banyak pula hipotesa yang menyatakan bahwa “alam semesta memiliki permulaan” namun tidak ada pendekatan ilmiah yang mampu menjawab dan merasionalisasikan teori penciptaan tersebut. Nanti masuk pada tahun 1929, seorang astronot amerika ‘Edwin Hubble’ menemukan jagad raya terus berkembang/mengaktual/dinamis dan bergerak dengan menggunakan peneropongan teleskop Hubble dan inilah awal ilmiah teori bigbang. Teori Edwin hubble di perkokoh dengan hadirnya teori blackhole ‘albert einstein’ yang menyatakan bahwa ‘jagad raya berasal dari satu titik tunggal yang memiliki berat tak hingga dan ber volume nol.

Memasuki tahun 1960an, para tokoh terus mengembangkan teori-teori edwin hubble hingga hadirlah arno banzeaz dan robert wilson yang menemukan sisa-sisa radioaktif yang merupakan sebuah dentuman besar dan pada tahun 1990an penemuan tingkat radiasi yang terekam oleh satelit COBE “Cosmic Background Explore”.

Hingga di era globalisasi ini penelitian maupun eksperimen terus berlanjut untuk mendapatkan data dan menjelasan secara lebih ilmiah dengan seakurat mungkin. Semoga gambaran ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian dan insya Allah pada artikel-artikel selanjutnya akan kami paparkan secara lebih rinci dan sedetail mungin.





















Baruch De Spinoza dan Pemikirannya
 1/28/2013 10:53:00 PM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments


Zaman modern adalah zaman dimana akal sangat diagung-agungkan. Selain itu pengaruh gereja sudah tidak dominan lagi karena kekuasaan gereja yang begitu agung di zaman Renaissance tersebut sudah runtuh. Keruntuhan kekuasaan gereja ini membawa dampak positif bagi perkembangan keilmuan di zaman ini. Tak heran bila di zaman ini muncul banyak filosof-filosof hebat yang begitu buah pemikirannya mampu mengguncang dunia. Salah satu filosof hebat tersebut adalah Baruch de Spinoza.

Baruch de Spinoza (24 November 1632 – 21 Februari 1677) lahir di kota Amsterdam dari pasangan Yahudi yang mengungsi dari Portugal. Pikiran beliau berakar dalam tradisi Yudaisme. Beliau mempunyai tiga pemikiran yaitu teori substansi tunggal, teori politik, dan teori emosi. Diantara ketiga pemikiran tersebut yang terkenal adalah ajaran mengenai Substansi tunggal Allah atau alam. Hal ini ia katakan karena baginya Tuhan dan alam semesta adalah satu dan Tuhan juga mempunyai bentuk yaitu seluruh alam jasmaniah. Oleh karena pemikirannya ini, beliau disebut sebagai penganut panteisme-monistik.

Biografi Spinoza (1632-1677)
Benedictus de Spinoza adalah filosof besar yang paling dihargai dan dihormati. Secara intelektual, beberapa filosof lain mengunggulinya, tetapi secara etis, dialah yang tertinggi. Konsekwensinya, selama hidupnya dan satu abad setelah kematiannya, Spinoza dianggap sebagai orang yang sangat jijik pada kejahatan.

Beliau lahir di kota Amsterdam pada tanggal 24 November 1632 dengan nama Baruch de Spinoza. Beliau lahir dari pasangan Yahudi yang mengungsi dari Portugal. Ayahnya merupakan seorang pedagang yang kaya. Nama panggilan Spinoza adalah "Bento" yang artinya sama dalam Bahasa Portugis sebagaimana juga Baruch dalam Bahasa Hebrew dan Benedictus dalam Bahasa Latin yang berarti “yang diberkati”.

Lingkungan tempat beliau dibesarkan merupakan sekelompok masyarakat yang masih percaya kepada takhayul dan hal-hal yang bersifat tabu religious. Di masa kecilnya, beliau telah menunjukkan kecerdasannya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa beliau bisa menjadi seorang rabbi. Dalam kehidupannya, beliau tidak hanya belajar matematika dan ilmu-ilmu alam, beliau juga mempelajari bahasa Latin, Yunani, Belanda, Spayol, Perancis, Yahudi, Jerman, Hebrew, dan Italia. Pada usianya yang ke 18 tahun, beliau membuat marah komunitas Yahudi karena beliau meragukan Kitab Suci sebagai Wahyu Allah, mengkritik posisi imam Yahudi, mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi sebagai umat pilihan Yahweh, dan keterlibatan Allah secara personal dalam sejarah manusia.

Sikap yang ditunjukkan beliau kepada orang Yahudi, membuat para tokoh agama Yahudi mengambil sebuah sikap. Para tokoh agama Yahudi pada saat itu menjadi gelisah dengan semua ajaran-ajaran beliau. Para tokoh agama ini terus menerus memaksa agar beliau kembali lagi pada ortodoksi agama, namun hal ini tidak pernah berhasil. Akhirnya pada tahun 1656, beliau dikucilkan dari Sinagoga bahkan dianggap mati oleh komunitasnya. Hal yang lebih menyakitkan lagi adalah kenyataan bahwa keluarganya pun turut mengucilkannya. Setelah ada keturunan Yahudi fanatic yang mencoba membunuh beliau, beliau kemudian meninggalkan Amsterdam dan pindah ke Den Haag. Meskipun demikian, beliau tetap tenang mengatasi masalah hidupnya. Hingga Akhirnya beliau mengganti nama dirinya dengan Benedictus de Spinoza sebagai tanda kehidupan barunya.

Setelah dikucilkan dari Sinagoga, beliau mencari tempat tinggal di tengah-tengah sekelompok orang Kristen yang mendapat pencerahan dengan membentuk suatu lingkungan filsafat dan akhirnya beliau dipilih untuk menjadi pemimpinnya. Dalam keadaan yang telah terkucilkan kehidupan beliau sangatlah sederhana. Beliau mencari nafkah dengan cara membuat lensa untuk kaca mata dan mikroskop sambil terus menerus menuliskan pemikiran-pemikirannya.

Disamping itu beliau juga menjadi guru pribadi pada keluarga kaya sampai beliau berkenalan dengan politisi Belanda yang kaya pada saat itu yaitu Jan De Witt. Tahun 1673 beliau diundang sebagai pengajar di Universitas Heidelberg tetapi beliau menolaknya karena bagi beliau tidak ada yang lebih mengerikan dari pada kenyataan bahwa orang-orang dihukum mati karena berpikir bebas. Akhirnya pada tanggal 21 Februari 1677 beliau meninggal pada usia 44 tahun karena penyakit TBC paru-paru yang telah lama beliau derita.

Pemikiran-Pemikiran Spinoza (1632-1677)
Pemikiran-pemikiran Spinoza menumbuhkan beberapa teori, yaitu teori substansi tunggal, teori politik, dan teori emosi. Yang pertama adalah teori substansi tunggal. Teori ini merupakan buah pemikiran beliau yang paling terkenal. Pemikiran ini merupakan tanggapan beliau atas pemikiran Descartes tentang masalah substansi dan hubungan antara jiwa dan tubuh. Dalam filsafat Descartes, terdapat sebuah permasalahan yaitu bagaimana Allah, jiwa, dan dunia material dapat dipikirkan sebagai satu kesatuan utuh.

Melalui bukunya yang berjudul Ethica, ordine geometrico demonstrata (Etika yang dibuktikan dengan cara geometris), beliau mencoba menjawab permasalahan ini. Ia memulai menjawab permasalahan dari filsafat Descartes dengan memberikan sebuah pengertian mengenai substansi. Substansi dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya.

Menurut beliau, sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Bagi beliau, hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah. Menurut beliau, sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Hanya Allah yang memiliki sifat yang tak terbatas, abadi, mutlak, tunggal, dan utuh.  Selain itu, beliau juga mengajarkan apabila Allah adalah satu-satunya substansi, maka segala yang ada harus dikatakan berasal dari pada Allah. Hal ini berarti semua gejala pluralitas dalam alam baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora dan fauna, bahkan bintang) maupun yang bersifat rohaniah (perasaan, pemikiran, atau kehendak) bukanlah hal yang berdiri sendiri melainkan tergantung sepenuhnya dan mutlak pada Allah. Untuk menyebut gejala ini, beliau menggunakan sebuah istilah yaitu Modi. Modi merupakan bentuk atau cara tertentu dari keluasan dan pemikiran.

Dengan demikian, semua gejala dan realitas yang kita lihat dalam alam hanyalah modi saja dari Allah sebagai substansi tunggal. Dengan kata lain, alam dan segala isinya adalah identik dengan Allah secara prinsipil. Kata kunci ajaran beliau adalahDeus sive natur (Allah atau alam). Yang berbeda dari ajaran ini hanyalah istilah dan sudut pandangnya saja. Sebagai Allah, alam adalah natura naturans (alam yang melahirkan). Natura naturans dipandang sebagai asal-usul, sebagai sumber pemancaran, sebagai daya pencipta yang asali.

Sebagai dirinya sendiri, alam adalah natura naturata (alam yang dilahirkan) yaitu sebuah nama untuk alam dan Allah yang sama tetapi dipandang menurut perkembangannya yaitu alam yang kelihatan. Dengan ini beliau membantah ajaran Descartes bahwa realitas seluruhnya terdiri dari tiga substansi (Allah, jiwa, materi). Bagi beliau hanya ada satu substansi saja, yakni Allah/alam. Karena Tuhan telah menciptakan keduanya (jiwa dan materi) dan dapat melenyapkannya jika mau. Tapi kecuali dalam kaitannya dengan kemahatahuan Tuhan, pikiran dan materi adalah dua zat yang independen dan didefinisikan berturut-turut oleh sifat-sifat pemikiran dan pengembangan. Spinoza tidak mempunyai pemikiran yang seperti itu. Menurut beliau, pemikiran dan pengembangan adalah sifat-sifat Tuhan. Tuhan juga memiliki sifat-sifat lainnya yang tak terbatas jumlahnya, karena dia tidak terbatas dalam setiap aspek-Nya; tetapi sifat-sifat lain tersebut tidak kita ketahui. Jiwa individu dan potongan-potongan meteri yang terpisah bagi beliau merupakan kata sifat; semua itu bukanbenda, tetapi sekedar aspek-aspek dari yang Maha Suci.

Tidak ada keabadian pribadi seperti yang dipercaya oleh orang-orang Kristen, tetapi keabadian impersonal yang diperoleh dengan menjadi semakin dan semakin menyatu dengan Tuhan. Sesuatu yang terbatas didefinisikan oleh batas-batasnya, baik fisik maupun logis, yakni oleh apa yang bukan sesuatu: “semua determinasi adalah negasi”. Hanya ada Tuhan Esa yang seluruhnya positif, dan Dia pasti tidak terbatas secara absolute. Karena pemikirannya tersebut beliau dikenal sebagai penganut panteisme-monistik yang lengkap dan keras. Yang kedua adalah teori politik, teori politik Spinoza kebanyakan berasal dari Hobbes, selain perbedaannya yang sangat temperamental di antara kedua filosof ini. Spinoza mengatakan bahwa dalam keadaan alami (state of nature) tidak ada benar maupun salah, Karena kesalahan itu berupa pelanggaran hukum. Katanya lebih lanjut, bahwa raja tidak dapat berbuat salah, dan beliau setuju dengan Hobbes bahwa gereja sepenuhnya harus tunduk pada negara.

Beliau menentang semua pemberontakan, sekalipun terhadap sebuah pemerintahan yang buruk, dan mencontohkan kekacauan-kekacauan di Inggris sebagai bukti atas persoalan yang disebabkan oleh resistansi paksa terhadap penguasa. Tetapi beliau tidak setuju dengan Hobbes dalam memandang demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang “paling alami”. Beliau juga tidak setuju dengan pendapat bahwa warga Negara tidak boleh mengorbankan seluruh haknya demi sang raja.Secara khusus beliau melihat kebebasan berpendapat itu penting.

Yang ketiga adalah teori emosi. Teori ini dikemukakan setelah pembahasan metafisis tentang sifat dan asal mula pikiran, yang menuntun pada dalil yang mengejutkan bahwa “pikiran manusia cukup bisa mengetahui esensi Tuhan yang abadi dan tak terbatas”. Selain itu beliau juga mempunyai konsep tentang hasrat yang diuraikan dalam Buku Ketiga Ethics. “Segala sesuatu”, kata beliau, “sejauh hidup sendiri, berusaha mempertahankan keberadaannya sendiri”. Karenanya, muncullah cinta, kebencian, dan percekcokan. “Kebencian semakin menjadi-jadi karena dibalas dengan kebencian, dan dapat dihentikan dengan cinta”.

Menurut beliau alasan mendasar yang menggugah hasrat adalah menyelamatkan diri; tetapi menyelamatkan diri mengubah perannya ketika kita menyadari bahwa apa yang nyata dan positif pada diri kita adalah apa yang menyatukan kita dengan keseluruhan, bukannya apa yang melanggengkan keterpisahan. Selain itu beliau juga beranggapan bahwa kesenangan semata itu baik, tetapi harapan dan kekhawatiran itu buruk, demikian juga kerendahan hati dan tobat: “orang yang menyesali suatu perbuatan itu sial dua kali atau lemah”.

Beliau juga memandang waktu sebagai tidak nyata, dan makanya semua emosi yang berhubungan dengan suatu peristiwa masa depan atau masa lalu bertentangan dengan akal. “Sejauh pikiran memahami sesuatu dengan petunjuk akal, maka pikiran sama-sama dipengaruhi oleh ide tentang sesuatu masa kini, masa lalu, atau masa depan”. Pemikiran-pemikiran Spinoza banyak dituangkan dalam karya-karyanya, diantaranya: Ethica more geometric demonsrtata (Etika dibuktikan secara geometris,1677), Renati Descartes Principorium Philosophiae(Prinsip Filsafat Descartes,1663), Tractatus Theologico-Politicus (Traktat Politisi-teologis,1670), Tractactus de intellectus emendation (Traktat tentang perbaikan pemahaman,1677), dan Tractatus Politicus.








Jurgen Habermas Dan Pemikirannya
 1/28/2013 10:23:00 AM  Posted by Nur Amin Saleh  1 Comments


Jurgen Habermas merupakan penerus Marxian yang sangat kritis dari generasi kedua Mazhab Frankfurt. Ia, dilahirkan di Jerman 18 Juni 1929, seorang filsuf yang paling berpengaruh di abad kontemporer. Pemikiran-pemikiranya mulai munncul setelah ia memasuki sebujah aliran filsafat yang sejak 60 tahun semakin berpengaruh dalam dunia filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Habermas adalah seorang pemikir sosial yang sangat penting di dunia dewasa ini. Lahir dari keluarga kelas menengah yang agak tradisional. Ayahnya pernah menjabat direktur Kamar Dagang. Ketika berusia belasan tahun selama PD II Habermas sangat dipengaruhi oleh perang itu. Berakhirnya perang menimbulkan harapan dan peluang baru pemuda Jerman, termasuk Habermas. Hancurnya Nazisme menimbulkan optimisme mengenai masa depan Jerman, namun Habermas kecewa karena hampir tak ada kemajuan yang berarti di tahun-tahun permulaan sesudah perang. Dengan berakhirnya kekuasaan Nazi, semua jenis peluang intelektual muncul, dan buku-buku yang semula dilarang dibaca kini boleh dibaca dan tersedia buat Habermas.

Tahun 1956 Habermas tiba di The Institute for Social Research di Frankfurt dan bergabung dengan aliran Frankfurt. Ia sebenarnya menjadi asisten riset dari Theodor Adomo, anggota aliran Frankfurt yang sangat terkenal (Wiggershaus, 1994). Meski aliran Frankfurt sering dianggap mengembangkan aliran pikiran yang sangat berhubungan secara logis, pandangan Habermas tak seperti itu : Menurut saya, tak pernah ada teori yang konsisten. Adorno pernah menulis esai kritis tentang kultur dan juga memberikan seminar tentang Hegel. Ia memberikan latar belakang Marxis tertentu. (Habermas, dikutip dalam Wiggershaus, 1994:2). Meski ia bergabung dengan The Institute for Research, sedari awal Habermas telah menunjukkan orientasi intelektual yang bebas.

Latar Belakang Epistemologi Jurgen habermas
Latar belakang pemikiran Habermas terbentuk dalam sebuah dialektika. Dialektika dengan pemikiran Marxi(an) dan utamanya Mazhab Frankfurt, sebuah aliran neo-marxisme juga. Yang hendak diupayakan oleh habermas adalah mengatasi segala bentuk kemacetan yang hendak di undur oleh Mazhab Frankfurt. Menuret Habermas setidak-tidaknya ada enam tema dalam program teori kritis, yaitu: bentuk-bentuk integrasi sosial masyarakat post liberal, sosialisasi dan perkembangan ego, media massa dan kebudayaan massa, psikologi sosial protes, teori kritik atau positivisme. Keenam tema itu yang menjadi inspirasi bagi gerakan mahasiswa yang dikenal dengan “The New Left Movement”. Penelitian terhadap hubungan antara ilmu peng¬etahuan dan kepentingan menjadi salah satu usaha pokok Habermas. Penegasan kunci Habermas adalah bahwa tidak masuk akal kita bicara umum tentang kepentingan di be¬lakang ilmu-ilmu sebagaimana dilakukan oleh Horkheimer, Adorno dan Marcuse. Habermas menegaskan (sesuai dengan pendekatan teori kritis sejak semula) bahwa ilmu pengetahuan malah hanya mungkin sebagai perwujudan ke¬butuhan manusia, yang terungkap dalam suatu kepentingan fundamental. Pekerjaan merupakan “bentuk sintesis manusia dan alam yang di satu pihak mengikatkan objektivitas alam pada pekerjaan objektif subjek-subjek (manusia¬manusia, FMS), tetapi di lain pihak tidak meniadakan independensi eksistensinya” (EI. 46). Kenyataan ini menunjukkan bahwa pekerjaan merupakan kategori epistemologi, istilah filsafat ilmu pengetahuan,

Teori kritis Mazhab Frankfurt awal ditentang oleh teori tradisional, di mana teori tradisional mengatakan bahwa ‘pengetahuan manusia tidak menyejarah sehingga teori-teori yang dihasilkan juga bersifat ahistoris dan asosial atau bisa dikatakan teori ini berbentuk disenterested (bebas dari kepentingan). Masalah-masalah dalam teori kritis dijawab oleh habermas dengan mendasarkan teori kritis pada epistemologi yang bersifat praktis dan rasionalitas ilmu, karena itu perlu adanya pembeda yang jelas antara kepentingan kerja dengan paradigma komunikasi.

Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Pemikiran kritis merasa diri bertanggungjawab terhadap keadaan sosial yang nyata. Dengan demikian berpikir kritis berarti bahwa di suatu pihak perdebatan tetap berlangsung ditingkat filosofis-teoritis, jadi filsafat kritis tidak mau menjadi ideologi perjuangan. Tetapi di lain pihak filsafat kritis berdasarkan anggapan-anggapan yang mana masuk sampai ke dalam inti metodologinya bahwa justru sebagai kegiatan teoritis yang tetap tinggal dalam medium pikiran.

Pada Filsafat ilmu pengetahuan social melibatkan dirinya dalam dua isu: pertama; hakekat dunia, apa hakekat dari hal yang ada (di dunia), ini dan adakah perbedaan dari keberadaannya. Kedua; filsafat ilmu tertuju pada hakekat suatu penjelasan, mengenai cara mengetahui pengetahuan sebagai pengetahuan Marx me¬ngatakan semua ilmu pengetahuan akan menjadi berlebihan. kalau penampilan luar dan esensinya, persis sama. Tidak satupun penampilan luar dari meja saya yang memberitahukan kepada saya, bahwa ia terbuat dari jutaan, molekul yang bergabung satu sama lain. Menurut Marx terdapat dua pengertian yang jelas di mana suatu proses sebab akibat berlangsung dalam masyarakat.Pertama, seperangkat hubungan-hubungan sosial yang pokok, struktur sosial, bisa di lihat sebagai penyebab hubungan-hubungan sosial tertentu di permukaan misalnya seorang Marxis, bisa berdalih bahwa argumen argumen politik yang di laporkan dalam berita-berita setiap hari di sebabkan oleh hubun.gan-hubungan ekonomi yang penting, kendati argumen-argumen itu tidak menyangkut ekonomi. Kedua, suatu struktur pokok yang sedemikian rupa, sehingga ia memiliki hukum-hukum tertentu atau kecenderungan-kecenderungan perkembangan tertentu; misalnya mungkin ada mekanisme tertentu didalam hubungan-hubungan pokok masyarakat kapitalis yang membawa akibat krisis-krisis ekonomi yang berkelanjutan atau menyebabkan meningkatnya campur tangan negara dalam kegiatan ekonomi. Pertanyaan tentang bagaimana dunia dapat dimengerti (,masalah epistemologis) di pecahkan, dengan manusia membuat dunia itu.

Selama beberapa tahun, Habermas menjadi pemikir neo-Marxis paling terkenal di dunia. Namun, sesudah itu karyanya diperluasnya sehingga meliputi berbagai masukan teoritis yang berbeda. Ia tetap optimis terhadap masa depan kehidupan modern. Dengan optimisnya itulah ia menulis tentang modernitas sebagai proyek yang belum selesai itu. Sementara Marx memusatkan perhatian pada pekerjaan dan tenaga kerja, Habermas terutama memusatkan perhatian pada masalah komunikasi yang ia anggap sebagai proses yang lebih umum ketimbang pekerjaan. Sementara Marx memusatkan perhatian pada pengaruh distortif dari struktur masyarakat kapitalis terhadap struktur masyarakat kapitalis terhadap pekerjaan, Habermas memusatkan perhatian pada cara struktur masyarakat modern mendistorsi komunikasi. Sementara Marx membayangkan kehidupan masa depan ditandai oleh pekerjaan penuh dan tenaga kerja kreatif, Habermas membayangkan masyarakat masa depan ditandai oleh komunikasi bebas dan terbuka. Dengan demikian terdapat kesamaan yang mengagetkan antara teori Marx dan habermas. Kesamaan paling umum adalah bahwa keduanya merupakan pemikir modernitas yang yakin bahwa di masa hidup mereka, proyek modernitas masih belum selesai (terciptanya pekerjaan penuh dan kreatif menurut Marx dan terciptanya komunikasi bebas dan terbuka menurut Habermas). Keduanya berkeyakinan bahwa di masa depan proyek modernitas ini selesai.

Komitmen terhadap modernisme dan keyakinannya terhadap masa depan inilah yang menjauhkan Habermas dari kebanyakan pemikir kontemporer terkenal lain seperti Jean Baudrillard dan pakar post-modernisme lainnya. Sementara pakar post-modernisme ini sering terdorong ke arah nihilisme, Habermas terus yakin dengan proyek jangka panjangnya (modernitas). Begitu pula, sementara pemikir post-modern lain (misalnya Lyotard) menolak kemungkinan penciptaan teori agung (grand theory), Habermas tetap bekerja berdasarkan dan menyokong teori agung paling terkemuka dalam teori sosial modern. Banyak risiko yang dihadapi Habermas dalam berjuang melawan pemikiran pemikir post-modern. Bila mereka menang, Habermas mungkin akan dipandang sebagai pemikir modernitas besar terakhir. Bila Habermas (dan penyokongnya) yang tampil sebagai pemenang, ia mungkin akan dipandang sebagai “juru selamat” proyek modernitas dan teori agung dalam ilmu sosial.

Analisa Habermas tentang Kapitalis Modern
Habermas tentang kapitalisme modern kurang me¬naruh perhatian yang besar terhadap yang telah dikemukakan oleh para madzhab Frankfurt yang lebih awal. Hal itu dilihat pertama-tama sebagai suatu tahap dalam perkembangan yang bersifat evolusioner – suatu tingkat yang mungkin berlangsung salah dan membawa bencana, tetapi bagi Habermas bagaimanapun hal itu lebih merupakan suatu sistem sosial daripada suatu yang jahat. Seperti para pemikir yang lebih dahulu, dia menekankan dominasi teknologi dan nalar instrumental dan kits juga bisa lihat suatu pengalihan pandangan kebelangan yang lebih nostaigik-pads periode kapitalisme awal. Habermas melihat kapitalisme modern seperti yang dikarakterkan oleh dominasi negara atas ekonomi dan bidang-bidang lain dari kehidupan sosial.

Bagi Habermas intervensi negara dan akibat pertumbuhan dari nalar instrumental telah menjangkau suatu titik berbahaya yang disebutnya sebagai suatu “utopia negatif” adalah mungkin. Rasionalitas progesif dan putusan-putusan publik lebih menjangkau titik dimana organisasi sosial dan perbuatan putusan mungkin bisa di delegasikan kepada para penghitung mengeluarkannya dari arena perdebatan publik secara bersama-sama.Analisa mengenai kapitalisme awal serupa dengan analisanya Marx dengan krisis ekonomi sebagai hal yang paling penting. Bagaimanapun juga kapitalisme bisa dilihat sebagai suatu kombinasi dari tebak-berapa-banyak subsistem-subsistem: ekonomi, politik dan sosial budaya dan tempat krisis yang berpindah dari satu ke yang lainnya, ketika sistem berkembang krisis ekonomi dan konflik yang di hasilkan antara pekerjaan dan model di lihat semata-mata sebagai krisis sistem. Pertumbuhan integrasi dan kekuasaan dari negara merupakan suatu respons dan suatu usaha yang berhasil, walaupun Habermas tidak menyatakan bahwa krisis-krisis ekonomi telah, menghilang; memang untuk sementara akan sulit untuk bersikap keras terhadap pernyataan separti ini.

Jurgen Habermas Untuk Menuju Teori Praktis
Teori kritis menurut Habermas di sebut dengan “teori dengan maksud praktis” berarti tindakan yang membebaskan model teori kritis dengan maksud praktis ditemukan Habermas. Dalam masalah teori-teori Habermas mempunyai beberapa kepentingan; kepentingan peng-etahuan dan kepentingan praktis ide itu bukanlah tidak serupa dengan mengatakan bahwa seorang mahasiswa mengembangkan suatu “kepentingan” dengan maksud untuk memperoleh suatu tingkat dari tujuannya. Kepentingan yang dibicarakan Habermas ini, bagaimanapun juga dimiliki oleh kita semua dalam keanggotaan masyarakat manusia. Argumentasinya berakar di dalam karya Marx, dan kita temukan kritikan utamanya tentang teori Marx.Kepentingan selanjutnya yaitu kepentingan praktis, yang pada gilirannya memunculkan ilmu pengetahuan Hermeneutik yang dengan caranya menginterpretasikan tindakan satu sama lain. Baik secara individu, sosial masyarakat maupun secara organisatoris secara kritis menurut Habermas. Kepentingan praktis, kata Habermas memunculkan suatu kepentingan ketiga, “kepentingan emansipatoris“. Dia membangkitkan pengetahuan teoritis, untuk itu Habermas mengambil psikoanalisa sebagai model untuk mengkaitkan antara kemampuan berfikir dan bertindak dengan kesadaran sendiri. Maka, teori bagi Habermas merupakan suatu produk dan memenuhi maksud dari tindakan manusia. Secara esensial itu adalah alat untuk kebebasan manusia yang besar


Point Penting dalam pemikiran jurgen habermas.
1. Bahwa Jurgen Habermas adalah filosof dari Jerman yang menggunakan sifat kritis terhadap berbagai macam persoalan termasuk teori tradisional. Tentu hal itu tidak sendirian, melainkan bersama temannya Adorno dan Horkheimer. Mereka semua itu berasal dari madzhab Frankfurt, namun dengan itu dia termasuk taruhannya, dan selalu dikritik orang-orang sekitarnya.
2. Habermas mempunyai kesadaran mengkritisi segala tindakan yang merugikan sosial, baik itu secara individu kelompok, masyarakat, ataupun organisasi.
3. Habermas menggunakan dua pendekatan dalam mengkritisi sesuatu; gaya pemikiran historis dan pemikiran materialis. Dengan demikian ia tidak selalu menggunakan gaya filsafat kritis. Karena dia melihat adanya perubahan dalam sosial. Namun perubahan tersebut tetap dalam kerangka sosial yang nyata.
4. Komunikasi menjadi titik tolak Habermas dan itu menjadi dasar dalam usaha mengatasi kebuntuan Teori Kritis para pendahulunya.


Daftar Pustaka
Rukiyati, 2002, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), UNY Press: Yogyakarta
Santoso dkk, 2007, Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz media: Yogyakarta
http://doktorpaisal.wordpress.com/2009/12/20/biografi-jurgen-habermas/
Share this
















David Hume dan Pemikirannya
 1/25/2013 12:45:00 AM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments

Aliran empirisme dibangun pada abad ke-17 yang muncul setelah lahirnya aliran rasionalisme. Bahkan aliran empirisme bertolak belakang dengan aliran rasionalisme. Menurut paham empirisme bahwa pegetahuan bukan hanya didasarkan pada rasio belaka, di inggris.

Konsep mengenai filsafat empirisme muncul pada abad modern yang lahir karena adanya upaya keluar dari kekangan pemikiran kaum agamawan di zaman skolastik. Descartes adalah salah seorang yang berjasa dalam membangun landasan pemikiran baru di dunia barat. Descartes menawarkan sebuah prosedur yang disebut keraguan metodis universal dimana keraguan ini bukan menunjuk kepada kebingungan yang berkepanjangan, tetapi akan berakhir ketika lahir kesadaran akan eksisitensi diri yang dia katakan dengan cogito ergo sum yang artinya saya berpikir, maka saya ada.(Ilyas Supeno, tt: 3).  Teori pengetahuan yang dikembangkan Descartes dikenal dengan rasionalisme karena alur pikir yang dikemukakan Rene Descartes bermuara kepada kekuatan rasio manusia. Sebagai reaksi dari pemikiran rasionalisme Descartes inilah muncul para filosof yang berkembang kemudian yang bertolak belakang dengan Descartes yang menganggap bahwa pengetahuan itu bersumber pada pengalaman atau empirisme. Mereka inilah yang disebut sebagai kaum empirisme, di antaranya yaitu John Locke, Thomas Hobbes, George Barkeley, dan David Hume. Dalam makalah ini tidak akan membahas semua tokoh empirisme, akan tetapi akan dibahas empirisme David Hume yang dianggap sebagai puncak empirisme yang paling radikal.

1. Konsep Empirisme
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia dan mengecilkan peranan akal. Empirisme dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Paham empirisme ini mempunyai ciri-ciri pokok yaitu:

- Teori tentang makna
Teori pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan yaitu asal usul ide atau konsep. Pada abad pertengahan, teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil Est in Intellectu Quod Non Prius Feurit in Sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya “An Essay Concerning Human Understanding” yang dikeluarkan tatkala ia menentang ajaran ide bawaan (Innate Idea) kepada orang-orang rasional. Jiwa (Mind) itu tatkala dilahirkan keadaannya kosong laksana kertas putih yang belum ada tulisan di atasnya dan setiap ide yang diperolehnya mestinya datang melalui pengalaman, yang dimaksud di sini adalah pengalaman indrawi. Hume mempertegas teori ini dalam bab pembukaan bukunya “Treatise of Human Nature (1793)” dengan cara membedakan antara ide dan kesan. Semua ide yang kita miliki itu datang dengan kesan-kesan, dan kesan itu mencakup penginderaan, passion dan emosi.

- Teori pengetahuan
Menurut rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tertentu mempunyai sebab, dasar-dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh keluar intuisi rasional. Empirisme menolak hal demikian karena tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran kebenaran yang diperoleh lewat observasi, jadi ia kebenaran a posteriori.

Poedjawijatna (1997:105) menyatakan bahwa empirisme berguna dalam filsafat pada umumnya karena dengan empirisme ini filsafat memperhatikan lebih cermat lagi manusia sebagai keseluruhan. Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:
Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.


Dari beberapa pandangan mengenai paham empirisme tersebut diatas, menurut penulis empirisme adalah yang suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan. Sehingga setiap orang yang menyatakan telah memiliki pengetahuan dia harus bisa membuktikan apa itu pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dapat di ketahui oleh indra manusia.

Riwayat Kehidupan David Hume (1711-1776).
Hume lahir di Edinburgh Skotlandia pada April 26, 1711 anak bungsu dalam keluarga yang baik tetapi tidak kaya. Ayahnya meninggal ketika Hume masih kecil, dan ia dibesarkan oleh ibunya di perkebunan keluarga Ninewells, dekat Berwick. Hume adalah seorang murid yang sukses, dan sebagai anak muda, ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap sastran dan filsafat. Solomon (2002: 390) menyebut bahwa filsafat Hume adalah skeptisisme yang menyeluruh. Tahun 1723 ia masuk Universitas Edinburgh, studi pada hukum sesuai keinginan ibunya (Lavine, 1984: 137). Selama tiga tahun studi hukum dia membangun pandangan filsafatnya.

Pada musim gugur 1729 dia mengalami gangguan kejiwaan parah (Vapor) selama 5 tahun. Hal ini disebabkan karena dia mengalami perasaan puas pertama kali dia membantai raksasa segala ilmu pengetahuan, filsafat dan teologi padahal umurnya masih relatif muda. Karena kejadian ini dia memutuskan mundur dari dunia filsafat, akan tetapi kemudian justru dia mengambil keputusan untuk pergi ke Prancis Pada usia 23 tahun, ke La Fleche tempat perguruan Jesuit Descrates dulu untuk upaya penyembuhan dari penyakitnya. Disana dia menyelesaikan buku pertamanya yaang hampir selesai pada tahun 1737, Treatise of Human Nature, saat usianya masih 26 tahun (Robbert Cummins and David Owen, 1998: 325). Hume memiliki harapan yang tinggi pada karya ini, tetapi penerbitan karya ini tidak banyak mendapat perhatian.

Meskipun patah semangat, karena buruknya penerimaan terhadap Treatise, Hume terus menulis. Di tahun 1741-1742 saat di Skotlandia, ia menerbitkan Essays, Moral and Political. Karya ini mendapatkan kesuksesan, dan Hume bersemangat untuk merevisi Treatise. Akan tetapi, Hume tidak pernah bisa mendapatkan gelar profesor baik di Universitas Edinburgh dan Glasgow, karena skeptismenya dan dia ateis, mencemooh keyakinan beragama (Lavine, h. 139). Dia kembali ke Prancis 1763 sebagai sekretaris duta besar Inggris.
Pada tahun 1751, revisi terakhir bagian pertama dan ketiga karya Treatise diterbitkan masing-masing dengan judul An Enquiry Concerning Human Understanding dan An Enquiry Concerning The Principles of Morals. Kira-kira pada saat yang sama, Hume menulis karya yang berjudul Dialogue Concerning Natural Religion. Dialogue menjelaskan sikap Hume tentang eksistensi Tuhan dan sifat agama. Namun atas saran teman yang memiliki perhatian terhadap sifat pandangannya yang radikal, Hume tidak jadi menerbitkan Dialogue. Dengan ketetapan dari kehendak Hume, karya itu diterbitkan setelah Hume meninggal di tahun 1779 (Robbert Cummins and David Owen, 1998: 326). Antara tahun 1752-1757, Hume mengabdi sebagai petugas perpustakaan di Faculty of Advocates di Edinburg (Joko Siswanto, 1998: 49). Setelah mendapatkan sumber-sumber dari perpustakaan ini, Hume menulis tentang sejarah Inggris. Karya ini tidak hanya panjang, tetapi juga kontroversial. Bagaimanapun, sebagai akibatnya, semua tulisan Hume menjadi lebih dikenal dan karya-karya itu mendapat pujian luas dari beberapa kalangan. Pujian tersebut terutama datang dari kalangan intelektual Perancis dan ketika Hume pergi ke sana pada tahun 1763 sebagai sekretaris Duta Besar Inggris, ia menerima sambutan hangat. Ia kembali ke London di tahun 1766 bersama Rousseau, meskipun hubungan antara keduanya segera menegang (Bertrand Russell, 1946). Setelah mengabdi selama tiga tahun di Undersecretary of State, Hume pensiun di Edinburg dan meninggal di sana tahun 1776.

Pemikiran Hume
Skeptisme mendasar dalam pikiran Hume menentang terhadap tiga pemikiran sebelumnya. Hume melawan ajaran-ajaran rasionalitas tentang idea-idea bawaan. Selanjutnya menyerang pemikiran religius, entah dari katolik, Anglikan, maupun Penganut Deisme. Terakhir serangan pada empirisme sendiri yang masih percaya pada substansi (F. Budi Hardiman, 2004: 87). Hume mengungkap karya-karya Francis Hutcheson, seorang filsuf moral dari Skotlandia di Universitas Glasgow, yang berpendapat bahwa prinsip moral tidak berdasarkan kitab injil, seperti dikatakan penganut kristiani, juga tidak berdasarkan akal pikiran, seperti pendapat Plato dan Socrates. Keyakinan Moral Menurut Hutcheson terdapat pada perasaan kita, sentimen setuju atau tidak setuju kita (Lavine, 1984: 137). Kemudian dengan mengembangkan pandangan Hutcheson dan menggabungkan empirisme Locke dan Berkeley, Hume berpendapat bahwa pengetahuan didapat hanya dari persepsi panca indra (Lavine, 1984: 138). Hume memulai pemikiran kontroversialnya melalui penggabungan dua konsep tersebut, yaitu bahwa pengetahuan terbaik kita, hukum ilmiah, bukanlah apa-apa melainkan persepsi pengindraan yang meyakinkan perasaan kita. Karena itu meragukan sekali bahwa kita memiliki pengetahuan, kita hanya mempunyai persepsi panca indra dan perasaan. Dalam pemikiran Hume, ada skeptisme radikal, bentuk keraguan ekstrem atas kemungkinan bahwa kepastian dalam pengetahuan merupakan hal yang bisa dicapai.

Tentang Teori Pengetahuan Hume
Landasan Segala Pengetahuan
T.Z. Lavine (1984: 140) mengungkapkan Hume dalam bukunya Treatise of Human Nature bagian pendahuluan, dia mengatakan bahwa tujuan penulisannya adalah untuk mempelajari ilmu pengetahuan mengenai manusia dan menjelaskan prinsip-prinsip sifat alamiah manusia. Menurutnya ilmu pengetahuan lainnya didasarkan pada ilmu pengetahuan mengenai manusia. Sehingga mempelajari ilmu tersebut, merupakapan proses mempelajari landasan segala pengetahian manusia. Untuk membuktikan ini Hume mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan pertanyaan para penganut empirisme sebagai berikut: Bagaimana Anda Tahu? Apa yang menjadi asal pengetahuan kita? Apa yang menjadi batasan pengetahuan manusia?
Dari pertanyaan tersebut dia mengetahui apa sebenarnya yang akan dia tunjukan: bahwa kita tidaklah memiliki pengetahuan, melainkan sekedar keyakinan bahwa yang kita rasakan itu benar. Karena menurutnya semua pengetahuan dimulai dari pengalaman indra sebagai dasar (Ahmad Tafsir, 2001: 181).

Steven M. Cahn ( 2009: 136) menyatakan bahwa menurut Hume sumber pengetahuan adalah pengamatan persepsi pengindraan bukan ide bawaan (ide innate). Hasil dari pengamatan tersebut adalah kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas) . Isi ide dan kesan adalah sama perbedaannya adalah cara timbul dalam kesadaran (Harun Hadi Wijaya, 2000: 53). Kesan adalah sensasi, hasrat, dan emosi seketika, data dari perbuatan melihat, menyentuh, mendengar, keinginan, mencintai, membenci seketika. Gagasan adalah gambar salinan atau samar dari kesan. Perbedaan Kesan dan gagasan adalah kesan memiliki kekuatan dan kenampakan yang lebih besar. Gagasan hanyalah gambar dari kesan kita, yang terdapat di dalam pemikiran, penalaran, dan pengingatan.

Semua pengalaman manusia menurut Hume termasuk golongan penghayatan atau golongan ide-ide (Brouwer, 1986: 62). Hume menguraikan dan menjelaskan hubungan antara kesan dan ide dengan menyatakan bahwa keduanya dipandang dari segi simplisitas atau kompleksitasnya, dapat dibagi menjadi dua kategori. Sebuah kesan yang kompleks tersusun atas kesan-kesan yang simpel. Selain itu, setiap ide yang simple berasal dari kesan tunggal yang berhubungan secara langsung. Di sisi lain, sebuah ide kompleks tidak perlu berasal dari sebuah kesan kompleks. Sebaliknya, ide-ide kompleks dapat dikembangkan dari variasi kesan simpel atau kompleks, atau ide-ide kompleks itu dapat disusun dari ide-ide simple.

Kritik Keras atas Doktrin Dua Jenis Pengetahuan
Alasan Hume mengawali buku Treatise-nya dengan landasan pengetahuan manusia adalah untuk menanyakan apa yang menjadi landasan pengetahuan. Maka untuk menunjukan bahwa hanya ada satu landasan pengetahuan, berisi satu pengetahuan saja, pengetahuan oleh persepsi panca indra. Dia ingin meruntuhkan dua jenis pengetahuan menurut filsafat lama yaitu: 1. Pengetahuan biasa tingkat bawah mengenai alam kasat mata, alam yang berubah-ubah menurut Plato disebut opini sejati dan Descrates menamakan ide pemikiran indra yang membingungkan. 2. Bagi Plato dan Descrates ada tingkatan tinggi pengetahuan dengan penalaran sebagai sumbernya dan menciptakan kepastian (T.Z. Lavine, 1984: 141).

Hume membantah kedua jenis pengetahuan tersebut, pemikiran bahwa ada jenis pengetahuan tingkat atas yang bisa dicapai filsuf dengan akalnya, pengetahuan realitasnya, pengetahuan metafisika adalah keliru hanyalah ilusi. Kata Hume kita tidak akan pernah tahu alam realitas yang sebenarnya. Para filsuf yang mengatakan bahwa mereka mengetahui alam realitas yang sebenarnya adalah penjahat dan sangat bodoh, karena apa yang diketahui manusia terbatas pada persepsi panca indra. Pemikiran manusia itu terbatas, sesuatu yang dicari metafisika ini, tidak akan kita ketahui. Hume mengatakan bahwa doktrin dasar atas metafisika bahwa ada dua jenis pengetahuan, pengetahuan biasa dengan persepsi panca indra dan pengatahuan metafisika tingkat tinggi dengan pemikiran atau akal, adalah omong kosong.

Menurut Steven M. Cahn (2009: 137) bahwa Hume membagi pengetahuan menjadi dua. Pertama pengetahuan demostratif merupakan yang diperoleh melalui pemikiran tentang hubungan antara idea-idea. Kedua pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran tentang matter of fact yang disebut moral.

Prinsip–Prinsip Empirisme
Prinsip dasar yang telah ditetapkan Hume adalah “Segala gagasan sederhana kita awalnya dihasilkan dari kesan sederhana yang berkaitan dengan gagasan itu dan benar-benar mewakili keberadaannya” (Lavine, 1984: 145). Cara Hume mengungkapkan penjelasan tersebut dengan benar-benar mengkritik untuk menganalisis dan menjatuhkan berbagai gagasan. Hal ini juga disebut sebagai bola penghacurnya yang paling kuat. Hume mempertanyakan dari kesan apa gagasan ini muncul?

Hume kemudian melihat ide pemikiran mengenai zat yang dipakai Descrates, Hume bertanya dari kesan apa ide pemikiran itu muncul? Dengan pertanyaan ini maka akan didapati jawaban bahwa tidak mungkin dari kesan atas zat yang bersangkutan, namun hanyalah kesan ciri yang kita rasakan, seperti ukuran, bentuk dan warna. Jadi ide pemikiran zat ini merupakan cirri-ciri yang kita alami. Oleh karena itu kita tidak dapat mengatakan bahwa zat itu tidak ada. Kita bias tahu bahwa sesuatu itu ada apabila kita mempunyai kesan atas sesuatu tersebut. Jadi Hume telah menjatuhkan pertanyaan bahwa zat itu ada dengan menunjukan bahwa kita tidak memiliki kesan atas zat fisik. Aturannya sederhana jika tidak ada kesan, maka tidak ada gagasan. Jika tidak ada kesan gagasan itu tanpa makna. Jadi aturan empirisme Hume tidak hanya uji kelayakan gagasan kita sebagai pengetahuan namun juga uji atas makna gagasan kita.

Penggabungan Gagasan
Keterkaitan kesatuan di antara gagasan-gagasan tersebut, ciri-ciri yang berkaitan, dimana satu gagasan memunculkn gagasan yang lainnya. Dengan demikian pasti ada prinsip universal dalam pemikiran kita, bukan sebagai kebutuhan, namun sebagai kekuatan untuk menggabungkan beberapa gagasan dengan cara tertentu. Hume menggambarkan kekuatan ini sebagai “kekuatan lembut, yang pasti bertahan”. Gabungan gagasan kita berdasar pada tiga ciri gagasan, yang cenderung membawa pikiran kita dai suatu gagasan ke gagasan yang lain, mengaitkan atau menggabungkan satu gagasan dengan gagasan yang lain. Lavine (1984: 146-147) mengatakan Hume membuat tiga ciri sebagi basis dari tiga hukum penggabungan gagasan.
Hukum pertama adalah gagasan tergabung atau terkait oleh kemiripan atar-gagasan. Hume memberi contoh “sebuah lukisan dengan mudah membawa pikiran kita ke obyek aslinya”.
Hukum kedua adalah kedekatan satu gagasan dengan gagasan yang lainnya dalam hal ruang dan waktu. Pikiran kita cenderung menggabungkan satu gagasan dengan gagasan yang lain secara fisik atau jasmaniah tergabung. Hume mencotohkan “menyebutkan satu apartemen dalam sebuah gedung umunya akan membawa pikiran kita mengenai apartemen lainya.
Hukum ketiga adalah sebab-akibat, pikiran kita tampaknya dipaksa untuk mengaitkan suatu sebab dengan akibat yang dibawanya. Bertrand (1946: 880) menyatakan skeptisme Hume semata didasarkan pada penolakannya atas prinsip induksi yang diterapkan pada hukum sebab akibat. Misalnya jika kita memikirkan luka, kita tidak jarang sekali bias mencegah diri kita memikirkan rasa sakit yang mengikutinya.

Hukum penggabungan gagasan merupakan bagian dari strategi bola penghancurnya dan menggunakan hukum penggabungan gagasan dengan sebab akibat untuk menjatuhkan pertanyaan bahwa kita bisa memiliki pengetahuan ilmiah sehingga sebab tertentu secara otomatis menghasilkan akibat tertentu.

Hume berkata bahwa gagasan atomis kita, yang berkaitan dengan kesan, terkait atau tergabung dengan menggunakan tiga hukum penggabungan, yang merupakan kekuatan yang lembut yang memaksa kita menggabungkan satu gagasan dengan gagasan lainnya. Tiga hukum ini berlaku pada segala pemikiran kita, juga termasuk pemikiran ilmiah kita. Ketiga hukum ini akan memberikan dorongan terkuat untuk mengaitkan satu ide dengan ide lainnya adalah sebab dan akibat (Lavine, 1984: 147). Selanjutnya Hume menyatakan bahwa segala sesuatu yang bias kita bahwa segala sesuatu yang bias kita katakana mengenai suatu obyek, mengenai masalah fakta, di luar mengenai kesan seketika kita atas apa yang kita lihat dan sentuh, haruslah didasarkan pada hubungan sebab akibat. Semua pemikiran kita mengenai persoalan fakta merupakan pemikiran kausal. Dan pemikiran kita yang penting mengenai persoalan fakta merupakan pemikiran ilmiah, dengan hukum alam kausalnya.

Ketiga hukum ini mencirikan semua kerja mental kita, termasuk penalaran kita, dan secara khusus hokum tersebut mengkarakteistikkan gagasan ilmiah kita. Diantarar ketiga hokum tersebut yang merupakan penghubung yang paling kuat diantara gagasan.

Analisis terhadap Kausalitas (Sebab-Akibat)
Selanjutnya, Hume sangat tertarik pada relasi sebab dan akibat karena sejak lama dalam filsafat, diyakini adanya hubungan sebab akibat yang terjadi di alam ini ( Budiman, 2004: 89). Semua pertimbangan yang berkenaan dengan masalah fakta tampak didasarkan pada relasi sebab dan akibat. Dengan sarana relasi itu, kita dapat melampaui bukti dari memori dan indera kita. Hume menegaskan bahwa pendapat menegenai hubungan itu tidak benar dan didasrkan pada sebuah kebinggungan belaka. Segala peristiwa yang kita amati memiliki hubungan tetap satu sama lain, tapi hubungan tidak boleh disebut kausalitas.

Hume menjelaskan bahwa pendapat tentang sebab-akibat (kausalitas) itu merupakan suatu hubungan atar idea (relation of ideas). Ide kausalitas juga tidak dapat diperoleh melalui persepsi (A. Tafsir: 2001: 184). Hume menegaskan bahwa ketika kita berpikir tentang relasi sebab dan akibat antara dua hal atau lebih, maka biasanya kita memaksudkannya dengan arti bahwa yang satu, secara langsung atau tidak langsung bersebelahan dengan yang lain, dan bahwa yang satu, yang kita beri tanda sebagai sebab adalah dalam beberapa hal, secara temporer mendahului yang lain. Bagaimanapun, kondisi-kondisi ini tampak tidak mencukupi bagi munculnya sebuah relasi sebab dan akibat. Karena dapat dipahami bahwa X dapat bersebelahan dengan dan secara temporer sebelum Y tanpa menjadi sebab dari Y, maka diperlukan sesuatu yang lebih. Hume beranggapan bahwa kita menambahkan sebuah ide jika ada hubungan tetap antara X dan Y di dalam situasi di mana X dikatakan sebab dari Y. Tanpa tambahan ide bahwa setiap peristiwa atau hal pasti memiliki suatu sebab yang menghasilkannya secara pasti, maka pemahaman biasa tentang relasi sebab dan akibat tidak akan muncul. Dengan demikian, jika suatu gejala tertentu disusul oleh gejala lain, dengan sendirinya kita cenderung kepada pikiran bahwa gejala yang satu disebabkan oleh gejala yang sebelumnya. Misalnya batu yang disinari matahari selalu panas. Kita menyimpulkan batu menjadi panas karena disinari matahari. Tetapi kesimpulan ini tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberikan urutan gejala-gejala, tetapi tidak memperlihatkan urutan sebab-akibat (Harun Hadi Wijaya, 2000: 55).

Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau kemestian sebab-akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti, api membuat api mendidih. Padahal dalam api tidak dapat diamati adanya daya aktif yang mendidihkan air. Jadi daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu bukanlah yang dapat diamati, bukan hal yang dapat dilihat dengan mata sebagai benda yang berada dalam air yang direbus. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa yang terdahulu.

Menurut Hume, pengalamanlah yang memberi informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati sesuai waktu dan tempat. Roti yang telah saya makan, kata Hume, mengenyangkan saya, artinya bahwa tubuh dengan bahan ini dan pada waktu itu memiliki rahasia kekuatan untuk mengenyangkan. Namun, roti tersebut belum tentu bisa menjadi jaminan yang pasti pada waktu yang akan datang karena roti itu unsurnya telah berubah karena tercemar dan kena polusi dan situasipun tidak sama lagi dengan makan roti yang pertama. Jadi, pengalaman adalah sumber informasi bahwa roti itu mengenyangkan, untuk selanjutnya hanya kemungkinan belaka bukan kepastian (A. Tafsir, 2001: 185).

Hume membuang segala bentuk kausalitas dalam etikanya (Harun Hadi Wijaya, 2000: 56), Pernyataan Hume mengenai empirisme penggabungan dengan pandangan Hutcheson mengenai moralitas yang bersumber dari sentiment atau perasaan. Hal ini membaa Hume pada pemikiran kontroversialnya bahwa hukum ilmu pengetahuan kita hanya bersumber pada perasaan. Kemudian Hume mengemukakan gebrakannya ”Hukum ilmu pengetahuan didasarkan bukan pada apa-apa melainkan pada kesan indra yang dikaitkan dengan hukum psikologi penggabungan dan perasaan kekuatn yang digunakan. Hukum ilmiah tidak berarti apa-apa melainkan penggabungan psikologis berbagai gagasan. Sumbangan terbesa Hume dalam filsafat dan pengaruh terbesarnya adalah analisisnya mengenai hubungan sebab-akibat. Ini merupakan karya besarnya menghacurkan pemikiran – pemikiran lain.

Filsafat Hume atas Agama
Kritik Keras Hume atas Bukti Rasional Mengenai Tuhan.
Hume menyangkal bukti klasik keberadaan Tuhan yang menggunakan akal penalaran. Hume mengkritik keras ketiga bukti keberadaan Tuhan Descartes, dua bukti pertama adalah bukti sebab-akibat, Descartes mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini sangat jelas sehingga tidak ada pikiran rasional apa pun yang bisa meragukan, namun bagi Hume sangatlah tidak berarti karena kita tidak mempunyai kesan indra mengenai Tuhan sebagai suatu sebab, kita juga tidak mempunyai kesan apa pun mengenai benda yang berfikir sebagai akibat.

Steven M. Cahn (2009: 272) menyatakan bahwa menurut Hume sepanjang sejarah tidak pernah ada beberapa orang yang menyaksikan adanya mukjizat mengenai adannya Tuhan. Semuanya adalah kebohongan, karena menurutnya timbulnya keyakinan bahwa Tuhan itu ada adalah karena manusia merasa takut dan gelisah kemudian mengada-adakan dan menyakininya.

Bukti ketiga Descartes atas keberadaan Tuhan pada Meditasinya yang kelima, menggunakan bukti ontologis yang dikemukakan oleh Saint Anselm di abad XI yang menngungkapkan ide bawaan mengenai Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan oleh itu memiliki kesempurnaan pada kewujudan-Nya. Hume meruntuhkan bukti ini dengan pertama mengingatkan atas filsuf empirisme seperti Locke tidak ada yang namanya ide bawaan, kita hanya memiliki gagasan yang muncul dari pengalaman kesan. Kemudian Hume menjawabnya dengan uji empirisme atas gagasan, jika tidak ada kesan dalam pengalaman, gagasan tidaklah bermakna, tidak berarti. “Gagasan kita tidak lebih dari pengalaman kita, kita tidak memiliki pengalaman akan ciri-ciri akhirat. Aku harus menyimpulkan silogismeku. Anda bias menarik kesimpulan sendiri.” pernyataan Hume. Maka bukti adanya Tuhan sebagaimana pendapat Descartes telah diruntuhkan.

Hume juga mengkritik ajaran tentang keabadian atau immortalitas, yang percaya akan adanya keabadian sehingga keabadian menjadi dasar sistem moral (Budiman, 2004: 91). Pendapat ini sepertinya karena Hume beranggapan bahwa manusia bi sa mewujudkan cita-citanya tentang hidup sosial tanpa menunggu akhirat.

Kritik Hume atas Deisme

Bukti mengenai Tuhan dengan menggunakan akal yang berlandaskan pada keteraturan, harmoni, dan keindahan yang ditemukan di seluruh alam ini, merupakan bukti keberadaan Tuhan yang paling diterima di abad pencerahan. Deisme merupakan keyakinan utama doktrin Kristen bahwa Tuhan itu ada sebagai satu-satunya sumber rancangan dan pengetahuan yang harmonis atas seluruh bagian alam semesta ini. Sebuah pandangan religious yang hanya berlandaskan akal pemikiran, menyangkal kenabian dan mukjizat, konsep Tuhan dibuat sejalan dengan akal pikiran dan ilmu pengetahuan.
Hume meruntuhan doktrin Deisme dengan menggunakan bentuk dialog Plato dalam Dialogues Concerning Natural religion. Suara Hume tertuang dalam Philo yang Skeptis yang mengungkapkan kesan dari indra kita adalah landasan untuk semua pengetahuan ilmiah kita, dan kesan ini tidak memberikan bukti bagi pernyataan bahwa semesta ini secara sempurna teratur dan harmonis, juga tidak menjamin bahwa keteraturan semacam ini akan berlanjut selamanya.

Hume menambahkan pertanyaan apakah anda menemukan bukti bahwa dunia ini dirancang dngan baik oleh perancang yang baik dan penyayang? Lalu bagaimana menjelaskan kesedihan, rasa sakit, dan kejahatan dalam kehidupan manusia? Ini merupakan kritik paling keras terhadap agama Deisme di Masa Pencerahan.

Kritik atas keyakinan pada Mukjizat
Hume juga mengkritik adanya Mukjizat dalam esainya “Of Miracles” tahun 1748. Mukjizat menurut Hume merupakan pelanggaran hukum alam oleh pihak akhirat, zat supranatural. Mukjizat telah menentang pengalaman manusia, pengetahuan ilmiah, semua keteraturan dan konjugsi konstan kesan manusia. Tidak ada mukjizat yang bias menjadi landasan yang layak untuk agama karena sangat bertentangan dengan akal manusia.

F. Budi Hardiman (2004: 92) menyatakan bahwa Hume melontarkan lima argumen yang untuk mengkritik mengenai mukjizat ini. Pertama Hume mengatakan sepanjang sejarah belum pernah ada mukjizat yang disaksikan secara kolektif oleh orang-orang cerdas. Kedua kecenderungan manusia mempercayai peristiwa luar biasa tapi tidak membuktikan kebenaran mukjizat. Ketiga kejadian mukjizat terjadi ketika manusia belum maju dalam ilmu pengetahuan. Keempat segala wahyu mempunyai klaimnya sendiri atas mukjizatnya masing-masing. Kelima semakin ilmiah penelitian historis, semakin ragulah si sejarawan terhadap peristiwa mukjizat.










John Locke dan Pemikirannya
 1/24/2013 10:51:00 AM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments

Empirisme John Locke (1632-1704)

Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat penting dalam epistemologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentang terjadinya pengetahuan ini apakah berfilsafat apriori atauaposteriori. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan aposteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian, pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif[1].

Menurut Josep Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada enam alat untuk memperoleh pengetahuan, yaitu:
1.       Pengalaman Indera (sense experience).
2.       Nalar (reason).
3.       Otoritas (authority).
4.       Intuisi (intuition).
5.       Wahyu (revelation).
6.       Keyakinan (faith) [2].

Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan suatu aliran filsafat yang disebut dengan Empirisme, yaitu suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal, serta seorang tokohnya yang bernama John Locke  dan teori pengetahuannya.

Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos yang berasal dari kata empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman indrawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya[3].

Seorang empirisis biasanya berpendapat bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti, “Bagaimana orang mengetahui es membeku?”, jawaban kita tentu berbunyi, “karena saya melihatnya demikian”, atau “karena seorang ilmuan melihatnya demikian”. Dengan begitu, dapat dibedakan dua macam unsur:pertama, unsur yang mengetahui dan kedua, unsur yang diketahui. Orang yang mengetahui merupakan subyek yang memperoleh pengetahuan dan dikenal dengan perkataan yang menunjukkan seseorang atau suatu kemampuan.

Unsur ketiga yang dapat kita bedakan dalam jawaban terhadap pertanyaan “Bagaimana orang mengetahui kalau es itu membeku?” ialah keadaan kita bersangkutan dengan melihat atau mendengar atau suatu pengalaman inderawi yang lain. “Bagaimana kita mengetahui api itu panas?”, dengan menyentuh barang sesuatu atau memperoleh pengalaman yang kita sebut panas. “Bagaimana kita mengetahui apakah panas itu?”, jawabannya: kita mengetahuinya dengan alat-alat inderawi peraba.

Selanjutnya, pertanyaan: “Bagaimanakah anda mengetahui atau memperoleh pengetahuan?” dijawab dengan menunjukkan pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai. “Pengetahuan diperoleh dengan perantaraan indera”, kata penganut empirisme[4].

John Locke (1632-1704), bapak aliran ini pada zaman modern mengemukakan teori tabula rasa yang secara bahasa berarti meja lilin. Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengetahuannya mengisi  jiwa yang kosong itu, lantas ia  memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama kelamaan ruwet, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Berarti, bagaimana pun kompleks (ruwet)-nya pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar. Karena itulah metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen[5].

Ada dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori tentang pengetahuan. Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau konsep. Pada abad pertengahan teori ini diringkas dalam rumusNihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Sebenarnya pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya, An Essay Concerning Human Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-orang rasionalis. Jiwa (mind) itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap idea yang diperolehnya mestilah datang melalui pengalaman; yang dimaksud dengan pengalaman di sini ialah pengalaman inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari observasi yang kita lakukan terhadap jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut inner sense (pengindera dalam) [6].

Pada abad ke-20 kaum empiris cenderung menggunakan teori makna mereka pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan dengan benar atau tidak, bukan pada asal-usul pengetahuan. Salah satu contoh penggunaan empirisme secara pragmatis ini ialah pada Charles Sanders Peirce dalam kalimat “Tentukanlah apa pengaruh konsep itu pada praktek yang dapat dipahami kemudian konsep tentang pengaruh itu, itulah konsep tentang objek tersebut”.

Filsafat empirisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran positivisme logis (logical positivism) dan filsafat Ludwig Wittgenstein. Akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat diindera, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.

Teori kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut: Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum, seperti “setiap kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran a posteriori[7].










JOHN LOCKE (1632-1704) DAN TEORI PENGETAHUANNYA
RIWAYAT HIDUP JOHN LOCKE
Locke dilahirkan di Wrington di kota Somerset. Orang tuanya adalah penganut Puritan. Ayahnya adalah seorang tuan tanah kecil dan pengacara yang berperang di parlemen pada waktu perang sipil. Locke belajar di Oxford di mana ia memperoleh gelar BA dan M.A. Ia kemudian belajar ilmu kedokteran dan pada tahun 1667 menjadi sekretaris dan dokter pribadi Earl Shaftesbury pertama, yang memimpin partai Whig. Selama menduduki jabatan sebagai Lord Chancellor, Locke menduduki beberapa jabatan publik penting yang memberinya pengalaman dan penglihatan langsung pada realitas dan jalannya politik. Gangguan kesehatannya membuatnya pindah ke Prancis selama empat tahun, dan waktu luangnya memberinya kesempatan untuk mengembangkan pandangan-pandangan filsafatnya sendiri[8].

TEORI PENGETAHUAN JOHN LOCKE
Pengertian Pengetahuan
Hubungan antara pengetahuan dengan berfikir adalah pasti dan tak dapat dipisahkan. Kita mengetahui karena kita berfikir. Berfikir adalah kerja akal yang merupakan wadah dari idea-idea. Lock mendefinisikan pengetahuan sebagai pemahaman terhadap adanya kesesuaian,  atau perbedaan antara idea-idea. Jadi, apabila didapati pemahaman seperti ini, berarti ada pengetahuan, jika tidak, maka tidak ada pengetahuan[9].

Pengetahuan Itu Aposteriori
Buku Locke, An Essay Cocerning Human Understanding (1689), ditulis berdasarkan suatu premis, yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman. Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan idea atau konsep tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang diturunkan seperti yang diajarkan oleh Plato. Dengan kata lain, Locke menolak adanya innate idea; termasuk apa yang diajarkan oleh Descartes, Clear and distinc idea. Adequate idea dari Spinoza, truth of reason dari Leibniz, semuanya ditolaknya. Yang innate (bawaan) itu tidak ada. Inilah argumennya:
1. Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada. Memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti distempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa membawanya ke dunia ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu datang, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu pengertian asli.
2. Persetujuan umum adalah argumen yang kuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea itu sebagai suatu daya inhern. Argumen ini ditarik dari persetujuan umum. Bagaimana kita akan mengatakan innate idea itu ada padahal umum tidak mengakui adanya.
3. Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea.
4. Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate idea justru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.
5. Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, idea yang innate itu tidak ada. Padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berfikir.

Argumen ini secara lurus menolak adanya innate idea, sekalipun ada, itu tidak dapat dibuktikan adanya. Lebih jauh ia berkata:

Marilah kita andaikan jiwa itu laksana kertas kosong (tabularasa), tidak berisi apa-apa, juga tidak ada idea di dalamnya. Bagaimana ia berisi sesuatu? Untuk menjawab pertanyaan ini saya hanya mengatakan: dari pengalaman; di dalamnya seluruh pengetahuan didapat dan dari sana seluruh pengetahuan berasal. Hanya premis inilah yang dipertahankan dan digunakan oleh Locke. Dengan ini pula ia menyerang innate idea dengan cara induksi[10].

Implikasi Teori Tabularasa John Locke Terhadap konsep Innate Idea
Teori Tabularasa tidak memberikan ruang bagi paham yang berpendapat bahwa seseorang dilahirkan dengan darah seniman, darah pengusaha, darah pekerja atau darah-darah lainnya, dan menggambarkan bahwa manusia sudah ditakdirkan untuk menjalani profesi tertentu sejak lahir. Menurut teori ini, alasan mengapa anak seorang pengusaha cenderung menjadi pengusaha dan anak seorang buruh cenderung menjadi buruh, atau anak seorang seniman cenderung menjadi seorang seniman merupakan akibat dari pendidikan di lingkungan yang setiap hari dialami. Anak seorang pengusaha yang setiap hari berinteraksi dengan orang tuanya yang juga seorang pengusaha, setiap hari mendengar perkataan orang tuanya mengenai usahanya, akan belajar memahami konsep yang dipahami orang tuanya mengenai harta, cara memperolehnya, dan mempunyai perilaku yang mirip dengan orang tuanya. Jadi, jika seorang bayi seorang pengusaha tertukar dengan bayi seorang seniman, kemungkinan besar bayi seorang pengusaha yang diasuh oleh seorang seniman akan menjadi seniman dan bayi seniman yang diasuh oleh pengusaha akan menjadi pengusaha. Teori ini memberi motivasi pada kita bahwa kita dapat menjadi apapun sesuai dengan pilihan kita jika kita mau belajar. Lingkungan memang mempengaruhi jenis pengetahuan yang kita peroleh, tetapi ketika kita sadar bahwa kita memiliki kemampuan untuk memilih, kita juga memiliki kemampuan untuk belajar merealisasikan pilihan kita[11].
Hubungan Antara Subjek dan Objek
Menurut Locke, ketika kita melihat suatu obyek, kita menangkap beberapa kualitas dari obyek tersebut. Ia kemudian menggolongkan kualitas tersebut kedalam dua kategori. Yang pertama adalah kualitas primer, yakni kualitas yang dimiliki obyek itu sendiri, termasuk ukurannya, beratnya, dan massanya. Bagi Locke, kualitas primer ini akan tetap siapapun yang mengukurnya. Yang kedua adalah kualitas sekunder, yakni kualitas dari suatu obyek yang sangat tergantung pada cara peneliti melihat objek tersebut sehingga dapat terus berubah sesuai dengan kondisi. Misalnya, bau, warna dan suara, sangat tergantung dari pekanya indera kita. Jika kualitas penerangan berubah, kemungkinan besar warna juga akan berubah. Dengan demikian ilmu pengetahuan lebih memfokoskan analisisnya pada kualitas primer, karena kualitas primer lebih terukuar dan lebih obyektif daripada kualitas sekunder[12].

Cara lain untuk mengkategorikan kualitas primer dan kualitas sekunder adalah dengan menyebut kualitas objektif pada kategori kualitas primer dan kualitas subjektif pada kategori kualitas sekunder. Kualitas objektif adalah kualitas yang melekat pada objek, sedangkan kualitas sekunder adalah kualitas hasil persepsi pikiran kita.

Ada persoalan rumit (conundrum) yang muncul saat menggunakan konsep pengetahuan John Locke untuk menjawab pertanyaan Apakah pohon yang runtuh di tengah hutan tanpa ada orang yang dapat mendengarkan suaranya akan menimbulkan suara? Sebagai konsekuensinya, teori Locke akan menjelaskan bahwa runtuhnya pohon tidak menimbulkan suara, hanya membuat getaran pada udara dan benda-benda di sekitarnya. Hal ini karena suara adalah kualitas subjektif dan benda yang bergetar adalah kualitas objektif[13].

Dengan demikian, pandangan John Locke mengarah padaesensialisme ilmiah, yaitu bahwa tanpa pikiran yang mampu mempersepsikan sebuah kualitas subjektif, kualitas itu tidak ada.

Ragam Pengalaman Manusia
Locke menyatakan ada dua macam pengalaman manusia, yakni pengalaman lahiriah (sense atau eksternal sensation) dan pengalaman batiniah (internal sense atau reflection). Pengalaman lahiriah adalah pengalaman yang menangkap aktivitas indrawi yaitu segala aktivitas material yang berhubungan dengan panca indra manusia. Kemudian pengalaman batiniah terjadi ketika manusia memiliki kesadaran terhadap aktivitasnya sendiri dengan cara 'mengingat', 'menghendaki', 'meyakini', dan sebagainya. Kedua bentuk pengalaman manusia inilah yang akan membentuk pengetahuan melalui proses selanjutnya[14].

Proses Manusia Mendapatkan Pengetahuan
Dari perpaduan dua bentuk pengalaman manusia, pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah, diperoleh apa yang Locke sebut 'pandangan-pandangan sederhana' (simple ideas) yang berfungsi sebagai data-data empiris. Ada empat jenis pandangan sederhana:
1. Pandangan yang hanya diterima oleh satu indra manusia saja. Misalnya, warna diterima oleh mata, dan bunyi diterima oleh telinga.
2. Pandangan yang diterima oleh beberapa indra, misalnya saja ruang dan gerak.
3. Pandangan yang dihasilkan oleh refleksi kesadaran manusia, misalnya ingatan.
4. Pandangan yang menyertai saat-saat terjadinya proses penerimaan dan refleksi. Misalnya, rasa tertarik, rasa heran, dan waktu.


Di dalam proses terbentuknya pandangan-pandangan sederhana ini, rasio atau pikiran manusia bersifat pasif atau belum berfungsi. Setelah pandangan-pandangan sederhana ini tersedia, baru rasio atau pikiran bekerja membentuk 'pandangan-pandangan kompleks' (complex ideas). Rasio bekerja membentuk pandangan kompleks dengan cara membandingkan, mengabstraksi, dan menghubung-hubungkan pandangan-pandangan sederhana tersebut. Ada tiga jenis pandangan kompleks yang terbentuk:
1. Substansi atau sesuatu yang berdiri sendiri, misalnya pengetahuan tentang manusia atau tumbuhan.
2. Modi (cara mengada suatu hal) atau pandangan kompleks yang keberadaannya bergantung kepada substansi. Misalnya, siang adalah modus dari hari.
3. Hubungan sebab-akibat (kausalitas). Misalnya saja, pandangan kausalitas dalam pernyataan: "air mendidih karena dipanaskan hingga suhu 100° Celcius"[15].


Macam-macam Pengetahuan Menurut John Locke
Berdasarkan esei-esei yang ditulis Locke, dapat disimpulkan terdapat empat macam pengetahuan:
·        Intuitive knowledge
·        Demonstrative knowledge
·        Sensible knowledge
·        Faithful knowledge

Intuitive knowledge adalah pengetahuan yang didapatkan rasio dari pemahamannya terhadap  kesesuaian atau ketidaksesuaian antara idea-idea secara langsung tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur lainnya. Seperti putih adalah bukan hitam, lingkaran adalah bukan segitiga, tiga lebih besar daripada dua, dan lain-lain.

Perlu dicatat, bahwa intuisi yang dimaksud Locke adalah kekuatan yang ada pada rasio yang dapat mengetahui hubungan antara idea-idea yang kita dapatkan melalui sensasi atau perenungan. Meskipun sensasi adalah kekuatan rasio  akan tetapi objeknya bersifat konkrit, dengan demikian, intuisi menurut Locke tidak bertentangan dengan filsafat empirisme[16].

Demonstrative knowledge adalah pengetahuan yang didapatkan rasio dari pemahamannya terhadap  kesesuaian atau ketidaksesuaian antara idea-idea secara tidak langsung, tetapi dengan perantara idea-idea lain. Ini berarti tidak mengeluarkan suatu hukum terhadap suatu permasalahan sebelum dapat membuktikannya. Hal ini mengharuskan analisis rasio untuk sampai pada suatu hukum, seperti argumentasi matematis, dan pembuktian atas eksistensi Tuhan[17].

Sensible knowledge adalah pengetahuan terhadap adanya alam di luar kita. Dengan demikian ia bersandar pada penginderaan. Menurut Locke meski pengetahuan ini tidak sampai pada tingkat keyakinan dan pembuktian, namun lebih meyakinkan daripada pengetahuan hipotesis, karena pengetahuan semacam ini membantu kita menetapkan adanya alam luar. Sebagai buktinya, rasio dapat membedakan antara tidur dan jaga.

Locke mengatakan bahwa kita dapat meyakini adanya alam di luar kita yang sesuai dengan persepsi-persepsi kita. Memang akal tidak dapat mengetahui sesuatu yang konkret secara langsung, tapi melalui persepsi-persepsi kita tentang sesuatu itu. Dari situlah pengetahuan kita terbentuk sejauh mana ada kesesuaian antara persepsi-persepsi rasio dengan perkara-perkara luar[18].

Faithful knowledge adalah pengetahuan yang diperoleh manusia melalui kepercayaan agama. Pengetahuan ini tidak dapat dibuktikan karena di luar batas kemampuan rasio dan indera kita, namun kita meyakininya dengan kuat karena merupakan rahasia keimanan (mysteri of faith). Pengetahuan semacam ini didapatkan dari agama dan kitab suci yang diturunkan Tuhan. Locke menerima dengan bulat pengetahuan ini karena ketidakmampuannya untuk membuktikannya, sebab akal tidak sanggup mencapai hakikat keyakinan-keyakinan agama, di antaranya adalah esensi Tuhan itu sendiri[19].

Batas Pengetahuan
Sejauh mana batas pengetahuan manusia? Locke memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
Pengetahuan kita tidak mungkin melampaui idea-idea kita.
Pengetahuan kita tidak bisa melampaui pemahaman kita tentang adanya kesesuaian atau ketidaksesuaian antara idea-idea yang terbentuk melalui intuisi, argumentasi, dan persepsi.
Kita tidak mungkin mencapai pengetahuan intuitif yang mencakup seluruh idea-idea kita, atau segala yang ingin kita ketahui. Karena kita tidak dapat mengetahui semua hubungan antara idea-idea itu baik dengan menyusun ataupun membanding-bandingkannya.
Demonstrative knowledge juga tidak mungkin mencakup semua idea-idea kita. Karena kita tidak selamanya menemukan idea penengah yang menghubungkan dua idea dalam argumentasi. Dalam kondisi ini kita tidak dapat menghasilkan pengetahuan ataupun argumentasi.
Sensible knowledge tidak melampaui lebih jauh dari adanya perkara yang serupa di hadapan kita dalam kenyataannya, maka ia lebih sempit dari dua macam pengetahuan sebelumnya.


Dari uraian-uraian di atas jelaslah bagi kita  bahwa teori pengetahuan Locke sangat mendominasi pemikiran kefilsafatannya. Sebagaimana para filusuf abad ke-17, 18, dan 19 lainnya, ia juga sibuk meneliti asal pengetahuan manusia, sifat dasar pengetahuan, sumber pengetahuan, tingkat keyakinan dan batas-batasnya. Ia memberikan batasan atas dasar-dasar keyakinan, pendapat, kesesuaian, perbedaan, dan tingkatan masing-masing. Locke adalah orang pertama yang menerapkan metode empiris di abad moderen dan metode ilmiah dalam filsafat.

Pembatasannya terhadap empat macam pengetahuan, yaitu pengetahuan intuitif yang mengantarkan kepada pengetahuan terhadap wujud dzati, sensible knowledge yang membawa kepada pengetahuan terhadap wujud sesuatu yang parsial, pengetahuan agama yang menyampaikan kepada pengetahuan terhadap eksistensi Tuhan, metode ini adalah kebalikan dari metode yang berlaku sebelumnya.

Teori pengetahuan Locke juga sampai pada pengakuan akan keterbatasan akal manusia mengetahui segala sesuatu yang ada di sekelilingnya seputar kenyataan-kenyataan alam material dan nonmaterial. Bahkan ia sendiri tidak dapat mengetahui sesuatupun tentang idea-ideanya sendiri dan hubungan-hubungan yang ada di antaranya. Dengan demikian, Locke membuka jalan bagi penelitian terhadap batas-batas pengetahuan manusia menurut Barkeley, Hume, dan Emmanuel Kant.[20]












Copernicus dan Pemikirannya
 1/24/2013 10:30:00 AM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments


Nicolaus Copernicus (1473-1543) (nama Polandianya: Mikolaj Kopernik), dilahirkan tahun 1473 di kota Torun di tepi sungai Vistula, Polandia. Dia berasal dari keluarga berada. Sebagai anak muda belia, Copernicus belajar di Universitas Cracow, selaku murid yang menaruh minat besar terhadap ihwal ilmu perbintangan. Pada usia dua puluhan dia pergi melawat ke Italia, belajar kedokteran dan hukum di Universitas Bologna dan Padua yang kemudian dapat gelar Doktor dalam hukum gerejani dari Universitas Ferrara.

Copernicus menghabiskan sebagian besar waktunya tatkala dewasa selaku staf pegawai Katedral di Frauenburg (istilah Polandia: Frombork), selaku ahli hukum gerejani yang sesungguhnya Copernicus tak pernah jadi astronom profesional, kerja besarnya yang membikin namanya melangit hanyalah berkat kerja sambilan.

Selama berada di Italia, Copernicus sudah berkenalan dengan ide-ide filosof Yunani Aristarchus dari Samos (abad ke-13 SM). Filosof ini berpendapat bahwa bumi dan planit-planit lain berputar mengitari matahari. Copernicus jadi yakin atas kebenaran hipotesa "heliocentris" ini, dan tatkala dia menginjak usia empat puluh tahun dia mulai mengedarkan buah tulisannya diantara teman-temannya dalam bentuk tulisan-tulisan ringkas, mengedepankan cikal bakal gagasannya sendiri tentang masalah itu.

Copernicus memerlukan waktu bertahun-tahun melakukan pengamatan, perhitungan cermat yang diperlukan untuk penyusunan buku besarnya De Revolutionibus Orbium Coelestium (Tentang Revolusi Bulatan Benda-benda Langit), yang melukiskan teorinya secara terperinci dan mengedepankan pembuktian-pembuktiannya.

Di tahun 1533, tatkala usianya menginjak enam puluh tahun, Copernicus mengirim berkas catatan-catatan ceramahnya ke Roma. Di situ dia mengemukakan prinsip-prinsip pokok teorinya tanpa mengakibatkan ketidaksetujuan Paus. Baru tatkala umurnya sudah mendekati tujuh puluhan, Copernicus memutuskan penerbitan bukunya, dan baru tepat pada saat meninggalnya dia dikirimi buku cetakan pertamanya dari si penerbit. Ini tanggal 24 Mei 1543.

Dalam buku itu Copernicus dengan tepat mengatakan bahwa bumi berputar pada porosnya, bahwa bulan berputar mengelilingi matahari dan bumi, serta planet-planet lain semuanya berputar mengelilingi matahari. Tapi, seperti halnya para pendahulunya, dia membuat perhitungan yang serampangan mengenai skala peredaran planet mengelilingi matahari.Juga, dia membuat kekeliruan besar karena dia yakin betul bahwa orbit mengandung lingkaran-lingkaran.

Jadi, bukan saja teori ini ruwet secara matematik, tapi juga tidak betul. Meski begitu, bukunya lekas mendapat perhatian besar. Para astronom lain pun tergugah, terutama astronom berkebangsaan Denmark, Tycho Brahe, yang melakukan pengamatan lebih teliti dan tepat terhadap gerakan-gerakan planet. Dari data-data hasil pengamatan inilah yang membikin Johannes Kepler akhirnya mampu merumuskan hukum-hukum gerak planet yang tepat.

Meski Aristarchus lebih dari tujuh belas abad lamanya sebelum Copernicus sudah mengemukakan persoalan-persoalan menyangkut hipotesa peredaran benda-benda langit, adalah layak menganggap Copernicuslah orang yang memperoleh penghargaan besar. Sebab, betapapun Aristarchus sudah mengedepankan pelbagai masalah yang mengandung inspirasi, namun dia tak pernah merumuskan teori yang cukup terperinci sehingga punya manfaat dari kacamata ilmiah.

Tatkala Copernicus menggarap perhitungan matematik hipotesa-hipotesa secara terperinci, dia berhasil mengubahnya menjadi teori ilmiah yang punya arti dan guna. Dapat digunakan untuk dugaan-dugaan, dapat dibuktikan dengan pengamatan astronomis, dapat bermanfaat di banding lain-lain teori yang terdahulu bahwa dunialah yang jadi sentral ruang angkasa.

Jelaslah dengan demikian, teori Copernicus telah merevolusionerkan konsep kita tentang angkasa luar dan sekaligus sudah merombak pandangan filosofis kita. Namun, dalam hal penilaian mengenai arti penting Copernicus, haruslah diingat bahwa astronomi tidaklah mempunyai jangkauan jauh dalam penggunaan praktis sehari-hari seperti halnya fisika kimia dan biologi. Sebab, hakekatnya orang bisa membikin peralatan televisi, mobil, atau pabrik kimia modern tanpa mesti secuwil pun menggunakan teori Copernicus. (Sebaliknya, orang tidak bakal bisa membikin benda-benda itu tanpa menggunakan buah pikiran Faraday, Maxwell, Lavosier atau Newton).

Tetapi, jika semata-mata kita mengarahkan perhatian hanya semata-mata kepada pengaruh langsung Copernicus di bidang teknologi, kita akan kehilangan arti penting Copernicus yang sesungguhnya. Buku Copernicus punya makna yang tampaknya tak memungkinkan baik Galileo maupun Kepler menyelesaikan kerja ilmiahnya.

Kesemua mereka adalah pendahulu-pendahulu yang penting dan menentukan bagi Newton, dan penemuan merekalah yang membikin kemungkinan bagi Newton merumuskan hukum-hukum gerak dan gaya beratnya. Secara historis, penerbitan De Revolutionobus Orbium Coelestium merupakan titik tolak astronomi modern. Lebih dari itu, merupakan titik tolak pengetahuan modern.








Immanuel Kant Dan Pemikirannya
 1/24/2013 10:20:00 AM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments


 Pemikiran Etika Kant


Immanuel Kant(1724-1804) adalah seorang filsuf besar Jerman abad ke-18 yang memiliki pengaruh sangat luas bagi dunia intelektual. Pengaruh pemikirannya merambah dari wacana metafisika hingga etika politik dan dari estetika hingga teologi. Lebih dan itu, dalam wacana etika ia juga mengembangkan model filsafat moral baru yang secara mendalam mempengaruhi epistemologi selanjutnya.

Telaah atas pemikiran Kant merupakan kajian yang cukup rumit, sedikitnya karena dua alasan. Pertama, Kant membongkar seluruh filsafat sebelumnya dan membangunnya secara baru sama sekali. Filsafatnya itu oleh Kant sendiri disebut Kritisisme untuk melawankannya dengan Dogmatisme. Dalam karyanya berjudul Kritik der reinen Vernunft (Kritik Akal Budi Murni, 1781/1787) Kant menanggapi, mengatasi, dan membuat sintesa antara dua arus besar pemikiran modern, yakni Empirisme dan Rasionalisme. Revolusi filsafat Kant ini seringkali diperbandingkan dengan revolusi pandangan dunia Copernicus, yang mematahkan pandangan bahwa bumi adalah datar.

Kedua, sumbangan Kant bagi Etika. Dalam Metaphysik der Sitten (Metafisika Kesusilaan, 1797), Kant membuat distingsi antara legalitas dan moralitas, serta membedakan antara sikap moral yang berdasar pada suara hati (disebutnya otonomi) dan sikap moral yang asal taat pada peraturan atau pada sesuatu yang berasal dan luar pribadi (disebutnya heteronomi).

Kant lahir pada 22 April 1724 di Konigsberg, Prussia Timur (sesudah PD II dimasukkan ke Uni Soviet dan namanya diganti menjadi Kaliningrad). Berasal dan keluarga miskin, Kant memulai pendidikan formalnya di usia delapan tahun pada Collegium Fridericianum. Ia seorang anak yang cerdas. Karena bantuan sanak saudaranyalah ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas Konigsberg. Selama studi di sana ia mempelajari hampir semua matakuliah yang ada. Untuk mencari nafkah hidup, ia sambil bekerja menjadi guru pribadi (privatdozen) pada beberapa keluarga kaya.

Pada 1775 Kant rnemperoleh gelar doktor dengan disertasi benjudul “Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api” (Meditationum quarunsdum de igne succinta delineatio). Sejak itu ia mengajar di Univensitas Konigsberg untuk banyak mata kuliah, di antaranya metafisika, geografi, pedagogi, fisika dan matematika, logika, filsafat, teologi, ilmu falak dan mineralogi. Kant dijuluki sebagai “der schone magister” (sang guru yang cakap) karena cara mengajarnya yang hidup bak seorang orator.

Pada Maret 1770, ia diangkat menjadi profesor logika dan metafisika dengan disertasi Mengenai Bentuk dan Azas-azas dari Dunia Inderawi dan Budiah (De mundi sensibilis atgue intelligibilis forma et principiis). Kant meninggal 12 Februari 1804 di Konigsberg pada usianya yang kedelapanpuluh tahun. Karyanya tentang Etika mencakup sebagai berikut: Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (Pendasaran Metafisika Kesusilaan, 1775), Kritik der praktischen Vernunft (Kritik Akal Budi Praktis, 1 778), dan Die Metaphysik der Sitten (Metafisika Kesusilaan, 1797).

Pemikiran Kant tentang Moral
Deontologi berasal dari kata Yunani “deon” yang berarati apa yang harus dilakukan, kewajiban. Pemikiran ini dikembangkan oleh filosof Jerman,Immanuel Kant (1724- 1804). Sistem etika selama ini yang menekankan akibat sebagai ukuran keabsahan tindakan moral dikritik habis-habisan oleh Kant. Kant memulai suatu pemikiran baru dalam bidang etika dimana ia melihat tindakan manusia absah secara moral apabila tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban (duty) dan bukan akibat. Menurut Kant, tindakan yang terkesan baik bisa bergeser secara moral apabila dilakukan bukan berdasarkan rasa kewajiban melainkan pamrih yang dihasilkan. Perbuatan dinilai baik apabila dia dilakukan semata-mata karena hormat terhadap hukum moral, yaitu kewajiban.

Kant membedakan antara imperatif kategoris dan imperatif hipotetis sebagai dua perintah moral yang berbeda. Imperatif kategoris merupakan perintah tak bersyarat yang mewajibkan begitu saja suatu tindakan moral sedangkan imperatif hipotesis selalu mengikutsertakan struktur “jika.. maka.. “. Kant menganggap imperatif hipotetis lemah secara moral karena yang baik direduksi pada akibatnya saja sehingga manusia sebagai pelaku moral tidak otonom (manusia bertindak semata-mata berdasarkan akibat perbuatannya saja). Otonomi manusia hanya dimungkinkan apabila manusia bertindak sesuai dengan imperatif kategoris yang mewajibkan tanpa syarat apapun. Perintah yang berbunyi “lakukanlah” (du sollst!). Imperatif kategoris menjiwai semua perbuatan moral seperti janji harus ditepai, barang pinjaman harus dikembalikan dan lain sebagainya. Imperatif kategoris bersifat otonom (manusia menentukan dirinya sendiri) sedangkan imperati hipotetis bersifat heteronom (manusia membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar seperti kecenderungan dan emosi).

Berkenaan dengan pemikiran deontologinya, Kant mengemukakan duktum moralnya yang cukup terkenal: “bertindaklah sehingga maxim (prinsip) dari kehendakmu dapat selalu, pada saat yang sama, diberlakukan sebagai prinsip yang menciptakan hukum universal. Contoh tindalah moral “jangan membunuh” adalahbesar secara etis karena pada saat yang sama dapat diunverasalisasikan menjadi prinsip umum, (berlaku untuk semua orang dimana saja kapan saja).

Etika Immanuel Kant (1724-1804) diawali dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal baik tyang tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik maka orang itu baik, penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada hal-hal diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan Kewajiban. Setiap tindakan yang kita lakukan adalah untuk menjalankan kewajiban sebagai hokum batin yang kita taati, tindakan itulah yang mencapai moralitas, demikian menurut Kant. Kewajiban menurutnya adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli apakah itu membuat kita nyaman atau tidak, senang atau tidak, cocok atau tidak, pokoknya aku wajib menaatinya. Ketaatanku ini muncul dari sikap batinku yang merupakan wujud dari kehendak baik yang ada didalam diriku. Menurut Kant ada tiga kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya, Pertama, ia memenuhi kewajiban karena hal itu menguntungkannya. Kedua, Ia memenuhi kewajibannya karena ia terdorong dari perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan. Ketiga, Ia memenuhi kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau memenuhi kewajibannya. Tindakan yang terakhir inilah yang menurut Kant merupakan tindakan yang mencapai moralitas. Lalu Kant membedakan dua hal antara Legalitas dan Moralitas. Legalitas adalah pemenuhan kewajiban yang didorong oleh kepentingan sendiri atau oleh dorongan emosional.

Sedang Moralitas adalah Pemenuhan kewajiban yang didorong oleh keinginan memenuhi kewajiban yang muncul dari kehendak baik dari dalam diri. Selanjutnya Kant menjabarkan criteria kewajiban moral, landasan epistemologinya bahwa tindakan moral manusia merupakan apriori akal budi praktis murni yang mana sesuatu yang menjadi kewajiban kita tidak didasarkan pada realitas empiris, tidak berdasarkan perasaan, isi atau tujuan dari tindakan. Kriteria kewajiban moral ini menurut Kant adalah Imperatif Kategoris. Perintah Mutlak demikian istilah lain dari Imperatif Kategoris, ia berlaku umum selalu dan dimana-mana, bersifat universal dan tidak berhubungan dengan tujuan yang mau dicapai. Dalam arti ini perintah yang dimaksudkan adalah perintah yang rasional yang merupakan keharusan obyektif, bukan sesuatu yang berlawanan dengan kodrat manusia, misalnya “kamu wajib terbang !”, bukan juga paksaan, melainkan melewati pertimbangan yang membuat kita menaatinya. Ada tiga Rumusan Imperatif kategoris menurut Kant, Pertama, “ Bertindaklah semata-mata menurut menurut maksim yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hokum umum”.

Kata Maksim artinya adalah prinsip subyektif dalam melakukan tindakan. Maksim ini yang kemudian menjadi dasar penilaian moral terhadap tindakan seseorang, apakah tindakan moral yang berdasarkan maksimku dapat diuniversalisasikan, diterima oleh orang lain dan menjadi hokum umum?. Prinsip penguniversalisasian ini adalah ciri hakiki dari kewajiban moral. Rumusan kedua adalah “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan manusia entah didalam personmu atau didalam person orang lain sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri bukan semata-mata sebagai sarana belaka”. Maksudnya bahwa segala tindakan moral dan kewajiban harus menjunjung tinggi penghormatan terhadap person. Dua rumusan diatas tidak dapat berlaku jika tidak ada rumusan yang ketiga ini yaitu otonomi kehendak, tanpa otonomi kehendak, manusia tidak dapat bertindak sesuai dengan rumusan Imperatif Kategoris. Moralitas menurut Kant merupakan implikasi dari tiga Postulat antara lain; Kebebasan kehendak manusia, immortalitas jiwa dan Eksistensi Allah. Kehendak bebas manusia merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal karena terimplikasi langsung dalam kesadaran moral. Immortalitas jiwa menyatakan bahwa kebahagiaan tertinggi manusia tidak munggkin dicapai didunia tapi dikehidupan nanti. Dan Keberadaan Allah yang menjamin bahwa pelaksanaan kewajiban moral manusia akan merasakan ganjarannya dikemudian hari berupa kebahagiaan sejati. Ketiganya itu disebut Kant sebagai “Postulat” yaitu suatu kenyataan yang sungguh ada dan harus diterima, dan tidak perlu dibuktikan secara teoritis, ini merupakan hasil penyimpulan akal budi praktis atas moral manusia.











Erich Fromm dan Pemikirannya
 1/24/2013 09:36:00 AM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments


Erich Fromm lahir di Frankfurt, Jerman pada tanggal 23 Maret 1900. Ia belajar psikologi dan sosiologi di University Heidelberg, Frankfurt, dan Munich. Setelah memperoleh gelar Ph.D dari Heidelberg tahun 1922, ia belajar psikoanalisis di Munich dan pada Institut psikoanalisis Berlin yang terkenal waktu itu. Tahun 1933 ia pindah ke Amerika Serikat dan mengajar di Institut psikoanalisis Chicago dan melakukan praktik privat di New York City. Ia pernah mengajar pada sejumlah universitas dan institut di negara ini dan di Meksiko. Terakhir, Fromm tinggal di Swiss dan meninggal di Muralto, Swiss pada tanggal 18 Maret 1980.

Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, terutama oleh karyanya yang pertama, The economic philosophical manuscripts yang ditulis pada tahun 1944. Tema dasar ulisan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi karena ia dipisahkan dri alam dan orang-orang lain. Kedaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Berikut ini kita akan mengulas lebih dalam mengenai teori-teori Fromm.

Teori Kepribadian Erich Fromm
Sebelum mengulas tentang teori kepribadian dari Fromm, beberapa pengalaman mempengaruhi pandangan Fromm, antara lain pada umur 12 tahun ia menyaksikan seorang wanita cantik dan berbakat, sahabat keluarganya, bunuh diri. Fromm sangat terguncang karena kejadian itu. Tidak ada seorang yang memahami mengapa wanita tersebut memilih bunuh diri. Ia juga mengalami sebagai anak dari orangtua yang neurotis. Ia hidup dalam satu rumah tangga yang penuh ketegangan. Ayahnya seringkali murung, cemas, dan muram. Ibunya mudah menderita depresi hebat. Tampak bahwa Fromm tidak dikelilingi pribadi-pribadi yang sehat. Karena itu, masa kanak-kanaknya merupakan suatu laboratorium yang hidup bagi observasi terhadap tingkah laku neurotis. Peristiwa ketiga adalah pada umur 14 tahun Fromm melihat irrasionalitas melanda tanah airnya, Jerman, tepatnya ketika pecah perang dunia pertama. Dia menyaksikan bahwa orang Jerman terperosok ke dalam suatu fanatisme sempit dan histeris dan tergila-gila. Teman-teman dan kenalan-kenalannya terpengaruh. Seorang guru yang sangat ia kagumi menjadi seorang fanatik yang haus darah. Banyak saudara dan teman-temannya yang meninggal di parit-parit perlindungan. Ia heran mengapa orang yang baik dan bijaksana tiba-tiba menjadi gila. Dari pengalaman-pengalaman yang membingungkan ini, Fromm mengembangkan keinginan untuk memahami kodrat dan sumber tingkah laku irasional. Dia menduga hal itu adalah pengaruh dari kekuatan sosio-ekonomis, politis, dan historis secara besar-besaran yang mempengaruhi kodrat kepribadian manusia.

Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan Karl Marx, terutama oleh karyanya yang pertama, The Economic and Philosophical Manuscripts yang ditulis pada tahun 1944. Fromm membandingkan ide-ide Freud dan Marx, menyelidiki kontradiksi-kontradiksinya dan melakukan percobaan yang sintesis. Fromm memandang Marx sebagai pemikir yang lebih ulung daripada Freud dan menggunakan psikoanalisa, terutama untuk mengisi celah-celah pemikiran Marx. Pada tahun 1959, Fromm menulis analisis yang sangat kritis bahkan polemis tentang kepribadian Freud dan pengaruhnya, sebaliknya berbeda sekali dengan kata-kata pujian yang diberikan kepada Marx pada tahun 1961. Meskipun Fromm deapat disebut sebagai seorang teoritikus kepribadian Marxian, ia sendiri lebih suka disebut humanis dialetik. Tulisan-tulisan Fromm dipengaruhi oleh pengetahuannya yang luas tentang sejarah, sosiologi, kesusastraan, dan filsafat.

Tema dasar dari dasar semua tulisan Fromm adalah individu yang merasa kesepian dan terisolir karena ia dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Dalam bukunya Escape from Freedom (1941), ia mengembangkan tesis bahwa manusia menjadi semakin bebas dari abad ke abad, maka mereka juga makin merasa kesepian (being lonely). Jadi, kebebasan menjadi keadaan yang negatif dari mana manusia melarikan diri. Dan jawaban dari kebebasan yang pertama adalah semangat cinta dan kerjasama yang menghasilkan manusia yang mengembangkan masyarakat yang lebih baik, yang kedua adalah manusia merasa aman dengan tunduk pada penguasa yang kemudian dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat.

Dalam buku-buku Fromm berikutnya (1947, 1955, 1964), dikatakan bahwa setiap masyarakat yang telah diciptakan manusia, entah itu berupa feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, dan komunisme, semuanya menunjukkan usaha manusia untuk memecahkan kontradiksi dasar manusia. Kontradiksi yang dimaksud adalah seorang pribadi merupakan bagian tetapi sekaligus terpisah dari alam, merupakan binatang sekaligus manusia. Sebagai binatang, orang memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik tertentu yang harus dipuaskan. Sebagai manusia, orang memiliki kesadaran diri, pikiran dan daya khayal. Pengalaman-pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, perasaan kasihan, sikap-sikap perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, bisa terluka, transendensi, dan kebebasan, nilai-nilai serta norma-norma. Kemudian teori Erich Fromm mengenai watak masyarakat mengakui asumsi transmisi kebudayaan dalam hal membentuk kepribadian tipikal atau kepribadian kolektif. Namun Fromm juga mencoba menjelaskan fungsi-fungsi sosio-historik dari tipe kepribadian tersebut yang menghubungkan kebudayaan tipikal dari suatu kebudayaan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk merumuskan hubungan tersebut secara efektif, suatu masyarakat perlu menerjemahkannya ke dalam unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus dilakukan.

Fromm membagi sistem struktur masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter sosialnya:
pertama, Sistem A, yaitu masyarakat-masyarakat pecinta kehidupan. Karakter sosial masyarakat ini penuh cita-cita, menjaga kelangsungan dan perkembangan kehidupan dalam segala bentuknya. Dalam sistem masyarakat seperti ini, kedestruktifan dan kekejaman sangat jarang terjadi, tidak didapati hukuman fisik yang merusak. Upaya kerja sama dalam struktur sosial masyarakat seperti ini banyak dijumpai.
Kedua, Sistem B, yaitu masyarakat non-destruktif-agresif. Masyarakat ini memiliki unsur dasar tidak destruktif, meski bukan hal yang utama, masyarakat ini memandang keagresifam dan kedestruktifan adalah hal biasa. Persaingan, hierarki merupakan hal yang lazim ditemui. Masyarakat ini tidak memiliki kelemah-lembutan, dan saling percaya.
Ketiga, Sistem C, yaitu masyarakat destruktif. Karakter sosialnya adalah destruktif, agresif, kebrutalan, dendam, pengkhianatan dan penuh dengan permusuhan. Biasanya pada masyarakat seperti ini sangat sering terhadi persaingan, mengutamakan kekayaan, yang jika bukan dalam bentuk materi berupa mengunggulkan simbol.

Fromm juga menyebutkan dan menjelaskan lima tipe karakter sosial yang ditemukan dalam masyarakat dewasa ini, yakni:
1. Tipe Reseptif (mengharapkan dukungan dari pihak luar)
2. Tipe Eksploitasi (memaksa orang lain untuk mengikuti keinginannya)
3. Tipe Penimbunan (suka mengumpulkan dan menimbun barang suatu materi)
4. Tipe Pemasaran (suka menawarkan dan menjual barang)
5. Tipe Produktif (karakter yang kreatif dan selalu berusaha untuk menggunakan barang-barang untuk suatu kemajuan)
6. Tipe Nekrofilus-biofilus (nekrofilus orang yang tertarik dengan kematian, biofilus:orang yang mencintai kehidupan).

Fromm juga memngemukakan bahwa bila masyarakat berubah secara mendasar, sebagaimana terjadi ketika feodalisme berubah menjadi kapitalisme atau ketika sistem pabrik menggeser tenaga tukang, perubahan semacam itu akan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam karakter sosial manusia. Persoalan hubungan seseorang dengan masyarakat merupakan keprihatinan besar Fromm. Menurut Fromm ada validitas proposisi-proposisi berikut:


Manusia mempunyai kodrat esensial bawaan.
Masyarakat diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kodrat esensial ini,
Tidak satu pun bentuk masyarakat yang pernah diciptakan berhasil memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar eksistensi manusia, dan
Eksistensi manusia adalah mungkin menciptakan masyarakat semacam itu.

Kemudian Fromm mengemukakan tentang masyarakat yang seharusnya yaitu dimana manusia berhubungan satu sama lain dengan penuh cinta, dimana ia berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan solidaritas, suatu masyarakat yang memberinya kemungkinan untuk mengatasi kodratnya dengan menciptakannya bukan dengan membinasakannya, dimana setiap orang mencapai pengertian tentang diri dengan mengalami dirinya sebagai subjek dari kemampuan-kemampuannya bukan dengan konformitas, dimana terdapat suatu sistem orientasi dan devosi tanpa orang perlu mengubah kenyataan dan memuja berhala. Bahkan Fromm mebgusulkan suatu nama untuk masyarakat yang sempurna tersebut yaitu Sosialisme Komunitarian Humanistik. Dalam masyarakat semacam itu, setiap orang akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi mansiawi sepenuhnya.


Kondisi Eksistensi Manusia
Dilema Eksistensi
Mengikuti filsafat dualism, semua gerak di dunia dilatarbelakangi oleh pertentangan dua kelompok ekstrim, tesa dan antitesa. Pertentangan itu akan menimbulkan sintesa, yang pada dasarnya dapat dipandang sebagai teas baru yang akan memunculkan antitesa yang lain. Itulah dinamika yang tidak pernah berhenti bergerak.

Menurut Fromm, hakekat manusia juga bersifat dualistik. Paling tidak ada empat dualistik di dalam diri manusia:
Manusia sebagai binatang dan sebagai manusia
Manusia sebagai binatang memiliki banyak kebutuhan fisiologik yang harus dipuaskan, seperti kebutuhan makan, minum, dan kebutuhan seksual. Manusia sebagai manusia memiliki kebutuhan kesadaran diri, berfikir, dan berimajinasi. Kebutuhan manusia itu terwujud dalam pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, sedih, transendensi, kebebasan, nilai, dan norma.

Hidup dan mati
Kesadaran diri dan fikiran manusia telah mengetahui bahwa dia akan mati, tetapi manusia berusaha mengingkarinya dengan meyakini adanya kehidupan sesudah mati, dan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan fakta bahwa kehidupan akan berakhir dengan kematian.

Ketidaksempurnaan dan kesempurnaan
Manusia mampu mengkonsepkan realisasi-diri yang sempurna, tetapi karena hidup itu pendek kesempurnaan tidak dapat dicapai. Ada orang berusaha memecahkan dikotomi ini melalui mengisi rentang sejarah hidupnya dengan prestasi di bidang kemanusiaan, dan ada pula yang meyakini dalil kelanjutan perkembangannya sesudah mati.

Kesendirian dan kebersamaan
Manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang terpisah, dan pada saat yang sama juga menyadari kalau kebahagiaannya tergantung kepada kebersamaan dengan orang lain. Dilema ini tidak pernah terselesaikan, namun orang harus berusaha menjembatani dualism ini, agar tidak menjadi gila. Dualisme-dualisme itu, aspek binatang dan manusia, kehidupan dan kematian, ketidaksempurnaan dan kesempurnaan, kesendirian dan kebersamaan, merupakan kondisi dasar eksistensi manusia. Pemahaman tentang jiwa manusia harus berdasarkan analisis tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi-kondisi eksistensi manusia.

Kondisi yang dibawa dari lahir antara tesa-antitesa eksistensi manusia, disebut dilema eksistensi. Di satu sisi manusia berjuang untuk bebas, menguasai lingkungan dengan hakekat kemanusiaannya, di sisi lain kebebasan itu memperbudak manusia dengan memisahkan hakekat kebinatangan dari akar-akar alaminya. Dinamika kehidupan bergerak tanpa henti seolah-olah manusia bakal hidup abadi, setiap orang tanpa sadar mengingkari kematian yang baka dan berusaha bertahan di dunia yang fana. Mereka menciptakan cita-cita ideal yang tidak pernah dapat dicapai, mengejar kesempurnaan sebagai kompensasi perasaan ketidaksempurnaan. Anak yang berjuang untuk memperoleh otonomi diri mungkin menjadi dalam kesendirian yang membuatnya merasa tidak berdaya dan kesepian; masyarakat yang berjuang untuk merdeka mungkin merasa lebih terancam oleh isolasi dari bangsa lain. Dengan kata lain, kemandirian dan kebebasan yang diinginkan malahan menjadi beban. Ada dua cara menghindari dilema eksistensi yaitu:


Menerima otoritas dari luar dan tunduk kepada penguasa dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Manusia menjadi budak (dari penguasa negara) untuk mendapatkan perlindungan/rasa aman.
Orang bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja sama, menciptakan ikatan dan tanggung jawab bersama dari masyarakat yang lebih baik.
Kebutuhan Manusia
Umumnya kata “kebutuhan” diartikan sebagai kebutuhan fisik, yang oleh Fromm dipandang sebagai kebutuhan aspek kebinatangan dari manusia, yakni kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas dari rasa sakit. Kebutuhan manusia dalam arti kebutuhan sesuai dengan eksistensinya sebagai manusia, menurut Fromm meliputi dua kelompok kebutuhan; pertama kebutuhan untuk menjadi bagian dari sesuatu dan menjadi otonom, yang terdiri dari kebutuhan Relatedness, Rootedness, Transcendence, Unity, dan Identity. Kedua, kebutuhan memahami dunia, mempunyai tujuan dan memanfaatkan sifat unik manusia, yang terdiri dari kebutuhan Frame of orientation, frame of devotion, Excitation-stimulation, dan Effectiveness.

Kebutuhan Kebebasan dan Keterikatan
1. Keterhubungan (relatedness): Kebutuhan mengatasi perasaan kesendirian dan terisolasi dari alam dan dari dirinya sendiri. Kebutuhan untuk bergabung dengan makhluk lain yang dicintai,menjadi bagian dari sesuatu. Keinginan irasional untuk mempertahankan hubungan yang pertama, yakni hubungan dengan ibu, kemudian diwujudkan ke dalam perasaan solidaritas dengan orang lain. Hubungan paling memuaskan bisa positif yakni hubungan yang didasarkan pada cinta, perhatian, tanggung jawab, penghargaan, dan pengertian dari orang lain,bisa negatif yakni hubungan yang didasarkan pada kepatuhan atau kekuasaan.

2. Keberakaran (rootedness): Kebutuhan keberakaran adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan yang membuatnya merasa nyaman di dunia (merasa seperti di rumahnya). Manusia menjadi asing dengan dunianya karena dua alasan yaitu:
Dia direnggut dari akar-akar hubungannya oleh situasi (ketika manusia dilahirkan, dia menjadi sendirian dan kehilangan ikatan alaminya) Fikiran dan kebebasan yang dikemangkannya sendiri justru memutus ikatan alami dan menimbulkan perasaan isolasi/tak berdaya.

Keberakaran adalah kebutuhan untuk mengikat diri dengan kehidupan. Setiap saat orang dihadapkan dengan dunia baru, dimana dia harus tetap aktif dan kreatif mengembangkan perasaan menjadi bagian yang integral dari dunia. Dengan demikian dia akan tetap merasa aman, tidak cemas, berada di tengah-tengah duania yang penuh ancaman. Orang dapat membuat ikatan fiksasi yang tidak sehat, yakni mengidentifikasikan diri dengan satu situasi, dan tidak mau bergerak maju untuk membuat ikata baru dengan dunia baru.

3. Menjadi pencipta (transcendency): Karena individu menyadari dirinya sendiri dari lingkungannya, mereka kemudian mengenali betapa kuat dan menakutkan alam semesta itu, yang membuatnya meras tak berdaya. Orang ingin mengatasi perasaan takut dan ketidakpastian menghadapi kemarahan dan ketakmenentuan semesta. Orang membutuhkan peningkatan diri, berjuang untuk mengatasi sifat fasif dikuasai alam menjadi aktif, bertujuan dan bebas, berubah dari makhluk ciptaan menjadi pencipta. Seperti menjadi keterhubungan, transendensi bisa positif (menciptakan sesuatu) atau negatif (menghancurkan sesuatu).

4. Kesatuan (unity): Kebutuhan untuk mengatasi eksistensi keterpisahan antara hakikat binatang dan non binatang dalam diri seseorang. Keterpisahan, kesepian, dan isolasi semuanya bersumber dari kemandirian dan kemerdekaan “untuk apa orang mengejar kemandirian dan kemerdekaan kalau hasilnya justru kesepian dan isolasi?” dari dilema ini muncul kebutuhan unitas. Orang dapat mencapai unitas, memperoleh kepuasan (tanpa menyakiti orang lain dan diri sendiri) kalau hakikat kebinatangan dan kemanusiaan itu bisa didamaikan, dan hanya dengan berusaha untuk menjadi manusia seutuhnya melalui berbagi cinta dan kerjasama dengan orang lain.

5. Identitas (identity): Kebutuhan untuk menjadi “aku”, kebutuhan untuk sadar dengan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang terpisah. Manusia harus merasakan dapat mengontrol nasibnya sendiri, harus bisa membuat keputusan, dan merasa bahwa hidupnya nyata-nyata miliknya sendiri. Misalnya orang primitif mengidentifikasikan diri dengan sukunya, dan tidak melihat dirinya sendiri sebagai bagian yang terpisah dari kelompoknya.

Kebutuhan untuk memahami dan beraktivitas
1. Kerangka orientasi (frame of orientaion): Orang membutuhkan peta mengenai dunia sosial dan dunia alaminya; tanpa peta itu dia akan bingung dan tidak mampu bertingkah laku yang ajeg-mempribadi. Manusia selalu dihadapkan dengan fenomena alam yang membingungkan dan realitas yang menakutkan, mereka membutuhkan hidupnya menjadi bermakna. Dia berkeinginan untuk dapat meramalkan kompleksitas eksistensi. Kerangka orientasi adalah seperangkat keyakinan mengenai eksistensi hidup, perjalanan hidup-tingkah laku bagaimana yang harus dikerjakannya, yang mutlak dibutuhkan untuk memperoleh kesehatan jiwa.
2. Kerangka kesetiaan (frame of devotion): Kebutuhan untuk memiliki tujuan hidup yang mutlak. Orang membutuhkan sesuatu yang dapat menerima seluruh pengabdian hidupnya, sesuatu yang membuat hidupnya menjadi bermakna. Kerangka pengabdian adalah peta yang mengarahkan pencarian makna hidup, menjadi dasar dari nilai-nilai dan titik puncak dari semua perjuangan.
3. Keterangsangan- stimulasi (excitation-stimulation): Kebutuhan untuk melatih sistem syaraf, untuk memanfaatkan kemampuan otak. Manusia membutuhkan bukan sekedar stimulus sederhana (misalnya: makanan), tetapi stimuli yang mengaktifkan jiwa (misalnya: puisi atau hukm fisika). Stimuli yang tidak cukup direaksi saat itu, tetapi harus direspon secara aktif, produktif, dan berkelanjutan.
4. Keefektivan (effectivity): Kebutuhan untuk menyadari eksistensi diri melawan perasaan tidak mampu dan melatih kompetensi/kemampuan.


Mekanisme Melarikan Diri dan Kebebasan
Masyarakat kapitalis kontemporer menempatkan orang sebagai korban dari pekerjaan mereka sendiri. Konflik antara kecenderungan mandiri dengan ketidakberjayaan dapat merusak kesehatan mental. Menurut Fromm, ciri orang normal atau yang mentalnya sehat adalah orang yang mampu bekerja produktif sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya, sekaligus mampu berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang penuh cinta. Menurut Fromm, normalitas adalah keadaan optimal dari pertumbuhan (kemandirian) dan kebahagiaan (kebersamaan) dari individu. Pada dasarnya ada dua cara untuk memperoleh makna dan kebersamaan dalam kehidupan diantaranya:

1. Mencapai kebebasan positif yakni berusaha menyatu dengan orang lain, tanpa mengorbankan kebebasan dan integritas pribadi. Ini adalah pendekatan optimistik dan altruistik, yang menghubungkan diri dengan orang lain melalui kerja dan cinta, melalui ekspresi perasaan dan kemampuan intelektual yang tulus dan terbuka. Oleh Fromm disebut pendekatan humanistik, yang membuat orang tidak merasa kesepian dan tertekan, karena semua menjadi saudara dari yang lain.

2. Memperoleh rasa aman dengan meninggalkan kebebasan dan menyerahkan bulat-bulat individualitas dan intehritas diri kepada sesuatu (bisa orang atau lembaga) yang dapat memberi rasa aman. Solusi semacam ini dapat menghilangkan kecemasan karena kesendirian dan ketidakberdayaan, namun menjadi negatif karena tidak mengizinkan orang mengekspresikan diri, dan mengembangkan diri. Cara memperoleh rasa aman dengan berlindung di bawah kekuatan lain disebut Fromm mekanisme pelarian. Mekanisme pelarian sepanjang dipakai sekali waktu, adalah dorongan yang normal pada semua orang, baik individual maupun kolektif. Ada tiga mekanisme pelarian yang terpenting, yakni otoritarianisme, destruktif, dan konfomitas.

Otoritarianisme (authoritarianism)
Kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian diri dan menggabungkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya, untuk memperoleh kekuatan yang dirasakan tidak dimilikinya. Kebutuhan untuk menggabung dengan partner yang memiliki kekuatan bisa merupakan masokisme dan sadisme. Masokisme merupakan hasil dari perasaan dasar tidak beraya, lemah, inferior yang dibawa, sehingga kekuatan itu tertuju atau menindas dirinya. Masokisme merupakan bentuk tersembunyi dari perjuangan memperoleh cinta dan kesetiaan, tetapi tidak memberi sumbangan positif kekemandirian. Sedangkan sadisme dipakai untuk meredakan kecemasan dasar melalui penyatuan diri dengan orang lain atau institusi. Sadisme juga merupakan bentuk neurotik yang lebih parah dan lebih berbahaya (karena mengacam orang lain) dibanding masokisme.

Perusakan (destruktiveness)
Destruktif berakar pada perasaan kesepian, isolasi, dan tak berdaya. Destruktif mencari kekuatan tidak melalui membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha membalas/merusak kekuatan orang lain, individu, bahkan negara dapat memakai strstegi destruktif , merusak orang atau obyek, dalam rangka memperoleh perasaan kuat yang hilang.

Penyesuaian (conformity)
Bentuk pelarian dari perasaan kesepian dari isolasi berupa penyerahan individualitas dan menjadi apa saja seperti yang diinginkan kekuatan dari luar. Orang menjadi robot, mereaksi sesuatu persis seperti yang direncanakan dan mekanis menuruti kemauan orang lain.






Erich Fromm dan Pemikirannya
 1/24/2013 09:36:00 AM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments


Erich Fromm lahir di Frankfurt, Jerman pada tanggal 23 Maret 1900. Ia belajar psikologi dan sosiologi di University Heidelberg, Frankfurt, dan Munich. Setelah memperoleh gelar Ph.D dari Heidelberg tahun 1922, ia belajar psikoanalisis di Munich dan pada Institut psikoanalisis Berlin yang terkenal waktu itu. Tahun 1933 ia pindah ke Amerika Serikat dan mengajar di Institut psikoanalisis Chicago dan melakukan praktik privat di New York City. Ia pernah mengajar pada sejumlah universitas dan institut di negara ini dan di Meksiko. Terakhir, Fromm tinggal di Swiss dan meninggal di Muralto, Swiss pada tanggal 18 Maret 1980.

Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, terutama oleh karyanya yang pertama, The economic philosophical manuscripts yang ditulis pada tahun 1944. Tema dasar ulisan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi karena ia dipisahkan dri alam dan orang-orang lain. Kedaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Berikut ini kita akan mengulas lebih dalam mengenai teori-teori Fromm.

Teori Kepribadian Erich Fromm
Sebelum mengulas tentang teori kepribadian dari Fromm, beberapa pengalaman mempengaruhi pandangan Fromm, antara lain pada umur 12 tahun ia menyaksikan seorang wanita cantik dan berbakat, sahabat keluarganya, bunuh diri. Fromm sangat terguncang karena kejadian itu. Tidak ada seorang yang memahami mengapa wanita tersebut memilih bunuh diri. Ia juga mengalami sebagai anak dari orangtua yang neurotis. Ia hidup dalam satu rumah tangga yang penuh ketegangan. Ayahnya seringkali murung, cemas, dan muram. Ibunya mudah menderita depresi hebat. Tampak bahwa Fromm tidak dikelilingi pribadi-pribadi yang sehat. Karena itu, masa kanak-kanaknya merupakan suatu laboratorium yang hidup bagi observasi terhadap tingkah laku neurotis. Peristiwa ketiga adalah pada umur 14 tahun Fromm melihat irrasionalitas melanda tanah airnya, Jerman, tepatnya ketika pecah perang dunia pertama. Dia menyaksikan bahwa orang Jerman terperosok ke dalam suatu fanatisme sempit dan histeris dan tergila-gila. Teman-teman dan kenalan-kenalannya terpengaruh. Seorang guru yang sangat ia kagumi menjadi seorang fanatik yang haus darah. Banyak saudara dan teman-temannya yang meninggal di parit-parit perlindungan. Ia heran mengapa orang yang baik dan bijaksana tiba-tiba menjadi gila. Dari pengalaman-pengalaman yang membingungkan ini, Fromm mengembangkan keinginan untuk memahami kodrat dan sumber tingkah laku irasional. Dia menduga hal itu adalah pengaruh dari kekuatan sosio-ekonomis, politis, dan historis secara besar-besaran yang mempengaruhi kodrat kepribadian manusia.

Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan Karl Marx, terutama oleh karyanya yang pertama, The Economic and Philosophical Manuscripts yang ditulis pada tahun 1944. Fromm membandingkan ide-ide Freud dan Marx, menyelidiki kontradiksi-kontradiksinya dan melakukan percobaan yang sintesis. Fromm memandang Marx sebagai pemikir yang lebih ulung daripada Freud dan menggunakan psikoanalisa, terutama untuk mengisi celah-celah pemikiran Marx. Pada tahun 1959, Fromm menulis analisis yang sangat kritis bahkan polemis tentang kepribadian Freud dan pengaruhnya, sebaliknya berbeda sekali dengan kata-kata pujian yang diberikan kepada Marx pada tahun 1961. Meskipun Fromm deapat disebut sebagai seorang teoritikus kepribadian Marxian, ia sendiri lebih suka disebut humanis dialetik. Tulisan-tulisan Fromm dipengaruhi oleh pengetahuannya yang luas tentang sejarah, sosiologi, kesusastraan, dan filsafat.

Tema dasar dari dasar semua tulisan Fromm adalah individu yang merasa kesepian dan terisolir karena ia dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Dalam bukunya Escape from Freedom (1941), ia mengembangkan tesis bahwa manusia menjadi semakin bebas dari abad ke abad, maka mereka juga makin merasa kesepian (being lonely). Jadi, kebebasan menjadi keadaan yang negatif dari mana manusia melarikan diri. Dan jawaban dari kebebasan yang pertama adalah semangat cinta dan kerjasama yang menghasilkan manusia yang mengembangkan masyarakat yang lebih baik, yang kedua adalah manusia merasa aman dengan tunduk pada penguasa yang kemudian dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat.

Dalam buku-buku Fromm berikutnya (1947, 1955, 1964), dikatakan bahwa setiap masyarakat yang telah diciptakan manusia, entah itu berupa feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, dan komunisme, semuanya menunjukkan usaha manusia untuk memecahkan kontradiksi dasar manusia. Kontradiksi yang dimaksud adalah seorang pribadi merupakan bagian tetapi sekaligus terpisah dari alam, merupakan binatang sekaligus manusia. Sebagai binatang, orang memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik tertentu yang harus dipuaskan. Sebagai manusia, orang memiliki kesadaran diri, pikiran dan daya khayal. Pengalaman-pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, perasaan kasihan, sikap-sikap perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, bisa terluka, transendensi, dan kebebasan, nilai-nilai serta norma-norma. Kemudian teori Erich Fromm mengenai watak masyarakat mengakui asumsi transmisi kebudayaan dalam hal membentuk kepribadian tipikal atau kepribadian kolektif. Namun Fromm juga mencoba menjelaskan fungsi-fungsi sosio-historik dari tipe kepribadian tersebut yang menghubungkan kebudayaan tipikal dari suatu kebudayaan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk merumuskan hubungan tersebut secara efektif, suatu masyarakat perlu menerjemahkannya ke dalam unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus dilakukan.

Fromm membagi sistem struktur masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter sosialnya:
pertama, Sistem A, yaitu masyarakat-masyarakat pecinta kehidupan. Karakter sosial masyarakat ini penuh cita-cita, menjaga kelangsungan dan perkembangan kehidupan dalam segala bentuknya. Dalam sistem masyarakat seperti ini, kedestruktifan dan kekejaman sangat jarang terjadi, tidak didapati hukuman fisik yang merusak. Upaya kerja sama dalam struktur sosial masyarakat seperti ini banyak dijumpai.
Kedua, Sistem B, yaitu masyarakat non-destruktif-agresif. Masyarakat ini memiliki unsur dasar tidak destruktif, meski bukan hal yang utama, masyarakat ini memandang keagresifam dan kedestruktifan adalah hal biasa. Persaingan, hierarki merupakan hal yang lazim ditemui. Masyarakat ini tidak memiliki kelemah-lembutan, dan saling percaya.
Ketiga, Sistem C, yaitu masyarakat destruktif. Karakter sosialnya adalah destruktif, agresif, kebrutalan, dendam, pengkhianatan dan penuh dengan permusuhan. Biasanya pada masyarakat seperti ini sangat sering terhadi persaingan, mengutamakan kekayaan, yang jika bukan dalam bentuk materi berupa mengunggulkan simbol.

Fromm juga menyebutkan dan menjelaskan lima tipe karakter sosial yang ditemukan dalam masyarakat dewasa ini, yakni:
1. Tipe Reseptif (mengharapkan dukungan dari pihak luar)
2. Tipe Eksploitasi (memaksa orang lain untuk mengikuti keinginannya)
3. Tipe Penimbunan (suka mengumpulkan dan menimbun barang suatu materi)
4. Tipe Pemasaran (suka menawarkan dan menjual barang)
5. Tipe Produktif (karakter yang kreatif dan selalu berusaha untuk menggunakan barang-barang untuk suatu kemajuan)
6. Tipe Nekrofilus-biofilus (nekrofilus orang yang tertarik dengan kematian, biofilus:orang yang mencintai kehidupan).

Fromm juga memngemukakan bahwa bila masyarakat berubah secara mendasar, sebagaimana terjadi ketika feodalisme berubah menjadi kapitalisme atau ketika sistem pabrik menggeser tenaga tukang, perubahan semacam itu akan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam karakter sosial manusia. Persoalan hubungan seseorang dengan masyarakat merupakan keprihatinan besar Fromm. Menurut Fromm ada validitas proposisi-proposisi berikut:


Manusia mempunyai kodrat esensial bawaan.
Masyarakat diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kodrat esensial ini,
Tidak satu pun bentuk masyarakat yang pernah diciptakan berhasil memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar eksistensi manusia, dan
Eksistensi manusia adalah mungkin menciptakan masyarakat semacam itu.

Kemudian Fromm mengemukakan tentang masyarakat yang seharusnya yaitu dimana manusia berhubungan satu sama lain dengan penuh cinta, dimana ia berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan solidaritas, suatu masyarakat yang memberinya kemungkinan untuk mengatasi kodratnya dengan menciptakannya bukan dengan membinasakannya, dimana setiap orang mencapai pengertian tentang diri dengan mengalami dirinya sebagai subjek dari kemampuan-kemampuannya bukan dengan konformitas, dimana terdapat suatu sistem orientasi dan devosi tanpa orang perlu mengubah kenyataan dan memuja berhala. Bahkan Fromm mebgusulkan suatu nama untuk masyarakat yang sempurna tersebut yaitu Sosialisme Komunitarian Humanistik. Dalam masyarakat semacam itu, setiap orang akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi mansiawi sepenuhnya.


Kondisi Eksistensi Manusia
Dilema Eksistensi
Mengikuti filsafat dualism, semua gerak di dunia dilatarbelakangi oleh pertentangan dua kelompok ekstrim, tesa dan antitesa. Pertentangan itu akan menimbulkan sintesa, yang pada dasarnya dapat dipandang sebagai teas baru yang akan memunculkan antitesa yang lain. Itulah dinamika yang tidak pernah berhenti bergerak.

Menurut Fromm, hakekat manusia juga bersifat dualistik. Paling tidak ada empat dualistik di dalam diri manusia:
Manusia sebagai binatang dan sebagai manusia
Manusia sebagai binatang memiliki banyak kebutuhan fisiologik yang harus dipuaskan, seperti kebutuhan makan, minum, dan kebutuhan seksual. Manusia sebagai manusia memiliki kebutuhan kesadaran diri, berfikir, dan berimajinasi. Kebutuhan manusia itu terwujud dalam pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, sedih, transendensi, kebebasan, nilai, dan norma.

Hidup dan mati
Kesadaran diri dan fikiran manusia telah mengetahui bahwa dia akan mati, tetapi manusia berusaha mengingkarinya dengan meyakini adanya kehidupan sesudah mati, dan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan fakta bahwa kehidupan akan berakhir dengan kematian.

Ketidaksempurnaan dan kesempurnaan
Manusia mampu mengkonsepkan realisasi-diri yang sempurna, tetapi karena hidup itu pendek kesempurnaan tidak dapat dicapai. Ada orang berusaha memecahkan dikotomi ini melalui mengisi rentang sejarah hidupnya dengan prestasi di bidang kemanusiaan, dan ada pula yang meyakini dalil kelanjutan perkembangannya sesudah mati.

Kesendirian dan kebersamaan
Manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang terpisah, dan pada saat yang sama juga menyadari kalau kebahagiaannya tergantung kepada kebersamaan dengan orang lain. Dilema ini tidak pernah terselesaikan, namun orang harus berusaha menjembatani dualism ini, agar tidak menjadi gila. Dualisme-dualisme itu, aspek binatang dan manusia, kehidupan dan kematian, ketidaksempurnaan dan kesempurnaan, kesendirian dan kebersamaan, merupakan kondisi dasar eksistensi manusia. Pemahaman tentang jiwa manusia harus berdasarkan analisis tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi-kondisi eksistensi manusia.

Kondisi yang dibawa dari lahir antara tesa-antitesa eksistensi manusia, disebut dilema eksistensi. Di satu sisi manusia berjuang untuk bebas, menguasai lingkungan dengan hakekat kemanusiaannya, di sisi lain kebebasan itu memperbudak manusia dengan memisahkan hakekat kebinatangan dari akar-akar alaminya. Dinamika kehidupan bergerak tanpa henti seolah-olah manusia bakal hidup abadi, setiap orang tanpa sadar mengingkari kematian yang baka dan berusaha bertahan di dunia yang fana. Mereka menciptakan cita-cita ideal yang tidak pernah dapat dicapai, mengejar kesempurnaan sebagai kompensasi perasaan ketidaksempurnaan. Anak yang berjuang untuk memperoleh otonomi diri mungkin menjadi dalam kesendirian yang membuatnya merasa tidak berdaya dan kesepian; masyarakat yang berjuang untuk merdeka mungkin merasa lebih terancam oleh isolasi dari bangsa lain. Dengan kata lain, kemandirian dan kebebasan yang diinginkan malahan menjadi beban. Ada dua cara menghindari dilema eksistensi yaitu:


Menerima otoritas dari luar dan tunduk kepada penguasa dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Manusia menjadi budak (dari penguasa negara) untuk mendapatkan perlindungan/rasa aman.
Orang bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja sama, menciptakan ikatan dan tanggung jawab bersama dari masyarakat yang lebih baik.
Kebutuhan Manusia
Umumnya kata “kebutuhan” diartikan sebagai kebutuhan fisik, yang oleh Fromm dipandang sebagai kebutuhan aspek kebinatangan dari manusia, yakni kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas dari rasa sakit. Kebutuhan manusia dalam arti kebutuhan sesuai dengan eksistensinya sebagai manusia, menurut Fromm meliputi dua kelompok kebutuhan; pertama kebutuhan untuk menjadi bagian dari sesuatu dan menjadi otonom, yang terdiri dari kebutuhan Relatedness, Rootedness, Transcendence, Unity, dan Identity. Kedua, kebutuhan memahami dunia, mempunyai tujuan dan memanfaatkan sifat unik manusia, yang terdiri dari kebutuhan Frame of orientation, frame of devotion, Excitation-stimulation, dan Effectiveness.

Kebutuhan Kebebasan dan Keterikatan
1. Keterhubungan (relatedness): Kebutuhan mengatasi perasaan kesendirian dan terisolasi dari alam dan dari dirinya sendiri. Kebutuhan untuk bergabung dengan makhluk lain yang dicintai,menjadi bagian dari sesuatu. Keinginan irasional untuk mempertahankan hubungan yang pertama, yakni hubungan dengan ibu, kemudian diwujudkan ke dalam perasaan solidaritas dengan orang lain. Hubungan paling memuaskan bisa positif yakni hubungan yang didasarkan pada cinta, perhatian, tanggung jawab, penghargaan, dan pengertian dari orang lain,bisa negatif yakni hubungan yang didasarkan pada kepatuhan atau kekuasaan.

2. Keberakaran (rootedness): Kebutuhan keberakaran adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan yang membuatnya merasa nyaman di dunia (merasa seperti di rumahnya). Manusia menjadi asing dengan dunianya karena dua alasan yaitu:
Dia direnggut dari akar-akar hubungannya oleh situasi (ketika manusia dilahirkan, dia menjadi sendirian dan kehilangan ikatan alaminya) Fikiran dan kebebasan yang dikemangkannya sendiri justru memutus ikatan alami dan menimbulkan perasaan isolasi/tak berdaya.

Keberakaran adalah kebutuhan untuk mengikat diri dengan kehidupan. Setiap saat orang dihadapkan dengan dunia baru, dimana dia harus tetap aktif dan kreatif mengembangkan perasaan menjadi bagian yang integral dari dunia. Dengan demikian dia akan tetap merasa aman, tidak cemas, berada di tengah-tengah duania yang penuh ancaman. Orang dapat membuat ikatan fiksasi yang tidak sehat, yakni mengidentifikasikan diri dengan satu situasi, dan tidak mau bergerak maju untuk membuat ikata baru dengan dunia baru.

3. Menjadi pencipta (transcendency): Karena individu menyadari dirinya sendiri dari lingkungannya, mereka kemudian mengenali betapa kuat dan menakutkan alam semesta itu, yang membuatnya meras tak berdaya. Orang ingin mengatasi perasaan takut dan ketidakpastian menghadapi kemarahan dan ketakmenentuan semesta. Orang membutuhkan peningkatan diri, berjuang untuk mengatasi sifat fasif dikuasai alam menjadi aktif, bertujuan dan bebas, berubah dari makhluk ciptaan menjadi pencipta. Seperti menjadi keterhubungan, transendensi bisa positif (menciptakan sesuatu) atau negatif (menghancurkan sesuatu).

4. Kesatuan (unity): Kebutuhan untuk mengatasi eksistensi keterpisahan antara hakikat binatang dan non binatang dalam diri seseorang. Keterpisahan, kesepian, dan isolasi semuanya bersumber dari kemandirian dan kemerdekaan “untuk apa orang mengejar kemandirian dan kemerdekaan kalau hasilnya justru kesepian dan isolasi?” dari dilema ini muncul kebutuhan unitas. Orang dapat mencapai unitas, memperoleh kepuasan (tanpa menyakiti orang lain dan diri sendiri) kalau hakikat kebinatangan dan kemanusiaan itu bisa didamaikan, dan hanya dengan berusaha untuk menjadi manusia seutuhnya melalui berbagi cinta dan kerjasama dengan orang lain.

5. Identitas (identity): Kebutuhan untuk menjadi “aku”, kebutuhan untuk sadar dengan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang terpisah. Manusia harus merasakan dapat mengontrol nasibnya sendiri, harus bisa membuat keputusan, dan merasa bahwa hidupnya nyata-nyata miliknya sendiri. Misalnya orang primitif mengidentifikasikan diri dengan sukunya, dan tidak melihat dirinya sendiri sebagai bagian yang terpisah dari kelompoknya.

Kebutuhan untuk memahami dan beraktivitas
1. Kerangka orientasi (frame of orientaion): Orang membutuhkan peta mengenai dunia sosial dan dunia alaminya; tanpa peta itu dia akan bingung dan tidak mampu bertingkah laku yang ajeg-mempribadi. Manusia selalu dihadapkan dengan fenomena alam yang membingungkan dan realitas yang menakutkan, mereka membutuhkan hidupnya menjadi bermakna. Dia berkeinginan untuk dapat meramalkan kompleksitas eksistensi. Kerangka orientasi adalah seperangkat keyakinan mengenai eksistensi hidup, perjalanan hidup-tingkah laku bagaimana yang harus dikerjakannya, yang mutlak dibutuhkan untuk memperoleh kesehatan jiwa.
2. Kerangka kesetiaan (frame of devotion): Kebutuhan untuk memiliki tujuan hidup yang mutlak. Orang membutuhkan sesuatu yang dapat menerima seluruh pengabdian hidupnya, sesuatu yang membuat hidupnya menjadi bermakna. Kerangka pengabdian adalah peta yang mengarahkan pencarian makna hidup, menjadi dasar dari nilai-nilai dan titik puncak dari semua perjuangan.
3. Keterangsangan- stimulasi (excitation-stimulation): Kebutuhan untuk melatih sistem syaraf, untuk memanfaatkan kemampuan otak. Manusia membutuhkan bukan sekedar stimulus sederhana (misalnya: makanan), tetapi stimuli yang mengaktifkan jiwa (misalnya: puisi atau hukm fisika). Stimuli yang tidak cukup direaksi saat itu, tetapi harus direspon secara aktif, produktif, dan berkelanjutan.
4. Keefektivan (effectivity): Kebutuhan untuk menyadari eksistensi diri melawan perasaan tidak mampu dan melatih kompetensi/kemampuan.


Mekanisme Melarikan Diri dan Kebebasan
Masyarakat kapitalis kontemporer menempatkan orang sebagai korban dari pekerjaan mereka sendiri. Konflik antara kecenderungan mandiri dengan ketidakberjayaan dapat merusak kesehatan mental. Menurut Fromm, ciri orang normal atau yang mentalnya sehat adalah orang yang mampu bekerja produktif sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya, sekaligus mampu berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang penuh cinta. Menurut Fromm, normalitas adalah keadaan optimal dari pertumbuhan (kemandirian) dan kebahagiaan (kebersamaan) dari individu. Pada dasarnya ada dua cara untuk memperoleh makna dan kebersamaan dalam kehidupan diantaranya:

1. Mencapai kebebasan positif yakni berusaha menyatu dengan orang lain, tanpa mengorbankan kebebasan dan integritas pribadi. Ini adalah pendekatan optimistik dan altruistik, yang menghubungkan diri dengan orang lain melalui kerja dan cinta, melalui ekspresi perasaan dan kemampuan intelektual yang tulus dan terbuka. Oleh Fromm disebut pendekatan humanistik, yang membuat orang tidak merasa kesepian dan tertekan, karena semua menjadi saudara dari yang lain.

2. Memperoleh rasa aman dengan meninggalkan kebebasan dan menyerahkan bulat-bulat individualitas dan intehritas diri kepada sesuatu (bisa orang atau lembaga) yang dapat memberi rasa aman. Solusi semacam ini dapat menghilangkan kecemasan karena kesendirian dan ketidakberdayaan, namun menjadi negatif karena tidak mengizinkan orang mengekspresikan diri, dan mengembangkan diri. Cara memperoleh rasa aman dengan berlindung di bawah kekuatan lain disebut Fromm mekanisme pelarian. Mekanisme pelarian sepanjang dipakai sekali waktu, adalah dorongan yang normal pada semua orang, baik individual maupun kolektif. Ada tiga mekanisme pelarian yang terpenting, yakni otoritarianisme, destruktif, dan konfomitas.

Otoritarianisme (authoritarianism)
Kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian diri dan menggabungkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya, untuk memperoleh kekuatan yang dirasakan tidak dimilikinya. Kebutuhan untuk menggabung dengan partner yang memiliki kekuatan bisa merupakan masokisme dan sadisme. Masokisme merupakan hasil dari perasaan dasar tidak beraya, lemah, inferior yang dibawa, sehingga kekuatan itu tertuju atau menindas dirinya. Masokisme merupakan bentuk tersembunyi dari perjuangan memperoleh cinta dan kesetiaan, tetapi tidak memberi sumbangan positif kekemandirian. Sedangkan sadisme dipakai untuk meredakan kecemasan dasar melalui penyatuan diri dengan orang lain atau institusi. Sadisme juga merupakan bentuk neurotik yang lebih parah dan lebih berbahaya (karena mengacam orang lain) dibanding masokisme.

Perusakan (destruktiveness)
Destruktif berakar pada perasaan kesepian, isolasi, dan tak berdaya. Destruktif mencari kekuatan tidak melalui membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha membalas/merusak kekuatan orang lain, individu, bahkan negara dapat memakai strstegi destruktif , merusak orang atau obyek, dalam rangka memperoleh perasaan kuat yang hilang.

Penyesuaian (conformity)
Bentuk pelarian dari perasaan kesepian dari isolasi berupa penyerahan individualitas dan menjadi apa saja seperti yang diinginkan kekuatan dari luar. Orang menjadi robot, mereaksi sesuatu persis seperti yang direncanakan dan mekanis menuruti kemauan orang lain.







Pemikiran Filsafat Timur
 12/25/2012 12:57:00 AM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments

FILSAFAT INDIA
Filsafat india terbagi menjadi lima zaman berikut ini :
•      Zaman Weda (1500-600 SM)
Zaman ini diisi oleh pendapat bangsa Arya.
•      Zaman Wiracarita (600-200 SM)
Zaman ini diisi oleh perkembangan sistem pemikiran filsafat yang berupa upanishad.
•    Zaman Sastra Sutra (200 SM-1400 M) Zaman ini diisi oleh semakin banyaknya bahan-bahan pemikiran filsafat (sutra).
•       Zaman kemunduran (1400 – 1800 SM). Zaman ini diisi oleh pemikiran filsafat yang mandul.
•     Zaman pembaharuan (1800 – 1950 SM). Zaman ini diisi oleh kebangkitan pemikiran filsafat india. Pelopornya adalah Ram Mohan Ray.

Zaman Weda (1500 -600 SM)
Dikatakan zaman weda karena sumber benih pemikiran filsafat berasal dari kitab-kitab weda (rig weda, sama weda, yajur weda, dan atharwa weda). Benih pemikiran filsafat tersebut dalam mantera “di atas air samudera mengapung telor dunia, kemudian pecah menjadi wismakarman sebagai anak pertama alam semesta.” “Dunia tersusun menjadi tiga bagian, yaitu surga, bumi, dan langit, di mana ketiga bagian tersebut mempunyai dewa sendiri-sendiri.” “Jiwa manusia tidak dapat mati.” “Mereka yang masuk surga adalah orang-orang yang soleh dan hidup baik.”

Dewa secara harfiah adalah benda yang terang yang dianggap mempunyai person. Dewa indra dianggap sebagai dewa nasional, dewa waruna  yaitu dewa yang menguasai alam semesta.

Pada tahun 700 SM, benih pemikiran filsafat pembahasannya bersumber pada sastraUpanishad.

Zaman Wiracarita (600 SM – 200 M)
Sebagai latar belakang zaman ini adanya krisis politik, kemerosotan moral atau kepercayaan terhadap para dewa. Timbullah aliran yang bertuhan (baghawadgita), aliran yang tidak bertuhan (jainisme dan Buddhisme), juga aliran yang spekulatif (Saddarcana).

Pelopornya adalah Wardhamana (abad ke-6 SM). Jelmaan terakhir Buddhisme adalah Sidharta, yang lahir tahun 567 SM di Kapilawastu.

Baghawadgita adalah sebuah kitab yang ditulis pada abad ke-3 SM, pusat penyebarannya di Gangga barat, isi kitabnya adalah uraian ajaran Kresna pada Arjuna tentang bhakti (penyerahan diri).

Zaman Sastra Sutra (200 – sekarang)
Kitab yang muncul pertama kali adalah kitab Wedangga yang uraiannya berbentuk prosa. Sistem filsafat India, terbagi menjadi enam sistem berikut :
-          Nyala, yaitu membicarakan bagian umum dan metode yang dipakai dalam penyelidikan.
-          Waisesika, yaitu kitab yang bersumber pada Waisesika Sutra.
-          Sakha, artinya pemantulan.
-          Yoga, yaitu suatu cara untuk mengawasi pikiran.
-          Purwa Wimansa, yaitu sistem yang mendasarkan pada kitab Weda.
-          Wedanta yaitu suatu sistem yang membicarakan bagian kitab weda yang terakhir.

Tokoh-tokoh tersebut diatas mengemukakan ajaran sebagai berikut:
Sankara (788 – 820)
merupakan pengajar aliran Adwaita. Pokok ajarannya adalah bahwa “Brahman adalah Nyata”.

Ramanuja (1017 – 1137)
ia berupaya menyatukan agama Wisnu dengan Wedanta. Menurutnya terdapat tiga kenyataan yang tertinggi; Tuhan (Iswara), jiwa (Cit), dan benda (Acit).

Madwa (1199 -  1278)
ia sangat berpengaruh di India Barat.

Filsafat India pada Akhir Abad ke-20
Mulai abad ke-7 sampai ke-14, ajaran Wedanta mendominasi filsafat India. Tetapi, setelah abad ke-14 pemikiran filsafat mengalami kemunduran.  Tokohnya Kabir (1440 – 1518), yang berupaya menyingkirkan unsur-unsur yang melemahkan perjuangan islam.

Setelah abad ke-19, pemikiran filsafat India bangkit berkat sentuhan kebudayaan barat. Pelopornya adalah Ram Mohan Ray (1777 – 1833).

Seorang pembaru lain adalah Mahatma Gandhi (1869 – 1948). Ajarannya untuik mencari kemenangan harus dengan Satyagraha (kekuatan kebenaran).

Terdapat dua orang pembaru yaitu, Sri Aurobindo (1872 – 1950), dan Sri Rama Maharsi (1870 – 1950).

FILSAFAT TIONGKOK

Terdapat empat buah buku yang dianggap sebagai kitab suci rakyat Tiongkok, yaitu :
-          Analecta Confucius;
-          Karangan-karangan Mencius;
-          Ilmu Tinggi (The Great Learning).
-          Ajaran tentang Jalan Tengah (Doctrine of The Mean)

Menurut Fung Yu Lan, terdapat tiga agama, yaitu Confucianisme, Taoisme, dan Buddhisme.
Menurut rakyat Tiongkok fungsi filsafat dalam kehidupan manusia adalah untuk mempertinggi tingkat rohani. Menurut Mencius, “Orang bijaksana adalah sebagai puncak hubungan antarmanusia”.

Dari sudut moral, oran gyang arif bijaksana adlaah manusia yang paling sempurna di dalam suatu masyarakat. Mempelajari filsafat agar orang dapat berkembang menjadi “Manusia” dan supaya tidak menjadi “orang macam tertentu”, artinya orang mempelajari “bukan filsafat”, memungkinkan orang untuk berkembang menjadi orang macam tertentu (some special kind of man).

Latar Belakang Filsafat Tiongkok
Tiongkok adalah suatu negeri daratan (continental) yang luas sekali, tidak pernah melihat lautan. Akar atau sumber alam pikiran rakyat Tiongkok adalah Taoisme dan Confusianisme. Taoisme adalah pandangan hidup yang menitik beratkan pada hal-hal yang sifatnya naturalistik. Confucianisme adalah suatu pandangan hidup yang menitik beratkan pada organisasi sosial.

Sebagai contoh:
-          Fajar telah menyingsing
-          Jangan sekali-kali berlebih-lebihan
-          Bilamana matahari telah mencapai puncaknya
-          Dan bila mana bulan sudah purnama
-          Maka mengecillah
-          
Sentuhan dengan Filsafat Barat
Pada akhir Dinasti Ming (abad ke-14), banyak pelajar Tiongkok yang mengagumi matematika dan astronomi, yang dibawa dari Barat oleh kaum misionaris Kristen.

Pada abad ke-19, karena keunggulan militer, muncul gerakan untuk kembali kepada ajaran Confusius. Pelopornya adalah K’ang Yu Mei (1858 – 1927).

Aliran-aliran Pemikiran  Filsafat di Tiongkok

Confusianisme
Confusianisme dipelopori oleh K’ung Fu Tzu (551 – 479 SM), ia dianggap sebagai Guru kesusilaan bangsa Cina. Pemikirannya, suatu yang dipentingkan oleh K’ung Fu Tze adlah ritual dan harus menguasai aspek keagamaan dan sosial. Sistem kekerabatan harus didasarkan pada syian, yaitu suatu perasaan keterikatan terhadap orang-orang yang menurunkannya.

Taoisme
Pendiri Taoisme adalah Lao Tse lahir tahun 604 SM. Semua orang yang mengikuti Tao harus melepaskan semua usaha. Tujuan tertinggi adalah meloloskan diri dari khayalan keinginan dengan renungan secara gaib.

Pemikirannya orang hendaknya memberikan kasih sayangnya tidak hanya terbatas pada para anggota keluarganya saja, tetapi harus kepada seluruh anggota keluarga yang lain.

FILSAFAT ISLAM

Islam dengan kebudayaannya telah berjalan selama 15 abad. Dalam kurun waktu lima abad itu para ahli pikir islam merenungkan kedudukan manusia di dalam hubungan nya dengan sesama, dengan alam, dan dengan Tuhan.

Dalam kegiatan pemikiran filsafat tersebut, terdapat dua macam (kekuatan) pemikiran berikut :
-          Para ahli fikir islam berusaha menyusun sebuah sistem yang disesuaikan dengan ajaran islam.
-          Para ulama menggunakan metode rasional dalam menyelesaikan soal-soal ketauhidan.

Ulama yang berkeberatan terhadap pemikiran filsafat (golongan salaf) berpendapat bahwa “adanya pemikiran filsafat dianggapnya sebagai bid’ah dan menyesatkan. Alquran tidak untuk diperdebatkan, dipikirkan, dan ditakwilkan menurut akal pikir manusia, tetapi al-quran untuk diamalkan sehingga dapt dijadikan tuntunan hidup di dunia dan di akhirat”.
Beberapa Perbedaan yang Mendorong Aliran Pemikiran Filsafat. Timbulnya aliran pemikiran filsafat didorong oleh beberapa perbedaan :
-          Persoalan tentang Zat Tuhan yang tidak dapat diraba, dirasa dan dipikirkan.
-          Perbedaan cara berpikir.
-          Perbedaan orientasi dan tujuan hidup
-       Perasaan “asabiyah” keyakinan yang buta atas dasar suatu pendirian walaupun diyakini tidak benar lagi.

Lahirnya Filsafat Islam
Sifat khas orang-orang Arab saat itu yang hidup mengembara (kafilah) bergeser pada proses urbanisasi. Setelah proses urbanisasi, mereka terikat oleh birokrasi dan mengalami krisis identitas dalam bidang sosial dan agama.

Proses akulturasi tersebut mencapai puncaknya dengan didirikannya lembaga-lembaga pengajaran, penterjemahan, dan perpustakaan. Misalnya, tahun 833 khalifah al-Ma’mun (Baghdad), mendirikan bait al-Hikmah, tahun 972 khalifah Hakam (Qahirah) mendirikan Jami’at al-Azhar.

Pembagian Aliran Pemikiran Filsafat Islam
-          Periode Mu’tazilah. Mulai abad ke-8 sampai abad ke-12.
-          Periode Filsafat Pertama. Mulai dari abad ke-8 sampai dengan bad ke-11.
-          Periode Kalam Asy’ari’. Periode ini berlangsung mulai abad ke-9 sampai abad ke-11.
-          Periode Filsafat Kedua. Mulai abad ke-11 sampai abad ke-12.
Dalam periode Mutakallimin (700 – 900), muncul mazhab-mazhab al-Khawarij, Murji’ah, Qadariyyah, Jabariyyah, Mu’tazilah, Ahli Sunnah Wal-Jama’ah.

Berikut ini pembagian aliran pemikiran filsafat islam yang berdasar pada hubungannya dengan sistem pemikiran Yunani (ada empat), yaitu :

Periode Mu’tazilah,
Keberadaan Mu’tazilah ini sangat penting artinya dalam pemikiran filsafat islam, karena terlihat orientasi pemikirannya dalam menetapkan hukum, pemakaian akal pikir didahulukan, kemudian baru diselaraskan dengan Alquran dan Alhadist.

Periode filsafat pertama,
Terdapat dua bagian dalam periode filsafat pertama, yaitu pertama, bercorak Neoplatonic yang berkembang di Irak, Iran, dan Turkestan; kedua bercorak peripatetis yang berkembang di Spanyol dan Magrib (Maroko).

Al-Kindi (800 – 870), dialah satu-satunya orang Arab asli yang menjadi filsuf (ahli fikir). Ibnu Sina (980 – 1037) dalam umur 18 tahun ia telah menjadi ahli dalam bidang filsafat, astronomi, fikih, matematika, biologi, ilmu bahasa dan lain-lainnya.

Periode kalam asy’ari’,
Timbulnya aliran ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor, yaitu :
-          Perlunya mempertahankan kemurnian tauhid dari keragaman sistem pemikiran dalam islam.
-          Untuk menangkis hal-hal yang melemahkan tauhid dari serangan luar.
-          Terdapat gerakan yang membahayakan ketauhidan, misalnya Al-hallaj (858 – 922).

Periode Filsafat kedua.
Dalam sejarah islam, Spanyol disebut Andalusia. Berkat jasa seorang pahlawan islam Tariq bin Ziyad yang meluaskan islam sampai ke Spanyol, tahun 710. Cordoba dan Toledo ditaklukkan.

Dalam kurun waktu dua abad, telah lahir beberapa ahli pikir islam, yaitu Ibnu Masarrah (883 – 931), Ibnu Tufail (1110 – 1185), Ibu Bajah (1100 – 1138), dan Ibnu Rusyd (1126 – 1198).







Filsafat Barat Abad Pertengahan
 12/25/2012 12:47:00 AM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments

Giliran selanjutnya adalah warisan peradaban Yunani jatuh ke tangan kekuasaan Romawi. Di dalam masa pertumbuhan dan perkembangan filsafat Eropa (kira-kira selama 5 abad) belum memunculkan ahli fikir (filosof), akan tetapi setelah abad ke-6 Masehi, barulah muncul para ahli pikir yang mengadakan penyelidikan filsafat. Jadi, filsafat Eropa yang mengawali kelahiran filsafat barat abad pertengahan.

Filsafat Barat Abad Pertengahan (476 – 1492) juga dapat dikatakan sebagai “abad gelap”. Ciri-ciri pemikiran filsafat barat abad pertengahan adalah :
-          Cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja
-          Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles
-          Berfilsafat dengan pertolongan Augustinus dan lain-lain.

Masa abad pertengahan ini terbagi menjadi dua masa yaitu masa Patristik dan masa Skolastik. Masa Skolastik terbagi menjadi Skolastik Awal, Skolastik Puncak, dan Skolastik Akhir.

Masa Patristik
Istilah Patristik berasal dari kata latin pater atau bapak, yang artinya para pemimpin geraja.  Pada masa ini muncul upaya untuk membela agama kristen, yaitu para apologis (pembela iman kristen) dengan kesadarannya membela iman kristen dari serangan filsafat Yunani. Para pembela Iman kristen tersebut adalah Justinus Martir, Irenaeus, Klemens, Origenes, Gregorius, Nissa, Tertullianus, Diosios Arepagos, Au-relius Augustinus.

Justinus martir
Menurut pendapatnya, agama kristen bukan agama baru karena Kristen lebih tua dari filsafat Yunani, dan Nabi Musa dianggap sebagai awal kedatangan kristen. Padahal, Musa Hidup sebelum Socrates dan Plato.

Orang-orang Yunani terpengaruh oleh demon atau setan. Demon atau setan tersebut dapat mengubah pengetahuan yang benar kemudian dipalsukan. Jadi, agama kristen lebih bermutu dibanding dengan filsafat Yunani. Demikian pembelaan Justinus Martir.

Klemens (150 – 215)
Pokok-pokok pikirannya adalah sebagai berikut :
-          Memberikan batasan-batasan terhadap ajaran kristen untuk mempertahankan diri dari otoritas filsafat Yunani.
-          Memerangi ajaran yang anti terhadap Kristen dengan menggunakan filsafat Yunani.
-          Bagi orang Kristen, filsafat dapat dipakai untuk membela iman Kristen, dan memikirkan secara mendalam.
Tertullianus (160 – 222)
Baginya berpendapat, bahwa wahyu Tuhan sudahlah cukup. Tidak ada hubungan antara teologi dengan filsafat, tidak ada hubungan antara Yerussalem (pusat agama) dengan Yunani (pusat filsafat).

Ia mengatakan bahwa dibanding dengan cahaya Kristen, segala yang dikatakan oleh para filosof Yunani dianggap tidak penting.

Akan tetapi lama kelamaan, tertullianus akhirnya menerima juga filsafat sebagai cara berfikir yang rasional, karena berfikir yang rasional diperlukan sekali.

Augustinus (354 – 430)
Ia diakui keberhasilannya dalam membentuk filsafat Kristen yang berpengaruh besar dalam filsafat abad pertengahan sehingga ia dijuluki sebagai guru skolastik yang sejati.

Ajaran Augustinus berhasil menguasai sepuluh abad, dan mempengaruhi pemikiran eropa. Mengapa ajaran Augustinus sebagai akal dari skolastik dapat mendominasi hampir sepuluh abad? Karena ajarannya lebih bersifat sebagai metode daripada suatu sistem sehingga ajarannya mampu meresap sampai masa skolastik.

Masa Skolastik
Istilah Skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi, skolastik berati aliran atau yang berkaitan dengan sekolah.
Terdapat beberapa pengertian dari corak khas skolastik, sebagai berikut :
-          Filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama.
-          Filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rasional.
-          Suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat.
-          Filsafat Nasrani karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja.

Filsafat Skolastik ini dapat berkembang dan tumbuh karena beberapa faktor berikut :
·         Faktor Religius
Faktor religius adalah keadaan lingkungan saat itu yang berperikehidupan religius.
·         Faktor Ilmu Pengetahuan

Masa Skolastik terbagi menjadi tiga periode, yaitu:

Skolastik Awal (berlangsung dari tahun 800 – 1200)
Saat ini merupakan zaman baru bagi bangsa eropa. Hal ini ditandai dengan skolastik yang di dalamnya banyak diupayakan pengembangan ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah.
Kurikulum pengajarannya meliputi studi duniawi atau artes liberales, meliputi tata bahasa, retorika, dialektika (seni berdiskusi), ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan, dan musik.

Diantara tokoh-tokohnya adalah Aquinas (735 – 805), Johannes Scotes Eriugena (815 – 870), Peter Lombard (1100 – 1160), John Salisbury (1115 – 1180), Peter Abaelardus (1079 – 1180).

Skolastik Puncak (berlangsung dari tahun 1200 – 1300)
Masa ini merupakan kejayaan skolastik yang berlangsung dari tahun 1200 – 1300 dan masa ini juga disebut mas berbunga.

Berikut ini beberapa faktor mengapa masa skolastik mencapai pada puncaknya.
-          Adanya pengaruh dari Aristoteles, Ibnu Rusyd, Ibu Sina sejak abad ke-12.
-          Tahun 1200 didirikan Universitas Almamater di Prancis.
-          Berdirinya ordo-ordo. Banyaknya perhatian orang terhadap ilmu pengetahuan. Tokoh-tokohnya memegang peran di bidang filsafat dan teologi, seperti Albertus de Grote, Thomas Aquinas, Binaventura, J.D. Scotus, William Ocham.

Albertus Magnus (1203 – 1280)
Ia juga dikenal sebagai cendikiawan abad pertengahan. Di Universitas Padua ia belajar artes liberales, belajar teologi di Bulogna, dan masuk ordo Dominican tahun 1223.

Thomas Aquinas (1225 – 1274)
Nama sebenarnya adalah Santo Thomas Aquinas, yang artinya Thomas yang suci dari Aquinas.
Karya Thomas Aquinas telah menandai taraf yang tinggi dari aliran Skolastisisme pada abad pertengahan.

Thomas menyadari bahwa tidak dapat menghilangkan unsur-unsur Aristoteles. Masuknya unsur Aristoteles ini didorong oleh kebijakan pimpinan geraja Paus Urbanus V (1366) kemudian Thomas mengadakan langkah-langkah sebagai berikut.
Langkah pertama, Thomas menyuruh teman sealiran Willem van Moerbeke untuk membuat terjemahan baru yang langsung dari Yunani.
Langkah kedua, pengkristenan ajaran Aristoteles dari dalam.
Langkah ketiga, ajaran Aristoteles yang telah dikristenkan dipakai untuk membuat sintesis yang lebih bercorak ilmiah.

Skoloastik Akhir (berlangsung dari tahun 1300 – 1450)
Masa ini ditandai dengan adanya rasa jemu terhadap segala macam pemikiran filsafat yang menjadi kiblatnya sehingga memperlihatkan stagnasi (kemandegan). Diantara tokoh-tokohnya adalah William Ockham (1285 – 1349), Nicolaus Cusasus (1401 – 1464).
William Ockham (1285 – 1349)
Menurut pendapatnya, pikiran manusia hanya dapat mengetahui barang-barang atau kejadia-kejadian individual.

Ia membantah anggapan skolastik bahwa logika dapat membuktikan doktrin teologis. Hal ini akan membawa kesulitan dirinya yang pada waktu itu sebagai penguasanya Paus John XXII.

Nicolas Cusasus (1401 – 1464)
Ia sebagai tokoh pemikir yang berada paling akhir masa skolastik. Menurut pendapatnya terdapat tiga cara untuk mengenal yaitu lewat indra, akal dan intuisi.

Pemikiran Nicolas ini sebagai upaya mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan yang dibuat ke suatu sintesis yang lebih luas.

Skolastik Arab (Islam)
Tokoh-tokoh yang termasuk para ahli fikir Islam yaitu Al-Farabi, Ibu Sina, Al-Kindi, Ibnu Rusyd.
Peranan para ahli pikir tersebut besar sekali, yaitu sebagai berikut :
-          Sampai pertengahan abad ke-12 orang-orang barat belum pernah mengenal filsafat Aristoteles.
-          Orang-orang barat mengenal Aristoteles  berkat tulisan dari para ahli fikir islam.
-          Skolastik Islamlah yang membawakan perkembagan Skolastik Latin.

Dengan demikian, dalam pembahasan skolastik isalam terbagi menjadi dua periode, yaitu :
·         Periode Mutakallimin (700 – 900)
·         Periode Filsafat Islam (850 – 1200)

Masa Peralihan
Pada masa peralihan diisi dengan gerakan kerohanian yang bersiat pembaharuan. Masa peralihan ini ditandai dengan munculnya renaissance, humanisme, dan reformasi yang berlangsung antara abad ke-14 hingga ke-16.

Renaissance
Atau kelahiran kembali di Eropa ini merupakan suatu gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia. Di antara tokoh-tokohnya adalahLeonardo da Vinci, Michelangelo, Machiavelli, dan Giordano Bruno.

Humanisme
Humanisme menjadi gerakan untuk kembali melepaskan ikatan dari gereja dan berusaha menemukan kembali sastara Yunani atau Romawi. Di antara para tokohnya adalah Boccaccio, Petrarcus, Lorenco Valllia, Erasmus, dan Thomas Morre.

Reformasi
Reformasi merupakan revolusi keagamaan di Eropa Barat pada abad ke=16. Para tokohnya antara lain Jean Calvin dan Martin Luther.





Filsafat Yunani
 12/25/2012 12:36:00 AM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments
Orang yunani yang hidup pada abad ke-6 SM mempunyai sistem kepercayaan, bahwa suatu kebenaran lewat akal pikir (logos) tidak berlaku, yang berlaku hanya suatu kebenaran yang bersumber pada mitos (dongeng-dongeng).

Setelah pada abad ke-6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang menentang adanya mitos. Keadaan yang demikian ini sebagai suatu demitologi, artinya suatu kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal pikir dan meninggalkan hal-hal yang sifatnya mitologi. Timbullah peristiwa ajaib The Greek Miracle, yang nantinya dapat dijadikan sebagai landasan peradaban dunia.

Berikut ini terdapat tiga faktor yang menjadikan filsafat yunani lahir :
a.    Kaya akan mitos (dongeng), seperti syair Homerus, Orpheus, dan lain-lain.
b.    Karya Homerus mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk pedoman hidup orang-orang Yunani.
c.     Pengaruh ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia di Lembah Sungai Nil.
Zaman Yunani terbagi Periode Yunani Kuno diisi oleh Ahli pikir alam (Thales, Anaximandros, Pythagoras, Xenophanes, dan Democritus) dan pada Periode Yunani Klasik diisi oleh Ahli pikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Yunani Kuno
Periode Yunani Kuno ini lazim disebut periode filsafat alam. Karena pada periode ini ditandai  dengan munculnya para ahli pikir alam. Para pemikir filsafat Yunani yang pertama berasal dari Miletos, sebuah kota perantauan Yunani yang terletak di pesisir Asia Kecil.

Thales (625 – 545 SM)
Thales sebagai salah satu dari tujuh orang bijaksana (Seven Wise Men of Greece). Aristoteles memberikan gelar The Father of Philosophy, juga menjadi penasihat teknis ke-12 kota Ionia. Salah satu jasanya yang besar adalah meramal gerhana matahari pada tahun 585 SM.

Menurut pendapatnya semua yang berasal dari air sebagai materi dasar kosmis. Dari pendapat itu dapat kita artikan bahwa apa  yang disebut sebagai arche (asas pertama dari alam semesta) adalah air. Katanya, semua berasal dari air, dan semuanya kembali menjadi air. Bahwa bumi terletak di atas air, dan bumi merupakan bahan yang muncul dari air dan terapung di atasnya.

Anaximandros (640 – 546 SM)
Ia merupakan orang pertama yang membuat peta bumi. Pemikiranya, dalam memberikan pendapat tentang arche (asas pertama alam semesta), ia tidak menunjuk pada salah satu unsur yang dapat diamati oleh indra, tetapi ia menunjuk dan memilih pada sesuatu yang tidak dapat diamati indera, yaitu to apeironi yang tak terbatas.

Phytagoras (+ 572 – 497 SM)
Ia dilahirkan di Pulau Samos, Ionia. Menurut Aristoxenos seorang murid Aristoteles, Phytagoras pindah ke kota Kroton, Italia Selatan karena tidak setuju dengan pemerintahan Polykrates yang bersifat tirani.

Pemikiranya, substansi dari semua benda adalah bilangan, dan segala gejala alam merupakan pengungkapan indrawi dan perbandingan-perbandingan matematis. Ia mengemukakan bahwa setiap bilangan dasar dari 1 sampai 10 mempunyai kekuatan dan arti sendiri.
Phytagoras lah yang mengatakan pertama kali bahwa alam semesta itu merupakan satu keseluruhan yang teratur. Keharmonisan dapat tercapai dengan menggabungkan hal-hal yang berlawanan, seperti:
-          Terbatas – tak terbatas
-          Ganjil – genap
-          Satu – banyak
-          Laki-laki – perempuan
-          Bujur sangkar – empat persegi panjang
-          Diam – gerak
-          Lurus – bengkok
-          Baik – buruk
-          Terang – gelap
-          Kanan – kiri.

Sebagai seorang yang ahli matematika abadi ia dengan dalilnya. Jumlah dari luas dua sisi sebuah segitiga siku-siku adalah sama dengan luas sisi miringnya  (a2 + b2 = c2).

Xenophanes (570 - ? SM)
Ia lahir di Xolophon, Asia Kecil. Ia lebih tepat dikatakan penyair dari pada ahli pikir (filosof), hanya karena ia mempunyai daya nalar yang kritis dan mempelajari pemikiran-pemikiran filsafat pada saat itu. Pendapatnya yang termuat dalam kritik terhadap Homerus dan Herodotus, ia membantah adanya antropomorfisme Tuhan-tuhan. Yaitu Tuhan digambarkan sebagai seakan-akan manusia. Kritik ini ditujukan kepada anggapan-anggapan lama yang berdasar pada mitologi.

Heraclitos (535 – 475 SM)
Ia lahir di Ephesus, ia mendapat julukan si gelap, karena untuk menelusuri gerak pikirannya sangat sulit.

Pemikiran filsafat nya terkenal dengan filsafat menjadi. Ucapannya yang terkenal: Panta rhei kai uden menci, artinya segala sesuatunya mengalir bagaikan arus sungai dan tidak satu orang pun dapat masuk ke sungai yang sama dua kali. Alsannya, karena air sungai yang pertama telah mengalir, berganti dengan air yang berada dibelakangnya.

Heraclitos yang mengemukakan pendapatnya bahwa segala yang ada selalu berubah dan sedang menjadi, ia mempercayai bahwa arche (asas yang pertama dari alam semesta) adalah api. Api dianggapnya sebagai lambang perubahan dan kesatuan. Api mempunyai sifat memusnahkan segala yang ada, dan mengubahnya sesuatu itu menjadi abu atau asap. Walaupun sesuatu itu apabila dibakar menjadi abu atau asap, toh adana api tetap ada. Segala sesuatunya berasal dari api, dan akan kembali ke api.

Menurut pendapatnya, di dalam arche terkandung sesuatu yang hidup (seperti roh) yang disebutnya sebagai logos (akal atau semacam wahyu).

Parmenides (540-475 SM)
Ia lahir di kota Elea, dialah yang pertama kali memikirkan tentang hakikat tentang ada (being).
Menurut pendapatnya, apa yang disebut sebagai realitas adalah bukan gerak dan perubahan.
Yang ada (being) itu ada, yang ada tidak dapat hilang menjadi tidak ada, dan yang tidak ada tidak mungkin muncul menjadi ada, yang tidak ada adalah tidak ada, sehingga tidak dapat dipikirkan. Yang dapat dipikirkan hanyalah yang ada saja, yang tidak ada tidak dapat dipikirkan.

Jadi, yang ada (being) itu satu, umum, tetap, dan tidak dapat dibagi-bagi karena membagi yang ada akan menimbulkan atau melahirkan banyak yang ada, dan itu tidak mungkin.

Zeno (+ 490 – 430 SM)
Zeno lahir di Elea, dan murid dari Parmenides.
Menurut Aristoteles, Zenolah yang menemukan dialektika, yaitu suatu argumentasi yang bertitik tolak dari suatu pengandaian atau hipotesis, dan dari hipotesis tersebut ditarik suatu kesimpulan.
Sebagai contoh dalam mengemukakan hipotesis terhadap melawan gerak adalah sebagai berikut:
a.   Anak panah yang dilepaskan dari busurnya sebagai hal yang tidak bergerak karena pada setiap saat anak panah tersebut terhenti di suatu tempat tertentu.
b.    Achiles si jago lari yang termasyhur dalam mitologi Yunani tidak dapat menang melawan kura-kura, karena kura-kura berangkat sebelum Achiles, sehingga Achiles lebih dahulu harus melewati atau mencapai titik di mana kura-kura berada saat dia berangkat.

Empedocles (490 – 435 SM)
Lahir di Akragos, pulau Sicilia. Ia pandai dalam bidang kedokteran, penyair retorika, politik dan pemikir.

Empedocles sependapat dengan Parmenides, bahwa alam semesta di dalamnya tidak ada hal yang dilahirkan secara baru, dan tidak ada hal yang hilang. Tetapi ia mempertahankan adanya pluralitas dan perubahan dari hasil pengamatan indera. Realitas tersusun empat unsur, yaitu api, udara, tanah dan air. Kemudian, empat unsur tersebut digabungkan dengan unsur yang berlawanan. Terdapat dua unsur yang mengatur perubahan-perubahan di alam semesta ini, yaitu, cinta dan benci. Cinta mengatur ke arah pengabungan, benci mengatur ke arah perceraian atau perubahan.

Anaxagoras (+ 499 – 420 SM)
Ia dilahirkan di kota Klazomenai, Ionia. Pemikirannya, realitas bukanlah satu, tetapi terdiri dari banyak unsur dan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu atom. Atom ini sebagai bagian yang terkecil dari materi sehingga tidak dapt terlihat dan jumlahnya tidak terhingga.

Tentang terbentuk nya dunia (kosmos), atom-atom yang berbeda bentuk nya itu saling terkait, kemudian digerakkan oleh puting beliung. Semakin banyak atom-atom yang bergerak akan menimbulkan pusat gerak (atom yang padat).

Anaxagoras mengemukakan yang menyebabkan benih menjadi kosmos adlah nus. Nus, yang berarti roh atau rasio. Tidak tercampur dengan benih-benih dan terpisah dari semua benda. Nus mengenal dan menguasai segala sesuatu. Karena ajaran Anaxagoras tentangnus inilah, untuk pertama kalinya dlaam filsafat dikenal adanya pembedaan antara yang jasmani dan yang rohani.

Democritus (460 – 370 SM)
Ia lahir di Kota Abdera di pesisir Thrake di Yunani Utara. Dari karya-karyanya ia telah mewariskan sebanyak 70 karangan tentang bermacam-macam masalah, seperti kosmologi, matematika, astronomi, logika, etika, teknik, musik, puisi, dan lain-lainnya.

Pemikirannya adalah bahaw realitas bukanlah satu, tetapi terdiri dari banyak unsur dan jumlahnya tak terhingga. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian materi yang sangat kecil yang disebut atom.

Menurut pendapatnya, atom-atom itu selalu bergerak, berarti harus ada ruang kosong. Maka, Democritus berpendapat bahwa realiatas itu ada dua, yaitu atom itu sendiri (yang penuh) dan ruang tempat atom bergerak (yang kosong).

Yunani Klasik
Pada periode Yunani Klasik ini semakin besar minat orang terhadap filsafat. Aliran yang mngawali periode Yunani Klasik ini adalah Sofisme. Sofisme ini berasal dari kata sophosyang artinya  cerdik pandai. Keahliannya dalam bidang bahasa, politik, retorika, dan terutama tentang kosmos.

Antara kaum Sofis dengan Socrates mempunyai hubungan yang erat sekali. Mereka itu hidup sezaman, pokok permasalahan pemikiran meraka juga sama, yaitu manusia. Perbedaan antara kaum Sofis dengan Socrates adlah bahwa pemikiran filsafat Socrates sebagai suatu raksi dan kritik terhadap pemikiran kaum Sofis.

Kaum Sofis
Istilah Sofis yang berasal dari kata sophistes mempunyai pengertian seorang sarjana atau cendikiawan.

Terdapat tiga faktor yang mendorong timbulnya kaum sofis, yaitu sebagai berikut :
a.      Perkembangan secar pesat kota Athena dalam bidang politik dan ekonomi.
b.      Kota Athena sebagai pusat politik sehingga peranan pendidikan sangat penting untuk mendidik
       kaum mudanya.
c.  Terbukanya masyarakat Yunani terhadap budaya luar akan membuat orang-orang Yunai   menjadi dinamis dan berkembang.

Salah satu Sofisme adalah Gorgias (480 – 380 SM).

Gorgias (480 – 380 SM)
Ia lahir di Leontinni, Sicilia. Menurut pendapatnya yang penting adalah bagaimana dapat meyakinkan orang lain agar menerima pendapat kita.
Pemikirannya yang penting adalah :
a.       Mencari keterangan tentang asal usul yang ada
b.      Bagaimana peran manusia sebagai makhluk yang mempunyai kehendak berpikir
c.       Norma yang sifatnya umum tidak ada, yanga ada norma yang individualistis (subjektivisme).
d.      Bahwa kebenaran tidak dapat diketahui sehingga ia termasuk penganut Skeptisisme.

Aspek positif dari adanya aliran Sofisme ini akan mempengaruhi terhadap kebudayaan Yunani, yaitu suatu revolusi intelektual, dan mengangkat manusia sebagai objek pemikiran filsafat. Aspek negatifnya aliran Sofisme membawa pengaruh yang tidak baik terhadap kebudayaan Yunani.

Socrates
Ia anak seorang pemahat Sophroniscos, dan ibunya bernama Phairnarete, yang pekerjaanya seorang bidan.  Istrinya bernama Xantipe yang dikenal sebagai seorang judes (galak dan keras).

Setiap mengajarkan pengetahuannya socrates tidak memungut bayaran kepada murid-muridnya. Maka ia kemudian oleh kaum sofis sendiri dituduh memberikan ajran barunya, merusak moral para pemuda, dan menentang kepercayaan negara. Kemudian ia ditangkap dan akhirnya dihukum mati dengan minum racun pada umur 70 tahun yaitu pada tahun 399 SM.

Pemikiran filsafatnya untuk menyelidiki manusia secara keseluruhan yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah yang keduanya tidak dapat dipisahkan karena dengan keterkaitan kedua hal tersebut banyak nilai yang dihasilkan.

Plato (427 – 347 SM)
Ia lahir di Athena, dengan nama asli Aristocles. Ia belajar filsafat dari Socrates, Pythagoras, Heracleitos, dan Elia.

Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan lama: mana yang benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenidas). Pengetahuan yang diperoleh lewat indra disebutnya pengetahuan indra, pengetahuan yang diperoleh lewat akal disebut pengetahuan akal.

Dunia Ide dan Dunia Pengalaman
Plato menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap, serta dunia ide yang bersifat tetap. Dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas itu adalah dunia ide.

Plato mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas apabila tidak mengetahuinya. Masalah tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Manusia itu mempunyai Tuhan sebagai penciptanya.
b.      Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat manusia.
c.       Tuhan hanya dapat diketahui dengan cara negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak dan lain-lain.
d.   Tuhanlah yang menjadikan alam ini dari tidak mempunyai peraturan menjadi mempunyai peraturan.

Sebagai puncak pemikiran filsafat Plato adalah pemikirannya tentang negara, yang tertera dalam Polites dan Nomoi.

Konsepnya tentang etika sama seperti Socrates, yaitu bahwa tujuan hidup manusia adalah hidup yang baik (eudaimonia atau well-being).
Menurut Plato, di dalam negara yang ideal terdapat tiga golongan berikut:
a.       Golongan yang tertinggi (para penjaga, para filsuf)
b.      Golongan pembantu (prajurit, yang bertugas untuk menjaga keamanan negara)
c.       Golongan rakyat biasa (petani, pedagan, tukang)

Tugas negarawan adalah mencipta keselarasan antara semua keahlian dalam negara (polis) sehingga mewujudkan keseluruhan yang harmonis.

Apabila suatu negara telah mempunyai undang-undang dasar, bentuk pemerintahan yang paling tepat adalah monarki. Sementara itu, apabila suatu negara belum mempunyai undang-undang dasar, bentuk pemerintahan yang paling tepat adalah demokrasi. Konsep tentang tata negara ini tertera dalam Politea (Tata Negara).

Aristoteles (384 – 322 SM)
ia dilahirkan di Stageira, Yunani Utara pada tahun 384 SM.
Karya-karya Aristoteles berjumlah delapan pokok bahasan sebagai berikut ;
Logika, terdiri dari :
-          Categoriac (kategori-kategori)
-          De interpretatione (perihal penafsiran)
-          Analytics Priora (Analitika logika yang lebih dahulu)
-          Analytica Posteriora (analitika logika yang kemudian)
-          Topica
-          De sophistics elenchis (tentang cara beragumentasi kaum Sofis)

Filsafat Alam, terdiri dari :
-          Phisica
-          De caelo (perihal langit)
-          De generatione et corruption (tentang timbul-hilangnya makhluk-makhluk jasmani)
-          Meteorologica (ajaran tentang badan-badan jagad raya)

Psikologi, terdiri dari :
-          de anima (perihal jiwa)
-          parva naturalia (karangan-karangan kecil tentang pokok-pokok alamiah)

biologi, terdiri dari :
-          de partibus animalium (perihal bagian-bagian binatang)
-          de mutu animalium (perihal gerak binatang)
-          de incessu animalium (tentang binatang yang berjalan)
-          de generatione animalium (perihal kejadian binatang-binatang)

Metafisika, oleh Aristoteles dinamakan sebagai filsafat pertama atau theologica.

Etika, terdiri dari :
-          Ethica Nicomachea
-          Magna moralia (karangan besar tentang moral)
-          Ethica Eudemia

Politik dan ekonomi, terdiri dari :
-          Politics
-          Economics

Retorika dan poetika, terdiri dari :
-          Rhetorica
-          Poetica

Berikut ini akan  kami uraikan tentang beberapa pemikiran Aristoteles yang terdiri dari :
Ajarannya tentang logika

Suatu pengertian memuat dua golongan, yaitu substansi dan aksidensia. Dan dari dua golongan tersebut terurai menjadi sepuluh macam kategori, yaitu :
1)      Substansi (manusia, binatang)
2)      Kuantitas (dua, tiga)
3)      Kualitas (merah, baik)
4)      Relasi (rangkap, separuh)
5)      Tempat (di rumah, di pasar)
6)      Waktu (sekarang, besok)
7)      Keadaan (duduk, berjalan)
8)      Mempunyai (berpakaian, bersuami)
9)      Berbuat (memmbaca, menulis)
10)  Menderita (terpotong, tergilas). Sampai sekarang, Aristoteles dianggap sebagai Bapak logika tradisional.

a.       Ajaranya tentang sillogisme
b.      Ajarannya tentang pengelompokkan ilmu pengetahuan
Aritoteles mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi tiga golongan.
c.       Ajarannya tentang potensia dan dinamika
hule adalah suatu unsur yang menjadi permacaman. Sementara itu, morfeadalah unsur yang menjadi dasar kesatuan.
d.      Ajarannya tentang pengenalan
e.       Ajarannya tentang etika
f.       Ajarannya tentang negara

Filsafat Hellenisme
Lima abad sepeninggal Aristoteles terjadi kekosongan sehingga tidak ada ahli pikir yang menghasilkan buah pemikiran filsafatnya seperti Plato atau Aristoteles, sampai munculnya filosof Plotinus (204 – 270).

Lima abad dari adanya kekosongan di atas diisi oleh aliran-aliran besar (seperti: Epikurisme, Stoaisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme. Menurut sejarah filsafat, masa ini (sesudah Aristoteles) disebut Hellenisme. Filsafat Hellenisme ini dimulai pada pemerintahan Alexander Agung (356 – 23 SM) atau Iskandar Zulkarnain Raja Macedonia.

Epicurisme
Sebagai tokohnya Epicurus (341 – 271 SM), lahir di Samos dan mendapatkan pendidikan di Athena.

Pokok ajarannya adalah bagaimana agar manusia itu dalam hidupnya bahagia. Epicurus mengemukakan bahwa agar manusia dalam hidupnya bahagia terlebih dahulu harus memperoleh ketenangan jiwa (ataraxia).

Terdapat tiga ketakutan dalam diri manusia seperti berikut ini :
Pertama, manusia takut terhadap kemarahan dewa.
Kedua, manusia takut terhadap kematian.
Ketiga, manusia takut terhadap nasib.

Stoaisme
Sebagai tokohnya adalah Zeno (366 – 264 SM) yang berasal dari Citium, Cyprus. Pokok ajarannya adalah bagaimana manusia dalam hidupnya dapat bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut manusia harus haromoni terhadap dunia (alam) dan harmoni dengan dirinya sendiri.

a.       Skeptisisme
Tokoh skeptisisme adalah Pyrrhe (360 – 270 SM). Pokok ajarannya adalah bagaimana cara manusia agar dapat hidup berbahagia. Hal ini ia menengarai bahwa sebagian besar manusia itu hidupnya tidak bahagia, sehingga manusia sukar sekali mencapai kebijaksanaan.

Aliran yang lain tingkatannya lebih kecil dari ketiga aliran di atas adalah : Neopythagoras (merupakan campuran dari ajaran Plato, Aristoteles, dan Kaum Stoa).

b.      Neoplatonisme
Tokohnya adalah Plotinus dan Ammonius. Plotinus (204 – 270 SM) lahir di Lykopolis, Mesir. Titik tolak pemikiran filsafat Plotinus adalah bahwa asas yang menguasai segala sesuatu adalah satu.

Pemikirannya, karena Tuhan isi dan titik tolak pemikirannya, Tuhan dianggap Kebaikan Tertinggi dan sekaligus menjadi tujuan semua kehendak.

Karena zaman Neoplatonisme ini diwarnai oleh agama, zaman ini disebutnya sebagai zaman mistik.









Sejarah Filsafat
 12/25/2012 12:20:00 AM  Posted by Nur Amin Saleh  No Comments
Masa Yunani
Yunani terletak di Asia Kecil. Kebiasaan mereka hidup sebagai nelayan mewarnai kepercayaan yang dianutnya, yaitu kekuatan. Hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta bersifat formalitas. Artinya, kedudukan Tuhan terpisah dengan kehidupan manusia. Kepercayaan, yang bersifat formalitas ini ditentang oleh Homerus dengan dua buah karyanya yang terkenal; yaitu Ilias dan Odyseus; memuat nilai-nilai yang tinggi dan bersifat edukatif.

Ahli pikir pertama kali yang muncul adalah Thales (+ 625 – 545 SM) yang berhasil mengembangkan geometri dan matematika; Liokippos dan Democritos mengembangkan teori materi; Hipocrates mengembangkan ilmu kedokteran, Euclid mengembangkan geometri deduktif; Socrates mengembangkan teori tentang moral; Plato mengembangkan teori tentang ide; Aristoteles mengembangkan teori yang menyangkut dunia dan benda dan berhasil mengumpulkan data 500 jenis binatang (ilmu biologi). Suatu keberhasilan yang luar biasa dari Aristoteles adalah menemukan sistem pengaturan pemikiran (logika formal) yang sampai sekarang masih dkenal.

1.    Masa Abad Pertengahan
Masa ini diawali dengan  lahirnya filsafat eropa. Pemikiran filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama. Maka dirikanlah sekolah-sekolah yang memberi pelajaran gramatika, dialektika, geometri, aritmatika, astronomi, dan musik. Pada abad ke 6 M.

Di kalangan para ahli pikir islam (periode filsafat Skolastik islam) muncul : Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Gazali, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd. Periode Skolastik islam ini berlangsung tahun 850-1200.

Mereka mengadakan perpaduan dan sinkretisme antara agama dan filsafat. Kemudian pikiran-pikiran ini masuk ke Eropa yang merupakan sumbangan islam yang paling besar. Peralihan dari abad pertengahan ke abad modern dalam sejarah filsafat disebut sebagai masa peralihan (masa transisi), yaitu munculnya Renaissance dan Humanisme yang berlangsung pada abad 15-16.

2.    Masa Abad Modern
Pada masa abad modern ini berhasil menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam pandanan kehidupan sehingga corak pemikirannya antroposentris, yaitu pemikiran filsafatnya mendasarkan pada akal fikir dan pengalaman.

Rene Descartes (1596-1650) sebagai bapak filsafat modern yang berhasil memadukan antara metode ilmu alam dengan ilmu pasti ke dalam pemikiran filsafat.

Pada abad ke-18, perkembangan pemikiran filsafat mengarah pada filsafat ilmu pengetahuan. Tokoh-tokohnya antara lain Geoge Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Rousseau (1722-1778).

Di Jerman muncul Chirstian Wolft (1679 – 1754) dan Immanuel Kant (1754 – 1804), yang mengupayakan agar filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna.
Abad ke-19, perkembangan pemikiran filsafat terpecah belah. Ada filsafat Amerika, filsafat Prancis, filsafat Inggris, filsafat Jerman. Tokoh-tokohnya adalah : Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883), August Comte (1798-1857), JS. Mill (1806-1873), John Dewey (1858-1952).

3.    Masa Abad Dewasa Ini (Filsafat Abad ke-20)
Filsafat Dewasa Ini atau Filsafat Abad Ke-20 juga disebut Filsafat Kontemporer. Ciri khas pemikiran filsafat ini adalah desentralisasi manusia.

Dalam bidang bahasa terdapat pokok-pokok masalah, yaitu arti kata-kata dan arti pernyataan-pernyataan. Maka, timbullah filsafat analitika, yang di dalamnya membahas tentang cara mengatur pemakaian kata-kata / istilah-istilah karena baha sebagai objek terpenting dalam pemikiran filsafat, para ahli pikir menyebutnya sebagai logosentris.

Para paruh pertama abad ke-20 ini timbul aliran-aliran kefilsafatan, seperti Neo-Thomisme, Neo-Kantianisme, Neo-Hegelianisme, Kritika Ilmu, Historisme, Irasionalisme, Neo-Vitalisme, Spiritualisme, Neo-Positivisme.  Pada Awal belahan akhir abad ke-20 muncul aliran-aliran kefilsafatan yang lebih dapat memberikan corak pemikiran dewasa ini, seperti filsafat Analitik, Filsafat Eksistensi, Strukturalisme, Kritika Sosial.

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus