Sabtu, 26 Agustus 2017

PLATO


Plato; Keutamaan (Arete)

Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya. —Goethe

Manusia adalah misteri, Ia perlu dipecahkan, dan jika itu kau lakukan sepanjang hayat, jangan katakan bahwa kau kehilangan waktu, aku menekuni misteri itu, karena ingin menjadi manusia.—F.M. Dostoevsky


1. Riwayat Hidup dan Karyanya
Plato hidup di Athena, Yunani tahun 428/427-347/346 SM zaman Kekaisaran Romawi. Orang Italia mengikuti suara Yunani dan menulis dengan tambahan ‘’e” menjadi Platone, Jerman mengikuti orang Yunani menulis Platon, orang Prancis menyebut Platon (seperti Yunani meski bunyi suaranya berakhir ‘’ong”), orang Spanyol membahasakan dengan tekanan ‘’o’’ menjadi Platon. Orang Inggris menyebut Plato (disuarakan menjadi Pleto), Indonesia mengatakan dan menulis Plato---mengikuti cara orang Belanda mengikuti penulisan Latin Plato.  Plato berasal dari Athena, dari keluarga aristokrat dan kaya.  Ayahnya bernama Ariston keturunan raja terakhir Athena. Platon sendiri adalah nama julukan (dari platos artinya ‘’ke-lebar-an’’ atau dari platus artinya ‘’lebar, datar’’) dan nama aslinya adalah Aristokles. Saat Plato lahir, Athena merupakan polis (negara-kota) dengan sistem demokrasi yang paling berkuasa, kekuatan militer dan maritim nomor satu, kultur intelektual dan artistiknya jauh mengatasi polis-polis lain di Yunani.  Tahun 431 SM pecah perang Peloponnesos antara polis Athena  ‘’rejim demokrasi’’ melawan polis Sparta “rejim oligarkis’’ sampai  Sparta menguasai Athena tahun 404 SM dan menempatkan rejim boneka dengan nama ‘’Tiran 30 Orang’’.
Platon tidak pernah  melupakan bahwa restorasi rejim demokrasi di Athena menghukum mati Sokrates (399 SM) guru kebijaksanaan yang ia ikuti sejak berusia 20-an.  Sokrates di tuduh ‘’memasukan dewa-dewi baru dan merusak generasi muda Athena’’ atau (mungkin)  dianggap memiliki relasi politik dengan mereka yang terlibat dalam rejim oligaris ciptaan Sparta.  Penghukuman mati Sokrates membuat Plato mengambil keputusan radikal dengan mengabdikan hidupnya kepada filsafat.  Dalam surat VII 326a Platon Menulis: ‘’Akhirnya aku mengerti bahwa semua negara yang ada diperinta secara salah , karena tanpa persiapan yang cukup dan undang-undang mereka sulit di ubah (…). Tanpa bisa kutolak, akhirnya aku terpanggil untuk mengabdi kepada filsafat yang benar’’.
Sokrates menjadi inkarnasi ‘’ideal pencinta kebijaksanaan (filsuf)’’. Baik Plato maupun para penulis menggambarkan Sokrates sebagai sang pemberi inspirasi dan menjadi simbol untuk idealisme.  Plato bukan satu-satunya yang menganggap Sokrates sebagai guru utama yang ide-idenya harus di pertahankan dan dilanggengkan. Kaum Sinis (yang sangat asketis), kaum sirenaik (yang membela pemikiran hedonis), kaum Stoisian, dan juga kaum Skeptis semuanya merujuk kepada Sokrates untuk membenarkan pendapat-pendapat yang mereka kembangkan sendiri.
Tahun 387 SM, setelah perjalanan pertamanya ke Sisilia, ia mendirikan Akademeia.  Sembilan abad Akademia hidup dan terus  mengembangkan Platonisme sampai nanti tahun 529 M ia ditutup oleh perintah Justianus kaisar Romawi. Plato tidak membatasi perhatiannya hanya pada persoalan etis saja—seperti  dilakukan Sokrates—ia juga mencurahkan minatnya kepada suatu lapangan yang mecakup seluruh ilmu pengetahuan. Mata pelajaran yang menjadi perhatian terutama matematika atau ilmu pasti dan ilmu lain yang  di praktekkan di Yunani lalu dipelajari di Akademia di bawah nama ”Filsafat”. Plato mengepalai Akademia sampai kematiannya tahun 348/7—empat  puluh tahun Plato mengepalai Akademia di Athena.  Pada saat meninggal, karangan Plato Nomoi belum selesai dan seorang murid mempersiapkan manuskrip defenitif supaya dapat beredar. Sebab itu Cicero mengatakan “Platon Scriben Est Mortuus” (Platon meninggal sedang menulis). Dengan menggunakan data yang ada kita dapat membagi dialog-dialog Plato atas tiga periode.
a. Apologia, Criton, Eutyphron, Lakhes, Kharmides, Lysis, Hippias Minor, Menon, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos, Phaidon, Symposion. (Beberapa ahli berpendapat bahwa salah satu dari dialog-dialog ini sudah ditulis sebelum kematian Sokrates, tetapi kebanyakan berpikir bahwa dialog pertama ditulis tidak lama sesudah kematian Sokrates).
b. Politeia, Phaidros, Parmenides, Theaitetos (Theaitetos dan Parmenides ditulis sebelum perjalanan kedua ke Sisilia tahun 367 SM).
c. Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, Nomoi (Dialog-dialog ini ditulis sesudah perjalanan ketiga ke Sisilia, ketika urusannya dengan berbagai kesulitan politik di Sisilia sudah selesai).

2. Filsafat Plato
Plato sejak masa mudanya hidup dalam lingkungan yang berhubungn erat dengan politik Athena, perhatiannya sebagai filsuf terutama pada negara tentang bagaimanakah seharusnya susunan negara yang ideal? Pertanyaan tersebut dijawab dalam dialog Politeia—oleh banyak ahli sejarah filsafat dianggap sebagai karya sentral  seluruh pemikiran Plato—sedang   dialog panjang  Nomoi—karya terakhir Plato baru diedarkan sesudah meninggal—membicarakan juga soal negara. Keyakinan Plato bahwa filsuf harus dijadikan penguasa negara sebagai  refleksi Plato atas kematian Sokrates.

a. Ajaran tentang Ide-ide
Ajaran tentang ide-ide merupakan inti dan dasar seluruh filsafat Plato. Kalau Sokrates berusaha menentukan hakikat atau esensi keadilan dan keutamaan-keutamaan lain maka Platon  melangkah lebih  jauh bahwa esensi mempunyai realitas terlepas dari segala perbuatan konkret. Menurut Plato realitas terdiri dari “dua dunia”; Pertama, mencakup benda-benda jasmani yang ditangkap oleh panca indra  ditandai; tetap berada dalam perubahan, pluralitas dan ketidaksempurnaan. Kedua, dunia ideal atau dunia  atas ide-ide dan sama sekali tidak ada perubahan—bersifat abadi dan tidak terubahkan, dan tiap-tiap ide bersifat sama sekali sempurna. Anggapan tentang dua “dunia” membawa pendiriannya atas dua jenis pengenalan. Pertama, pengenalan tentang ide-ide sebagai pengenalan dalam arti yang sebenarnya yaitu Episteme (pengetahuan, knowledge) mempunyai sifat-sifat yang sama seperti objek-objek yang ditujui olehnya; teguh, jelas, dan tidak berubah. Disini rasio menjadi alat untuk mencapai pengenalan sedang ilmu pengetahuan menjadi lapangan istimewa dimana pengenalan dipraktekkan.  Dengan pengenalan yang sifatnya teguh, jelas dan tidak berubah, Plato kemudian menolak relativisme kaum sofis. Bagi Protagoras dan pengikut-pengikutnya, manusia adalah ukuran dalam bidang pengenalan sedang bagi Plato ukuran itu ialah ide-ide.  Berdasarkan ide-ide tersebut, menjadi memungkin kebenaran yang mutlak. Kedua, pengenalan tentang benda-benda jasmani—dicapai dengan panca indra dengan sifat-sifat yang sama seperti objeknya; tidak tetap, selalu berubah. Dibanding pengenalan episteme, pengenalan jenis kedua tidak bernilai banyak karena tidak menghasilkan kepastian dan Plato menamakan doxa (pendapat, opinion).  
Melalui ide tentang “dua dunia” dan pendiriannya tentang pengenalan, Plato berhasil memecahkan persoalan besar dalam filsafat pra-Sokratik—mendamaikan ajaran Herakleitos dengan ajaran Parmeneides. Menurut Herakleitos semuanya senantiasa dalam keadaan perubahan; tidak ada sesuatupun yang tetap atau mantap bahkan Kratylos  mengatakan bahwa pengenalan tidak mungkin karena perubahan yang tiada henti dan tidak dapat diberikan nama kepada benda-benda. Menurut Plato, pendapat Herakleitos dan Kratylos memang benar tetapi hanya berlaku bagi dunia indrawi saja karena semua berada dalam perubahan sehingga pengenalan  sejati tidak mungkin. Pendapat Parmeneides juga benar tetapi hanya berlaku bagi ide-ide. Dalam dunia ideal ini tidak ada perubahan, karena ide-ide bersifat abadi dan fundamen bagi pengenalan yang sejati.
Teori mengenai ide-idenya dilukiskan  dalam mitos tentang penunggu-penunggu gua dalam dialog Politeia. Manusia dapat dibandingkan—demikian katanya—dengan orang-orang tahanan yang sejak lahir terbelenggu dalam gua; mukanya tidak dapat bergerak dan selalu terarah ke dinding gua. Dibelakang mereka ada api menyala dan beberapa orang budak belian mondar mandir didepan api sambil memikul bermacam-macam benda. Hal itu mengakibatkan rupa-rupa bayangan yang dipantulkan didinding gua. Orang-orang tahanan lalu menyangka  bayangan itu merupakan realitas  sebenarnya dan tidak ada realitas lain. Namun sesudah beberapa waktu satu orang tahanan dilepaskan. Ia melihat dibelakang gua api yang ada disitu. Ia mulai memperkirakan bahwa bayangan-bayangan bukan realitas yang sebenarnya. Lalu ia keluar gua dan melihat matahari yang menyilaukan matanya.  Mula-mula ia berpikir bahwa ia sudah meningggalkan realitas tetapi berangsur-angsur ia menyadari bahwa itulah realitas yang sebenarnya dan bahwa dahulu ia belum pernah memandangnya.  Akhirnya, ia kembali ke dalam gua dan bercerita kepada teman-temannya bahwa apa yang mereka lihat bukan realitas yang sebenarnya melainkan hanya bayangan.  Namun mereka tidak percaya dan seandainya mereka tidak terbelenggu, mereka pasti akan membunuh tiap orang yang mau melepaskan mereka dari gua.

b. Ajaran tentang Jiwa
Sebagai mahluk terpenting diatas segala mahluk di dunia dan jiwa sebagai pusat atau intisari kepribadian. Plato menciptakan ajaran tentang jiwa yang berhubungan erat dengan pendiriannya mengenai ide-ide. Platon berkeyakinan bahwa jiwa manusia bersifat baka—argumen  pentingnya ialah kesamaan yang terdapat antara jiwa dan ide-ide—menuruti prinsip filsafat Yunani sejak Empedokles yakni “yang sama mengenal yang sama”. Jiwalah yang mengenal ide-ide bukan badan dan atas dasar prinsip tesebut jiwa mempunyai sifat-sifat yang sama seperti terdapat pada ide-ide. Ide bersifat abadi dan tidak berubah sehingga jiwa—bertentangan dengan badan—tidak berubah dan tidak akan mati. Apa itu jiwa? Menurut Platon jiwa bukan sebuah “apa”, bukan ”sesuatu”.  Kata Yunani physis diterjemahkan sebagai nature (bahasa Inggris dan Prancis) atau kodrat. Physis sebagai kodrat dipahami seperti; biji mangga adalah kodrat pohon mangga. Pada biji mangga ada prinsip perkembangan. Di satu sisi seluruh kode genetis sudah tercetak, namun sisi lain ia bisa berkembang penuh—menjadi pohon mangga  dan berbuah banyak—atau tidak berkembang karena membusuk. Sebagai physis, jiwa membuat manusia berkembang sepenuhnya sehingga serupa dengan yang ilahi atau sebaliknya menjatuhkan manusia kekeadaan hewani. Untuk mengenali physis jiwa, jalan  terbaik adalah melihat dinamis jiwa atau daya-daya  yang muncul darinya—daya-daya yang membuat jiwa bisa pasif (berkenaan dengan  yang bisa ia terima dan ia derita, pathe) dan aktif (berkenaan dengan apa saja yang bisa ia lakukan, erga). Menurut Platon jiwalah yang menjadi penggerak badan bukan sebaliknya. Jiwa menurut platon adalah “dia yang menggerakan dirinya sendiri” (autokineton).
Selanjutnya dalam Politeia, Platon membagi jiwa menjadi tiga “bagian” (mere) sebagai “fungsi”—pembagian tiga fungsi jiwa merupakan kemajuan besar dalam pandangan filsafat tentang manusia; Pertama “Bagian Rasional” (to logistikon).  Kedua  “Bagian Keberanian” (to thymoeides) dan Ketiga “bagian Keinginan” (to epithymetikon)—menunjuk hawa nafsu. Pertama; epithumia (secara fisik lokasinya  dibawah sekat dada sampai batas pusar—bukan usus dua belas jari, bukan ginjal, bukan pula organ kelamin) mewakili nafsu–nafsu rendah dan sangat susah ditundukan oleh rasio. Dalam kehidupan sosial politik di gambarkan sebagai kelas petani dan pedagang yang orentasinya hanya mencari profit. Kedua thumos; terletak di bagian thorax diantara leher dan diafragma dada—tidak menunjuk organ paru-paru atau jantung—merujuk kepada segala bentuk efektivitas rasa, semangat dan agresivitas. Bagian jiwa yang agresif dan digambarkan sebagai prajurit mencari kemenangan dalam kompetisi dan harga diri. Ketiga logistikon;  paling penting dan bagian terbaik dalam jiwa manusia (fungsi rasional jiwa) bertugas memerintah dan mengendalikan dua “bagian” jiwa lainnya, memberi tahu dan mengendalikan kuda putih (thumos) secara langsung dan dengan kerjasamanya mengendalikan kuda hitam yang binal—bila perintahnya tidak ditaati, logistikon akan mengirim perintah dan nasehat lewat mimpi. Eros;  sebuah dorongan menghidupi ketiga “bagian” dilambangkan sebagai sayap sehingga kereta jiwa bisa terbang. Eros menopang jiwa manusia secara keseluruhan. Ditataran paling rendah, eros terwujud dalam salah satu nafsu epithumia yaitu nafsu seks; ditataran harga diri eros berwujud keinginan untuk mencetak perbuatan-perbuatan heroik demi cinta pada tanah air, profesi, atau harga diri; sedang dalam tatarannya yang paling tinggi eros dirujukan dalam diri para pemikir yang hasratnya ingin menggekalkan diri, bukan lewat tindakan seksual penurunan anak, melainkan lewat pewarisan penemuan-penemuan pemikiran.
Dalam dialog Timaios, Platon mengatakan; hanya “bagian rasional” bersifat baka sedang bagian-bagian lain akan mati bersama tubuh. Ketiga bagian jiwa tersebut memiliki keutamaan tertentu; “Bagian Keinginan” merupakan pengendalian diri  (sophrosyne) sebagai keutamaan khusus, “Bagian Keberanian” keutamaan yang spesifik ialah kegagahan (andreia), dan “Bagian Rasional” dikaitkan dengan keutamaan kebijaksanaan (phronesis atau sophia). Disamping itu ada lagi keadilan (dikaiosyne) yang menjamin kesimbangan antara ketiga bagian jiwa. Dalam Phaidros ketiga bagian jiwa dilukiskan dengan mitos seorang sais  mengendarai dua kuda bersayap—satu  mau ke atas (Bagian Keberanian) yang lain selalu menarik ke bawah (Bagian Keinginan).  Sais (Bagian Rasional) hendak mencapai langit tertinggi supaya dari sana  dapat memandang “kerajaan ide” tetapi karena kesalahan, kuda yang selalu mau ke bawah (Bagian Keinginan) kehilangan sayap-sayapnya dan jatuh ke atas bumi.  Menurut mitos ini, tugas jiwa bergerak mengikuti arak-arakan kereta kuda para dewa—yang  ditarik  sepasang kuda yang sempurna dan sama baiknya—naik menuju punggung langit untuk mengkomteplasikan keindahan ilahi. Namun pergerakan eksternal jiwa-jiwa itu tidak mudah dan penuh masalah karena kereta jiwa manusia ditarik oleh sepasang kuda yang  saling bertentangan. Kuda putih cenderung taat kepada sais sementara hitam  mengikuti kemauannya sendiri dan selalu ingin bergerak kebawah. Ada sais mampu mengendalikan kuda-kudanya namun banyak  sais tidak bisa mengendalikan sehingga jalan kereta kacau, bertabrakan dengan kereta lain dan akhirnya jatuh kebawah. Mitos ini juga hendak mengambarkan jiwa sebagai gerakan yang bergerak dari dirinya sendiri.   Tugas manusia bergerak mengikuti kereta para dewa, menata hidupnya sesuai teladan keilahian. Namun gerak eksternal seringkali sulit dilakukan karena mereka tidak mampu menata gerakan internalnya dengan baik. Rasio (sais kereta) tidak mampu mengendalikan dengan benar dimensi efektif (Thumos—kuda putih) dan nafsu-nafsunya (Epithumia—kuda hitam). Bila gerakan internal kacau mereka masuk dalam dinamika kejatuhan. Jiwa mortal diterangkan Platon sebagai thumos (afektifitas) unsur ”lebih baik” sementara yang ”lebih buruk” disebut epithumia (nafsu-nafsu)  kemudian rasio sebagai yang “terbaik” di banding kedua unsur lainya.
Bagi Platon jiwa bukan saja bersifat baka—jiwa tidak akan mati saat kematian badan (immortal)—melainkan  juga  kekal, karena sudah ada sebelum hidup dibumi.  Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami suatu pra-eksistensi  dimana ia memandang ide-ide. Platon berpendapat bahwa pada ketika itu tidak semua jiwa melihat hal yang sama. Ada jiwa-jiwa yang melihat lebih banyak dari pada jiwa-jiwa lain—biarpun hanya sedikit saja, tiap-tiap jiwa mesti telah melihat sesuatu dalam “kerajaan ide”. Berdasarkan pra-eksistensi jiwa, Platon kemudian merancang teori tentang pengenalan. Menurut Platon, pengenalan tidak lain dari pada pengingatan (anamesis) akan ide-ide yang telah dilihat pada waktu pra-eksistensi. Bila manusia lahir di bumi, pengetahuan tentang ide-ide tersebut—pra-eksistensi—sudah menjadi kabur.  Tetapi biarpun tersembunyi, pengetahuan tersebut tetap tinggal dalam jiwa manusia dan dapat diingatkan kembali. Lewat teorinya mengenai pengetahuan sebagai pengingatan, Platon  mendamaikan pengenalan indrawi dengan pengenalan akal budi— pengenalan indrawi (doxa) mencakup benda-benda konkret yang senantiasa dalam keadaan perubahan sedang pengenalan akal budi (episteme) menyangkut ide-ide yang abadi dan tidak terubahkan. Karena benda benda konkret selalu meniru ide-ide maka pengenalan indrawi merintis jalan bagi pengenalan akal budi. Dengan demikian Platon dapat menghargai pengenalan indrawi secara positif.

c. Ajaran tentang Negara
Filsafat Platon memuncak dalam uraiannya mengenai Negara dengan latar belakang pengalaman pahit mengenai politik Athena sebagai usaha memperbaiki keadaan negara yang dirasakan buruk. Menurut Platon negara yang ideal terdiri dari tiga golongan (selain budak-budak). Golongan Pertama, penjaga-penjaga atau filsuf-filsuf karena mereka mempunyai pengertian mengenai “yang baik”. Golongan Kedua, pembantu-pembantu atau prajurit-prajurit ditugaskan menjamin keamanan negara dan mengawasi supaya warga negara tunduk kepada filsuf-filsuf. Golongan Ketiga, dari petani-petani dan tukang-tukang yang menanggung kehidupan ekonomis bagi seluruh polis. Karena ketiga bagian jiwa punya hubungan khusus dengan keempat keutamaan, dengan demikian ketiga golongan dalam negara ideal juga punya hubungan dengan keempat keutamaan tersebut. Kebijaksanaan merupakan keutamaan  khusus terdapat pada para penjaga dalam arti yang sebenarnya. Kegagahan terdapat pada pembantu-pembantu dan karena golongan pertama dipilih dari antara pembantu-pembantu, sudah nyata bahwa golongan pertama juga mempunyai keutamaan ini. Bagi golongan ketiga—petani-petani dan tukang-tukang—keutamaan yang spesifik adalah pengendalian diri.  Akhirnya, keadilan terdapat pada semua golongan, karena keadilan adalah keutamaan yang memungkinkan setiap golongan dan setiap warga negara melaksanakan tugas masing-masing, tanpa campur tangan dalam urusan orang lain. Sebagaimana dalam jiwa, keadilan mengakibatkan  ketiga bagian jiwa berfungsi dengan seimbang dan selaras, didalam Negara, keadilan menjamin kesimbangan dan keselarasan antara golongan-golongan dan antara semua warga negara. Dengan demikian  kita mendapat jawaban atas pertanyaan  pokok bagi seluruh dialog Politeia; yaitu apakah keadilan itu? Pendiriannya tentang keadilan ini Platon mengutamakan keselarasan dan keseimbangan sebagai gagasan Yunani yang khas.

3. Arete atau Keutamaan
Menurut Leon Robin, istilah “keutamaan” (bahasa Yunani; arete) merujuk pertama-tama pada ciri khas berkaitan dengan fungsi optimal (excellency) suatu hal. Keutamaan sesuatu atau seseorang adalah ketika ciri yang menjadi karakter khasnya mewujud secara optimal. Platon berbicara tentang keutamaan; ”mata, telinga, anjing atau kuda”. Seekor kuda menjadi “utama” ketika bisa berlari dengan cepat. Telingga adalah “utama” bila berfungsi baik, artinya bisa mendengarkan. Tentang keutamaan seorang ahli bangunan dan politisi di Apologia 18.a mengatakan bahwa “keutamaan seorang hakim” ketika ia mewujudkan ciri dan fungsi khasnya sebagai hakim secara maksimal; mampu memilah dan memutuskan secara adil mana yang benar argumentasi si penuduh atau si tertuduh. Karena dalam diri manusia yang menjadi prinsip adalah jiwanya maka arete  muncul bila jiwa termanifestasikan secara optimal. Jadi kalau sebilah pisau menurut kodrat “keutamaannya” memotong dengan baik dan mata “keutamaannya”  melihat dengan baik  maka jiwa manusia memiliki “keutamaan” ketika tiap ”bagian” maksimal secara kodrat menjadi fungsi-fungsinya sehingga muncul manusia yang adil dan harmonis. Karena sejauh yang sejati dari jiwa adalah rasio maka arete berarti optimalnya pengetahuan dan refleksi rasional. Memiliki keutamaan, excellency artinya ketika atas dasar pengetahuan (kebijaksanaan) secara rasional manusia mengerti apa yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dan sarana yang mesti dipilih. Paling optimal bagi jiwa menurut Platon ketika semua “bagian” jiwa; epithumia, thumos, dan rasio bergerak harmonis—disitu manusia bersifat adil.
Keutamaan benar-benar menjadi sebuah keutamaan sejauh yang dipikirkan demi kebaikan tertinggi. Kalau sudah dipikirkan demi kebaikan jiwa secara keseluruhan maka keutamaan akan benar-benar menjadi keutamaan (optimalisasi bagi jiwa). Keutamaan  sekedar menukar rasa senang dengan kesenangan lain yang lebih besar atau menukar rasa sakit lebih besar dengan rasa sakit lebih kecil bersifat ambigu dan tidak pasti—ambigu karena dalam logika tukar menukar, kita melakukan sebuah ketakutan (atau keinginan/nafsu) dengan cepat menundukkan diri pada sebuah ketakutan (nafsu) lain yang lebih besar. Dalam hubungan ini, menurut Platon satu-satunya alat tukar yang sah memperoleh keutamaan adalah pemikiran (pengetahuan) karena  memberikan landasan stabil dan objektif untuk melihat sejauh mana sebuah tindakan benar-benar merupakan keutamaan. Hanya lewat pemikiran dan pengetahuan yang benar orang bisa sejauh mungkin menyerupakan dirinya dengan yang ilahi.   Pemikiran tidak dengan sendirinya membuat orang berkeutamaan, namun pemikiran memberikan landasan argumentatif bagaimana seseorang memilih menjadi berkeutamaan atau tidak. Pemikiran dan pengetahuan syarat bagi munculnya keutamaan.
Bagi  Plato keutamaan adalah pengetahuan  terdiri atas empat keutamaan pokok; sophrosune (pengendalian diri), andreia (keberanian), sophia (pengetahuan kebijaksanaan) dan dikaisoune (keadilan, ketegakan, kebenaran). Dari keempat keutamaan, pengetahuan kebijaksanaan adalah keutamaan yang mencerahi dan mengilhami keutamaan- keutamaan lainnya. Hal ini sejalan dengan konsepsi Platon yang menempatkan “bagian” rasio sebagai pemimpin “bagian-bagian” jiwa lainnya sementara keadilan adalah efek yang muncul manakala tiap “bagian” jiwa menjalankan tugasnya masing-masing. Dalam arti inilah optimalisasi hidup manusia (atau keutamaan, kesuksesan) secara hakiki adalah pengetahuan karena berkat refleksi rasional (pengetahuan) keutamaan–keutamaaan yang lain akan benar-benar menjadi keutamaan.
Semua “bagian” jiwa bersifat hakiki bagi manusia secara keseluruhan. Maka mengoptimalkan manusia menggapai keutamaan mengandaikan optimalisasi tiap “bagian” jiwa. Pertama epithumia; bila dikendalikan (sophrosune, moderation) menjadikan nafsu-nafsu optimal untuk manusia dan memunculkan keselarasan (symphonia dan harmonia) bukan menghilangkan nafsu-nafsu tetapi pengendalian diri menundukan secara sengaja “nafsu-nafsu jelek yang beragam” kepada refleksi rasional.  Dalam tatanan polis, untuk jiwa manusia, keutamaan ini secara khas di peruntukkan bagi kaum petani dan pedagang. Kedua Thumos; bagi kaum prajurit dan pelestari polis (guardians) yang hidup mendasarkan diri pada hasrat  harus dibimbing oleh keutamaan keberanian (andreia, courage) agar para prajurit menjaga dirinya tetap bertahan memiliki pikiran yang tepat berkenaan dengan apa yang “baik dan buruk”. Refleksi rasional ini penting bagi thumos supaya prajurit tidak mudah tunduk begitu saja pada kesulitan kesulitan-kesulitan, supaya mereka tidak mudah luluh di depan godaan makan, minum, seks serta uang dalam situasi apa pun, thumos mesti di biasakan mereaksi dengan tepat sehingga meski kondisi yang dihadapi berat dan susah, ia tetap berani memiliki apa-apa yang membawa kebaikan baginya. Thumos perlu dilatih dengan pengalaman “kepahitan, kesenangan, penderitaan dan ketakutan” (politeia 429c-d), supaya mampu bertahan dalam keyakinan akan kebaikan dan tidak takut atau lari seperti pengecut di depan kesulitan. Ketiga Sophia; “bagian” jiwa tertinggi adalah rasio. Ia membimbing thumos memiliki pengetahuan yang benar mengenai apa yang mesti ditakuti atau dihadapi serta mengendalikan  epithumia agar tidak liar melainkan terarah pada kebaikan dalam hal pemenuhan nafsu makan, minum dan seks.  Rasio yang optimal adalah rasio yang memiliki sophia (pengetahuan kebijaksanaan).  
Bila seluruh “bagian” jiwa manusia menjalankan tugasnya masing-masing dengan baik akan melahirkan dikaios (keadilan). Keutamaan sophia (pengetahuan, kebijaksanaan) dicapai manakala rasio manusia memahami apa-apa yang bersifat intelligible (yaitu idea) yang sifatnya ganda; pertama, untuk sampai ke sophia orang harus melakukan purifikasi—menundukan epithumia dan mengendalikan thumos—dan kedua,  setelah sophia diterima lalu turun lagi  menerangi dan mencerahi hal-hal yang menjadi objek inderawi “bagian–bagian” jiwa yang lebih rendah. Ditataran keutamaan sophia manusia mengerti sebenar-benarnya kebaikan sehingga bisa mengarahkan seluruh “bagian” jiwa dengan keutamaan keutamaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar