Kamis, 24 Agustus 2017

5 DIMENSI HMI

                      YAKIN USAHA SAMPAI

1. Ke Organisasi-an

DEFINISI DAN PENGERTIAN ORGANISASI
         Berdasarkan etimologi (bahasa) organisasi berasal dari bahasa yunani Organ = Alat-Alat dan Isasi = Proses.

Definisi Organisasi Menurut Para Ahli
•         Organisasi Menurut Stoner
Organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan manajer mengejar tujuan bersama.
•         Organisasi Menurut James D. Mooney
Organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama.
•         Organisasi Menurut Chester I. Bernard
Organisasi merupakan suatu sistem aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.

Pengertian organisasi, Secara Terminologi (Asal Kata)
Organisasi adalah sekelompok orang (dua atau lebih) yang secara formal dipersatukan dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan di sepakati.

Pengertian Pengorganisasian.
Seperti telah diuraikan sebelumnya tentang Manajemen, Pengorganisasian adalah merupakan fungsi kedua dalam Manajemen dan pengorganisasian didefinisikan sebagai proses kegiatan penyusunan struktur organisasi sesuai dengan tujuan-tujuan, sumber-sumber, dan lingkungannya. Dengan demikian hasil pengorganisasian adalah struktur organisasi.

Pengertian Struktur Organisasi
Struktur organisasi adalah susunan komponen-komponen (unit-unit kerja) dalam organisasi. Struktur organisasi menunjukkan adanya pembagian kerja dan meninjukkan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan-kegiatan yang berbeda-beda tersebut diintegrasikan (koordinasi). Selain daripada itu struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi-spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan.

Unsur – Unsur Organisasi
Setiap bentuk organisasi akan mempunyai unsur-unsur tertentu, yang antara lain sebagai berikut :
•         Sebagai wadah atau tempat untuk bekerja sama.
Organisasi adalah merupakan suatu wadah atau tempat dimana orang-orang dapat bersama untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan tanpa adanya organisasi menjadi saat bagi orang-orang untuk melaksanakan suatu kerja sama, sebab setiap orang tidak mengetahui bagaimana cara bekerja sama tersebut akan dilaksanakan. Pengertian tempat di sini dalam arti yang konkrit, tetapi dalam arti yang abstrak, sehingga dengan demikian tempat sini adalah dalam arti fungsi yaitu menampung atau mewadai keinginan kerja sama beberapa orang untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pengertian umum, maka organisasi dapat berubah wadah sekumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu misalnya organisasi buruh, organisasi wanita, organisasi mahasiswa dan sebagainya.

•         Proses kerja sama sedikitnya antara dua orang
Suatu organisasi, selain merupakan tempat kerja sama juga merupakan proses kerja sama sedikitnya antar dua orang. Dalam praktek, jika kerja sama tersebut di lakukan dengan banyak orang, maka organisasi itu di susun harus lebih sempurna dengan kata lain proses kerja sama di lakukan dalam suatu organisasi, mempunyai kemungkinan untuk di laksanakan dengan lebih baik hal ini berarti tanpa suatu organisasi maka proses sama itu hanya bersifat sementara, di mana hubungan antar kerja sama antara pihak-pihak bersangkutan kurang dapat diatur dengan sebaik-baiknya.

•         Jelas tugas dan kedudukannya masing-masing
Dengan adanya organisasi maka tugas dan kedudukan masing-masing orang atau pihak hubungan satu dengan yang lain akan dapat lebih jelas, dengan demikian kesimpulan dobel pekerjaan dan sebagainya akan dapat di hindarkan. Dengan kata lain tanpa orang yang baik mereka akan bingung tentang apa tugas-tugasnya dan bagaimana hubungan antara yang satu dengan yang lain.

•         Ada tujuan tertentu
Betapa pentingnya kemampuan mengorganisasi bagi seorang manajer. Suatu perencana yang kurang baik tetapi organisasinya baik akan cenderung lebih baik hasilnya dari pada perencanaan yang baik tetapi organisasi tidak baik. Selain itu dengan cara mengorganisasi secara baik akan mendapat keuntungan antara lain sebagai berikut :
- Pelaksanaan tugas pekerjaan mempunyai kemungkinan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif

Secara ringkas unsur-unsur organisasi yang paling dasar adalah :
•         Harus ada wadah atau tempatnya untuk bekerja sama.
•         Harus ada orang-orang yang bekerja sama.
•         Kedudukan dan tugas masing-masing orang harus jelas.
•         Harus ada tujuan bersama yang mau dicapai.

Unsur Unsur Berdirinya Suatu Negara
Menurut JOhn Locke & Rousseau, negara adalah suatu badan atau organisasi hasil dari pada perjanjian masyarakat. Sebuah negara dapat terbentuk karena adanya beberapa unsur. Berikut ini adalah unsur-unsur negara menurut para ahli:
A. Rahman
Unsur-unsur negara terdiri dari:
Penduduk
Wilayah
Pemerintah
Miriam. B
Unsur-unsur negara terdiri dari :
Wilayah
Penduduk
Pemerintah
Kedaulatan
Oppenheim – Lauterpacht
Unsur-unsur negara terdiri dari:
Adanya daerah/wilayah
Adanya rakyat
Adanya pemerintah yang berdaulat
Adanya pengakuan dari negara lain
Konvensi Montevideo pada tahun 1933
Unsur-unsur berdirinya sebuah negara adalah sebagai berikut:
Rakyat
Wilayah yang permanen
Penguasa yang berdaulat
Kesanggupan berhubungan dengan negara lain
Pengakuan (deklaratif)

Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok sebagai syarat mutlak terbentuknya suatu negara adalah terdapatnya rakyat, adanya daerah atau wilayah, serta pemerintahan yang berdaulat. Tanpa ketiga unsur pokok tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai negara. Ketiga unsur pokok tersebut disebut juga unsur konstitutif atau unsur pembentuk.

Selain ketiga unsur yang mutlak harus dipenuhi tersebut, terdapat juga unsur pengakuan dari negara lain. Unsur pengakuan dari negara lain ini bukan merupakan unsur pembentuk suatu negara, melainkan hanya merupakan suatu pernyataan dari suatu negara akan keberadaannya. Unsur ini desebut sebagai unsur deklaratif.

Konvensi montevideo 1933.
Unsur unsur negara indonesia. Konvensi montevideo. Unsur negara hukum. Unsur unsur politik. Sebutkan unsur unsur negara. Unsur unsur hukum. Unsur unsur bangsa.

Unsur unsur negara menurut konvensi montevideo. Masyarakat sebagai unsur negara. Unsur2 negara. Unsur unsur negara menurut konvensi montevideo 1933. Unsur negara menurut konvensi montevideo 1933. Pengertian konstitutif. Unsur unsur suatu negara.

Unsur terbentuknya negara menurut konvensi montevideo. Jelaskan unsur unsur negara. Unsur terbentuknya negara menurut para ahli. Unsur unsur bangsa dan negara. Unsur unsur negara adalah. Unsur unsur terbentuknya negara menurut para ahli. Unsur unsur terbentuknya negara.

Unsur hukum. Unsur pokok negara. Makalah unsur unsur negara. Unsur mutlak berdirinya suatu negara. Unsur unsur sebuah negara. Unsur unsur negara hukum menurut para ahli. Unsur unsur terbentuknya negara menurut konvensi montevideo 1933.

Konvensi montevideo tahun 1933. Unsur unsur pembentuk negara. Gambar negara. Teori terbentuknya negara menurut para ahli. Unsur terbentuknya suatu negara. Unsur negara adalah. Pengertian unsur unsur negara. Negara negara. Unsur negara berdasarkan pandangan klasik. Teori unsur unsur negara. Unsur unsur negara menurut para pakar. Pengertian unsur deklaratif. Unsur unsur berdirinya suatu negara. Unsur berdirinya negara menurut ilmu politik.

Unsur unsur hukum menurut para ahli. Sebutkan unsur terbentuknya negara menurut konvensi montevideo 1933. Sebutkan dan jelaskan unsur unsur negara. Unsur unsur terbentuknya suatu negara. Isi konvensi montevideo. Pengertian unsur negara. Syarat terbentuknya negara.

Unsur mutlak terbentuknya negara. Terbentuknya negara menurut para ahli. Pendapat para ahli tentang negara. Unsur pembentuk negara. Unsur mutlak suatu negara. Unsur unsur politik hukum. Terbentuknya suatu negara.

Unsur negara menurut konvensi montevideo 1993. Unsur negara menurut para pakar. Isi konvensi montevideo 1933. Pengertian unsur konstitutif. Teori terbentuknya negara. Arti konstitutif. Unsur mutlak negara.

Unsur unsur negara konstitutif. Unsur unsur bangsa menurut para ahli. Unsur negara menurut konvensi montevideo. Pengertian negara menurut konvensi montevideo 1933. Syarat mutlak berdirinya suatu negara. Kriteria negara hukum menurut para ahli. Syarat berdirinya negara.
Unsur politik. Unsur unsur ilmu politik. Negara dan unsur unsur negara. Unsur deklaratif. Pengakuan dari negara lain merupakan unsur. Unsur terbentuknya politik. Unsur unsur pokok negara.

Unsur unsur berdirinya negara. Hukum menurut wilayahnya. Unsur unsur dalam negara. Unsur berdirinya suatu negara. Unsur unsur terbentuknya sebuah negara. Unsur unsur negara yang berdaulat. Unsur unsur terbentuknya bangsa menurut para ahli.

Unsur2 hukum. Unsur unsur pembentukan negara. Unsur wilayah suatu negara. Sebutkan unsur unsur hukum. Unsur unsur negara menurut konvensi montevideo tahun 1933. Terbentuknya suatu negara menurut john locke. Unsur unsur negara dan pengertiannya.
Unsur2 politik. Sebutkan unsur unsur terbentuknya negara.


2. Ke Mahasiswa-an
Refleksi Pelanggaran HAM di Masa Lalu

Dalam salah satu buah pemikirannya, Satjipto Rahardjo pernah mengajarkan penegakan hukum “mesu budi”, yaitu pengerahan seluruh potensi kejiwaan dalam diri.

Satjipto mengajarkan perlu individu-individu yang mau menjadi vigilante (pejuang) dalam penegakan hukum. Di perlukan aparat penegak hu kum seperti Hakim Agung Andi Andojo yang berani me lakukan “mesu budi”, bukan penegak hukum yang hanya mementingkan keselamatan karier.
Gagasan besar tersebut sangat relevan untuk memotret penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) saat ini. Praktis sulit sekali menemu kan perangkat hukum, baik jaksa, hakim, polisi maupun peng a cara yang mau berhu kum se cara “mesu budi”, tidak hanya menirukan bunyi un dang-un dang tetapi berani me lakukan ijtihad untuk meng hadirkan keadilan substansi.

 
Sepanjang tahun 2010, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berjalan di tempat. Beberapa kasus antara lain:  kasus 1965–1966, kasus penembakan misterius  1981–1983, kasus Talangsari Lampung 1989, kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kasus 13–15 Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997–1998, tak satu pun menghadirkan cerita manis untuk para korban serta pembunuhan aktivis HAM Munir yang hingga saat ini tenggelam dan tidak terungkap modus pembunuhannya.
 Secara garis besar, kasus-kasus tersebut masih berkisar di wilayah penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung. Sepanjang tahun ini, Komnas HAM masih berkutat dengan proses penyelidikan kasus 1965– 1966 dan penembakan misterius, namun hingga di pengujung tahun 2010, belum tampak hasil laporan final penyelidikan. Sementara itu, kasus-kasus yang telah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung: kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kasus 13–15 Mei 1998 serta penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998 tak kunjung ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung.
Secara keseluruhan, konstelasi penanganan kasus tidak mengalami perubahan signifikan, praktis hanya kasus penghilangan paksa akivis 1997–1998 mengalami sedikit kemajuan, pascaparipurna DPR mengeluarkan empat rekomendasi politik pada 28 September 2009, antara lain: pembentukan pengadilan HAM ad hoc, pencarian 13 orang aktivis yang masih hilang, pemulihan hak para korban dan ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Sementara itu, berdasar kan catatan Kontras, nasib yang tidak kalah tragis juga dialami oleh sejumlah kasus pelanggaran HAM di masa lalu lainnya: kasus DOM Aceh 1989-1998, darurat mili ter Aceh 2003, pembunuhan Theys Hiyo Eluay, dan DOM Papua.
Selain itu, beberapa kasus berdimensi hak ekonomi, sosial, budaya: kasus lumpur Lapindo, sengketa tanah warga dengan TNI, penembakan petani di Alas Tlogo, kasus BuluKumba, Mang ga rai, dan beberapa kasus lainnya, tidak satu pun dari kasus tersebut yang diselidiki oleh Komnas HAM. Penanganan kasus-kasus tersebut hanya sebatas pengkajian dan pemantauan tanpa kejelasan tindak lanjut.
Kondisi para korban dan keluarga korban dari berbagai kasus tersebut secara umum sangat memprihatinkan, dan dari tahun ke tahun sepanjang 12 tahun reformasi terus mengalami kemunduran kualitas hidup, antara lain hidup dalam kemiskinan, trauma, dan gangguan psikologis serta masih mendapatkan perlakuan diskriminatif.
 

Potret HAM 2010
Sepanjang tahun 2010, praktis pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak berjalan efektif. Mandat penyelidikan oleh Komnas HAM, pasal 18–20 UU No 26 Tahun 2000, tidak cukup mampu menghadirkan terobosan untuk mendongkrak kualitas laporan, tumpul dalam berdiplomasi dengan sesama lembaga negara dan tidak cukup memiliki nilai tawar sebagai institusi penegak HAM. Salah satu contohnya yaitu dalam upaya menghadirkan orang yang diduga kuat bertanggung jawab dalam sebuah kejahatan HAM.
Fenomena di atas terjadi karena absennya mekanisme vetting, yakni sebuah mekanisme untuk menyeleksi seseorang menjadi pejabat publik atau menduduki jabatan setrategis, baik dalam institusi sipil maupun militer. Mekanisme vetting sendiri pada prinsipnya dapat dikategorikan menjadi dua, pertama vetting klasik, yakni didasar kan pada kemampuan dan kecerdasan seseorang untuk menduduki jabatan publik atau strategis dalam institusi negara. Yang kedua, vetting modern, yakni mekanisme seleksi didasarkan pada rekam jejak atau catatan masa lalu, apakah pernah melakukan pelanggaran HAM atau tidak.
Di Indonesia, sebenarnya memiliki mekanisme fit and proper test untuk menyeleksi pejabat publik selevel panglima TNI, ketua komisi negara, bahkan kapolri. Namun, me ka nisme ini tidak cukup efektif menyaring calon dengan standar vetting, karena fit and proper test tidak jarang berujung dengan transaksi politik. Selain itu, hal ini menyebab kan tidak cukupnya ruang partisipatif bagi masyarakat sipil untuk memberikan ma suk an atau menyodorkan kandidat. Jikapun ada, itu masih sebatas formalitas karena ti dak cukup memberi warna da lam pengambilan keputusan.
Untuk respons negara, berdasarkan catatan Kontras: beberapa institusi negara setingkat menteri politik hukum dan keamanan, menteri hukum dan HAM, staf khusus presiden bidang hukum dan HAM, bahkan Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), secara keseluruhan memberikan respons yang cukup baik dan konstruktif. Hal ini terlihat dari interaksi dengan korban dan keluarga korban
melalui forum audiensi.
Namun, sayang, pernyataan dan tanggapan dari beberapa institusi tersebut tidak kunjung dikonversi menjadi se buah kebijakan konkret ter kait penyelesaian kasus HAM masa lalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semes ti nya memegang peran pen ting, namun hingga di pengujung ta hun 2010, Presiden SBY ti dak mengeluarkan kebijakan terkait HAM. Kebijakan lebih banyak terfokus pada soal ko rupsi, perbaikan sektor ekonomi, dan penanganan terorisme.
Setelah dicabutnya UU 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), pemerintah akhir akhir ini kembali merumuskan RUU KKR sebagai komponen tambahan mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Saat ini, RUU KKR masuk dalam salah satu RUU yang mendapat prioritas dalam Program Legislasi Na sional (Prolegnas). Hal ini juga mengacu pada Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) 2010–2015 yang memasukkan pengesahan RUU KKR. Meski RUU KKR kembali hadir, itu sulit diharapkan mampu memberikan solusi alternatif untuk para korban, mengingat isi dari RUU ini tidak lebih baik dari UU sebelumnya.
Kelangkaan cara berhu kum dengan metode “mesu budi” adalah pangkal dari buruknya penyelesaian kasus HAM masa lalu. Mestinya, spirit ini harus ditanam kuat-kuat dalam sanubari setiap perangkat penegak hukum dan segenap penyelenggara negara ini. Penegakan hukum normatif kita menjadi semakin mengerikan karena telah dibingkai dengan politik transaksional.
Untuk itu, tidak ada pilihan bagi para korban selain menjaga dan terus menggelorakan semangat dan harapan. Hal ini penting untuk menjaga kewajiban negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terus mengapung ke permu kaan. Ini karena potret peradaban yang akan datang sama dengan bagaimana negara ini memperlakukan masa lalu.
Penulis adalah Advokat HAM dan Aktif dalam Advokasi Kasus Pelanggaran HAM berat.
Sejarah Pergerarakan Mahasiswa Dari Masa Ke Masa


Gerakan Pelajar di era Kolonialisme (1908-1928)
Revolusi Pemikiran
 
Budi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.

Pada kongres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : ‘Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan’.

Dalam 5 tahun permulaan Budi Oetomo sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.

Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdammendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.

Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik. Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.

Kebangkitan Semangat Kebangsaan Pelajar-Pelajar Indonesia
Kelahiran Sumpah Pemuda (1928)

 
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.

Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.

Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.

Gerakan Mahasiswa Di Era Proklamasi (1945)
Peristiwa Rengasdengklok
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia(PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).

Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.

Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.


Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.

Gerakan Mahasiswa Pasca Kemerdekaan dan Meruntuhkan Rezin Orde Lama (1945-1966)
 
 
Pada masa setelah kemerdekaan, mulai bermunculan secara bersamaan organisasi - organisasi mahasiswa di berbagai kampus. Berawal dari munculnya organisasi mahasiswa yang dibentuk oleh beberapa mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta, yang dimotori oleh Lafran Pane dengan mendirikan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 14 rabiul awal 1366 H yang nertepatan pada 05 Februari 1947.

Organisasi ini dibentuk sebagai wadah pergerakan mahasiswa yang dilatarbelakangi oleh 4 faktor utama yang meliputi Situasi Dunia Internasional, Situasi NKRI, Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di Indonesia, Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan. Selain itu pada tahun yang sama, dibentuk pulalah Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang didirikan melalui kongres mahasiswa di Malang. 


Lalu pada waktu yang berikutnya didirikan juga organisasi - organisasi mahasiswa yang lain seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berhaluan pada ideologi Marhaenisme Soekarno, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GAMSOS) yang lebih cenderung ke ideologi Sosialisme Marxist, dan Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang lebih berpandangan komunisme sehingga cenderung lebih dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Sebagai imbas daripada kemenangan PKI pada pemilu tahun 1955, organisasi CGMI cenderung lebih menonjol dibandingkan dengan organisasi - organisasi mahasiswa lainnya. Namun justru hal inilah yang menjadi cikal bakal perpecahan pergerakan mahasiswa pada saat itu yang disebabkan karena adanya kecenderungan CGMI terhadap PKI yang tentu saja dipenuhi oleh kepentingan - kepentingan politik PKI. Secara frontal CGMI menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi - organisasi mahasiswa lainnya terutama dengan organisasi HMI yang lebih berazazkan Islam. 

Berbagai bentuk propaganda politik pencitraan negatif terus dibombardir oleh CGMI dan PKI kepada HMI, beberapa bentuk propaganda yang mereka wujudkan yaitu salah satunya melalui artikel surat kabar yang berjudul Quo Vadis HMI. Perseturuan antara CGMI dan HMI semakin memanas ketika CGMI berhasil merebut beberapa jabatan di organisasi PPMI dan juga GMNI, terlebih setelah diadakannya kongres mahasiswa V tahun 1961.

Atas beberapa serangan yang terus menerus dilakukan oleh pihak PKI dan CGMI terhadap beberapa organisasi mahasiswa yang secara ideologi bertentangan dengan mereka, akhirnya beberapa organisasi mahasiswa yang terdiri dari HMI, GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), PMKRI, PMII, Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI), mereka sepakat untuk membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Dimana tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.

Munculnya KAMI yang dimotori oleh wakil PB HMI Ma’arie Moehammad dan diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Berawal dari semangat kolektifitas mahasiswa secara nasional inilah perjuangan mahasiswa yang dikenal sebagai gerakan angkatan '66 inilah yang kemudian mulai melakukan penentangan terhadap PKI dan ideologi komunisnya yang mereka anggap sebagai bahaya laten negara dan harus segera dibasmi dari bumi nusantara. 

Namun sayangnya, di tengah semangat idealisme mahasiswa pada saat itu ada saja godaan datang kepada mereka yang pada akhirnya melunturkan idealisme perjuangan mereka, dimana setelah masa orde lama berakhir, mereka yang dulunya berjuang untuk menruntuhkan PKI mendapatkan hadiah oleh pemerintah yang sedang berkuasa dengan disediakan kursi MPR dan DPR serta diangkat menjadi pejabat pemerintahan oleh penguasa orde baru.   Namun di tengah gelombang peruntuhan idealime mahasiswa tersebut, ternyata ada sesosok mahasiswa yang sangat dikenal idealimenya hingga saat ini dan sampai sekarang tetap menjadi panutan para aktivis - aktivis mahasiswa di Indonesia, yaitu Soe Hok Gie.  Ada seuntai kalimat inspiratif yang dituturkan oleh Soe Hok Gie yang sampai sekarang menjadi inspirasi perjuangan mahasiswa di Indonesia, secara lantang ia mengatakan kepada kawan - kawan seperjuangannya yang telah berbelok idealimenya dengan kalimat "lebih baik terasingkan daripada hidup dalam kemunafikan".

Gerakan Mahasiswa Di Rezim Orde Baru (1966-1988)
Kritik Terhadap Kinerja Pemerintah Rezim Orde Baru
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama pada masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.

Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.

Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.

Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution,Asmara Nababan.

Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.

Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974
 Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM JepangKakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.

Gerakan Mahasiswa Penolakan NKK/BKK
 
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada. Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.

Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.

Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas secara nasional meliputi kampus-kampus di kota Surabaya, Medan, Bogor, Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang. [1] 28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tentram.

10 November 1977, di Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada Oktober 1977, giliran Kampus ITS Baliwerti beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan kaki dari Baliwerti menuju Tugu Pahlawan. Sejak pertemuan 28 Oktober di Bandung, ITS didaulat menjadi pusat konsentrasi gerakan di front timur. Hari pahlawan dianggap cocok membangkitkan nurani yang hilang. Kemudian disepakati pusat pertemuan nasional pimpinan mahasiswa di Surabaya.

Sementara di kota-kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI), membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan pengawalan ketat tentara. Acara hari itu, berwarna sajak puisi serta hentak orasi. Suasana haru-biru, mulai membuat gerah. Beberapa batalyon tempur sudah ditempatkan mengitari kampus-kampus Surabaya. Sepanjang jalan ditutup, mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat. Aksi mereka dibungkam dengan cerdik. Konsolidasi berlangsung terus. Tuntutan agar Soeharto turun masih menggema jelas, menggegerkan semua pihak. Banyak korban akhirnya jatuh. Termasuk media-media nasional yang ikut mengabarkan, dibubarkan paksa.

Pimpinan Dewan Mahasiswa (DM) ITS rutin berkontribusi pada tiap pernyataan sikap secara nasional. Senat mahasiswa fakultas tak henti mendorong dinamisasi ini. Mereka bergerak satu suara. Termasuk mendukung Ikrar Mahasiswa 1977. Isinya hanya tiga poin namun berarti. "Kembali pada Pancasila dan UUD 45, meminta pertanggungjawaban presiden, dan bersumpah setia bersama rakyat menegakan kebenaran dan keadilan".

Peringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari 1978, peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus akhir. Penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih teror dan pengekangan.
Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku pemberontak negara. Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal.

Di UI, panser juga masuk kampus. Wajah mereka garang, lembaga pendidikan sudah menjadi medan perang. Kemudian hari, dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot dari jabatannya. Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala. Di ITS, delapan fungsionaris DM masuk "daftar dicari" Detasemen Polisi Militer. Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos mereka sudah ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki, ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera membubarkan aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor seragam, sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya. Beberapa berhasil tertangkap, sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain. Dalam proses tersebut, mahasiswa tetap "bergerak". Selama masih ada wajah yang aman dari daftar, mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi. Pergolakan kampus masih panas, walau Para Rektor berusaha menutupi, intelejen masih bisa membaca jelas.

Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa. Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini PangkopkamtibSoedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.

Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.

Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.

Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia),PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa. Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.


Kasus Helm “Siti Hardiyanti Rukmana” “1988”
 Pada tahun ini dikeluarkanlah sebuah kebijakan bagi pengendara motor untuk menggunakan helm (pengendara dan yang dibonceng), namun kenapa kebijakan ini justeru dikeluarkan pada saat Mbah Tutut sedang membuka usaha helm pada rezim Soeharto.


Gerakan Mahasiswa Dalam Meruntuhkan Rezim Orde Baru (1990-1998)
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.

Peristiwa Amarah (1996)
 
Berawal dari kebijakan pemerintah dan keluarnya SK MENHUB tentang kenaikan tarif angkutan umum yang ditindak-lanjuti dengan SK walikota Makassar no: 900 tahun 1996 tentang penyesuaian tarif angkutan kota di kota Makassar. Kebijakan itu sangat memberatkan dan membuat semakin terpuruknya ekonomi masyarakat, maka dari inilah muncul geliat-geliat mahasiswa Makassar dalam merespon kebijakan pemerintah yang sangat tidak memihak masyarakat. Geliat-geliat ini akhirnya berakibat digelarnya aksi demonstrasi besar-beasaran oleh mahasiswa Makassar.
Pada tahun ini makassar menangis, pergerakan mahasiswa makassar dalam menolak kebijakan walikota makassar tentang kenaikan tarif pete-pete (Angkutan Kota) dari Rp. 300,- menjadi Rp. 500,- yang diakibatkan naiknya BBM, semua mahasiswa makassar melakukan aksi menolak sehingga menyebabkan 3 mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Menjadi korban (Saiful Biya, Tasrif, Andi Sultan Iskandar) karena kampus II UMI dimasuki Tentara yang mengendarai Panser (Reformasi Berawali Dari Tanah Makassar).



Runtuhnya Rezim Orde Baru Menuju Era Reformasi (21 Mei 1998)


 
Pada akhirnya ditahun 1997-1998 didorong oleh keadaan politik serta krisis ekonomi yang sedang mengalami keterpurukan akibat krisis moneter yang dialami Indonesia membuat perekonomian terguncang hebat. Hal ini tentu saja sangat mengejutkan masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa yang akhirnya animo pergerakannya mulai bangkit setelah sebelumnya mengalami mati suri yang cukup panjang. Sehingga pada akhirnya timbullah berbagai aksi demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa pun akhirnya semakin merebak dan meluas. Di Jakarta sendiri, ribuan mahasiswa telah berhasil menduduki gedung MPR/DPR RI pada tanggal 19 Mei 1998. Atas berbagai tekanan yang terjadi itulah akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00, presiden RI pada saat itu, yaitu Soeharto resmi mengundurkan diri dan era Reformasi pun dimulai dengan diawali oleh runtuhnya rezim Orde Baru.
 


3. Ke Ilmu-an 
Tingkatan - Tingkatan Persepsi Mulla Sadra
Pada daftar istilah penting yang sama, Mulla Sadra juga memberikan defenisi lain yang dapat membantu kita dalam memahami tujuan akhir dari suatu persepsi. Istilah tersebut adalah “dzihn” yang artinya “pikiran.” [1])  Mulla Sadra menulis, “Pikiran adalah potensi jiwa untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang belum pernah dicapai sebelumnya.” (3:515, 325.35).
Dengan mengikuti pandangan umum filsafat Islam-Yunani (Graeco-Islamic), Mulla Sadra memahami bahwa jiwa atau diri manusia mempunyai beberapa fakultas dan tingkatan-tingkatan aktualisasi yang dimulai dari tingkatan tumbuhan dan hewan. Jiwa tersebut mengatualkan dirinya melalui potensi pemahamannya. Tujuan jiwa di dalam wujudnya adalah untuk bergerak dari potensi mengetahui ke mengetahui secara aktual. Ketika pengetahuan potensialnya menjadi benar-benar aktual, ia tidak lagi disebut sebagai ‘jiwa,’ ia sudah menjadi ‘akal,’ atau ‘akal dalam perbuatan.’ Dalam pandangan Mulla Sadra, potensi jiwa manusia untuk mencapai pengetahuan aktual disebut ‘pikiran.’
Pikiran dapat mengetahui segala sesuatu melalui persepsi. “Persepsi” adalah penyebutan bagi perbuatan yang dilakukan oleh jiwa untuk mengetahui, apapun objek yang diketahuinya. Jika kita memandang persepsi dari sisi ‘yang mempersepsi,’ maka persepsi tersebut mempunyai empat jenis dasar. Dalam setiap persepsi, pikiran bertemu dengan ‘bentuk’ sesuatu, yakni kuiditas atau realitas akalnya, bukan materinya. Namun, keempat persepsi tersebut mempunyai keadaan yang berbeda-beda dalam masing-masing ‘pertemuannya.’ Perbedaan-perbedaan tersebut berhubungan dengan instrumen persepsi dan modalitas eksistensi objek yang dipersepsi (perceptible’s existence).
Tingkatan persepsi yang pertama adalah persepsi indra (al-hiss). Pada tingkatan ini bentuk objek persepsi mewujud di dalam materi, dan yang mempersepsi menemukan bentuk tersebut di dalam wujud-wujud material. Pada dasarnya wujud dari objek-objek tersebut adalah aksiden-aksiden [2]) Aristotelian, misalnya kuantitas, kualitas, waktu, tempat, dan keadaan. Di dalam eksistensi eksternalnya sebagai sesuatu, bentuk tersebut terpisah dari atribut-atribut aksidental, dan sebenarnya melalui atribut-atribut itulah kita dapat memahami objek tersebut melalui indra. Dan materi yang menjadi wadah tempat bentuk tersebut mewujud, tidak akan pernah dapat dipahami dalam hakikat kemateriannya, karena ia adalah eksistensi yang terjauh dan paling gelap, suatu wujud yang hampir tidak akan bisa diketahui secara tepat sampai kapanpun.
Tingkatan persepsi yang kedua adalah imajinasi (khayal, takhayyul) yang sebenarnya juga mempersepsi objek-objek indrawi dalam semua karakteristik dan kualitasnya. Namun, berbeda dengan persepsi indra, imajinasi dapat memahami suatu objek tanpa perlu mensyaratkan kehadiran objek tersebut bagi indra.
Tingkatan persepsi yang ketiga adalah wahm. (Para filosof) abad pertengahan menterjemahkan kata ini sebagai “estimao,” tetapi pemikir modern tidak sependapat dengan makna yang sebenarnya dari kata ini dan bagaimana menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris (yang tepat). Saya (W.C. Chittick, ed.) sendiri menterjemahkannya sebagai “intuisi indra” (sense intuition), hanya untuk memaksudkan statusnya sebagai perantara antara akal dan indra. [3]) Menurut Mulla Sadra, wahm adalah persepsi dalam makna pahaman akal tetapi pensifatan makna tersebut adalah sesuatu yang partikular, sesuatu yang bersifat indrawi. Di dalam intuisi indra, jiwa memahami sesuatu yang universal, tetapi masih di dalam suatu partikular dan bukan universal itu sendiri.
Tingkatan persepsi yang tertinggi adalah inteleksi (ta’aqqul), [4]) yakni persepsi terhadap kuiditas sesuatu dan bukan yang lain. 3)
Apa yang membedakan tingkatan-tingkatan persepsi tersebut adalah derajat “keterlepasan” (disengagement, tajarrud), suatu istilah yang memiliki makna penting di dalam tulisan-tulisan Mulla Sadra. Sekali lagi, tajarrud adalah salah satu istilah dimana pemikir modern tidak sependapat dalam menerjemahkannya. Umumnya, kata ini diterjemahkan sebagai “abstraksi,” suatu kata yang mengaburkan makna kata tajarrud yang sebenarnya. 4) Sesuatu “yang terlepas” bukan hanya bebas dan berada di luar materi, tetapi juga berada di dalam suatu wilayah eksistensi dan kesadaran yang kuat. Secara umum, di dalam filsafat Islam, beberapa konsep yang menjelaskan tujuan akhir penyempurnaan manusia, telah memaknai kata tajarrud ini dengan makna yang lebih signifikan. Di dalam arti yang sebenarnya, tajarrud ini dinisbatkan (hanya) kepada Allah, yakni Wujud Wajib dalam diriNya sendiri, karena (hanya) Wujud Wajib-lah yang tidak memiliki keterhubungan maupun keterikatan dengan apapun selain diriNya sendiri. Dalam pengertian yang lebih khusus lagi, tajarrud adalah atribut akal yang mampu melihat segala sesuatu dalam hakikatnya, yakni tanpa gangguan kekaburan yang disebabkan oleh imajinasi dan persepsi indra. 5)  Tajarrud ini juga menjadi atribut [5]) dari bentuk-bentuk atau kuiditas-kudiditas yang dipahami oleh akal.
Menurut Mulla Sadra, empat tingkatan persepsi harus dibedakan berdasarkan derajat keterlepasan yang dicapai oleh objek-objek persepsi (perceptibles).
Tingkatan pertama, yakni persepsi indra, dapat dipahami di dalam tiga kondisi yang ditentukan oleh sifat-sifatnya: pertama, materi harus hadir pada instrumen persepsi, yakni bahwa jiwa memahami sesuatu secara eksternal di dalam wujud materialnya. Kedua, bentuk sesuatu tertutupi oleh kualitas-kualitas dan sifat-sifatnya yang bisa dipahami. Ketiga, sesuatu yang dipersepsi secara indrawi adalah sesuatu yang partikular, bukan universal.
Pada tingkatan kedua, yakni imajinasi, objek-objek persepsi terlepas dari syarat pertama dari tiga syarat pada persepsi indra, yakni objek tersebut terlepas dari wujud material karena kehadiran eksternal sesuatu dalam persepsi imajinasi tidak dipersyaratkan.
Pada tingkatan ketiga, objek-objek intuisi indra terlepas dari wujud material maupun kualitas-kualitas dan sifat-sifat khususnya.
Pada tingkatan terakhir, objek-objek pahaman akal terlepas dari ketiga syarat di atas, karena akal hanya memahami objek-objek universal. 6)
Mulla Sadra menyimpulkan penjelasannya tentang tingkatan-tingkatan persepsi dengan mengatakan bahwa keempat tingkatan tersebut dapat direduksi menjadi tiga saja, karena baik imajinasi maupun intuisi indra, keduanya merupakan penghubung antara akal dan indra. 7)

[1]) Isim nakirah-nya adalah dzihnun, artinya sama dengan adzhaanun. Di dalam kamus-kamus umum kedua kata ini sering diartikan ingatan (mind) atau akal (intellect)

[2]) Aksiden secara harfiah berarti “sesuatu yang jatuh pada yang lain.” Dalam pengertiannya yang lebih luas, aksiden adalah sesuatu yang ditambahkan kepada substansi atau hakikat. Sebagai contoh, apel merah. Dalam hal ini, warna merah adalah aksiden bagi apel, namun warna merah tersebut bukanlah apel itu sendiri, tetapi warna merah tersebut adalah sifat yang ditambahkan kepada apel. Jika karena sesuatu hal apel tadi berubah menjadi warna hitam, maka ke-apel-an apel tadi akan tetap lekat pada apel tersebut, inilah yang disebut substansi, yakni wadah atau tempat sifat-sifat, sehingga walaupun apel tadi sudah berubah warna menjadi hitam, ia tetap disebut apel, yaitu apel hitam. Warna merah dan hitam bagi apel tersebut disebut aksiden. Aksiden biasanya digunakan untuk menjelaskan suatu substansi secara lebih rinci. Harus diingat, substansi boleh ada tanpa tergantung kepada aksiden. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Cetakan ketiga, hal. 31-32 dan Robert Audi (editor), The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge University Press, edisi kedua, hal. 5
[3]) Menurut Ibn Sina, wahm adalah kemampuan untuk merasakan suatu pengalaman mental dari suatu kejadian yang berbeda dengan kejadian yang aktual. Lihat Prof. Parviz Morewedge, The Metaphysics of Ibn Sina;  Prof. M. Said Syaikh, Dictionary of Muslim Philosophy, Institute of Islamic Culture, Lahore, 1970; juga lihat Dictionary of Islamic Philosophical Terms di www.muslimphilosophy.com.
[4]) Inteleksi (intellection) adalah persepsi akal.
[5]) Atribut adalah sifat-sifat yang dilekatkan pada sesuatu. Secara umum, atribut dapat dibedakan menjadi yakni atribut esensial, yakni sifat yang harus melekat pada sesuatu yang tanpa sifat tersebut maka sesuatu itu tidak bisa meng-ada, serta atribut akidental dimana wujud sesuatu tidak tergantung pada sifat-sifat ini, yakni sifat tersebut bisa ada dan bisa tidak. Misalnya “buku baru.” Dalam pernyataan ini, “baru” adalah atribut, tepatnya atribut aksidental, karena buku tidak tergantung kepada sifat baru, maksudnya buku tersebut akan tetap disebut buku walaupun tidak baru lagi. Lihat penjelasan yang lebih lengkap pada penjelasan kata “property” di dalam Robert Audi (editor), The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge University Press, edisi kedua, hal. 751-752.
Dalam pemahaman filsafat dan metafisika, atribut sering disamakan dengan predikat.

Persepsi Menurut Mulla Sadra
Pada bagian akhir dari bagian pertama empat kitab al-Asfar, Mulla Sadra memberikan berbagai defenisi sekitar tiga puluh kata yang dianggap perlu di dalam mendiskusikan modalitas pengetahuan (al-‘ilm). Dalam daftar kata tersebut, Mulla Sadra menempatkan kata “persepsi” sebagai kata pertama. Di dalam mendefenisikannya, Mulla Sadra memulai penjelasannya dengan makna literal kata persepsi tersebut. Sebagaimana yang terdapat di dalam banyak kamus bahasa Arab, memang kata “persepsi” ini memiliki banyak makna, seperti halnya perolehan (attaining), pencapaian (reaching), kedatangan (arriving), penangkapan (catching), penggenggaman (grasping), pemahaman (comprehending), dan kecerdasan (discerning). Mulla Sadra menulis,
Idrak adalah “perjumpaan (liqa’) dan kedatangan (wusul).” Ketika potensi akal sampai pada kuiditas [1]) pahaman akal dan mencapainya, inilah yang disebut persepsi. Di dalam filsafat, makna yang dimaksud dalam suatu kata berhubungan dengan makna harfiahnya. Artinya, persepsi dan perjumpaan yang benar hanyalah perjumpaan dalam pengertian ini, yakni persepsi oleh pengetahuan. Perjumpaan dalam pengertian pisik bukanlah perjumpaan yang sebenarnya. (al-Asfar 3:507, 323.31) 1)
Sebelum sampai pada pembahasan selanjutnya, terlebih dahulu kita harus menyinggung beberapa issu yang muncul dari defenisi persepsi ini. Seperti filosof Muslim yang lain, Mulla Sadra juga menganalisa diri manusia (human self) dengan membaginya dalam berbagai fakultas. Namun di dalam bahasa Arab, kata “fakultas” diterjemahkan menjadi “quwwah” yang juga bisa berarti “potensialitas,” suatu kata yang maknanya diperlawankan dengan “aktualitas.” Dengan demikian, setiap fakultas pada saat yang sama juga adalah suatu potensialitas; dengan kata lain, quwwah pun dapat diterjemahkan sebagai “potensi.” Dua pengertian ini memiliki makna yang sangat penting di dalam semua karya-karya Mulla Sadra, karena analisis-analisisnya terhadap jiwa manusia sangat tergantung pada suatu pandangan yang menganggap jiwa manusia sebagai suatu potensialitas besar yang mengarahkan setiap potensialitas yang lain yang diberi nama sesuai dengan fakultas-fakultas tersebut.
Di dalam defenisi persepsi ini, Mulla Sadra memaksudkan bahwa kekuatan dan potensi diri untuk mengetahuai adalah dengan “potensi akal” (intellective potency). Ketika kekuatan ini mencapai suatu objek, maka ia akan bergerak dari potensialitas ke aktualitas. Adapun derajat aktualitas yang dicapainya menjadi tema dasar yang harus dijelaskan selanjutnya.
Di dalam defenisi ini, Mulla Sadra mengatakan bahwa melalui persepsi, potensi akal akan sampai pada “kuiditas” sesuatu. Dengan kata lain, ketika persepsi terjadi, kita sampai pada pengetahuan “apa” yang menjadi objek persepsi tersebut. Demikian juga, Mulla Sadra menekankan di dalam kata kedua pada daftar kata atau istilah teknis yang dibuatnya, yakni kata syu’ur atau “kesadaran,” bahwa persepsi memerlukan pengetahuan terhadap kuiditas sesuatu. Menurutnya, kesadaran adalah pemahaman sesuatu tanpa “pencapaian kestabilan” (achieving fixity, istitsbat), yakni tanpa (perlu) mengetahui dengan pasti (ascertain) tentang keapaan sesuatu. 2) Mulla Sadra menambahkan, “kesadaran adalah tingkatan pertama dari kedatangan pengetahuan pada potensi akal. Dengan demikian, kesadaran hanyalah persepsi yang belum stabil. Itulah karenanya tidak dikatakan bahwa Allah ‘sadar’ terhadap segala sesuatu” (3:508, 323.34), tetapi dikatakan bahwa Dia ‘memahami’ segala sesuatu.
Sesuatu yang dipahami adalah suatu “pahaman akal” (intelligible), yakni suatu objek yang diketahui oleh akal (intelligence). [2]) Pahaman akal disebut “bentuk” (surah) sesuatu. Disini, ‘bentuk’ tersebut diperlawankan dengan ‘materi’ (maddah), yakni yang bukan pahaman akal (unintelligible) di dalam  dirinya sendiri. Sesuatu yang bisa kita dapat pahami dengan sebenarnya adalah ‘bentuk,’ bukan materi. [3])
Akhirnya, di dalam defenisi ini Mulla Sadra ingin menegaskan bahwa idrak yang sebenarnya – yakni perolehan, pencapaian, kedatangan, dan perjumpaan yang sebenarnya – berhubungan dengan pengetahuan dan bukan dengan tubuh pisik. Hal ini mengingatkan kita bahwa persepsi terhadap sesuatu yang benar akan tercapai jika pelaku akal (intelligent agent) bertemu dengan objek pahaman akal (intelligible object). Setiap perolehan yang sifatnya pisik hanya akan cepat hilang dan cepat berlalu. Demikian juga, pada tingkat tertentu, nilai kebenaran suatu persepsi yang ‘dikotori’ oleh materialitas pisik akan menjadi tidak sempurna, karena ‘bentuk’ yang dipahami akan dikaburkan oleh media persepsi dan situasi eksternal objek yang dipersepsi tersebut.

 
[1]) “Kuiditas” mempunyai pengertian yang sama dengan “esensi,” yakni “keapaan” sesuatu. Aristoteles menjelaskannya sebagai “to ti ein einai,” maksudnya “apa yang seharusnya,” ungkapan yang biasanya diikuti oleh pernyataan lainnya, misalnya “apa yang seharusnya menjadi kuda” dan lain-lain.  Dalam hal ini, kuiditas atau esensi kuda adalah “sesuatu yang menjadikan kuda itu kuda.” Dalam bahasa Arab “kuiditas” atau “esensi” disebut “mahiyah” yang merupakan lawan kata dari “anniyah” atau “eksistensi” atau “wujud.” Wujud Wajib adalah wujud yang esensinya sama dengan eksistensinya, dan Wujud wajib ini hanya bisa dinisbatkan kepada Wujud Allah. Sedangkan untuk wujud mungkin, esensi atau kuiditasnya tidak mengharuskan adanya eksistensi atau wujudnya. Bagi Mulla Sadra, wujud atau eksistensi lebih utama, atau lebih primordial, atau lebih prinsip, dibandingkan dengan esensi atau kuiditas. Hal itu disebabkan karena menurut Mulla Sadra, esensi atau kuiditas hanyalah wujud mental dari wujud tersebut. Inilah yang disebut konsep al-isalat al-wujud di dalam filsafat Mulla Sadra.
Pada bagian selanjutnya, kata kuiditas akan sering dipertukarkan dengan kata esensi.
[2]) Di dalam buku ini, kata intelligent diartikan sebagai akal, intelligible sebagai objek pahaman akal, dan intelligence adalah pemahaman akal terhadap objek pahaman akal. Ketiga kata-kata ini sangat sering dipakai di dalam menjelaskan persepsi akal.
[3]) Yang dimaksud dengan “bentuk” adalah penyatuan antara esensi dan materi, yakni yang menetapkan bahwa materi itu adalah “sesuatu yang ini” atau “sesuatu yang itu.” Jika dalam suatu pernyataan disebutkan “rumah batu,” maka sudah pasti dipersyaratkan adanya “rumah” dan “batu.” Dalam hal ini, tidak akan ada rumah tersebut jika tidak ada batu karena rumah tersebut adalah “rumah batu.” Akan tetapi, batu yang bisa dibuat rumah juga bisa dibuat sebagai pagar, yakni “pagar batu.” Yang membedakan “rumah batu” dan “pagar batu” itulah yang disebut bentuk atau strukturnya. Artinya, “bentuk”-lah yang membedakan antara “rumah batu” dan “pagar  batu” tadi, bukan batu itu sendiri. Untuk penjelasan yang lebih detail, lihat Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Cetakan ke-7 1996, hal. 54 – 55;  Robert Audi (editor), The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge University Press, edisi kedua, untuk penjelasan kata “form” di hal. 35; juga lihat penjelasan kata “surah” di dalam Dictionary of Islamic Philosophical Terms di www.muslimphilosophy.com.

Pengantar Teleologi Menurut Mulla Sadra

Karya-karya filosofis Mulla Sadra terutama  ditujukan untuk memetakan jalan dalam pencapaian kesempurnaan jiwa manusia. Beberapa kontribusinya yang terkenal dalam kosa kata filosofis, misalnya “kemenduaan sistematis” (systematic ambiguity, tasykik) eksistensi dan “gerakan substansial,” telah memberikan bantuan yang sangat signifikan dalam menjelaskan bagaimana jiwa memasuki alam ini melalui korporealisasi dan bagaimana jiwa meninggalkan alam ini melalui spiritualisasi. Mulla Sadra yang telah melakukan penelitian yang luar biasa terhadap dalil-dalil untuk menilai kebenaran (modalities) tentang pengalaman alam akhirat, telah membuktikan keinginannya untuk menjelaskan segala kemungkinan yang terbuka bagi jiwa manusia. Untuk memahami penjelasan persepsi di dalam semua karya Mulla Sadra, terlebih dahulu harus dipahami arah dan tujuan persepsi serta sifat-sifat kesempurnaannya. Secara alamiah, jiwa itu mampu mempersepsi. Namun, beberapa jenis persepsi yang dimiliki oleh jiwa hewani tidak cukup dalam pencapaian kesempurnaan manusia, walaupun persepsi tersebut tetap menjadi sifat esensial bagi jiwa. Usaha-usaha manusia untuk menghilangkan segala kekurangan persepsi memegang peranan penting di dalam upaya penyempurnaan jiwa.
Disini, konsep yang mungkin paling penting adalah tajrid, “keterlepasan,” yang menunjukkan upaya pembebasan persepsi dari semua bentuk godaan bentuk-bentuk materi dan berusaha melatih persepsi untuk terfokus pada hakikat bentuk tersebut, yakni bentuk-bentuk di dalam wujud akal yang terlepas dan “terpisah” (mufariq) dari setiap jenis keterhubungan dengan wujud materi. Tujuan akhirnya adalah perubahan persepsi melalui perkembangan akal pahaman (acquired intellect) yang sempurna. Setelah itu, jiwa akan mampu memahami bentuk-bentuk hakiki dari setiap maujud, termasuk alam tak berbatas di hari akhir nanti.
Di dalam filsafat modern, kata persepsi biasanya merujuk pada sensasi pisik. Namun beberapa filosof awal sering memahami istilah ini dalam arti yang lebih luas, sebagaimana yang didasarkan pada makna dasar dari bahasa Latin percipio. Demikian juga, para filosof Muslim pun membicarakan masalah persepsi – dengan menggunakan istilah bahasa Arab idrak – dalam pengertian yang lebih luas. Bagi mereka, persepsi berarti pemahaman dan pencapaian pengetahuan dengan berbagai cara, mulai dari pemahaman terhadap binatang sampai pada pengetahuan tentang Tuhan, dalam berbagai tingkatan yang berbeda-beda, dari sensasi pisik sampai penampakan akal.
Di dalam filsafat Mulla Sadra, konsep persepsi memegang peranan yang sangat penting di dalam menjelaskan sifat-sifat wujud dan menganalisis tujuan hidup manusia. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa filsafat Mulla Sadra cenderung sebagai “psikologi” dari sudut pandang filsafat pra-modern. Dengan kata lain, Sadra mencoba untuk menyediakan suatu pandangan yang menyeluruh terhadap hakikat manusia beserta seluruh cabang-cabangnya dan memberikan pemetaan jalan bagi diri manusia untuk dapat mencapai puncak tertinggi dari semua kemungkinannya, yakni kemungkinan yang berakar pada kemampuannya untuk memahami segala sesuatu. [1]) Secara sederhana, teleologi adalah suatu ajaran filosofis-religius yang mencari tujuan-tujuan, atau untuk mengenal sebab-sebab akhir, bahwa segala sesuatu itu mempunyai sebab dan sekaligus tujuan akhirnya. Secara etimologi, teleologi berasal dari bahasa Yunani: telos yang berarti tujuan atau akhir, dan logos yang berarti doktrin atau wacana. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, hal. 1085 – 1087.
William C. Chittick, State University of New York, USA

PENGANTAR EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN

Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia.

Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi.

Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah suatu ilmu yang dikategorikan sebagai disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad sebelumnya, khususnya di barat, epistemologi diposisikan sebagai salah satu disiplin ilmu. Dalam filsafat Islam permasalahan epistemologi tidak dibahas secara tersendiri, akan tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat jiwa. Pengindraan, persepsi, dan ilmu merupakan bagian pembahasan tentang makrifat jiwa. Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang akal, objek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi. Namun belakangan ini, di Islam, epistemologi menjadi suatu bidang disiplin baru ilmu yang mengkaji sejauh mana pengetahuan dan makrifat manusia sesuai dengan hakikat, objek luar, dan realitas eksternal. 

Latar belakang hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir melihat bahwa panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain, para pemikir sendiri berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal.
Dengan alasan itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga filosof Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini masih digunakan. Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir yang berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650) dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan oleh John Locke di Inggris.


Pengertian Epistemologi
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
•         Hakikat itu ada dan nyata;
•         Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
•         Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
•         Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.  

Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah manusia?Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk melihat benda-benda yang jauh.

Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan mencerap objek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi. Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.

Pokok Bahasan Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
1.    Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
•         Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
•         Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
•         Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
•         Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
•         Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
•         Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
•         Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan.
•         Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
•         Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
•         Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.

2.    Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.

Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlîdan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.


Metode Epistemologi    
Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.

Hubungan Epistemologi dengan Ilmu-Ilmu Lain
a.       Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran. Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang diragukan.

b.      Hubungan epistemologi dengan Filsafat. Pengertian umum filsafat adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum tentang eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan mukadimah bagi filsafat.

c.       Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir. Ilmu kalam (teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan argumentasi demi mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi, epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.

Urgensi Epistemologi 
Jika kita perhatikan definisi epistemologi dan hubungannya dengan ilmu-ilmu lainnya, maka jelaslah mengenai urgensi kajian epistemologi, terkhusus lagi apabila kita menyimak ruang pemikiran dan budaya yang ada serta kritikan, keraguan, dan persoalan inti yang dimunculkan seputar keyakinan agama dan dasar-dasar etika, fiqih, penafsiran, dan hak-hak asasi manusia dimana sentral dari semua pembahasan tersebut berpijak pada epistemologi.

Hubungan epistemologi dengan persoalan politik adalah hal yang juga tak bisa disangkal dan saling terkait. Plato berkata pada penguasa Yunani ketika itu, “Anda tidak layak memerintah, karena Anda bukan seorang hakim (filosof).” Dan juga berkaitan dengan pemerintahan Islam bisa dikatakan bahwa karena manusia tak bisa memahami hakikat dirinya sendiri sebagaimana yang semestinya, maka penetapan hukum hanya berada ditangan Tuhan, dan para ulama yang adil adalah wakil Tuhan yang memiliki hak memerintah. Pada sisi lain, sebagian beranggapan bahwa makrifat agama adalah bukan bagian dari ilmu, dan untuk memerintah mesti dibutuhkan ilmu politik dan pemerintahan, sementara kaum ulama tersebut tak menguasainya, dengan demikian, mereka tidak berhak memerintah.

Pembahasan seperti tersebut di atas membuktikan kepada kita pentingnya pengkajian epistemologi dan konklusi-konklusinya, dan dari aspek lain, begitu banyak ayat al-Quran berkaitan dengan argumentasi akal, memotivasi manusia untuk menggapai ilmu dan makrifat, dan menolak segala bentuk keraguan. Semua kenyataan ini berarti bahwa pencapaian keyakinan dan kebenaran adalah sangat mungkin dengan perantaraan akal dan argumentasi rasional, dan jika ada orang yang ragu atas realitas ini, maka minimalnya iaharus menerimanya untuk menjawab segala bentuk kritikan.

Perbedaan hakiki manusia dan hewan terletak pada potensi akal-pikiran. Rahasia kemanusiaan manusia adalah bahwa ia mesti menjadi maujud yang berakal dan mengaplikasikan kekuatan akal dalam semua segmen kehidupannya serta seluruh kehendak dan iradahnya terwujud melalui pancaran petunjuk akal. Hal ini berarti bahwa jika akal dan rasionalitasnya dipisahkan dari kehidupannya, maka yang tertinggal hanyalah sifat kehewannya, dengan demikian, segala dinamika hidupnya berasal dari kecenderungan hewaninya.

Manusia ialah maujud yang berakal dan seluruh aktivitasnya dinapasi oleh akal dan pengetahuan, maka dari itu, suatu rangkaian persoalan yang prinsipil menjadi terkonstruksi dengan tujuan untuk mencarikan solusi atas segala permasalahan yang timbul berkaitan dengan pengetahuan dan akal manusia, dimana hal itu merupakan pembatas substansial antara iadengan hewan.Yang pasti, jawaban atas segala persoalan mendasar niscaya dengan upaya-upaya rasional dan filosofis, karena ilmu-ilmu alam dan matematika tidak mampu memberikan solusi komprehensif dan universal atasnya. Karena telah jelas urgensi upaya rasional untuk kehidupan hakiki manusia, maka persoalan yang kemudian muncul ialah apakah akal manusia mampu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut? Jika nilai dan validitas pengenalan akal belum ditegaskan, maka tidaklah berguna pengakuan akal dalam mengajukan solusi atas segala permasalahan yang dihadapi manusia, dan keraguan akan senantiasa bersama manusia bahwa apakah akal telah memberikan solusi yang benar atas perkara-perkara tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah inti pembahasan epistemologi. Dengan begitu, sebelum melangkah ke arah upaya-upaya rasional dan filosofis, langkah pertama yang mesti diambil adalah membedah persoalan-persoalan epistemologi.

Dengan ungkapan lain, apabila kita merujuk kepada daftar isi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan, misalnya persoalan tentang keberadaan realitas eksternal dan kemungkinan terjalinnya hubungan manusia dengan realitas eksternal itu, maka akan menjadi jelas bagi kita bahwa epistemologi merupakan pemberi validitas dan nilai kepada seluruh pemikiran filsafat dan penemuan ilmiah manusia sedemikian sehingga kalau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ilmu dan pengetahuan tersebut belumlah menjadi jelas, maka tak satu pun pemikiran filsafat manusia dan penemuan ilmiah yang akan bernilai, karena semua aliran filsafat dan ilmu mengaku telah berhasil mengungkap hakikat alam, manusia, dan rahasia fenomena eksistensial lainnya.

Berkenaan dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip ungkapan seorang pemikir dan filosof Islam kontemporer asal Iran , Murthada Muthahhari , ia berkata “Pada era ini kita menyaksikan keberadaan aliran-aliran filsafat sosial dan ideologi yang berbeda dimana masing-masingnya mengusulkan suatu jalan dan solusi hidup. Aliran-aliran ini memiliki sandaran pemikiran yang bersaing satu sama lain untuk merebut pengaruh. Muncul suatu pertanyaan, mengapa aliran-aliran dan ideologi-ideologi tersebut memiliki perbedaan? Jawabannya, penyebab lahirnya perbedaan-perbedaan tersebut terletak pada perbedaan pandangan dunianya (word view) masing-masing. Hal ini karena, semua ideologi berpijak pada pandangan dunia dan setiap pandangan dunia tertentu akan menghadirkan ideologi dan aliran sosial tertentu pula. Ideologi menentukan apa yang mesti dilakukan oleh manusia dan mengajukan bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi menyatakan kepada kita bagaimana hidup semestinya. Mengapa ideologi mengarahkan kita? Karena pandangan dunia menegaskan suatu hukum yang mesti diterapkan pada masyarakat dan sekaligus menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat. Apa yang ditentukan oleh pandangan dunia, itu pula yang akan diikuti oleh ideologi. Ideologi seperti filsafat praktis, sedangkan pandangan dunia menempati filsafat teoritis. Filsafat praktis bergantung kepada filsafat teoritis. Mengapa suatu ideologi berpijak pada materialisme dan ideologi lainnya bersandar pada teisme? Perbedaan pandangan dunia tersebut pada hakikatnya bersumber dari perbedaan dasar-dasar pengenalan, pengetahuan, dan epistemologi.

Epistemologi pada Zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme. Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime nampak pada pemikiran Immanuel Kant.

Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq), atau hushûlî danhudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.

1. Sejarah Epistemologi dalam Filsafat Barat
Apabila kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat, maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang penting dalam epistemologi.

Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah satu bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah Renaissance dan Descartes mengalami suatu perubahan baru.

2. Epistemologi di Zaman Yunani Kuno            
Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolok ukur hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan dan bahkan terkadang menipu.

Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme.

Kaum Sophis ialah kelompok pertama yang menolak definisi ilmu yang bermakna kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahir.

Pythagoras berkata, “Manusia merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.

Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.

Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.
Democritus beranggapan bahwa indra lahir itu tidak akan pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan segala sifat sesuatu iabagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari penetapan pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan ukuran. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para filosof dan sumber lahirnya berbagai pembahasan.

Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, ia kemudian melontarkan gagasan tentangmutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).

Pengetahuan hakiki dalam pandangan Plato ialah keyakinan benar yang bisa diargumentasikan, dimana pengetahuan jenis ini terkait dengan hal-hal yang konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah bersifat prasangka, hipotesa, dan perkiraan belaka. Begitu pula, definisi plato tentang pengetahuan dan makrifat lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa panca indra lahir itu tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan itu bersumber dari kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran atas perkara-perkara indriawi.

Aristoteles, murid Plato, lebih menekankan penjelasan ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya daripada menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Iayakin bahwa setiap ilmu berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam ilmu-ilmu lain, akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada kaidah yang sangat gamblang yang tak lagi membutuhkan pembuktian rasional. Dalam hal ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah pertama yang sangat gamblang yang diketahui secara fitrah. Ia menetapkan penggambaran universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Iamenyusun ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara benar dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang (badihi), dengan demikian, pencapaian hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak mustahil.

Kelompok Rawaqiyun yang yakin pada pengalaman agama dan indra lahir, menolak pandangan tentang konsepsi universal pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul Plato tersebut. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini bentuk intuisi batin (asy-syuhud) itu sebagai tolok ukur kebenaran, juga meyakini penalaran rasionalitas.
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.

Kaum Skeptis beranggapan bahwa kesalahan indra lahir dan akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian lain memandang kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum Sophis adalah bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama kaum Skeptis. Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua Masehi yang dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di abad kedua).

Walhasil, epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian dibahas dalam bentuk yang berbeda dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan, jawaban, dan solusinya hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis serta terlontarnya pembahasan seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu, dan tolok ukur kesesuaian dengan realitas eksternal.

3. Epistemologi pada Abad Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)  
Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran. Plotinus, penggagas maktab neo platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam epistemologi.

Ia membagi tiga tingkatan persepsi (cognition): 1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2. Pengertian (understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat ‘kesatuan dalam kejamakan’ dan ‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa lewat proses berpikir. Dan tingkatan di atas akal adalah intuisi (asy-syuhud).

Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu iamemandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah, tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.

Dalam pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu terhadap jiwa tidak bisa diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah “Saya ragu, oleh karena itu, saya ada“.

4. Gagasan Tentang Universalia
Salah satu pembahasan inti di abad pertengahan ialah kajian tentang universal dan sumber kehadirannya, yakni apakah universal itu adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep abstraksi akal yang bersifat universal yang sebagaimana diyakini oleh Aristoteles. Apakah “universal” itu secara mendasar tidak memiliki wujud luar. Apakah “universal” itu hanya sebatas suatu konsep. Apakah “universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa individu-individu eksternal. Apakah wujud “universal” itu sendiri sama dengan wujud “partikular” yang keberadaannya bukan hanya di alam pikiran, bahkan juga berada di alam eksternal yang sebagaimana maujud-maujud hakiki yang lain?

Sebagai contoh “manusia universal”. Apakah “manusia universal” di sini hanyalah sebuah konsep universal yang ada di alam pikiran semata, ataukah “manusia universal” itu sendiri memiliki realitas eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi) yang hanya bisa disaksikan secara intuitif dan syuhudi, ataukah “manusia universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada lebih dari satu objek individual?.

Upaya-upaya pemikiran di abad pertengahan itu tak lain ialah untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dalam hal ini, ada tiga perspektif dan aliran pemikiran: 1. Realisme (universalitas itu memiliki wujud eksternal atau mutsul Plato), 2. Idealisme (universal itu hanya terdapat dalam alam pikiran atau gagasan Aristoteles), 3. Nominalisme (menetapkan kata-kata umum yang mewakili individu-individu eksternal).

Boethius (470-525 M) ialah orang pertama yang beranggapan bahwa universal itu hanyalah kata semata, walaupun iaberupaya menyelesaikan persoalan universal itu lewat gagasan Aristoteles.

Roscelin (1050-1120 M) berkeyakinan bahwa yang hanya ada di alam eksternal adalah partikular, sementara universal itu tidaklah memiliki wujud hakiki dan hanya bersifat  kata-kata semata.

Peter Abelard (1079-1142 M) memandang bahwa universal itu terdapat di alam pikiran dan konsep-konsep universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang diambil dari maujud-maujud luar dengan memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata lain, universal itu merupakan konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran yang menceritakan tentang realitas-realitas hakiki dan eksternal.

Segala kaidah filsafat dan ilmu berpijak pada penerimaan atas konsep-konsep universal, yakni jika seseorang beranggapan bahwa universalitas itu hanyalah sebuah kata semata dan menolak konsep universal itu, maka tidak satu pun kaidah yang iabisa diterima, karena semua proposisi universal akan menjadi proposisi partikular yang hanya terkait dengan individu tertentu saja, dengan demikian, segala proposisi universal yang merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah tidak memiliki individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh filsafat dan hukum-hukumnya tak bermanfaat. Dengan alasan ini, pembahasan “universalitas” memiliki urgensi.

Roger Bacon (1214-1294 M) ialah orang yang berpijak pada empirisme dan positivisme. Ia memandang bahwa alat pengetahuan adalah teks suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi matematik yang karena berkaitan langsung dengan experiman bisa diterima.

Thomas Aquinas (1225-1274 M) yakin bahwa rasionalitas dan pemikiran itu sangat bergantung pada pengindraan lahiriah, yakni pertama-tama indra lahir kita berhubungan dengan alam luar, kemudian akan terbentuk konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan membentuk konsep-konsep universal. Perlu diketahui bahwa iabanyak bersentuhan dengan pemikiran filsafat Islam.

William of Ockam (1287-1347 M) adalah seorang yang dikenal sebagai pengingkar konsep-konsep universal. Namun, sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia secara mutlak mengingkari dan menolaknya, karena ia menafsirkan “universal” itu sebagai “penghubung” antara pikiran dan objek-objek luar, dan terkadang ia juga menyebut “penghubung” itu sebagai “konsep-konsep”.



4. Ke Islam-an
AYAT-AYAT ALQURAN TENTANG KEILMUAN

QS. AL-ISRAA’ (17) : 70

70.  Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.
[862]  Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.

QS. AN-NAHL (16) : 78

78.  Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

QS. AL-A’RAAF (7) : 179

179.  Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.

QS. SHAAD (38) : 29

29.  Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.

QS. AN-NAHL (16) : 89

89.  (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

QS. AL-IMRAN (3) : 138

138.  (Al Quran) Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

QS. AL-ALAQ (96) : 1-5

1.  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.  Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.  Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4.  Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],
5.  Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
[1589]  Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.

QS. FUSHILAT (41) : 53

53.  Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

QS. AL-AHZAB (33) : 62

62.  Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang Telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.

QS. AL-JAATSYIAH (45) : 13

13.  Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.

QS. AL-AN’AM (6) : 73

73.  Dan dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. dan benarlah perkataan-Nya di waktu dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. dan dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

QS. AN-NAHL (16) : 10-16

10.  Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.
11.  Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.
12.  Dan dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya),
13.  Dan dia (menundukkan pula) apa yang dia ciptakan untuk kamu di bumi Ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.
14.  Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
15.  Dan dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk,
16.  Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk.

QS. AL-AN’AM (6) : 162

162.  Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

QS. AR-RAHMAN (55) : 1-4

1.  (Tuhan) yang Maha pemurah,
2.  Yang Telah mengajarkan Al Quran.
3.  Dia menciptakan manusia.
4.  Mengajarnya pandai berbicara.

QS. ASH-SHAFF (61) : 11-12

11.  (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.
12.  Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar.

QS. YUSUF (12) : 53

53.  Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.

QS. AL-AN’AM (6) : 56

56.  Katakanlah: "Sesungguhnya Aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah". Katakanlah: "Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah Aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) Aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk".

QS. AR-RUUM (30) : 29

29.  Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang Telah disesatkan Allah? dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.


Ayat Ayat Tentang Tauhid

QS. AL-IKHLAS (112) : 1

1.  Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.

QS. AL-HASYR (59) : 22-24

22.  Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
23.  Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
24.  Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

QS. AR-RUUM (30) : 30

30.  Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
[1168]  fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.

QS. AL FAJR (89) : 27-30

27.  Hai jiwa yang tenang.
28.  Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
29.  Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
30.  Masuklah ke dalam syurga-Ku.

QS. AL-BAYYINAH (98) : 3

3.  Di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus[1594].
[1594]  yang dimaksud dengan isi kitab-kitab yang lurus ialah isi kitab-kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi seperti Taurat, Zabur, dan Injil yang murni.

QS. AL-HIJR (15) : 9

9.  Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya[793].
[793]  ayat Ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.

QS. IBRAHIM (14) : 1

1.  Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.

QS. AL-BAQARAH (2) : 256

256.  Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
[162]  Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.

QS. AL-AZHAB (33) : 21

21.  Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

QS. AL-HASYR (59) : 7

7.  Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

QS. QAAF (50) : 38

38.  Dan Sesungguhnya Telah kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan.

QS. AL-MULK (67) : 3-4

3.  Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
4.  Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.

QS. AL-IMRAN (3) : 83

83.  Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.

QS. AR-RUUM (30) : 41

41.  Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

QS. YAASIIN (36) : 38-39

38.  Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
39.  Dan Telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (Setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua[1267].
[1267]  Maksudnya: bulan-bulan itu pada Awal bulan, kecil berbentuk sabit, Kemudian sesudah menempati manzilah-manzilah, dia menjadi purnama, Kemudian pada manzilah terakhir kelihatan seperti tandan kering yang melengkung.

QS. AL-FAATHIR (35) : 43-44
43.  Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan Karena rencana (mereka) yang jahat. rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang Telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu[1261]. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.
44.  Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu adalah lebih besar kekuatannya dari mereka? dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
[1261]  yang dimaksud dengan sunnah orang-orang yang terdahulu ialah Turunnya siksa kepada orang-orang yang mendustakan rasul.


Sejarah Aliran Qalam dalam Islam

Ilmu kalam di ajarkan oleh 25 nabi yang mana dari nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW untuk meyakinkan bahwa yang menjadikan alam atau pencipta alam semesta ini adalah Allah SWI. Demikian pula pada zaman sesudah nabi yaitu zaman Khulafaurrasyidin hingga sekarang, ilmu kalam di ajarkan kepada umat islam, tetapi dalam perkembangan ilmu kalam mengalami pengembangan seiring pemikiran ilmu kalam yang semakin beraneka ragam. Kejadian ini terjadi setelah zaman Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar serta Umar bin Khattab. Dan dalam hal ini yang akan penulis paparkan adalah mengenai sejarah faktor timbulnya aliran kalam dalam islam yang mana seperti di ketahui bahwa Nabi SAW pernah mengatakan bahwa umat islam kelak akan terbagi menjadi 73 golongan.



Sejarah Timbulnya Aliran Islam Dalam Islam
Pada masa Nabi SAW, dan para Khulafaurrasyidin, umat islam bersatu, mereka satu akidah, satu syariah dan satu akhlaqul karimah, kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat diatasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Awal mula adanya perselisihan di picu oleh Abdullah bin Saba’ (seorang yahudi) pada pemerintahan khalifah Utsman bin Affan dan berlanjut pada masa khalifah Ali. Dan awal mula adanya gejala timbulnya aliran-aliran adalah sejak kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah ke-3 setelah wafatnya Rasulullah). Pada masa itu di latar belakangi oleh kepentingan kelompok, yang mengarah terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abi Thalib, pada masa itu perpecahan di tubuh umat islam terus berlanjut. Umat islam pada masa itu ada yang pro terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang menamakan dirinya kelompok syi’ah, dan yang kontra yang menamakan dirinya kelompok Khawarij. Akhirnya perpecahan memuncak kemudian terjadilah perang jamal yaitu perang antara Ali dengan Aisyah dan perang Siffin yaitu perang antara Ali dengan mu’awiyah. Bermula dari itulah akhirnya timbul berbagai aliran di kalangan umat islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah, akhirnya jumlah aliran di kalangan umat islam menjadi banyak, seperti aliran syi’ah, khawarij, murji’ah, jabariyah, mu’tazilah dll.



Faktor-faktor Timbulnya Aliran Kalam Dalam Islam.
Faktor yang menyebabkan timbulnya aliran kalam dalam islam dapat di kelompokan menjadi 2 bagian yaitu:
1. Faktor internal
Yaitu faktor yang muncul dari dalam umat islam sendiri yang dikarenakan:
Adanya pemahaman dalam islam yang berbeda. Perbedaan ini terdapat dalam hal pemahaman ayat Al-Qur’an, sehingga berbeda dalam menafsirkan pula. Mufasir satu menemukan penafsiranya berdasarkan hadist yang shahih, sementara mufasir yang lain penafsiranya belum menemukan hadist yang shahih. Bahkan ada yang mengeluarkan pendapatnya sendiri atau hanya mengandalkan rasional belaka tanpa merujuk kepada hadist.
Adanya pemahaman ayat Al-Qur’an yang berbeda. Para pemimpin aliran pada waktu itu dalam mengambil dalil Al-Qur’an beristinbat menurut pemahaman masing-masing
Adanya penyerapan tentang hadis yang berbeda. Penyerapan hadist berbeda, ketika para sahabat menerima berita dari para perawinya dari aspek “matan” ada yang disebut hadist riwayah (asli dari Rasul) dan diroyah (redaksinya disusun oleh para sahabat), ada pula yang di pengaruhi oleh hadist (isra’iliyah), yaitu: hadist yang disusun oleh orang-orang yahudi dalam rangka mengacaukan islam.
Adanya kepentingan kelompok atau golongan. Kepentingan kelompok pada umumnya mendominasi sebab timbulnya suatu aliran, sangat jelas, dimana syiah sangat berlebihan dalam mencintai dan memuji Ali bin Abi Thalib, sedangkan khawarij sebagai kelompok yang sebaliknya.
Mengedepankan akal.Dalam hal ini, akal di gunakan setiap keterkaitan dengan kalam sehingga terkesan berlebihan dalam penggunaan akal, seperti aliran Mu’tazilah.
Adanya kepentingan politik. Kepentingan ini bermula ketika ada kekacauan politik pada zaman Ustman bin Affan yang menyebabkan wafatnya beliau, kepentingan ini bertujuan sebagai sumber kekuasaan untuk menata kehidupan.
Adanya beda dalam kebudayaan. Orang islam masih mewarisi yang di lakukan oleh bangsa quraish di masa jahiliyah. Seperti menghalalkan kawin kontrak yang hal itu sebenarnya sudah di larang sejak zaman Rasulullah. Kemudian muncul lagi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib oleh aliran Syi’ah.



2.Faktor eksternal
Faktor ini muncul dari luar umat islam, yaitu :
Akibat adanya pengaruh dari luar islam. Pengaruh ini terjadi ketika munculnya aliran syi’ah yang muncul karena propaganda seseorang yahudi yang mengaku islam, yaitu Abdullah bin Saba.
Akibat terjemahan filsafat yunani. Buku-buku karya filosofi yunani di samping banyak membawa manfaat juga ada sisi negatifnya bila di tangan kalangan yang tidak punya pondasi yang kuat tentang akidah dan syariat islam. Sehingga terdapat keinginan oleh umat islam untuk membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi islam.
--------------------------

DAFTAR PUSTAKA
Husein, Ahmad. Gerakan Ingkarusunnah Dan Jawabanya, Jakarta, Media Da’wah, 1990.
Raji Abdullah, M. Sufyan. Lc, Mengenal Aliran-Aliran Dalam Islam Dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta, Pustaka Al-Riyadl, 2006.
Abdullah Mu’in, M. Thalib. Aliran Islam Pada Masa Khalifah, Yogyakarta, Widjaya, 1978.
A. Nasir, Sahilun. Pengantar Ilmu Tauhid, Rajawali, Jakarta, 1991.
Al Qardhawy, Yusuf. Fiqhul Ikhtilaf, Jakarta, Robani Press, 1990


Sejarah Islam pada Masa Bani Umayyah

Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut, dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang diangkat oleh Allah. Khalifah besar Bani Umayyah ini adalah :
- Muawiyah Ibn Abi Sufyan (661M-680M)
- Abd Al-Malik Ibn Marwar (685M-705M)
- Al-Walid Ibn Abd Malik (705M-715M)
- Umar Ibn Abd Al-Aziz (717M-720M)
- Hasyim Ibn Abd Al-Malik (724M-743M)

Sistem Politik Dan Perluasan Wilayah
Dijaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai kesungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibu Kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd Al-Malik, dia menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Mayoritas penduduk dikawasan ini kaum Paganis. Pasukan islam menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41H / 661M. pada tahun 43H / 663M mereka mampu menaklukkan Salistan dan menaklukkan sebagian wilayah Thakaristan pada tahun 45H / 665M. Mereka sampai kewilayah Quhistan pada tahun 44H / 664M. Abdullah Bin Ziyad tiba dipegunungan Bukhari. Pada tahun 44H / 664M para tentaranya datang ke India dan dapat menguasai Balukhistan,Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maitan.

Ekspansi kebarat secara besar-besaran dilanjutkan dijaman Al-Walid Ibn Abd Abdul Malik (705M-714M). Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat islam merasa hidup bahagia, tidak ada pemberontakan dimasa pemerintahanya. Dia memulai kekuasaannya dengan membangun Masjid Jami’ di Damaskus. Masjid Jami’ ini dibangun dengan sebuah arsitektur yang indah, dia juga membangun Kubbatu Sharkah dan memperluas masjid Nabawi, disamping itu juga melakukan pembangunan fisik dalam skala besar.

Pada masa pemerintahannya terjadi penaklukan yang demikian luas, penaklukan ini dimulai dari Afrika utara menuju wilayah barat daya, benua eropa yaitu pada tahun 711M. Setelah Al Jazair dan Maroko dapat ditaklukkan, Tariq Bin Ziyad pemimpin pasukan islam dengan pasukannya menyebrangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan Benua Eropa dan mendarat disuatu tempat yang sekarang dikenal nama Bibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan, dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi.

Selanjutnya Ibu Kota Spanyol Kordova dengan cepatnya dapat dikuasai, menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Sevi’e, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan islam memperoleh dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Pada masa inilah pemerintah islam mencapai wilayah yang demikian luas dalam rentang sejarahnya, dia wafat pada tahun 96H / 714M dan memerintah selama 10 tahun.


Dijaman Umar Ibn Ab Al-Aziz masa pemerintahannya diwarnai dengan banyak Reformasi dan perbaikan. Dia banyak menghidupkan dan memperbaiki tanah-tanah yang tidak produktif, menggali sumur-sumur baru dan membangun masjid-masjid. Dia mendistribusikan sedekah dan zakat dengan cara yang benar hingga kemiskinan tidak ada lagi dijamannya. Dimasa pemerintahannya tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat ataupun sedekah. Berkat ketaqwa’an dan kesalehannya, dia dianggap sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin. Penaklukan dimasa pemerintahannya pasukan islam melakukan penyerangan ke Prancis dengan melewati pegunungan Baranese mereka sampai ke wilayah Septomania dan Profanes, lalu melakukan pengepungan Toulan sebuah wilayah di Prancis. Namun kaum muslimin tidak berhasil mencapai kemenangan yang berarti di Prancis. sangat sedikit terjadi perang dimasa pemerintahan Umar. Dakwah islam marak dengan menggunakan nasehat yang penuh hikmah sehingga banyak orang masuk islam, masa pemerintahan Umar Bin Abd Aziz terhitung pendek.

Dijaman Hasyim Ibn Abd Al-Malik (724-743M) pemerintahannya dikenal dengan adanya perbaikan-perbaikan dan menjadikan tanah-tanah produktif. Dia membangun kota Rasyafah dan membereskan tata administrasi. Hasyim dikenal sangat jeli dalam berbagai perkara dan pertumpahan darah. Namun dia dikenal sangat kikir dan pelit. Penaklukan dimasa pemerintahannya yang dipimpin oleh Abdur Rahman Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers, dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam peperangan yang terjadi diluar kota Tours, Al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Prancis pada tahun 114H / 732M. peristiwa penyerangan ini merupakan peristiwa yang sangat membahayakan Eropa.

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik ditimur maupun barat. Wilayah kekuasaan islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan Purkmenia, Ulbek, dan Kilgis di Asia Tengah.

Khususnya dibidang Tashri, kemajuan yang diperoleh sedikit sekali, sebab kurangnya dukungan serta bantuan pemerintah (kerajaan) waktu itu. Baru setelah masa khalifah Umar Bin Abd Al-Aziz kemajuan dibidang Tashri mulai meningkat, beliau berusaha mempertahankan perkembangan hadits yang hampir mengecewakan, karena para penghafal hadits sudah meninggal sehingga Umar Bin Abd Al-Aziz berusaha untuk membukukan Hadits.

Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan Ibn Ali ketika dia naik tahta yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.

Sistem Ekonomi
Bidang-bidang ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:
Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan sector pertanian, beliau telah memperkenalkan system pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian
Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraftangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.

Sistem Peradilan Dan Pengembangan Peradaban
Meskipun sering kali terjadi pergolakan dan pergumulan politik pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, namun terdapat juga usaha positif yang dilakukan daulah ini untuk kesejahteraan rakyatnya. Diantara usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayyah dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh system pemerintahan dan menata administrasi, antara lain organisasi keuangan. Organisasi ini bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan untuk:
Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.
Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.
Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang
Perlengkapan perang.

Disamping usaha tersebut daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.

Disamping itu, kekuasaan islam pada masa Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pengembangan peradaban seperti pembangunan di berbagai bidang, seperti:
Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda dengan peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata.
Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The Dame Of The Rock” (Gubah As-Sakharah).
Pembuatan mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan keseluruh penjuru negeri islam.
Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa, sehingga kapal perang waktu itu berjumlah 1700 buah.

Pada masa Umayyah, (Khalifah Abd Al-Malik) juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.

Kemajuan Sistem Militer
Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam system militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan perpaduan system pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.

Secara garis besar formasi kekuatan tentara Bani Umayyah terdiri dari pasukan berkuda, pasukan pejalan kaki dan angkatan laut.

Sistem Pergantian Kepala Negara Dan Keruntuhan Umayyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:
Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru (bid’ah) bagi tradisi Islam yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Abdullah bin Saba’al-Yahudi) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, para Ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.



SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI DUNIA

Islam dimulai dengan ajaran Muhammad saw., di tempat kelahirannya Mekkah; sifat-sifat yang menjadi ciri agama baru ini dikembangkan setelah beliau pindah ke Madinah dalam tahun 622 M. Sebelumnya beliau wafat sepuluh tahun kemudian, telah jelaslah sudah bahwa Islam bukannya semata-mata merupakan suatu badan kepercayaan agama pribadi, akan tetapi Islam meliputi pembinaan suatu masyarakat merdeka, dengan sistem sendiri tentang pemerintahan, hukum, dan Lembaga Generasi Muslimin pertama, telah menginsafi bahwa Hijrah adalah satu titik perubahan penting dalam sejarah. Merekalah yang menetapkan tahun 622 M sebagai permulaan takwin Islam baru.

Dengan pemerintah yang kuat, cerdas, dan satu kepercayaan yang menggelorakan semangat penganut-penganut dan tentara-tentara dalam waktu yang tidak lama, masyarakat baru ini menguasai seluruh Arabia Barat dan mencari dunia baru untuk ditundukkan.

Setelah sedikit kemunduran pada wafat Muhammad saw., gelombang penaklukan bergerak dengan cepat di Arabia bagian Utara dan Timur, berani menyerang kubu-kubu pertahanan di perbatasan kerajaan Romawi Timur di Syirq al-Ardun dan kerajaan Persia di Irak. Selatan. Angkatan-angkatan perang kedua kerajaan raksasa ini –karena perang tidak henti-hentinya– telah kehabisan kekuatan, dikalahkan satu-persatu dalam suatu rangkaian operasi cepat dan cemerlang. Dalam waktu enam tahun sesudah Muhammad saw. wafat, seluruh Siria dan Irak diharuskan membayar upeti kepada Madinah, dan empat tahun kemudian Mesir digabungkan pada kerajaan Islam baru.

Kemenangan-kemenangan yang mengagumkan tadi, mendahului kemenangan yang lebih besar lagi akan membawa orang Arab dalam waktu kurang dari satu abad ke Maroko, Spanyol, Perancis, pintu-pintu kota Konstantinopel, jauh ke Asia Tengah sampai ke Sungai Indus, membuktikan sifat Islam sebagai suatu kepercayaan kuat, insaf akan harga diri, dan jaya. Sifat ini mengakibatkan pendirian yang tidak kenal menyerah dan memusuhi segala yang ada diluarnya, tetapi menunjukkan toleransi, kesabaran hati yang luas dalam pelbagai masyarakat, keseganan menuntut orang dari golongan lain, dan kebesaran hati mereka dalam waktu kegelapan.

Pada tahun 660 M. ibu kota Kerajaan Arab dipindahkan ke Damsyik, tempat kedudukan baru Khalifah Bani Umayah. Sedangkan Madinah tetap merupakan pusat pelajaran agama Islam; pemerintah dan kehidupan umum kerajaan dipengaruhi oleh adat-istiadat Yunani Rumawi Timur. Tingkat pertama saling pengaruh-mempengaruhi dengan peradaban yang lebih tua ini tidak hanya dilambangkan dengan dua buah monumen, yang indah sekali dari zaman Bani Umayahh ialah Mesjid Raya di Damsyik dan Mesjid Al-Aqsa di Darusalam, akan tetapi kemunculan tiba-tiba cara aliran-aliran baru dan pendapat yang berlawanan dengan paham resmi di “propinsi-propinsi baru.” Akibat paling akhir dari pertumbuhan demikian ialah perpecahan antara lembaga-lembaga agama dan duniawi dalam masyarakat Islam. Pembelahan ini merusakkan azas duniawi Bani Umayah, dan ditambah dengan rasa ketidakpuasan para warga negara bukan Arab, dan pecah perang saudara diantara suku, Arab, menyebabkan jatuhnya tahun 750 M.

Dalam pada itu, perselisihan tadi menjelaskan bahwa dalam abad yang lampau sejak wafat Muhammad saw. kebudayaan agama Islam telah mengalami perkembangan dan konsolidasi yang luar biasa, baik, di dalam maupun di luar Arabia. Seorang guru agama di satu pihak menunjukkan perkembangan kebatinan pada tingkat tertinggi. Ia menyatakan inti sari yang penting dan menghidupkan itu dengan kepribadiannya dan keyakinannya sehingga tampak pada penganutnya sebagai wahyu kebenaran baru..

Itulah sumbangan asasi yang menentukan dari orang Arab terhadap kebudayaan Islam baru. Terhadap peradaban materiil sokongan mereka sedikit. Kemajuan materiil baru mulai; dengan cemerlang setelah Bani Abbas menggantikan Bani Umayah sebagai khalifah, dan mendirikan ibu kotanya yang baru di Baghdad dalam tahun 762 M. Masa pertama dari penaklukan wilayah luar Arabia telah lampau, disusul oleh masa perluasan ke dalam. Abad kesembilan dan kesepuluh Masehi menyaksikan puncak kemajuan peradaban Islam yang luas dan usaha-usaha yang berhasil. Kerajinan, perdagangan, kesenian bangunan, dan beberapa kesenian yang kurang penting, berkembang dengan subur waktu Persia, Mesopotamia, Siria, dan Mesir, memberikan sokongan mereka dalam usaha serentak.

Kegiatan-kegiatan baru ini menumbuhkan kehidupan intelektual. Sedang ilmu pengetahuan agama berkembang pada beberapa pusat baru terbesar dari Samarqand sampai ke Afrika Utara dan Spanyol, kesusasteraan dan pikiran dengan menggunakan sumber-sumber Yunani, Persia, dan juga India, melebar ke jurusan baru, seringkali bebas dari tradisi Islam dan banyak sedikitnya memberontak terhadap kepicikan dan kesempatan sistem kuno. Dengan dorongan perluasan kaki langit alamiah, kecerdasan pikiran, keduniawian, dan kerohanian, saling pengaruh mempengaruhi dengan hebatnya.

Sukarlah untuk menyatakan dengan singkat usaha-usaha bidang intelektual yang bermacam-macam dalam zaman tersebut. “Ilmu pengetahuan Islam” yang lain seperti sejarah dan ilmu bahasa, melebar hingga meliputi sejarah duniawi dan kesusasteraan. Ilmu kedokteran dan ilmu pasti Yunani disediakan dalam perpustakaan buku-buku terjemahan dan dikembangkan oleh sarjana Persia dan Arab, khusus ilmu Aljabar, ilmu ukur segitiga, dan ilmu optik (penglihatan). Ilmu bumi –barangkali yang boleh diumpamakan barometer kebudayaan yang paling cermat– berkembang pada seluruh cabangnya, di bidang politik, organik, matematik, astronomik, ilmu alam, dan pesiar, meluas demikian jauh hingga meliputi negara-negara dan peradaban bangsa yang jauh letak kediamannya.
Ilmu pengetahuan baru tersebut, boleh dikatakan hanya mengenai jumbai-jumbai, pinggiran kebudayaan agama, pemasukan ilmu mantik, dan filsafat Yunani, mau tidak mau menumbuhkan perselisihan paham yang tajam dan pahit. Pertikaian ini memuncak dalam abad ketiga. Para pemimpin Islam melihat dasar-dasar kerohanian dibahayakan oleh keingkaran halus dan cerdik paham rasionalisme murni. Walaupun mereka akhirnya mengalahkan pelajaran yang berpengaruh Yunani, ilmu filsafat selalu tetap harus dicurigai dalam pandangan para alim ulama, biarpun ilmu tadi hanya dipelajari sebagai alat perbantahan dan pembahasan. Lebih berbahaya ialah akibat kemenangan yaitu pertumbuhan dalam kalangan ahli agama, semacam perasaan iri hati terhadap usaha para intelektual yang bercorak murni keduniawian ataupun yang memberanikan diri ke luar dari bidang pengawasan mereka.

Selain keutamaan segi intelektual dan fungsi dalam pelajaran, syariat ialah alat yang paling luas pengaruhnya dan paling tepat membentuk ketertiban sosial dan kehidupan masyarakat bagi bangsa-bangsa Islam. Oleh karena lengkapnya, maka syariat memberi tekanan yang tidak hentinya pada segala kegiatan pribadi dan sosial, dan mewujudkan suatu ukuran-baku yang harus dianut lebih lama, meskipun ada rintangan kebiasaan kuno dan adat-istiadat yang telah berlaku lama. Khusus suku nomad dan suku yang diam di pegunungan, berlawanan. Tambahan pula, syariat memberikan pernyataan praktis dalam memperjuangkan persatuan yang menjadi ciri Islam. Hukum tadi dalam segala pokok yang penting adalah seragam, walaupun pelbagai mazhab berbeda dalam beberapa pasal kecil. Pertumbuhan ini disebabkan karena cita-cita sosial dan cara hidup di seluruh dunia Islam dalam abad pertengahan menuju arah yang sama. Syariat lebih dalam mempengaruhi kehidupan hukum Rumawi; karena memiliki landasan agama dan ancaman hukuman Tuhan, maka syariat adalah pengatur rohani merupakan suara hati umat Islam dalam semua segi dan kegiatan kehidupannya.

Tugas hukum syariat ini bertambah besar artinya waktu kehidupan politik dunia Islam lebih lama menyimpang dari keinginan Muhammad saw. dan pengganti-pengganti beliau yaitu pemerintahan berdasarkan ketuhanan. Keruntuhan khalifah Bani Abbas dalam abad kesembilan dan kesepuluh Masehi membuka pintu tidak hanya bagi kehancuran politik, tetapi juga bagi perebutan kekuasaan kerajaan oleh pangeran-pangeran setempat dan gubernur militer, terbit dan tenggelamnya kerajaan-kerajaan yang berumur pendek, dan berkobarlah perang saudara. Bagaimanapun hebatnya kekuatan politik dan militer kerajaan Islam itu telah dilemahkan, gengsi moral hukum syariat lebih dijunjung dan dapat mengutuhkan serta mengukuhkan bentuk sosial Islam sepanjang pasang surut nasib politik Islam.

Pada akhir, abad kesepuluh Masehi, daerah Islam sedikit lebih luas dibandingkan pada tahun 750. Semenjak diciptakan suatu peradaban besar, memuncak kehidupan intelektual, kaya dan cerdas dalam bidang ekonomi, dipersatukan dengan kukuh oleh syariat yang dihormati; seluruhnya merupakan penjelmaan kekuasaan Islam rohani dan duniawi. Waktu kekuatan militernya berkurang, maka sebagaimana juga. terjadi dengan kerajaan Rumawi enam abad sebelumnya, kerajaan Islam berangsur-angsur dikuasai oleh bangsa-bangsa biadab dari luar perbatasannya; dan juga seperti kerajaan Rumawi, mengenakan pada bangsa biadab tadi agamanya, hukumnya, dan penghormatan terhadap peradabannya.

Bangsa-bangsa biadab itu ialah Turki yang berasal dari Asia Tengah. Tekanan ke arah Barat membawa orang Bulgar, Magiar, Kumari, Pecineg ke Rusia Selatan dan Eropa Timur, mendatangkan suku-suku lain ke Iran dan lebih ke Barat, ke Irak, dan Anatolia. Pekerjaan pengislaman telah dilakukan, waktu mereka masih diam di tempat asalnya di Asia Tengah; oleh karena itu, kerajaan Sultan Turki yang didirikan di Asia Barat mula-mula hanya membawakan sedikit perubahan yang tampak ke luar dalam kehidupan rumah tangga umat Islam. Akibat pertama adalah perluasan militer; ke arah Tenggara menuju India Utara, ke arah Barat Laut menuju Asia Kecil. Pada waktu yang sama, jauh di sebelah Barat, suku Berber nomad telah membawa Islam, ke tepi dunia Afrika Negro di daerah lembah Senegal dan Niger sedang buku-buku Arab nomad yang tidak diawasi lagi oleh kekuasaan khalifah yang terdahulu telah merusakkan dan melengahkan pusat peradaban yang telah didirikan oleh bangsanya sendiri sebelum di atas puing runtuhan Afrika Romawi dan Bizantium.

Mulai abad kesebelas Masehi, ilmu Sufi mengerahkan kebaktian sebagian besar kegiatan kerohanian umat Islam, dan mendirikan suatu sumber pembaharuan kepribadian yang sanggup mempertahankan tenaga kebatinan selama abad-abad sesudahnya penuh dengan kemerosotan politik dan perekonomian.

Para ahli Sufi, baik sebagai penyiar perseorangan maupun (di kemudian hari) sebagai anggota dalam gabungan tarekat merupakan pemimpin dalam tugas mengislamkan orang penyembah berhala, yang tidak beragama, dan suku yang hanya tipis sekali pengislamannya. Penyebaran agama berhasil ialah terbanyak oleh kawan sebangsa sendiri dari suku-suku tersebut yang biasanya kikuk, buta huruf, dan kasar. Merekalah yang meletakkan dasar-dasar yang memungkinkan generasi kemudian menerima keadaban hukum syariat dan tauhid yang lebih halus. Berkat pekerjaan mereka, maka dalam abad-abad berikutnya, batas-batas daerah Islam dapat diperluas di Afrika, India, dan Indonesia, melintangi Asia Tengah ke Turkestan dan Tiongkok, dan di beberapa bagian Eropa Tenggara

Perkembangan yang digambarkan di muka tadi dipercepat oleh malapetaka yang berturut-turut terjadi di Asia Barat dalam abad ketiga belas dan keempat belas. Penyerbuan pertama kaum Mongol penyembah berhala, membumihanguskan propinsi-propinsi bagian Timur Laut antara 1220 dan 1225 M. Gelombang kedua yang menduduki Persia dan Irak menamatkan khalifah Baghdad yang bersejarah dalam 1258 M, dan memaksakan seluruh dunia Islam Timur, terkecuali Mesir, Arabia, dan Siria, membayar upeti kepada kerajaan Mongol yang besar. Sisa-sisanya diselamatkan oleh golongan militer terdiri dari “budak belian” Turki dan Kipcak, kaum Mamluk, yang telah merebut kekuasaan politik di Mesir.

Di bawah pemerintahan Mamluk, peradaban Islam yang lama langsung berkembang lebih kurang dua setengah abad dalam bidang kesenian benda (istimewa dalam lapangan seni bangunan dan seni-kerajinan logam), tetapi disertai kemunduran daya kerohanian dan intelek.

Pada waktu yang sama, di daerah-daerah kekuasaan Mongol hidup kembali suatu peradaban Islam Persia yang cemerlang pada beberapa segi. Terutama dalam seni bina dan kesenian halus, termasuk seni lukis dalam bentuk yang sangat kecil (miniatur); kebudayaan tersebut berakar dalam kerohanian Sufi. Meskipun kedatangan dua kali “Maut Hitam” dan mengalami serbuan Timur Lenk dalam abad keempat belas yang menghancurleburkan Persia, namun kebudayaan Persia mampu memberikan ragam kepada kehidupan intelektual dari kerajaan-kerajaan Islam baru, –yang dilahirkan pada kedua sisinya– di Anatolia, Balkan, dan India.

Perluasan kerajaan Dinasti Osman di Asia dan Afrika Utara serta pembentukan kerajaan Mughal di India dalam abad keenam belas membawa sebagian besar dunia Islam kebawah pengawasan pemerintahan negara keduniawian yang kuat, memusatkan kekuasaannya yang besar. Ciri khas kedua kerajaan tadi ialah menitikberatkan pada pandangan ahli sunah waljamaah dan hukum syariat. Urusan agama dan urusan ketatanegaraan tidak dipersatukan karena kebijaksanaan militer dan sipil disusun menurut garis tidak Islam yang bebas, tetapi dapat saling menyokong akibat suatu persetujuan yang berlangsung hingga abad kesembilan belas.

Diantara dua saluran kehidupan agama Islam tersebut, saluran Sufilah yang lebih lebar dan dalam. Abad ketujuh belas dan permulaan abad kedelapan belas menyaksikan puncak tertinggi tarekat Sufi. Tarekat-tarekat besar menyebarkan suatu jalinan perhimpunan-perhimpunan dari mula hingga akhir dunia Islam, sedang perkumpulan-perkumpulan setempat dan cabang-cabangnya menggabungkan anggota pelbagai golongan dan kejuruan jadi umat yang bersatu padu. Selain itu, kebudayaan Islam dalam dua kerajaan tersebut yang hanya hidup atas warisan zaman silam, dapat memelihara, akan tetapi jarang dapat menambah kekayaan warisan intelektual tersebut. Tokoh-tokohnya berpendapat bahwa kewajibannya pertama ialah bukan hanya memperluas, akan tetapi memelihara, menyatukan, dan menyesuaikan kehidupan sosial atas sendi-sendi nilai Islam. Dalam batas-batas tersebut kadar persatuan yang telah mereka capai, dan ketertiban sosial yang dapat dilangsungkan memang menarik perhatian.

Persatuan itu merupakan suatu kekecualian yang menyolok mata. Dalam permulaan abad keenam belas, suatu kerajaan baru yang disokong oleh suku Turki dan Adzerbaijan menaklukan Persia dan menghidupkan kembali Syiah yang telah mengalami kemunduran, dan meresmikan Syiah sebagai agama resmi Persia. Selama peperangan dengan Dinasti Osman, orang Turki dari Asia Tengah, dan orang Mughal, yang semuanya ahli sunah waljamaah, Syiah dijadikan ciri perasaan nasional Persia. Akibat perpecahan antara Persia dan tetangganya penting buat semuanya. Umat Islam selanjutnya dipecah menjadi dua golongan yang terpisah, dan hubungan kebudayaan antara dua golongan tadi, sejak itu meskipun tidak diputuskan seluruhnya hanya dapat dilakukan serba sedikit saja. Persia terpaksa terpencil dalam urusan politik dan agamanya mencukupi kebutuhannya sendiri, yang akhirnya memiskinkan kehidupan rohani dan budaya mereka. Lebih-lebih pula waktu kekuatan politiknya mundur, orang suku Afghan dalam abad kedelapan belas melepaskan hubungan dan mendirikan suatu negara sunah merdeka.

Di Afrika Barat Daya adanya perasaan kesukuan diantara kedua pihak, orang Arab dan Berber, menukarkan kegiatan kebudayaan. Aliran ortodoks dan tarekat Sufi, keduanya dipengaruhi pemujaan orang-orang suci, wali yang masih hidup setempat (”marabout”). Di Tunisia dan di beberapa kota lain, sebagian warisan kebudayaan Spanyol Arab tetap dilanjutkan, bahkan waktu Tunisia dan Aljazair merupakan wilayah bajak laut, setengah jajahan kerajaan Dinasti Osman. Di Maroko di bawah sultan-sultan (yang dapat menyelamatkan kedaulatannya hingga 1912), bahkan di Sahara Barat di bawah kepala suku-suku yang lebih kecil, pelajaran ahli sunah yang lazim dilanjutkan, dan diperkuat oleh pengaruh yang datang dari daerah Timur.

Di kepulauan Melayu sendiri, Islam telah beroleh tumpuan di Sumatera dan Jawa, oleh pedagang-pedagang dalam abad ketiga belas dan keempat belas. Agama Islam lambat laun membiak, sebagian hasil tindakan panglima militer, tetapi lebih cepat dengan jalan perembesan damai, khusus di Jawa. Dari Sumatera, Islam dibawa oleh para perantau ke Semenanjung Malaya; juga dari Pulau Jawa ke Maluku. Sejak itu agama tersebut mendapat kedudukan yang lebih kuat di seluruh kepulauan di bagian Timur hingga ke Pulau Sulu, Mindanao, dan Filipina.

Penyebaran Islam di Tiongkok hingga kini masih terselubung dalam kegelapan. Kelompok muslimin dalam jumlah agak besar, yang pertama menetap di sana –barangkali dalam zaman kerajaan Mongol– dalam abad ketiga belas dan keempat belas. Jumlahnya bertambah besar di bawah pemerintah Mancu, biarpun ada perasaan permusuhan setempat karena pemberontakan (kadang-kadang hebat) yang dilakukan oleh kaum muslimin. Tetapi, hingga kini tidak mungkin menaksirkan jumlahnya.

Hasil bersih dari perluasan selama tiga belas abad ialah Islam sekarang merupakan agama yang terutama dalam lingkungan daerah luas yang meliputi Afrika Utara, Asia Barat, hingga bukit Pamir, kemudian ke Timur meliputi Asia Tengah hingga

Tiongkok, dan ke Selatan ke Pakistan. Di India hanya tinggal sepersepuluh penduduk yang beragama Islam. Di Semenanjung Malaya, Islam unggul lagi melewati Indonesia hingga berakhir di Filipina. Di pantai Barat Lautan India, Islam memanjang ke selatan sebagai lajur yang sempit dari pantai Afrika hingga Zanzibar dan Tanganyika dengan beberapa kelompok hingga masuk ke Uni Afrika Selatan. Di Eropa, kelompok-kelompok muslimin terdapat di sebagian besar negara Balkan dan Rusia Selatan. Di Amerika Utara dan Amerika Selatan, Islam diwakili oleh kelompok imigran dari Timur Tengah.

Semua agama besar di dunia, maka Islam –sebelumnya perluasan kegiatan misi Kristen dalam abad kesembilan belas– meliputi jumlah bangsa yang terbanyak. Asal mulanya di tengah-tengah orang Arab dan bangsa Semit lain, kemudian Islam berkembang diantara orang Iran, Kaukasus, orang kulit putih Laut Tengah, Slavia, Turki, Tartar, Tionghoa, India, Indonesia, Bantu, dan Negro dari Afrika Barat. Jumlah terbesar sekarang ialah muslimin dari Pakistan dan India sebanyak 100.000.000.

Disusul oleh orang Melayu dan Indonesia sebanyak 70.000.000. Orang Arab dan bangsa-bangsa yang berbahasa Arab menyusul dekat dengan 20.000.000. Muslimin di Asia Barat, 24.000.000, Afghanistan kira-kira 12.000.000, dan Turki (walaupun Islam bukan agama resmi, masih tetap merupakan agama rakyat) 20.000.000. Jumlah masyarakat Islam di daerah Asia, Uni Sovyet, di Turkestan Tiongkok, dan di Tiongkok sendiri sukar ditaksir, tetapi jumlahnya sekurang-kurangnya 30.000.000. Jumlah muslimin di Afrika Negro dan Afrika Timur hanya dapat ditaksir dengan kasar 24.000.000. Akhirnya, kaum muslimin di Balkan dan di Rusia Selatan berjumlah kurang lebih 3.000.000. Oleh karena itu, Islam dapat menuntut memiliki penganut 350.000.000, atau kira-kira sepertujuh dari taksiran seluruh jumlah penduduk dunia

Islam di Amerika Serikat Tiap Hari Bertambah Satu Mualaf
”Alhamdulillah kondisi umat Islam di Amerika Serikat baik-baik saja. Umat Islam terus bertambah banyak di Amerika Serikat, baik sebelum maupun sebelum peristiwa 11 September,” kata Mohammad Kudaimi, angota Nawawi Fondation, sebuah lembaga pendidikan yang berbasis di Chicago, Amerika Serikat. Ia bertutur kepada Republika di sela-sela kunjungannya ke Pesantren Khusus Yatim As-Syafi’iyah, Jatiwaringin Bekasi, Jawa Barat, awal bulan ini.

Pria keturunan Syria yang sudah menetap di AS selama lebih dari 25 tahun itu kini menjadi warga negara AS. Lima tahun belakangan ini, ia aktif di yayasan itu. Mengutip sebuah koran yang terbit di AS, ia menyebut Islam merupakan agama yang paling cepat perkembangannya di Amerika Serikat. bahkan, ia sedikit meralat redaksional tulisan itu. ”Mestinya juga ditambahkan, setiap harinya di AS, selalu ada warga negara Amerika yang memeluk Islam,” ujarnya.

Apa yang diungkapkannya, kata dia, adalah fakta sesungguhnya yang terjadi di AS. Lembaganya turut membantu para mualaf mengikrarkan syahadat dan membantu mereka memahami Islam dengan lebih baik. Bagi Kudaimi, sulit untuk memahami fenomena kontradiktif ini.


MENGAPA KITA BERAGAMA ?
 
Ust. Husein Al-Kaff
"Dasar pertama agama (din) adalah mengenal-Nya."
Perkataan di atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat banyak orang yang beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik. Padahal, mengenai agama seharusnya berada pada tahapan awal sebelum mengamalkan ajarannya. Tetapi secara realita, keberagamaan sebagian besar dari mereka tidak sebagaimana mestinya. Nah, dalam kesempatan ini kami akan memberikan penjelasan tentang mengapa kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama. Sehingga kita beragama atas dasar bashirah (pengetahuan, pengertian, dan bukti).

Allah Ta’ala berfirman : "Katakanlah (wahai Muhammad). Inilah jalan-Ku. Aku mengajak kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang nyata)" (QS Yusuf, 12 : 108).
Namun sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kami terlebih dulu membicarakan tentang din itu sendiri.

Apa itu Din ?
Din berasal dari bahasa Arab dan dalam Alquran disebutkan sebanyak 92 kali. Menurut arti bahasa (etimologi), din diartikan sebagai balasan dan ketaatan. Dalam arti balasan, Alquran menyebutkan kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4, Maliki Yaumiddin (Dialah Pemilik (Raja) Hari Pembalasan)." Demikian pula dalam sebuah hadis, din diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah Saww bersabda : "Ad-diinu nashiihah (agama adalah ketaatan)." Sedangkan menurut terminologi teologi, dindiartikan sebagai : "sekumpulan keyakinan, hukum, norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun akhirat."

Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi : (1) keyakinan (akidah); (2) hukum (syariat); dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lain lain saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat.  Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, maka dia pasti berbahagia.

Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar kepada Allah dan Hari Akhirat.

Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan syariat merupakan representasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya. Karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.

Sedangkan akhlak adalah tuntunan akal budi (aqal amali) yang mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang belum bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak, la diina liman la akhlaqa lahu. Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak daripada syariat.

Dari ketiga dimensi din tersebut, akidah menduduki posisi yang paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian bahwa yang menentukan seseorang itu mutadayyinatau tidak adalah akidahnya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (ateis) adalah akidahnya. Lebih khusus lagi, bahwa akidahlah yang menjadikan orang itu disebut Muslim, Kristiani, Yahudi atau yang lainnya.

Mengapa Kita Beragama ?
Marilah kita kembali pada pertanyaan semula : "mengapa kita beragama ?"

Manusia adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibanding makhluk-makhluk lainnya, termasuk malaikat. Karena, manusia dicipta dari unsur yang berbeda, yaitu unsur hewani/materi dan unsur ruhani/immateri. Memang dari unsur hewani manusia tidak lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak di antara binatang yang lebih kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah ada binatang yang memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia ? Bukankah ada pula binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari penciuman manusia ? Dan sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki selain manusia.

Sehubungan ini Allah Swt berfirman : "Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah" (QS An-Nisa, 4 : 28); "Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua." (QS Rum : 54). Masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan hal serupa.

Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan penampilan fisiknya, di samping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya (semata-mata penberian dari Allah, bukan hasil usahanya).

Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah satu ayat Alquran ditegaskan : "Sungguh telah Kami muliakan anak-anak, Kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta Kami anugerahi mereka rezeki.     Dan sungguh Kami utamakan mereka di atas kebanyakan makhluk Kami lainnya." (QS Al-Isra, 17 : 70) Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bilquwwah) yang perlu difaktualkan (bilfi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendirinya. Karenanya, dia berhak bangga atas yang lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang, bahkan lebih hina dari binatang (QS Al-A’raf, 7 : 170; Al-Furqan : 42).

Termasuk ke dalam unsur ruhan adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Din adalah bagian dari fitrah manusia.

Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia yaitu mencari kebenaran (hakikat), condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (berkreasi), dan cinta (isyq) atau menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Ja’far Subhani, terdapat empat macam kecenderungan pada manusia, dengan tanpa memasukkan kecenderungan berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari (kitab Al-Ilahiyyat, juz 1).

Kecenderungan beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk cenderung beragama , dalam arti manusia mencintai kesempurnaan yang mutlak dan hakiki serta ingin menyembah Pemilik kesempurnaan tersebut. Syeik Taqi Mishbah Yazdi, dalam kitab Ma’arif al-Qur’an juz 1 hal. 37, menyebutkan adanya dua ciri fitrah, bik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut diperoleh tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada dirinya untuk menyebut suara dan panggilan hatinya, bahwa ada Sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam sekitarnya.

Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan siapa atua apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah, melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia. Allah Ta’ala berfirman, "Maka hadapkanlah wajahmu kepada din dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan." (QS. Rum: 30).

Sekilas Teori-teori Kemunculan Agama
Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan agama, antara lain:
1.     Agama muncul karena kebodohan manusia
Sebagian mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena kebodohan manusia. August Comte—peletak dasar aliran     positivisme—menyebutkan, bahwa perkembangan pemikiran manusia dimulai dari kebodohan manusia tentang rahasia alam atau ekosistem jagat raya. Pada mulanya—periode primitif—karena manusia tidak mengetahui rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena alam kepada Dzat yang ghaib.

Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai pada batas segala sesuatu terkuat dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan terhadap yang ghaib tidak lagi mempunyai tempat di tengah-tengah mereka. Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh ia dari agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka makin kuat agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama, seperti Albert Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya, alangkah banyak orang bodoh yang tidak beragama.

2.    Agama muncul karena kelemahan jiwa (takut)
Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan takut terhadap Tuhan dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani keyakinan seperti itu tidak akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut teori ini agama adalah indikasi dari rasa takut. Memang takut kepada Tuhan dan hari akhirat, merupakan ciri orang yang beragama. Tetapi agama muncul bukan karena faktor ini, sebab seseorang merasa takut kepada Tuhan setelah ia meyakini adanya Tuhan. Jadi,takut merupakan akibat dari meyakini adanya Tuhan (baca: beragama).

3.    Agama adalah produk penguasa
Karl Marx—bapak aliran komunis-sosialis—mengatakan, bahwa agama merupakan produk para penguasa yang diberlakukan atas rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak dan menerima keberadaan sosial-ekonomi. Mereka (rakyat tertindas) diharapkan terhibur dengan doktrin-doktrin agama, seperti harus sabar, menerima takdir, jangan marah dan lainnya.

Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat sosial yang tidak mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak ada lagi (perbedaan antara) penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada lagi (perbedaan antara) si kaya dan si miskin, maka agama dengan sendirinya akan hilang. Kenyataannya, teori di atas gagal. Terbukti bahwa negara komunis-sosialis sebesar Uni Soviet pun tidak berhasil menghapus agama dari para pemeluknya, sekalipun dengan cara kekerasan.

4.    Agama adalah produk orang-orang lemah
Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini mengatakan, bahwa agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk membatasi kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti kedermawanan, belas kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan oleh orang-orang lemah untuk menipu orang-orang kuat, sehingga mereka terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya. Teori ini diperoleh Nietzche, seorang filsuf Jerman.

Teori di atas terbantahkan jika kita lihat kenyataan sejarah, bahwa tidak sedikit dari pembawa agama adalah para penguasa dan orang kuat—misalnya Nabi Daud dan Nabi Sulaiman—keduanya adalah raja yang kuat.

Sebenarnya, mereka ingin menghapus agama dan menggantikannya dengan sesuatu yang mereka anggap lebih sempurna (seperti, ilmu pengetahuan menurut August Comte, kekuasaan dan kekuatan menurut Nietszche, komunis-sosialisme menurut Karl     Marx dan lainnya). Padahal mencintai dan menyembah kesempurnaan adalah fitrah. Perbedaan kaum agamawan dengan mereka, adalah bahwa kaum agamawan mendapatkan kesempurnaan yang mutlak hanya pada Tuhan. Jadi, sebenarnya mereka (kaum Atheis) beragama dengan pikiran mereka sendiri. Atau dengan kata lain, mereka mempertuhankan diri mereka sendiri.



5. Ke HMI-an
Reeksistensi HMI ; Transformasi Kepemimpinan dalam Penguatan Peran Kelembagaan Tingkat Regional
2. Transformasi Kepemimpinan dalam suatu organisasi merupakan sebuah langkah taktis guna menjaga ritme eksistensi organisasi HMI karena ini adalah metodologi modern dalam kepemimpinan yang sangatlah demokratis karena gaya kepemimpinan yang berupaya mentransformasikan nilai-nilai yang dianut oleh bawahan dan regenerasi kader untuk mendukung visi dan tujuan organisasi. Melalui transformasi nilai-nilai tersebut, dapat meciptakan hubungan baik antar anggota organisasi dapat dibangun sehingga muncul iklim saling percaya diantara anggota organisasi. sebagai organisasi yang besar, HMI haruslah melakukan tranformasi nilai kepada kadernya sehingga dalam kepemimpinan transformatif dapat teraktualkan  dengan baik hingga regenerasi dapat menjadikan kiblat kepemimpinan dalam transformasi kepemimpinan nantinya. Hal ini merupakan sebuah kenisyaaan dalam organisasi, karena jika langkah estafet kepengurusan HMI tidak menjadikan kepemimpinan transformatif sebagai acuan, maka regenerasi akan terjadi status quo.[1]
3. Memahami kompleksitas dalam kepemimpinan, sehingga dalam penguatan kelembagaan di tingkat regional haruslah berjalan secara transformatif guna menjaga ritme organisasi. hal ini sangatlah urgen karena mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu organisasi.[2] tranformasi kepemimpinan akan bersinergi dalam tubuh internal yang bersifat regenerasi, keberhasilan maupun kegagalan organisasi dapat ditinjau dalam berbagai aspek seperti; (1) memahami visi dan misi organisasi, (2) memahami lingkungan organisasi melalui analisis lingkungan strategis (swot), (3) merumuskan rencana strategis organisasi; (4) menginternalisasikan visi, misi, kondisi lingkungan strategis, dan rencana startegis pada seluruh anggota organisasi,(5) mengendalikan rencana strategis melalui manajemen pengawasan yang tepat.[3]
4.
5. Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis menganggap Visi ; Penguatan nilai kekaderan dalam tata kelola organisasi merupakan representatif kegalauan kader-kader dan KAHMI yang memiliki hasrat kuat untuk melihat reeksistensi HMI yang mampu mengawal perjalanan bangsa dari masa ke masa. Dan Misi; (1) Pengawalan perkaderan ditingkat cabang melalui badan pengelola latihan, (2) Kemandirian organisasi melalui lembaga kekaryaan, (3) Sintergitas kepemimpinan kelembagaan dalam upaya menjawab dinamika kelembagaan di tingkat regional. Penulis menganggap misi ini merupakan langkah taktis untuk melakukan penguatan kelembagaan di tingkat regional terkhusus pada ruang lingkup BADKO Sulselbar, peningkatan kualitas kader guna mampu memposisikan diri kader-kader dalam persaingan global di era kontemporer ini dan melahirkan kemandirian/melepas belenggu ketergantungan organisasi terhadap pemerintah dan lebih melekatkan diri independensi organisasi.
6.  
7. [1] Jurnal Imiah, Latihan Badan Pengelola Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jember, (Bondowoso, Hand Out Basic Training, 2009).
8. [2]  Rivai Veithzal, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, (Jakarta, PT.Rajawali Pers, 2003) Cet.II, Hlm.63.
9. [3] Mahyudin H, Kepemimpinan Masyarakat Madani, (Jakarta, Nim Press,2004) Cet.I, Hlm.93.






Kepemimpinan ; Suatu Persoalan Keteladanan Kader dan Tangguhan Organisasi
Wahai Yang Dia adalah “Dia” Yang Mutlak,
Sedangkan Daku adalah “Dia” Yang Terikat!
Wahai Yang Tidak Ada Dia Selain Dia!
- Ibn ‘Arabi –

Aku mohon dikau,
wahai tuhanku, lidah yang fasih, perkataan yang benar, pemahaman yang tepat, relung kesadaran terdalam yang unggul, kalbu yang benar-benar menerima,
akal yang memahami, pikiran yang bersinar,
kerinduan yang tak pernah mereda, ketokan yang terus-menerus [pada pintu-Mu],
dan hasrat yang membakar.

S
ejarah merawat sebilah keyakinan, manusia selalu butuh idola – Tuhan, Nabi, dan Sang Pemimpin. Mungkin karena manusia acapkali dirundung cemas dan tak mampu menghalaunya. Tapi ada tautan yang menyebabkan kultus Sang Pemimpin menjadi kasih yang eksotik. Kombinasi antara kekuasaan politik dan kata-kata yang merangkuhnya. Ketika hendak mengukuhkan kekuasaannya, “titah” Sang Pemimpin lalu jadi doktrin, doktrin jadi slogan, dan slogan meluahkan mantra.
Di sini pemimpin, dalam ungkapan Clifford Geertz, dipandang sebagai “pusat keteladanan”(exemplary center) atau dalam jubbah aristokrasi Prancis disebut noblese oblige. Status sosio-kultural lebih tinggi mengandaikan kewajiban yang lebih banyak, termasuk kewajiban dalam memberikan teladan hidup. Ini mengandaikan jika seorang pemimpin mutlak lahir dari kelas bangsawan. Namun revolusi Prancis meluruhkannya, ketika meletus dipagi genting 14 Juli 1789, pahan tersebut diubah secara radikal dalam system demokrasi yang mengusung “persamaan” setiap orang di hadapan hukum: bahwa setiap orang yang melakukan kesalahan yang sama ketika berada dalam keadaan yang sama, harus dihukum dengan hukuman yang sama, meski mereka berasal dari status sosio-kultural yang berbeda.
Dengan begitu demokrasi mengandaika adanya persamaan dalam moralitas semua orang, tetapi dalam formula negative, bahwa setiap orang dengan kebajikan yang aneka, dapat jatuh dalam kesalahan yang sama, khususnya ketika mereka menggenggam kekuasaan. Doktrin nobblese oblige digusur oleh prinsip power tends to corrupt: kecendrungan terhadap penghianatan dan kejahatan selalu melekat pada kekuasaan. Sebab kecenrungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi, mengawasi, dan mengeritik dirinya. Dalam demokrasi diandaikan bahwa kekuasaan yang lebih besar memberi kesempatan untuk kesalahan dan penyelewengan yang semkain serius.
Itu sebab pemimpin yang baik dalam system demokrasi tak sekedar pemimpin teladan, tetapi pemimpin yang tunduk pada pengawasan public: pisau hukum dan control social para warga, yang didalam konteks organisasi Pemimpin harus tunduk pada pengawasan para kader dan anggotanya. Pemimpin yang baik diandaikan bisa melakukan kesalahan, tapi ida harus siap untuk dikoreksi. Legitimasinya terbangun justru di atas moral courage; siap mengakui kesalahannya, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi akibat kesalahan tersebut, ketimbang berkelik dengan berbagai dalih dan mengelak dari kesalahan. Inilah jalan “ketangguhan sang pemimpin.
Ada kearifan yang mengalir deras dalam jantung kesadaran masyarakat Eropa, house is made of bricks, home is made of love; House dibangun dengan batu bata, home dibangun dengan cinta. Jika wujud materi bangunan sebuah rumah adalah house, maka spirit, tradisi, filosofi, ilmu, bahasa, seni, kesalehan, dan cinta yang menubuh didalamnya adalah home. Ketika rumah hanya dipahami sebagai bangunan asri nan megah, tatanan material yang apik, lantas mengabaikan semangat/etos, ruh, dan jiwa apa yang mendasari setiap nafas konstruksinya, maka sejak itu rumah telah kehilangan otentisitasnya.
HMI sebagai Organisasi, seperti halnya rumah, juga mengandaikan identitas yang otentik: wadah perjumpaan cita-cita, gagasan, mimpi, dan harapan para penghuninya. Tapi, rumah yang menyisakan sesuatu yang genting. Sebab, pencarian sungguh-sungguh terhadap otentisitas, kini tengah termangsa oleh imperium citra dan semesta imajinasi. Hal itu senafas dengan apa yang digalaukan Androno dalam the Jargon of Authenticity (1983) sebagai suasana penuh jebakan dan perangkap yang menyesatkan, karena dunia citra dan simulacrum dipenuhi oleh jargon-jargon semu, termasuk jargon keotentikan. Realitas kontemporer kita kini tengah tersedot ke dalam “lubang hitam” post-realitas: sebuah realitas palsu yang tidak lagi setia terhadap ada-otentik. Itu sebab, pembangunan rumah, dan juga organisasi: HMI, meniscayakan gerak pendulum serta menjaga keseimbangan antara “house” dan “home”.
Pada tanggal 22 November 2015 mendatang HMI akan memilih Ketua Umum PB HMI Periode 2015 – 2017. Sebagai “Rumah Besar” bagi para kader dan anggotanya, HMI pada intinya butuh pemimpin baru yang punya kesadaran kritis: bahwa dibalik hiruk-pikuknya Kongres ada persoalan besar yang harus menjadi percakapan kritis kader dan anggota se antero Indonesia, bahwa HMI adalah rumah dalam makna home yang juga sekaligus house, itulah sebab mengapa kita mesti berada dalam organisasi ini, itu dikarenakan HMI adalah home yang di dalamnya mengalir energy cinta, semangat, ruh dan jiwa perjuangan yang tiada henti untuk mencapai mission: misi suci untuk umat dan bangsa. Kesadaran kritis inilah yang mempertemukan kita sebagai teman yang lebih dari saudara.




Revitalisasi Lembaga Kekaryaan Sebagai Poros Intelektual dan Profesionalisme Kader
Terbentuknya Lembaga Kekaryaan sebagai satu dari institusi HMI terjadi pada kongres ke-7 HMI di Jakarta pada tahun 1963 dengan di putuskannya mendirikan beberapa lembaga khusus (sekarang Lembaga Kekaryaan) dengan pengurus pusatnya ditentukan berdasarkan kota yang mempunyai potensi terbesar pada jenis anaktivitas lembaga kekaryaan yang bersangkutan diantaranya, (1) Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) pusatnya di Surabaya, (2) Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) pusatnya di Bandung, (3) Lembaga Pembangunan Mahasiswa Islam (LPMI) pusatnya di Makasar, (4) Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI) pusatnya di Yogyakarta.
Dan kondisi politik tahun enam puluhan yang berorientasi massa, lembaga kekaryaan pun semakin menarik bagi anggota sebagai satu faktor berkembang pesatnya lembaga kekaryaan ditunjukkan dari adanya hasil penelitian yang menginginkan dipertegasnya status lembaga Kekaryaan, struktur organisasi dan wewenang lembaga kekaryaan dan keinginan untuk menjadi lembaga kekaryaan otonomi penuh terhadap organisasi induk HMI.
Seiring perkembangan kader secara proporsional dan profesional berdasarkan pengembangan disiplin ilmu yang digeluti, tercatat telah banyak lembaga kekaryaan yang pernah ada dan berkembang dalam mengisi dinamika intelektual di HMI. Tercatat ada Lembaga Kesehatan Mahasiswa  Islam (LKMI), Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI), Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), Lembaga pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI), Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam (LTMI), Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI), Lembaga Astronomi Mahsiswa Islam (LAMI), Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI), Lembaga Hukum Mahasiswa Islam (LHMI) dan Lembaga Penelitian Mahasiswa Islam (LEPMI).
Lembaga kekaryaan dapat dikatakan sebagai gerbong intelektual dan profesionalisme kader HMI, karena dalam lembaga kekaryaan, kader dapat mengasah intelektualitas berdasarkan disiplin ilmu yang digeluti dan lembaga kekaryaan dapat menjadi sarana metakomunikasi yang berlangsung di masyarakat indonesia, karena insan-insan yang terlibat dalam proses komunikasi sosial di negeri ini bersifat plural dan heterogen dan kebhinekaan budaya yang berkadar tinggi.[1] Lembaga kekaryaan dapat menjadi bagian vital dalam organisasi dalam rangka menopang pembangunan nasional, terutama pembinaan manusia indonesia seutuhnya, merupakan conditio sine qua non untuk mengkaji, menyelidiki, dan meneliti komunikasi di indonesia, sebagai kegiatan untuk menjawab tantangan-tantangan; gejolak ekonomi, kemelut politik, penetrasi budaya asing dan sebagainya.[2] Inilah yang menjadi dasar pemikiran sehingga mengapa lembaga kekaryaan yang berkembang dalam HMI dapat menjadi gerbong intelektual jikalau dijadikan icon intelektual kader dalam implementasi bermasyarakat. 
Dengan merevitalisasi Lembaga kekaryaan sebagai icon intelektual kader HMI dengan membawa semangat competitiveness berbasis jati diri bangsa sekiranya dapat melahirkan kader-kader yang mampu berkompetisi secara IPTEK dan menjadi poros terdepan dalam menghadapi Asean Global Impact. Sehingga PB HMI melalui kongres XXIX, kembali poros kebangkitan membawa gagasan revitalisasi lembaga kekaryaan menjadi salah satu skala prioritas sebagai bahan diskursus untuk bersama-sama melahirkan resolusi konkret dalam penguatan lembaga-lembaga kekaryaan yang belum maksimal mewarnai dinamika intelektual kader HMI. Karena dengan salah satu gagasan ideal inilah HMI mampu mereposisikan diri menjadi poros kebangkitan ditengah derasnya arus neoliberalism dan menjadi pintu gerbang intelektual dan profesionalisme kader dalam bersaing sebagai masyarakat ekonomi Asean.
 
[1] Jurnal ilmiah disampaikan pada forum sosial budaya, pusat penelitian dan pengabdian masyarakat, universitas islam nusantara, bandung, 8 februari 1985.
[2]  Onong uchjana effendy, dinamika komunikasi (Bandung, PT.Remaja Rosdakarya, 1992) Cet.II, Hlm.35.


Revitalisasi Spirit Perkaderan HMI Membangun Kompetensi Pembinaan Dalam Sistem Perkaderan
Spirit atau semangat telah dikenal sejak manusia mengenal sejarah, sebab sejarah digerakkan oleh moral manusia. Bahkan, spirit itu ada sejak manusia itu mulai terdorong mengenali gejala kehidupan baik dalam dirinya maupun di luar dirinya. Gejala dorongan itu kemudian dikenal sebagai elan vital yang mengarahkannya untuk berkembang ke banyak dimensi sejarah.
Manusia meruntun sejarahnya dengan semangat sekaligus hidup dalam sejarah itu sendiri. Akan tetapi, dasar semangat atau yang dikenal sebagai elan vital bukanlah produk sejarah, melainkan kodrat pemberian sang Khalik dalam bentuk fitrah kemanusiaan yang karena orientasinya senantiasa kepada kebenaran, kebaikan, dan keseimbangan menjadikan manusia selalu ingin menjadi bagian tak terpisahkan dalam pembentukan dan perkembangan tatanan nilai, termasuk ke arah mana tatanan nilai yang dibentuknya harus mengabdi. Demikian sesungguhnya bahwa betapa manusia selalu ingin hidup dalam suatu tingkat nilai yang bermartabat. Sebab, manakala cara hidup yang berkembang telah menyalahi dasar nilai dalam diri manusia maka akan mengakibatkan ketidakseimbangan yang pada gilirannya akan menjatuhkan martabat (harga diri) manusia.
Secara teoritis, dalam kesinambungan itu manusia menata sejarah secara inkulturasi atau dalam arti menanamkan nilai-nilai kultur (budaya) di antara tiap mata rantai generasi. Di sini, manusia menyimpan harapan yang besar agar nilai-nilai itu melembaga dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dalam perkembangan kesejarahan, untuk merawat harapan itu maka hadirlah suatu bentuk khas dari spirit sejarah yakni pendidikan. Sisi ini lambat laun menghadirkan istilah Perkaderan yang dikenal kemudian setelah istilah Kader dikenalkan oleh partai politik tertentu yang dengannya mencerminkan kesetiaan dan loyalitas kader terhadap partai.
Demikian pentingnya makna kader dan perkaderan ini kemudian telah menjadi parameter (indikator) berkenaan dengan tingkat perkembangan kualitas kehidupan institusi sosial tertentu, khususnya institusi sosial yang bersifat non-negara. Artinya, jika terjadi ketidakseimbangan dalam suasana kehidupan suatu institusi maka secara serta-merta dianggap perlu untuk melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan atau pembinaan dan perkaderan. Sebutlah, contoh kasus suatu institusi yang kelihatan tampak stagnan atau seolah diam di tempat atau mengalami involusi gerakan maka segera pilihan evaluasi akan lebih tertuju pada perlunya menghadirkan daya dorong yang jelas dan terukur terhadap semangat institusi itu. Daya dorong inilah yang dikenal sebagai elan vital atau singkat kata dipandang penting melakukan revitalisasi di tingkat dasar institusi itu.
Adalah hal yang lumrah sebuah institusi sosial dalam tahap-tahap perkembangan sejarahnya tak jarang mengalami stagnasi ataupun involusi yang bisa jadi akibat kejenuhan. Dalam situasi seperti inilah dibutuhkan daya dorong yang berbentuk revitalisasi. Dan tidak sulit untuk disepakati bahwa bidang mendasar dan terpenting untuk mengalami sentuhan demikian tak lain adalah basis-basis pembinaan dan pendidikan atau perkaderan.  
HMI tanpa kecuali pada tataran perkaderan perlu mengalami sentuhan dan perlakuan khusus untuk keluar dari situasi setidaknya dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir. Kini, komunitas kader HMI merasakan besarnya bias kemerosotan atau secara lebih ekstrem telah menjauh dari kodrat dasar kebangunan dan sendi kebangkitannya sebagai organisasi kader berwatak perubahan, cerdik-cendekia dan sarat intelektualisme. Sejumlah ekses telah ditimbulkan akibat kemerosotan ini. Sebutlah, cakrawala pemikiran intelektual yang meredup, rasio antara kelayakan usia memimpin HMI, jenjang perkaderan dengan kematangan tidak lagi berbanding lurus, kepiawaian dan kharisma aktivisme serta ketokohan yang tak lagi menonjol dalam pergulatan dunia kemahasiswaan justru berbanding lurus dengan sikap dan prilaku pragmatisme, termasuk kebiasaan buruk hedonisme. Begitu pula, sikap dan prilaku tak sadar konteks dan sulitnya hadap diri telah merebak di antara jejalin hubungan politis yang tercipta sehingga tak jarang menimbulkan sikap menghalalkan segala cara demi kepentingan pragmatis. Celakanya, mode berpikir pragmatis bias terjadinya penumpukan kader hanya pada ruang politik formal HMI sebagai akibat buntunya distribusi kader. Semua ini menyimpulkan tak lagi ada alasan yang tepat menunda perlunya revitalisasi.
Akan halnya dengan hal-hal di atas, istilah kader maupun perkaderan dalam lingkungan HMI sejauh telah diuraikan secara jelas dalam pola dasar perkaderan yang selanjutnya dikenal sebagai sistem perkaderan HMI. Sistem perkaderan HMI sebagaimana sistem perkaderan pada umumnya merupakan suatu kompleks manajemen yang terdiri dari sejumlah bagian saling terkait dan berproses serta saling berinteraksi yang mengarah pada pencapaian 5 (lima) kualitas insan cita HMI, yakni insan akademik, pencipta, pengabdi, bernafas Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur diridhoi Allah SWT. 5 (lima) kualitas ini dikenali amat konsisten sebagai mission sacre HMI sebagaimana terumus dalam tujuan HMI.
Sebagaimana tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berorientasi pada perpaduan kemajuan material dan spiritual, demikian hal itu juga secara implisit terkandung dalam tujuan HMI. Oleh karena itu, sesungguhnya penjabaran tujuan HMI ke dalam kerangka realitas tak lain merupakan manifestasi nafas kakaderan HMI yang tidak saja bermakna dalam konteks sebagai kader bangsa, tapi lebih jauh juga sebagai kader ummat yang sadar akan tanggung jawab sosial, moral dan intelektual di tengah lapisan terbesar penganut agama di negeri ini.  
Secara filosofis-teleologis, baik tujuan HMI maupun tujuan  pembangunan manusia Indonesia tidak akan pernah terwujud di panggung sejarah HMI maupun negara-bangsa Indonesia. Sebab, formulasi kata dan makna suatu tujuan tidak terletak di antara derak evolusi sejarah, melainkan terletak di alam cita-cita yang bersifat ideal atau sempurna. Karena itu, keliru pulalah jika suatu tujuan demikian diagungkan tanpa dibarengi dengan suatu kerangka kerja dalam realitas.
Berdasarkan sistematika pendekatan pemahaman tentang tujuan di atas, maka amat tepat kiranya jika sistem perkaderan HMI dipahami dan ditempatkan sebagaimana layaknya sebagai kerangka kerja secara manajemen dan bersifat fungsional. Dengan demikian, hal ini akan mengindikasikan bahwa 5 (lima) kualitas insan cita HMI merupakan pentahapan penataan mental ideologi atau moral serta mental sosial dan intelektual dalam mewujudkan kerja-kerja kemanusiaan dan kemasyarakatan menuju penciptaan kader bangsa sekaligus kader ummat.
Dalam konteks ini, tidaklah keliru jika teologi kekaderan HMI mendasarkan pada usaha tanpa henti guna membentuk kader seperti dipahami dalam personifikasi kualitasinsan kamil atau insan paripurna yang gerak sosialnya selalu konsen secara horizontal, sedangkan gerak kesadarannya senantiasa berovolusi secara vertikal. Demikian, horizontal dan vertikal sebagai 2 (dua) pola kecenderungan sikap kejuangan ‘semoga’ menjadikan kader HMI selalu terjaga dalam kerja-kerja yang bersifat ikhlas.
Sebagaimana pula sistem pada umumnya yang mengenal reproduksi dan kontinyuitas, perkaderan HMI sebagai sebuah sistem pun demikian adanya. Bermula dari meletakkan dasar tatanan yang integratif di tingkat LK I (kader materil) untuk menunjang perencanaan LK II (kader potensil) yang berorientasi setting alokasi kader di tengah dinamika perkembangan lingkungan strategis 5 (lima) hingga 10 (sepuluh) tahun ke depan. Hal ini selanjutnya menandai kesiapan kedar HMI selain menggerakkan roda organisasi di semua jenjang eksisitensi sebagai bentuk kontinyuitasnya, ini pun sekaligus mereproduksikan kader itu sendiri dalam memenuhi segmen sosial, khususnya untuk jenjang LK III (kader efektif) yang berguna selain untuk kepentingan ritme sosial-politik makro HMI (sebagai Pengurus Badko atau pun PB HMI) juga untuk memenuhi segmen strategis kehidupan bangsa.
Sesuai perkiraan dan jangkauan di atas maka secara akademik, mental dan kompetensi kader HMI dibentuk dan diboboti dengan azas-azas pandangan tentang kehidupan secara konprehensif dengan menyajikan sistem pengetahuan yang secara kategoris terdiri dari tataran ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Artinya, dari sudut keilmuan dan tingkat intelektualisme kader HMI dapat bergerak berkembang secara merdeka dan dinamis sesuai proporsi, kebutuhan serta kapasitasnya masing-masing.  Begitu pula sebaliknya bahwa baik untuk mengisi lapisan kader dan atau menambah kapasitas itu maka sebagai organisasi kader, badan formal HMI selalu harus siap dengan kontinyuitas perkaderan sekaligus mereproduksikan berbagai unsur dalam perkaderan itu sendiri, utamanya nilai-nilai pandangan dunia (world view) dan nilai seputar sosiologi perkembangan lingkungan serta dinamika ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Ideologisasi Nilai Kekaderan Dalam Tantangan dan Perubahan

Dalam konteks penjelasan sebelumnya, perubahan yang diketengahkan bagi perkaderan HMI berpangkal pada proyek rekayasa global yang mempengaruhi kultur masyarakat saat ini. Berbagai hal telah muncul sebagai implikasi dari kemenangan kapitalisme atas sosialisme yang tidak terduga sebelumnya, tetapi pada sisi lain dunia semakin terbuka untuk melakukan transaksi dan pertukaran potensi serta komunitas atas dasar pasar bebas. Secara geografi politik, HMI lahir dan berkembang sebagai bagian dari Negara-bangsa yang terletak di dunia timur, tentu terancam ‘rugi’ oleh kedua situasi tersebut, bahkan jika keliru menafsirkan, HMI pun menjadi korban. 

Jika dalam hembusan globalisasi manusia hidup tanpa standarisasi nilai kehidupan atas diri, tanpa orientasi kerja-hidup di dunia, tanpa karakter, tanpa identitas kebudayaan yang berakar.  Dalam konteks ini harus ditegaskan bahwa globalisasi adalah bawaan dunia barat berbentuk peradaban tidak bersendi spritualitas dan tanpa standar nilai atau citra kemanusiaan. Demokrasi dan Hak Azasi Manusia didengungkan tanpa standar nilai, melainkan ditentukan dengan standar sejauh kemampuan seseorang menlindungi atau mengkases proses pemenuhan kedua hal tersebut di atas. Ukuran nyata kegagalan budaya barat adalah ketika di negeri kelahirannya mulai ramai digugat dan ditinggalkan oleh sejumlah pemikir yang ditandai dengan munculnya kegerahan lalu berpaling ke psomodernisme, meski ikon terakhir ini memiliki kelemahan dalam pilihan asumsi tentang kebenaran. Di sisi lain munculnya sejumlah teori pembebasan telah mengarahkan manusia untuk lari dan segera mencari ruang yang cerah dan segar, sejumlah situasi tersebut tidak saja menjadi tantangan, tetapi suatu ketika aka menjadi hamparan kendala bagi perkaderan dan ideologisasi HMI. Sehingga jika Vitalitas perkaderan HMI diasumsikan sebagai dasar stimulasi bagi sendi dan titik balik kebangkitan HMI dan kader-kader muda dan ‘langit suci’ yang terjaga bagiresultante gerakan kader serta menjadi ‘benteng’ terkahir dari harapan ummat Islam yag senantiasa hidup dalam setiap lapis generasi sesuai zamanya, maka dengan sendirinya perkaderan dituntut agar selalu mengalami ‘daur ulang’ sesuai tantangan zaman.

Dasar rumusan yang dimaksud adalah harapan kontinyuitas perubahan secara actual dengan tetap berpegang pada substansi nilai-nilainya yaitu nilai dasar ummat manusia sebagai mana yang tertuang dalam NDP HMI tidak akan pernah berubah karena ‘Nilai’ bersifat universal hanya pada tekananya yang terkadang dapat berubah.

Setidaknya ada beberapa kecendrungan kehidupan Negara-bangsa masa datang yang akan berpengaruh terhadap kehidupan ummat Islam, dan HMI pada khususnya, yakni;

1.       Tuntutan menggali kembali akar-akar kebudayaan dan peradaban dalam fitrah manusia sebagai akibat rusaknya keseimbangan eksistensial karena kekeliruan menerima kiblat peradaban moderen (an sich) yang western kini sejauh telah ditunjukkan dengan tingginya tuntutan pergeseran cara pandang sistemik menjadi cara pandang berbasis tatanan, yakni yang menandai hubungan interkoneksitas antara manusia, alam dengan sang pencipta. Begitu pula tuntutan pergeseran paradigma positivisme menjadi transendensi. Sehingga disinilah HMI sebagai organisasi yang berbasis pada spritualitas dan keilmuan menjadikan NDP HMI sebagai bangunan tatanan berfikir bagi semua kader-kadernya dalam menghadapi tantangan dan perubahan yang dimaksud.

2.       Pertarungan dan benturan ideology, bukan ideology sistemik yang biasanya mengangkut konstruk aktivitas ekonomi, melainkan ideology pemikiran yang akan mengangkut cara berperilaku dan berbudaya, untuk hal ini dibutuhkan materi perkaderan pada semua jenjang, yakni konstruk tata urut pemikiran dan khazanah berfikir ilmiah paradigmatic.

3.       Runtuhnya bangunan cara berfikir positivisme yang disusul dengan runtuhnya formalism Negara-bangsa. Hal ini berkecendrungan kearah federalism yang sebelumnya akan membangkitkan semangat atau gejolak cultural di tiap daerah. Untuk hal ini HMI perlu diboboti pemahaman tentang Identitas Kebudayaan dan filsafat Pendidikan Multikulturalisme

4.       Lemahnya akselerasi kemampuan Negara menyerap gejala perkembangan social budaya hingga dipelosok daerah dibanding dengan kemampuan tekhnologi komunikasi dan informas global. Hal ini sudah mulai memperburuk tata nilai kehidupan social budaya masyarakat kita, sehingga untuk hal ini dibutuhkan pembobotan HMI pada aspek ruang primordial Nilai Universalisme dalam geografi kesejarahan Nusantara ataupun nasionalisme multicultural

5.       Sebagai akibat dari ketidak mampuan Negara manampung semangat perubahan, kini kita memasuki era otonimi daerah berimbas pada proses mobilitas social-politik berpindah sepenuhnya menjadi milik rakyat secara terbuka.  Sehingga HMI juga harus mampu merambah pada kehidupan local, untuk itu HMI membutuhkan pemahaman Fakta Antropolgi Budaya-Politik dalam peta Geografi politik suku-suku nusantara

6.       Konsep Desentralisasi sesungguhnya mempengaruhi cara berfikir dan cara berorganisasi di daerah, dengan demikian HMI sudah seharusnya melakukan penguatan institusi yang ada di daerah minimal melalui menempatkan Badko dan cabang sebagai epicentrum dinamika kekaderan. Sehingga harus dapat memahami urgensi paradigma Hirarki ke Heterarki.

Dari kesemua hal di atas adalah acuan dan sekaligus gagasan untuk menyonsong kebangkitan kembali HMI terkhusus Vitalitas Perkaderan HMI, manakala tidak, maka HMI pun segera menerima pilihan takdirnya yakni kenyataan sebagai organisasi kecil sebagaimana gejala ini sudah mulai muncul dalam beberapa dasawarsa perjalanan organisasi, hanya ada satu dasar kita memulai yaitu “Moral Kekaderan HMI” untuk Kebangkitan Kembali HMI.

Normalisasi Perkaderan Proses Pelembagaan Nilai Kekaderan HMI

Sebagaimana sisytem social lainnya, sistyem perkaderan HMI juga harus mencerminkan kontinyuitas dan reproduksi perubahan. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) cara pandang melihat kerangka sistemik perkaderan HMI; 
1.     Perkaderan HMI; sebagai sutau bentuk subsistem social budaya dengan nilai keummatan dan kebangsaan yang disandangnya agar senantiasa melakukan kontraksi dengan sisytem social.
2.     Menempatkan perkaderan HMI sebagai sebuah proses didik diri untuk pembentukan sikap, watak, dan perilaku kekaderan.
3.     Memandang perkaderan HMI secara dan atau dalam arti luas
Selanjutnya perkaderan HMI mengandung turbelensi pelembagaan kontinyuitas generasi yang memahami sistyem nilai HMI serta reproduksi dalam bentuk aktualisasi dan koaktualisasi kiprah kader di semua segmen kemasyarakatan. Kedua varian yang terkandung dalam sistem perkaderan terkondisi pada semua mata rantai sejarah perjalanan HMI mulai daya guna dan hasil guna struktur lapisan kader HMI ke dalam seluruh bentuk kerja-kerja kemanusiaan secara fungsional, dalam arti semua elemen social dan posisi kekaderan terbagi habis kedalam efektifitas manajemen organisasi secara keseluruhan.
Perkaderan HMI adalah lembaga nilai sebagai dasar atau titik tumpuan bagi proses pembinaan dan kaderisasi dalam arti luas. Oleh karenanya harus ada pemetaan struktur baik lembaga nilai maupun institusi serta lapisan social serta pos-fungsi-fungsi yang berpengaruh secara timbal balik terhadap perkaderan HMI, yang dimaksud dalam hal ini adalah struktur pembentuk tatanan dan Kerangka Nilai sebagai dasar pembentuk sistem, yang dalam pemetaanya ;
1.     KeIslaman, adalah suatu landasan nilai bagi melekatnya karakteristik khas dari segenap performa gerak kejauangan HMI di semua lini eksistensi kehidupan Negara-bangsa. (Qs. 3 : 102)
2.     KeUmmatan, adalah suatu landasan nilai yang senantiasa mengikatkan HMI dengan wawasan akan komunitasnya yang sekaligus menempatkan HMI dalam suatu realitas yang disandangnya, yakni sebagai bahagian dari institusi strategi perjuangan ummat Islam Indonesia, khususnya di tingkat pemuda dan mahasiswa (Qs. 3 : 110)
3.     Kebangsaan, adalah suatu nilai bagi kader HMI untuk mewujudkan nilai pengabdian pada agama dan ummat melalui aktualisasi kehidupan kemahasiswaan dan kiprah kekaderan kedalam semua segmen Negara-bangsa berdasarkan 5 kualitas Insan Cita HMI melalui kerja-kerja kemanusiaan yang bermoral (Qs. 49 : 13)
4.     Ke-HMIan, adalah suatu landasan nilai yang senantiasa menyangga kehidupan kader baik secara individu maupun secara kolektif dengan membawa HMI kedalam bagian dari kesinambungan sejarah baik secara terpisah dengan realitas struktur kekuasaan Negara (independen) maupun menjadi bagian dari realitas kemajemukan kehidupan bangsa
5.     Kemahasiswaan, adalah suatu landasan nilai dan semangat menempatkan kampus selain sebagai tempat proses didik diri yang berguna menanamkan jiwa dan semangat akademik, juga sebagai basis potensil baik untuk penggarapan input kader dan media aktualisasi kader dalam penguasaan lini-lini kemahasiswaan juga berguna untuk melebarkan pengaruh cara-cara berfikir HMI dalam menterjemahkan realitas kedalam kampus maupun keluar kampus. Dalam konteks ini jelas kiranya sebauh asumsi bahwa lemahnya perlawanan kampus terhadap kebijakan public menjadi tanda terkikisnya warna HMI di dalam kampus tersebut. Untuk itu menjadi tidak kalah pentingnya penanaman idealisme dan atau moralitas kader agar vitalitas charisma dalam mengembang nilai HMI ditengah kehidupan kampus senantiasa dapat terkawal, terjaga dan terawat.
Upaya perpaduan kelima formula landasan nilai tersebut di atas akan menunjukkan performa kader maupun HMI itu sendiri secara organisasi akan memiliki kemampuan merawat Independensi organisasi baik Etis maupun Organisatoris. Artinya energy dan vitalitas kader akan tetap terawat dan terjaga serta terbebas dari pengaruh eksternal, sehingga posisi HMI sebagaisharing of change mampu mengambil kiprah berdasarkan khittah perjuangan dalam posisi independen baik secara etis dalam keberpihakan pada nilai-nilai kebenaran (hanif) dan ajaran-ajaran moral serta dapat memposisikan HMI terbebas dari kekuatan-kekuatan politik atau partisan tertentu yang selamah ini dapat merusak tatanan HMI dari dalam, meskipun tetap konsen menjadi bahagian dari perkembangan kehidupan politik Negara-bangsa secara makro.
Secara bersamaan pembentukan dan pelembagaan nilai dari kerangka nilai perkaderan di atas, maka akan termanifestasi dalam bentuk adanya idealitas syahadah, cita-cita, ajaran-ajaran moral, cara pandang serta pola tingkah laku sebagaimana wujudnya sebuah komunitas, dan kesamaan ini akan menjadi martil bagi daya dorong dalam melangkah secara individual dan perekat ikatan emosional yang membuatnya bersemangat secara kolektif. Konsekwensi logisnya konversi atas minat dan bakat kekaderan terdiferensiasi ke dalam bentuk-bentuk lembaga kolektif di internal HMI yang secara keseluruhan diharapkan membentuk lingkungan kultur yang kondusif bagi kader untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya.


Predeterminis Sistem Perkaderan Berbasis Qualia Iptek Kader
HMI ada karena qualia intelektual,

HMI ada karena Visioner Pemikiran,

Demi masa, HMI adalah Predeterminis masa depan bangsa

Dan,

Demi Masa, Bukan HMI jika tak predeterminis dalam meneropong masa depan bangsa,

Demi masa, Bukan HMI jika qualia kader sama dengan seonggok sampah.

HMI yang sudah memproklamirkan fungsinya sebagai organisasi kader, mau tidak mau menjadikan perkaderan sebagai jantung kehidupan organisasinya. Namun sebetulnya asp-ek perkaderan di HMI mulai dibenahi secara serius pada akhir tahun 50-an dimana HMI sudah bertahun-tahun menjalankan peranannya, jadi perkaderan di HMI tidak lahir berbarengan dengan kelahiran HMI itu sendiri, melainkan lahir seiring proses waktu dan perubahan zaman.
Awalnya hal itu baru mulai terpikirkan oleh para kader (PB HMI) ketika masa kepengurusan Ismail Hasan Metareum (periode 1957-1960), dan masih berupa wacana-wacana yang digulirkan oleh PB HMI sendiri. Ismail Hasan yang merupakan penggagas utama ide perkaderan formal di HMI menginginkan agar HMI tidak menjadi tempat berkumpul orang yang punya kesamaan hoby atau aktivitas saja, tapi menjadi second campus bagi para anggotanya. Selain itu, yang menjadi faktor penting pendorong gagasan diadakannya perkaderan formal di HMI adalah karena waktu itu Ismail Hasan melihat adanya perbedaan aliran pemikiran dalam dinamika pergerakan aktivitas HMI, dimana ada anggotanya yang punya background lingkungan pesantren da nada juga cenderung sekuler.[1]
Berawal dari itulah sampai hingga saat ini kita merasakan sebuah sistem perkaderan meskipun dalam masa ke masa sistem perkaderan menggunakan metodologi yang berbeda. Tetapi di era kekinian, seakan HMI tidak lagi mampu melahirkan motodologi perkaderan modern dan tidak terkikis oleh zaman melainkan terlahir sinkronisasi antara sistem perkaderan HMI dan perkembangan zaman.
Hal ini terbukti banyaknya degradasi nilai kader hingga yang sangat miris adalah tradisi intelektual HMI yang memudar. Sejatinya kader-kader HMI adalah pewaris tradisi intelektual. Namun dewasa ini kegiatan-kegiatan keilmuan di HMI sangat minim sekali. Padahal dahulunya tradisi intelektual HMI merupakan salah satu andalan yang menjadi nilai lebih dan nilai jual HMI serta kader-kadernya ditengah masyarakat dan mahasiswa. Hal ini menyebabkan mahasiswa cerdas dan pintar jarang mau masuk HMI karena mereka melihat tradisi intelektual di HMI tidak mendukung kebutuhannya sehingga mereka memutuskan untuk aktif di organisasi lain yang dapat mendukung pengembangan intelektual mereka.[2]
Dalam situasi seperti inilah seharusnya HMI mampu melakukan satu upaya introspeksi diri di dalam menatap sistem perkaderannya. Sebab dengan persinggungan dengan kekuasaan menyebabkan HMI kehilangan indenpendensi dan roh, HMI seringkali melibatkan diri dalam peran-peran yang tidak populis, karena keterlibatannya hanya sebatas makelar politik bagi kepentingan kekuasaan. Prinsipnya, HMI tidak lagi seksi di dalam medorong ide-ide yang kontekstual bagi kepentingan ummat, namun HMI justru terjebak dalam bingkai kekuasaan. Sehingga dari ini HMI menuai kritik dan terpinggirkan dari peran gerakannya bahkan HMI disinyalir terpuruk dari moment arus globalisasi dan modernisasi. Tradisi intelektualisme yang menjadi ranah ‘khittah perjuangan’ HMI yang di bangun dari dasar Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) malah juga praktis kehilangan pengaruh.[3]
Sehingga Perkaderan HMI di masa datang harus benar-benar berkualitas. Dalam bahasa yang cukup menggugah, yakni bagaimana kita senantiasa Mengembangkan Perkaderan, dan Membangun Peradaban. Kualitas perkaderan itu sangat ditentukan oleh kemampuan kita untuk menjauhkan diri dari formalisme perkaderan. Karena perkaderan formalisme akan menggiring dinamika perkaderan HMI sekedar menjadi pertrainingan.
Bagi HMI, sekedar pertrainingan adalah reduksi yang sangat berbahaya bagi totalitas perkaderan HMI yang sesungguhnya. Perkaderan formal penting sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan administratif struktural yang bersifat formal, serta kerangka-kerangka dasar yang harus dikembangkan lebih lanjut. Sementara perkaderan non-formal dan informal adalah medan yang lebih luas untuk proses penempaan kualitas kader-kader. Intelektualitas, profesionalitas, loyalitas, religiusitas dan integritas para kader diasah lebih tajam dalam perkaderan yang non formal dan informal. seperti up-grading, follow up, diskusi, seminar, riset dan sebagainya. Agenda lainnya adalah meningkatnya kuantitas dan kualitas pelaksanaan LK II, LK III dan pusdiklat, sehingga produk dari rekruitmen dapat terserap dan dikembangkan kualitasnya secara maksimal. Dalam rangka peningkatan kualitas perkaderan (formal), maka pemahaman segenap pelaku training terhadap pedoman perkaderan perlu ditingkatkan. Selain itu, kualitas instruktur dan pengelola training wajib diperhatikan, misalnya dengan memperbanyak pelaksanaan Sekolah Pengelola Latihan dan Sekolah Instruktur.
Dari pendalaman sistem perkaderan ini, secara tidak langsung Mindset dan paradigma berpikir kader HMI akan mampu meretas krisis intelektual kader yang terjadi dalam tubuh internal perkaderan HMI sehingga secara ekstra organisasi yang dimana kader HMI yang juga merupakan mahasiswa sebagai warga masyarakat yang sedang menempuh proses pendidikan tertinggi, maka dengan sendirinya mahasiswa dipandang sebagai kaum intelektual. Didalam golongan kaum cendekiawan itu sendiri, mahasiswa dianggap sebagai pihak yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi warga intelektual yang sepenuhnya.[4]
Sistem perkaderan ini sebenarnya acak kali menjadi bahan perdebatan dalam berbagai ruang-ruang dialektika hingga konstestasi politik HMI, tetapi hingga saat ini belum ada solusi konkret PB HMI dalam menghadirkan regulasi sistem perkaderan yang kontektual ditengah ketatnya persaingan SDM Negara-negara Asean yang melalui Asean Community 2015 pada bulan desember 2015 arus deras neoliberalism akan menghantam Indonesia. Hal inilah yang menjadi kemunduran intelektual dan pemikiran kader HMI ditengah era globalisasi yang menyebabkan HMI terperangkap dalam ruang-ruang konflik struktural internal organisasi. Padahal diluar diding-dinding realitas internal, modernisasi IPTEK global terus berkembang dan melalui Asean Community menjadikan daya saing SDM akan semakin ketat. Sehingga, jika sistem perkaderan HMI pada kongres XXIX PB HMI 2015 tidak menjadi agitasi, hegemoni dan bahan diskursus untuk dilakukan pembaharuan yang kontektual dengan perkembangan zaman, maka HMI tidak akan mampu melahirkan kader HMI yang memiliki daya competitiveness dalam menghadapi Asean global impact.
Melalui kongres XXIX PB HMI 2015 menjadi sebuah gagasan Poros kebangkitan menjadikan pembaharuan sistem perkaderan sebagai blueprint project untuk menjadi prioritas program PB HMI kedepannya. Meskipun gagasan ini pastinya akan menghadirkan diskursus dinamis dikarenakan Status Quo mempertahankan dan atau pembaharuan sistem perkaderan yang telah ada, tetapi menurut penulis hanya dengan cara inilah HMI mampu bangkit melawan derasnya arus neoliberalism dan sekiranya Prof.Dr.Nurcholish Madjid telah mewarisi kepada kita buah pemikiran visioner akan keislaman melalui Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP), sehingga dengan spirit keislaman kader HMI mampu memposisikan diri dalam dinamika bangsa yang semakin kompleks dengan cara mentransformasikan nilai-nilai keislaman dalam setiap ikhtiar kader.



 
[1] Agussalim Sitompul,  Histiografi HMI 1947-1993 Jakarta, Miska Galiza, 2008. Cet.I, Hlm.152
[2] Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI , Suatu Kritik dan Koreksi untuk Kebangkitan Kembali HMI (50 tahun pertama HMI 1947-1997) , (Jakarta, Misaka Galiza, 2005). Cet.I, Hlm.55
[3] Saifudin al Mughniy, Pembangkangan Civil Soceity “manifestasi politik kaum pinggiran” (Makassar, Kalam Nusantara, 2010) Cet.I, Hlm.120
[4] Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antra Moral dan Politik(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) Hal 46

Masa Depan Indonesia Di Tengah Pusaran Neoliberalisme

Mantan wakil presiden pertama Indonesia, Muhammad Hatta Mengatakan dalam pidatonya: 
“Bebas artinya menentukan jalan sendiri,
tidak terpengaruh oleh pihak manapun,
sedangkan aktif artinya menuju perdamaian dunia
dan bersahabat dengan segala bangsa”[1]

Kelahiran politik luar negeri Indonesia memiliki kaitan erat dengan sejarah revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia ditandai dengan kebebasan Indonesia dari tangan kolonialisme Belanda. Fase revolusi Indonesia yang pertama adalah pergerakan memperjuangkan kemerdekaan. Sedangkan fase selanjutnya lebih dikenal dengan revolusi perjuangan sosial sebagai negara yang baru merdeka. Setiap fase revolusi tentunya menelorkan arah politik luar negeri yang berbeda.
Setiap negara, dalam entitasnya, menetapkan kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional. Kebijakan tersebut sekaligus berfungsi menjelaskan keterlibatannya dalam isu-isu internasional. Kebijakan negara baik domestik maupun internasional selalu didasarkan pada usaha memelihara dan mewakili kepentingan nasional.[2] Dengan demikian, kepentingan nasional terbentuk dari kepentingan domestik. Seketika kepentingan nasional itu dibawa keluar maka saat itu pula kepentingan nasional dikemas dalam politik luar negeri. Masing-masing negara memiliki politik (kebijakan) luar negeri yang partikular, walaupun barangkali sejumlah negara memiliki kemiripan.
Fase revolusi perjuangan kemerdekaan Indonesia, politik luar negeri diarahkan untuk menggalang pengaruh dunia internasional guna mendukung perjuangan nasionalisme self-determination Indonesia. Melalui pidato Soekarno yang menggebu-gebu dan kunjungan kenegaraan ke beberapa negara, secara nyata telah menumbuhkan simpati internasional terhadap perjuangan indonesia merebut Irian Barat. Politik luar negeri juga dapat diartikan sebagai seperangkat strategi dan teknik dengan tujuan mengubah negara lain supaya mengikuti kita, supaya mereka melakukan adjustment yang mendukung kita.[3] Sehingga segala daya yang telah dilakukan oleh Soekarno tersebut diatas merupakan simbol implementasi politik luar negeri Indonesia saat itu.
Fase revolusi sosial yakni perjuangan negara baru merdeka agar menjadi negara independent bebas intervensi asing, politik luar negeri diarahkan untuk perbaikan ekonomi dengan paying self sufficiency. Indonesia berusaha keras untuk menjaga kenetralannya di antara kedua blok yang saling bertikai. Politik domestik berperan penting dalam pragmatisme politik luar negeri Indonesia, Soekarno yang menerapkan landasan operasional, politik luar negeri Indonesia (PLNRI) yang bebas aktif pun senantiasa berubah sesuai kepentingan nasional. Misalnya selama masa orde lama, PLNRI yang sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno tersebut masih menekankan kebijakan hidup bertetangga dengan negara-negara kawasan, tidak turut campur tangan urusan domestik negara lain dan selalu mengacu pada piagam PBB.[4]
Tetapi terjadi proses pencideraan kesepakan dalam PBB yang menyebabkan terjadinya konflik saudara antara Indonesia dengan Malaysia dan hal ini sebagai mana yang dicetuskan oleh Henry Kissinger dan Jack C Plano, dimana politik luar negeri merupakan kelanjutan dari politik domestik. Ini menegaskan pada era revolusi sosial Indonesia, politik domestik juga memainkan peran dalam membentuk dan mempengaruhi kebijakan luar negeri. Dan keberadaan fenomena ini tidak dapat dielakkan. Jika dielakkan, maka yang terjadi adalah pergolakan internal yang mengancam kekuasaan yang sedang berkuasa. Contoh kasusnya adalah Soekarno vs politik domestik dengan salah satu contoh Malaysia pada era 1960an. Implementasi Politik luar negeri indonesia bisa menjadi bermacam-macam. Politik luar negeri merupakan fenomena kompleks. Politik luar negeri tidak lebih sebagai suatu platform atau guidance untuk menjalin relasi dengan dunia internasional.[5]
Terjadinya sebuah sikap konfontasi Indonesia memuncak pada ancaman yang diambil Soekarno untuk keluar dari Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) jika PBB mengakui akan kedaulatan negara Malaysia, yang pada akhirnya Indonesia pun resmi keluar dari PBB pada 7 januari 1960.[6] Pada masa-masa dekade 60-an, tepatnya saat masa demokrasi terpimpin inilah muncul atmosfer kedekatan presiden pertama republik Indonesia pada blok timur.
Kedekatan Soekarno dengan blok timur merupakan interpretasi dari posisi Indonesia sebagai negara bekas jajahan kolonial dan menginterpretasikan pula bahwasanya kapitalisme yang di bawa oleh blok barat adalah upaya kolonialisme gaya baru. Soekarno membangun relasi dan kedekatan dengan negara-negara dengan paham komunis seperti Cina, Kuba dan tentunya Uni Soviet. Politik dalam negeri Soekarno pun terpengaruhi oleh kebijakan luar negerinya yang cenderung kepada blok timur, dengan tidak ingin memiliki image negara terbelakang, Soekarno menginisiasi politik mercusuar sebagai alat diplomasi dalam image building Indonesia di mata dunia. Dalam pernyataannya Soekarno melakukan cluster negara-negara yang terbagi dalam Oldefo (Old Established Forces) sebutan bagi negara-negara dengan kekuatan besar dalam upaya dalam sistem nekolim (neokolonialisme dan imperialime) yang mayoritasnya merupakan negara-negara maju barat seperti misalnya Amerika Serikat dan Inggris dan Nefo (New Emerging Forces) yang mayoritas merupakan negara-negara pada tataran ekonomi tradisional dan transisi dengan mayoritas negara berpaham komunis-sosialis dan negara-negara Asia pada umunya misalnya Cina dan Vietnam.[7]
Tidak terkecuali pada implikasi kebijakan dalam negeri Indonesia dan luar negeri Indonesia yang pada kala itu, misalnya Soekarno menginisiasi pekan olahraga dengan mengundang negara-negara yang masuk dalam cluster NEFO atau lebih dikenal dengan sebutan NEFOS. Hal ini mengakibatkan pergeseran akan image arah politik luar negeri Indonesia. Sikap Soekarno yang sangat konfrontatif dan tidak mengenal kompromi akan apa yang dianggap bahaya laten dari neo-kolonialisme, mengakibatkan Indonesia tampak sebagai ancaman efek politik domino paham sosialisme di Asia Tenggara. Kekhawatiran Amerika Serikat pada masa presiden Harry S Truman dengan segera mengeluarkan proyek Marshal Plan guna membendung efek dan arus komunisme yang tengah menjalar disekitar wilayah Asia Timur seperti Cina dan korea utara yang pada saat itu, sebagaimana yang di konsepkan oleh morton kaplan pada analisis model sistem internasional bukan pada masa bipolar ketat lagi pada dekade 50-an namun telah bertansformasi menuju sistem bipolar longgar seperti kemunculan Vietnam utara, dan di khawatirkan berefek domino pada bagian negara-negara indoCina dan sekitarnya di Asia Tenggara.
Kembali mempertegas kepada seluruh kader HMI melalui tulisan ini yang hanya sebagai brainstorming untuk bagaimana sang founder father Negara Indonesia mempertegas indonesia sebagai Negara yang besar, kuat dan anti diskriminasi. Meskipun khusus ulasan ini tidak berkaitan secara langsung terhadap HMI, hanya saja ulasan ini memnggambarkan kepada kita betapa visioner sang founder father kita dalam melakukan desainan komunikasi politik yang menjadikan indonesia mendapat gelar Macan Asia.
Sehingga menjadi sebuah harapan, melalui Rahim-rahim hijau hitam sang nakhoda yang memimpin HMI ditengah ancaman neoliberalism yang semakin deras, mampu meretas ironi-ironi kristalisasi intelektual dan menjadikan HMI sebagai resolusi atas perlbagai problem Negara yang tengah sakit.
 
[1]  Pidato Bung Hatta di depan BPUPKI 1948.
[2]   Jack C Plano & Ray Olton.1969., International Relations Dictionary, New York Holt; Rinehart & Winston.hlm.127.
[3]   Modelsky, George. 1962. Theory of Foreign Policy. New York: Praeger.hlm.6.
[4] Hal ini dapat kita lihat pada Maklumat Politik Pemerintah 1 November 1945, pidato kepresidenan 17 Agustus 1960 (Jarek), dan Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No.2/Kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961.
[5]  Ibid…..hlm.6.
[6] Undang-Undang Presiden Republik Indonesia pada 14 Februari 1966 tentang Penarikan Diri Republik Indonesia Dari Keanggotaan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan  (International Bank for Reconstructure and Development). Diakses melaluihukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_1966.pdf  dan diunduh pada Rabu, 27 mei 2014.
[7]   http://nefos.org/ diunduh pada Rabu, 16 April 2014  dalam artikel “Oldefo Vs Nefo” oleh Max Lane, pengamat Indonesia, Visiting Fellow, Centre for Asia Pacific Social Transformation Studies, University of Wollongong, Australia. Artikel pertama kali dimuat di Sinar Harapan pada19 Juli 2002.

HMI Kembali ke Gerakan Kebudayaan
Kaitan HMI secara Historis, adalah sebuah organisasi yang pada khittahnya berjuang untuk mewujudkan Masyarakat adil Makmur yang diridhoi Allah SWT. Sehingga HMI merupakan suatu lembaga dan komunitas yang didasari pada suatu komitmen bersama oleh kader-kadernya pada cita-cita ideal tersebut, setidaknya ada dua hal yang merupakan dasar dan titik pertemuan visi kader-kader HMI dalam berhimpun dan bergerak dalam himpunan yakni Nilai KeIslaman dan Nilai Keindonesiaan yang praksisnya terlihat dalam spirit perjuangan HMI dalam mewarnai wacana kebudayaan dan kenegaraan di bangsa ini.
Dalam konteks kehidupan HMI saat ini, keterkaitan hal tesebut yang sudah mulai ditinggalkan, hal ini di sadari semakin hilangnya identitas keilmuan dan keIslaman HMI dalam mewarnai aktifitas gerakan baik secara organisasi maupun secara personal kader-kadernya, setidaknya hal ini dapat dirasakan di beberaoa tahun terkahir ini, sehingga harapan untuk menyatu dalam gagasan dan perjuangan pada semangat yang sama semakin jauh dari harapan. Kronisnya bukan hanya politik struktur, tetapi lebih jauh bidang-bidang kerja yang biasanya menggerakan kultur kekaderan juga sudah demikian menjauh dari akar-akarnya, setidaknya dua garis besar tersebut yakni Keummatan (KeIslaman) dan Kebangsaan (Keindonesiaan).
Kalaulah hal ini dipertegas, kini HMI menjauh dari Norm tau Tradisi dan kebudayaannya  serta orisinilitas cara pandangnya pada tingkat nilai, sehingga selalu keliru memahami realitas. Realitas kekinian selalu diterjemahkan bukan pada karakternya, melainkan pada fenomenanya sehingga selalu ‘tertipu’, hal ini dapat diukur dari dua kenyataan yakni; pertama, pada even demi even politik dalam tubuh HMI hanya menghasilkan dan atau pun menyisahkan tidak lebih dari persoalan menjadi masalah, utamanya persoalan tingkah laku dalam hubungan sesama warga HMI, sebagai implikasinya adalah mengkrucutnya variable-variabel konflik, bukannya nilai dari dalam dibiaskan keluar melainkan nilai dari luar yang dibiaskan kedalam sehingga pada akhirnya nilai-nilai dari luar yang menjadi sosok bauran kader, bahkan terhadap kinerja organisasi. Kedua, redupnya intelektualisme, dalam artian HMI telah jauh dari akar Tradisi dan kebudayaannya.
Kiranya saat ini sangat tepat menggambarkan betapa HMI mengalami ketidak seimbangan dalam pengelolaannya secara keseluruhan. Dipandang dari teori system, kedua kenyataan di atas menghasilkan diskontinyuitas di tingkat nilai. Sedangkan kualitas kader tidak mengalami reproduksi. Karenanya tidak salah jika HMI mengalami situasi abnormal. Secara normative, abnormalitas tentu saja hanya bisa diselesaikan denga cara abnormal pula. Manakalah hal ini tidak segera dibenahi, tidak perlu sejumlah kalangan menuntut pembubaran HMI, tetapi HMI akan bubar dengan sendirinya, sebab gejala ini sudah mulai nampak khususnya di kampus-kampus besar.
Oleh karenanya, untuk membangkitkan kembali HMI, maka perbaikan perkaderan adalah yang perlu divitalisasi kembali sebagai proses pelembagaan nilai-nilai kekaderan, sehingga penggarapan kembali vitalisasi perkaderan dipola dimulai dari atas yakni PB HMI ibarat membersihkan tangga dari atas, bukan dimulai dari bawah agar tidak kembali menyisahkan kotoran pada anak tangga yang lebih rendah. Tentunya saja bahwa perbaikan kader dalam kaitannya perbaikan kader secara individu dan HMI secara organisasi untuk segera berbenah diri bersama lingkungannya, dengan jalan HMI harus dikembalikan kepada gerakan kebudayaannya (Back to cultural Movement).
Kembali pada gerakan kebudayaan HMI adalah suatu cara pandang dalam melihat baik dari dalam internal HMI maupun dari aspek eksternalnya, pada dasarnya perubahan yang diketengahkan bagi perkaderan HMI berpangkal pada proyek rekayasa global yang mempengaruhi kultur masyarakat saat ini. Berbagai hal telah muncul sebagai implikasi dari kemenangan kapitalisme atas sosialisme yang tidak terduga sebelumnya, tetapi pada sisi lain dunia semakin terbuka untuk melakukan transaksi dan pertukaran potensi serta komunitas atas dasar pasar bebas. Secara geografi politik, HMI lahir dan berkembang sebagai bagian dari Negara-bangsa yang terletak di dunia timur, tentu terancam ‘rugi’ oleh kedua situasi tersebut, bahkan jika keliru menafsirkan, HMI pun menjadi korban. 
Jika dalam hembusan globalisasi manusia hidup tanpa standarisasi nilai kehidupan atas diri (hyper realitas), tanpa orientasi kerja-hidup di dunia, tanpa karakter, tanpa identitas kebudayaan yang berakar.  Dalam konteks ini harus ditegaskan bahwa globalisasi adalah bawaan dunia barat berbentuk peradaban tidak bersendi spritualitas dan tanpa standar nilai atau citra kemanusiaan. Demokrasi dan Hak Azasi Manusia didengungkan tanpa standar nilai, melainkan ditentukan dengan standar sejauh kemampuan seseorang menlindungi atau mengkases proses pemenuhan kedua hal tersebut di atas. Ukuran nyata kegagalan budaya barat adalah ketika di negeri kelahirannya mulai ramai digugat dan ditinggalkan oleh sejumlah pemikir yang ditandai dengan munculnya kegerahan lalu berpaling ke postmodernisme, meski ikon terakhir ini memiliki kelemahan dalam pilihan asumsi tentang kebenaran. Di sisi lain munculnya sejumlah teori pembebasan telah mengarahkan manusia untuk lari dan segera mencari ruang yang cerah dan segar, sejumlah situasi tersebut tidak saja menjadi tantangan, tetapi suatu ketika aka menjadi hamparan kendala bagi perkaderan dan ideologisasi HMI. Sehingga jika Vitalitas perkaderan HMI diasumsikan sebagai dasar stimulasi bagi sendi kebudayaan HMI dan kader-kader muda dan ‘langit suci’ yang terjaga bagi resultante gerakan kader serta menjadi ‘benteng’ terkahir dari harapan ummat Islam yag senantiasa hidup dalam setiap lapis generasi sesuai zamanya, maka dengan sendirinya HMI harus mampu kembali kebudayaan Kaderisasinya dengan mengusung jargon “HMI Kembali pada Gerakan Kebudayaan”, Dasar rumusan yang dimaksud adalah harapan kontinyuitas perubahan secara actual dengan tetap berpegang pada substansi nilai-nilainya yaitu nilai dasar ummat manusia sebagai mana yang tertuang dalam NDP HMI tidak akan pernah berubah karena ‘Nilai’ bersifat universal hanya pada tekananya yang terkadang dapat berubah.
Tuntutan menggali HMI kembali pada gerakan kebudayaan sama dengan tuntutan kembali pada akar-akar kebudayaan dan peradaban dalam fitrah manusia sebagai akibat rusaknya keseimbangan eksistensial karena kekeliruan menerima kiblat peradaban moderen(an sich) yang western kini sejauh telah ditunjukkan dengan tingginya tuntutan pergeseran cara pandang sistemik menjadi cara pandang berbasis tatanan, yakni yang menandai hubungan interkoneksitas antara manusia, alam dengan sang pencipta. Begitu pula tuntutan pergeseran paradigma positivisme menjadi transendensi. Sehingga disinilah HMI sebagai organisasi yang berbasis pada spritualitas dan keilmuan menjadikan NDP HMI sebagai bangunan tatanan berfikir bagi semua kader-kadernya dalam menghadapi tantangan dan perubahan yang dimaksud.
Dari penjelasan tersebut di atas adalah suatu bangunan dasar pijak pemikiran dalam rangka mengarahkan kader-kader HMI untuk kembali pada gerakan kebudayaan.

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM DI ERA KEKINIAN
Himpunan Mahasiswa Islam lahir 14 Rabiul Awal 1366 Hijriah, bertepatan dengan 5 Februari 1947 Masehi. Dus, pada 14 Rabiul Awal 1427 (kira-kira 14 Maret 2006) HMI genap berusia 61 tahun (hijriah) dan 5 Februari 2006 tepat berusia 59 tahun (masehi). Suatu usia yang cukup berumur dan tentu saja mengundang sejumlah konsekuensi. Bagaimanakah kondisi HMI dalam usianya yang telah menginjak 61/59 tahun tersebut? Banyak instrumen analisa dan perspektif yang dapat kita gunakan untuk memahami kondisi HMI saat ini, diantaranya adalah arkeologi dan geneologi pengetahuan yang diperkenalkan oleh Michel Foucault.

Metode arkeologi memfokuskan kajian pada pernyataan atau wacana dengan sistem prosedur yang memproduksi, mengatur, mendistribusi, mensirkulasi, dan mengoperasikannya. Mengupas wacana sebagai suatu sistem ‘internal’ dengan ‘prosedur-prosedurnya’ yang teratur. Sedangkan geneologi memberikan pusat perhatian pada hubungan timbal balik antara sistem kebenaran (pernyataan/wacana) dengan sistem kuasa (mekanisme yang didalamnya suatu “rezim politis” memproduksi kebenaran). Geneologi tidak berusaha menegakkan pondasi-pondasi epistemologis yang istimewa, tapi ia mau menunjukkan bahwa asal-usul apa yang kita anggap rasional, pembawa kebenaran, berakar dalam dominasi, penaklukan, hubungan kekuatan-kekuatan atau dalam suatu kata, kuasa.

Dengan menggunakan perspektif arkelogi dan geneologi pengetahuan, berarti kita akan melihat realitas HMI saat ini sebagai suatu realitas wacana/sistem pengetahuan dimana di dalam sistem wacana/pengetahuan tersebut terdapat prosedur-prosedur yang memegang kendali atas proses produksi, pengaturan, pendistribusian, pensirkulasian, dan pengoperasian sistem wacana/pengetahuan tersebut serta terdapat sistem kuasa atau relasi kuasa yang mengukuhkan sistem wacana/pengetahuan tersebut. Prosedur-prosedur tersebut kemudian kita sebut sebagai fundamental codes of cultures yang mewakili dimensi “nalar” dan relasi kuasa mewakili dimensi politis.

Konsekuensi dari perspektif ini adalah bahwa realitas HMI saat ini tidaklah merupakan suatu realitas yang terbentuk dengan sendirinya melainkan terbentuk melalui proses diskursif dimana terjadi proses pengukuhan fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tertentu dan proses peminggiran fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang lainnya. Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut kemudian “berwenang” menentukan mana fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi mainstream (arus utama) atau mendominasi “wajah” realitas namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan (pheripheri) sehingga ia bisa jadi hanya berupa bercak saja atau malah benar-benar tersamar dari “wajah” realitas. Contohnya, di HMI berkembang beragam wacana keagamaan, wacana keagamaan yang modern-moderat-inklusif nampaknya merupakan “pemenang” dan wacana keagamaan yang tradisional-radikal-eksklusif merupakan “pecundang”, tetap berkembang namun tidak menjadi mainstream. Contoh lain, frame berpikir political oriented merupakan “pemenang”, sementara frame berpikir yang berorientasikan profesi adalah “pecundang”. Kemudian, orientasi politik-struktural merupakan “pemenang”, dan orientasi politik-kultural merupakan “pecundang”. Semangat ketergantungan terhadap senior/alumni adalah “pemenang” dan semangat independen/mandiri adalah “pecundang”, serta masih banyak contoh lainnya yang menentukan siapa pemenang dan pecundangnya merupakan “kewenangan” atau tergantung “selera” fundamental codes of cultures dan relasi kuasa.

Ketika sistem pengetahuan tersebut dengan fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang dimilikinya sudah demikian eksis dan tidak ada perlawanan terhadapnya, maka anggota HMI saat ini sesungguhnya tidak lebih dari robot-robot yang digerakkan secara otomatis oleh fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut. Ia dideterminasi cara berpikir dan tindakannya oleh fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut. anggota HMI tidak lebih sebagai pelanjut tradisi tanpa inovasi. Sebagai pelanjut saja dari senior-seniornya, maka wajar saja bila istilah-istilah seperti “bagaimana senior? apa perintahnya”, “adinda terserah senior saja” dan sebagainya menjadi cukup populer di HMI. Istilah-istilah tersebut, secara ekstrim menggambarkan hubungan patron-client (tuan-hamba) antara senior (alumni) dan anggota HMI.

Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa ada yang buruk, dan tentu ada juga yang baik. Namun pasti ada fundamental codes of cultures dan relasi kuasa (yang buruk) yang menyebabkan kader HMI saat ini demikian pasrah pada “memory of the past”, pada kenangan masa lalu. Menggantungkan eksistensinya pada “kebesaran seniornya”, “berlindung di balik keagungan sejarah HMI” yang tidak pernah dibuatnya namun ia terus asyik memparasitkan diri menghisap “keberkahan” darinya. Inilah potret kader HMI yang kehilangan kritisismenya, tuli terhadap “memory of the future” (cita-cita masa depan) dan mengambil sikap ‘resist to change’, menolak perubahan. Kader HMI lupa bahwa pernyataan senior/masa lalu memang ada benarnya namun banyak juga yang sudah tidak benar lagi karena ‘zaman telah berubah’. Dalam konteks ini, pernyataan almarhum Nurcholish Madjid agar HMI dibubarkan saja menemukan pembenar karena beliau melihat bahwa relevansi HMI bagi masa kini dan apalagi bagi masa depan sudah jauh berkurang, kalaupun bukannya tidak ada lagi. HMI tidak lagi menjadi elemen penggerak kemajuan melainkan kekuatan status quo dan bahkan sebaliknya menggerakkan pada kemunduran.

Dengan demikian siapakah yang patut disalahkan atas kondisi HMI yang katanya mengalami kemunduran, mengalami konflik perpecahan di tubuh PB HMI yang terjadi dua kali berturut-turut, dan kelemahan lainnya dari organisasi HMI saat ini? Tidak ada seorang pun yang perlu disalahkan karena kondisi HMI saat ini merupakan produk fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang hidup dalam tubuh HMI. Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa dapat bersemayam dan dikukuhkan dalam media seperti doktrin organisasi, aturan organisasi (AD, ART dan penjabarannya), dalam pola pendanaan aktivitas HMI, dan dalam pola interaksi keseharian antara kader dan pengurus HMI atau antara kader/pengurus dengan alumninya. Semuanya terbentuk melalui proses historis yang agak sulit dikendalikan oleh orang per orang, hanya tanggung jawab kolektif (generasi) yang dapat menghadapinya. Persoalannya adalah telah terdapat sejumlah generasi yang tidak menyadari bahwa ada fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang bekerja di tubuh HMI, yang disamping mengusung kebesaran HMI namun juga bekerja “menghancurkan” HMI, menghantarkan HMI pada ketidakrelevanannya dengan zaman.

Menyadari hal tersebut, sudah sepatutnya generasi sekarang mengembangkan kesadaran untuk mengenali fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut, mengambil sikap dan tindakan terhadapnya. Iktiar inilah yang merupakan upaya menghadirkan suatu ‘HMI Baru’ dan merupakan suatu bentuk rasa tanggung jawab sebagai kader HMI yang cinta akan organisasinya. ‘HMI Baru’ adalah HMI yang terbebas dari fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang buruk yang menyebabkan ia tertawan oleh masa lalu, dan “menebalkan” fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang baik serta menanamkan benih suatu fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang baru sehingga HMI dapat menyambut ‘kelahirannya kembali’ dan dengan penampilan meyakinkan mewarnai ‘zaman yang telah berubah’ ini. Ikhtiar untuk melaksanakan hal ini membutuhkan komitmen kuat dan terfasilitasi dengan baik sehingga forum tertinggi organisasi, Kongres, merupakan wadah yang paling tepat untuk membangun dasar-dasar ‘HMI Baru’ tersebut. Karena disana akan ditentukan (perubahan) doktrin organisasi (NDP), aturan main yang mendasar dari organisasi (AD, ART dan penjabarannya), program kerja serta nakhoda baru organisasi.

Himpunan Mahasiswa Islam Baru.
Ikhtiar menghadirkan ‘HMI Baru’ adalah bentuk perlawanan terhadap kondisi HMI yang menjauhi idealitas, terjebak pada kejumudan dan kehilangan “syahwat” inovasi. Untuk itu, ‘HMI Baru’ harus terampil memperlakukan masa lalunya. Ia tahu mana yang patut diteruskan dan mana yang patut disudahi. Dalam bahasa lain, terampil membebaskan diri dari fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang buruk yang menyebabkan ia tertawan oleh masa lalu, dan “menebalkan” fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang baik serta terampil menanamkan benih fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang mampu membuatnya berseri-seri menyambut masa depan. Ia juga terampil menghadirkan masa depan dan benih-benihnya pada kondisi kekinian. Ia terampil mengelola tekanan masa lalu (yang terkadang disertai tawaran “gula”) dan tuntutan masa depan (yang terkadang disertai “pil pahit”) yang kemudian diformulasikannya dalam kerja nyata organisasi.

Bila fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang buruk adalah dominasi materialisme dan political oriented dalam cara berpikir kita; ketidakpastian sumber pendanaan organisasi yang diantaranya berpengaruh pada kesulitan dalam mensinambungkan kerja-kerja organisasi dan kesulitan transparansi penggunaan dana; relasi kuasa yang dominan dengan politisi; serta sistem kepengurusan yang mengoligarki maka ‘HMI Baru’ harus membebaskan diri dari semua itu. Secara normatif, kita dapat meraba bahwa ‘HMI Baru’ adalah HMI yang bila sebelumnya ia adalah organisasi kumpulan pemalas, maka ia adalah organisasi kumpulan orang rajin. BiIa sebelumnya adalah organisasi yang administrasi organisasinya buruk, maka ia adalah organisasi yang administrasi organisasinya baik. Bila sebelumnya adalah organisasi yang tidak transparan dalam pengelolaan uang, maka ia adalah organisasi yang transparan dalam pengelolaan uang. Bila sebelumnya ia adalah organisasi yang berkonflik dengan buruk, maka ia adalah organisasi yang berkonflik dengan baik. Bila sebelumnya adalah organisasi yang tidak independen, maka ia adalah organisasi yang independen. Bila sebelumnya adalah organisasi yang tidak inovatif, maka ia adalah organisasi yang inovatif, dan seterusnya. Masing-masing dari kita dapat menambahkan daftar tersebut dengan memasukkan apa yang tidak ideal dan memasukkan lawannya yang ideal sebagai satu karakter dari ’HMI Baru’. Namun yang pasti ’HMI Baru’ tidak asal beda dan tidak untuk benar-benar mendirikan suatu organisasi baru sebagai sempalan HMI seperti HMI MPO.

Himpunan Mahasiswa Islam Baru Dan Masa Depan Bangsa
Keberadaan HMI tentunya memiliki dampak terhadap bangsa (dan negara) Indonesia, positif maupun negatif, dan besar maupun kecil. Hal ini disebabkan karena kader HMI adalah hampir dapat dipastikan seluruhnya generasi muda bangsa Indonesia yang kelak Insya Allah akan menempati posisi strategis di bangsa Indonesia. Sehingga nilai-nilai dan kualitas sumber daya manusia yang mereka miliki akan turut menentukan nilai-nilai dan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

Oleh karena ia merupakan manifestasi idealitas HMI, ‘HMI Baru’ tentunya diharapkan memiliki dampak yang positif terhadap bangsa dan negara Indonesia. Logika yang dibangun memang merupakan logika linear sederhana. Hal ini tentu akan berjalan demikian bila terjadi transformasi yang baik dari ‘HMI Baru’ yang merupakan generasi muda bangsa tersebut hingga eks ‘HMI Baru’ yang kemudian memegang posisi strategis bangsa dan negara. Namun dari gambaran ini adalah logis bila dikatakan: membangun ‘HMI Baru’ pada dasarnya adalah membangun juga masa depan bangsa (dan negara) Indonesia yang lebih baik. Adalah tugas kita bersama mewujudkan pernyataan tersebut tidak menjadi klaim yang berlebihan.

Nilai-Nilai Perjuangan Kader
Nilai-nilai perjuangan kader merupakan konsepsi dasar yang membentuk karakter dalam setiap individu kader serta melekat dalam diri setiap individu kader. Pembentukan ini tidaklah serta merta hadir dalam diri kader tanpa adanya proses transformasi doktrinasi organisasi.

Himpunan mahasiswa islam merupakan organisasi yang memiliki nilai-nilai perjuangan yang sangatlah jelas seperti yang termaktub dalam kontstitusi anggaran dasar bab II pasal III tentang asas islam. Hal inilah yang merupakan acuan dasar melangkah kader-kader himpunan mahasiswa islam dalam mewjudkan tujuan himpunan mahasiswa islam “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adilmakmur yang dirdhoi Allah SWT”. Untuk mewujudkan tujuan himpunan mahasiswa islam sehingga fungsi dan peran himpunan mahasiswa islam seperti yang termaktub dalam konstitusi anggaran dasar bab IV pasal VIII tentang fungsi dan Pasal IX tentang peran.

Dalam implementasi aktualisasi nilai-nilai kader himpunan mahasiswa islam sangatlah jelas akan fungsinya yang dimana dari tahim hijau hitam telah banyak kader-kader dan alumni yang terlahir dan menjadi pemimpin bangsa, serta perannya akan kredibilitas sebagai organisasi perjuangan yang banyak turun andil dalam perjuangan republik indonesia. Hal ini terbukti akan perjuangan kader himpunan mahasiswa islam pada fase konsolidasi fisik (1947-1949) wakil PB HmI Ahmad Dahlan Tirtosudiro membentuk corps mahasiswa dalam membantu TRI (sekarang TNI) dalam pemberontakan PKI di madiun, perjuangan Ma’arie Moehammad dalam menggulingkan Rezim Orde Lama dan Perjuangan Anas Urbaningrum dkk dalam menggulingkan rezim Orde Baru menuju era reformasi. Perjuangan ini sehingga tidaklah heran jika Jendral Besar. Soedirman mengatakan “HmI bukan sekedar Himpunan Mahasiswa Islam, Melainkan HmI merupakan Harapan Masyarakat Indonesia”.

Tantangan Himpunan Mahasiswa Islam.
Dalam Konsep profetiknya, oleh Kuntowijoyo dicoba difahami sebagai sebuah paradigma yang diintepretasikan untuk aksi, maka HMI harus mampu melampaui pemikiran sekaligus aksi yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo. Sedikit berbeda dengan Cak Nur, gagasannya mengenai keharusan pembaruan pemikiran keagamaan, selain juga menuai berbagai kritikkan tajam, pada akhirnya gagasan beliau memberikan pengaruh sangat besar dalam wacana ke-Islam-an di Indonesia. Dalam konteks kekinian, tradisi intelektual yang terdapat di HMI dihadapkan pada beberapa tantangan serius. Sebagai artikulator gagasan umat sekaligus bangsa, sudah semestinya HMI mengambil peranan sangat penting di saat kondisi bangsa membutuhkan ide-ide pembaruan yang inovatif, relevan, realistis dan produktif.

Bertolak dari tujuan HMI, perlu digarisbawahi beberapa poin penting yang semestinya mengiringi jalannya organisasi.
Pertama, keharusan mengembalikan dan menguatkan kembali tradisi intelektual di HMI. Sebab bagaimanapun juga, hal tersebut merupakan salah satu kebutuhan mendasar HMI, selain kuantitas keberadan kader (cadre). 
Kedua, bagaimana kekuatan intelektual yang menjadikan HMI ”besar” dapat tertransformasikan secara masif pada ranah sosiologis sebagai bentuk pengobjektifikasiannya. Dengan demikian akumulasi pengetahuan yang terdapat di HMI memiliki daya dobrak terhadap ketidakmapanan sosial yang selama ini menjadi persoalan umat dan bangsa. Di samping itu, apa yang disebut sebagai gerakan pengetahuan yang dimiliki oleh HMI pun tetap harus memiliki karakter khas yang membedakannya dengan gerakan-gerakan yang lain.
Ketiga, karena HMI adalah organisasi mahasiswa Islam dengan statusnya yang independen, maka bagaimana gerakan pengetahuan tersebut tetap berada pada jalurnya yang benar. Dalam arti setiap objektifikasi yang merupakan manifestasi dari gerakan pengetahuan tersebut tetap tidak terlepaskan dari ketidakbebasan nilai dalam arti keberpihakan kepada kebenaran. Tentu saja kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran bukan dimaknai pada objek di mana nilai kebenaran melekat, namun murni kepada nilainya. Dengan demikian sistem pemikiran HMI yang dimanifestasikan dalam bentuk arah perjuangan HMI ke depan melalui kader yang dimiliki, baik secara normatif-subjektif, maupun empirik-objektif dapat diterima, diaplikasikan dan dipertanggungjawabkan.

Namun sebelumnya, untuk dapat merealisasikan apa yang menjadi gagasan besar HMI, juga dibutuhkan perangkat yang terformat dengan jelas sebagai penopang dari objektifikasi terhadap gagasan tersebut. Perangkat yang dimaksud adalah pola serta sistem perkaderan yang nantinya diharapkan mampu menjadi jalan keluar dari persoalan kualitas dan kuantitas yang selama ini dinilai sangat serius menghambat laju gerak dari gagasan dan aksi organisasi. Adanya fenomena penurunan sangat tajam pada  wilayah jumlah anggota (kader), disertai dengan penurunan yang juga sangat drastis pada wilayah intelektualitas kader (kualitas), tidak menuutp kemungkinan apapun yang menjadi arah perjuangan HMI tetap tidak mampu untuk dapat dilaksanakan.

Jadi, memang harus terdapat hubungan yang saling terkait dan mendukung di antara beberapa hal penting di atas. Antara kualitas dan kuantitas tidak dapat kita dikotomikan, dengan adanya pendikotomian hanya akan meniscayakan untuk lebih mendahulukan atau mementingkan salah satu di antara keduannya. Dengan demikian, ketika terjadi pendikotomian, dan bukan mengintegrasikannya, konsentrasi organisasi hanya akan terfokus pada salah satu wilayah dengan menafikan wilayah yang lain. Meskipun dengan asumsi ketika salah satu kebutuhan – katakanlah kebutuhan pada kualitas kader – telah terakomodir maka kebutuhan yang lain – tentu saja kebutuhan akan kuantitas kader – dengan sendirinya akan dapat juga terpenuhi. Logika yang demikian adalah logika yang keliru, atau bahkan sangat keliru. Hanya dengan tidak menganggap keduanya sebagai dua entitas kebutuhan yang berbeda, namun satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan, maka HMI dapat bangkit kembali menjalankan fungsi dan perannya dengan maksimal. Sebab untuk dapat bangkit kembali, HMI harus memiliki gagasan besar yang dibutuhkan oleh masyarakat secara luas. Untuk dapat mengaktualisasikan gagasan tersebut, HMI harus didukung oleh kapasitas intelektual (kualitas) serta keberadaan kader dengan jumlah yang besar (kuantitas). Sehingga mampu memiliki kekuatan secara kualitas dan kuantitas yang memadai, maka HMI setidaknya harus memiliki sistem serta pola perkaderan yang bagus dan dilaksanakan secara tertib dan disiplin.

Hal penting juga yang tidak boleh terlepas dari HMI selain beberapa hal penting yang telah disampaikan di muka, adalah HMI harus memiliki landasan yang jelas dan permanent. Atau paling tidak harus memperkuat landasan yang ada sebagai kekuatan pondasi organisasi. Jadi selain kualitas dan kuantitas yang terintegrasi, kemudian tersosialisasikan dan tertransformasikan secara masif, baik pada wilayah out put maupun in put nya, sintesisnya pun harus berdampak kepada penguatan di dalam tubuh organisasi itu sendiri. Setidaknya harus ada pentransendensian. Penghumanisasian dan peliberasian sebelum, saat dan setelah adanya pengobjektifikasian terhadap sintesa tersebut di atas. Untuk itu dibutuhkan beberapa landasan dalam pelaksanaan gerak di HMI. Beberapa landasan tersebut diantaranya dapat dilihat di dalam pedoman Angaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) HMI.

Berangkat dari pemikiran di atas, sebagai upaya dalam  menghidupkan kembali tradisi intelektual di HMI sekaligus menjadikan pengetahuan sebagai arus utama dalam perubahan sosial. sebagai organisasi mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam mewujudkan (final goal). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai “kekuatan moral” atau moral forces yang senantiasa melaksanakan fungsi “social control“. Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen.
Mahasiswa, setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaharuan masyarakat atau “agent of social change“. Kelompok mahasiswa dengan sikap dan watak tersebut di atas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat yang akan datang. Oleh sebab itu fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi yang paling pokok. Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa depan maka kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis. Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi sebagai “duta-duta pembaharuan sosial” dalam pengertian harus menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam semesta dan dalam sejarah umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab bagi kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran Illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap kadernya harus mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam.
Watak dan sifat mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (hanief) maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi kehidupan bangsa dan negaranya.
Persoalan sangatlah substansial dalam tubuh himpunan mahasiswa islam adalah lahirnya nilai-nilai dasar perjuangan yang menjadikan dualisme dalam kultur internal organisasi. Adanya ideologi mashab yang dimasukkan dalam NDP dengan melakukan pembaharuan serta diafirmasikan dengan nama “NDP BARU” yang melakukan pembaharuan akan NDP CAK NUR yang sangatlah jelas dengan nilai-nilai perjuangan himpunan mahasiswa islam.
Peran dan Fungsi Himpunan Mahasiswa Islam Dalam Mengawal Agenda Bangsa.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan pada tanggal 5 Februari 1947 sebagai organisasi independen saat ini harus mempertegas ulang mengenai siapa dirinya. Pada fase tahun 1966-1998 menunjukkan budaya Himpunan Mahasiswa Islam yang berjiwa elitis, dekat dengan penguasa, dan birokrasi sehingga menimbulkan rapuhnya intelektualitas dan keringnya pemikiran intelektual kader serta lebih mengedepankan aspek politis.

Dalam kaitan ini Himpunan Mahasiswa Islam mempunyai dua visi, yaitu visi keislaman dan keindonesiaan. Visi keislaman yang dikembangkan oleh Himpunan Mahasiswa Islam juga tidak lepas dari “circle” modernisasi. Ini terlihat dari rumusan besar wawasan Himpunan Mahasiswa Islam pada dasawarsa 70-an yang ditulis oleh Kakanda Nurcholish Madjid atau lebih dikenal dengan Cak Nur berupa Nilai Dasar Perjuangan sebagai gagasan yang merupakan pengaruh dari modernisasi dan kecenderungan pada pengembangan intelektualitas.

Sedangkan visi keindonesiaan, doktrin kerakyatan harus ditanamkan pada kader, karena sekarang mempunyai kesan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam adalah organisasi elit yang jarang menyentuh lapisan bawah. Pada sisi lain, Himpunan Mahasiswa Islam mempunyai agenda besar dalam memperjuangkan rakyat Indonesia.

Strategi perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam dengan demikian harus diorientasikan pada persoalan bagaimana mewujudkan iklim demokrasi dan ada konsensus bersama tentang jatidiri Himpunan Mahasiswa Islam adalah inklusif dan berpihak pada rakyat sebagai komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran. Menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa merupakan salah satu agenda penting dalam peran Himpunan Mahasiswa Islam dalam pengawalan demokratisasi di Indonesia. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.

Memang tidaklah mudah mengawal agenda bangsa dan mewujudkan cita-cita Himpunan Mahasiswa Islam, karena masih sangat besarnya benteng penghambat kemajuan yaitu praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di negeri ini, tapi bagi Himpunan Mahasiswa Islam ini bukanlah suatu hambatan atau tantangan yang dapat melunturkan idealism perjuangan melainkan semakin besarnya kobaran api semangat perjuangan dalam ”mewujudkan maksyarakat adilmakmur”.

Himpunan Mahasiswa Islam tidak pernah berhenti memperjuangkan aspirasi rakyat setiap permasalahan-permasalahan yang terjadi di negeri ini, Seperti kasus Bank Century yang hingga saat ini belum juga tuntas dan masih menjadi tanda tanya besar kapan terselesaikan kasus tersebut, namun Himpunan Mahasiswa Islam tidak pernah berhenti hal tersebut. Namun banyak hambatan yang membatasi sejauh mana Himpunan Mahasiswa Islam memasuki jalur pemerintahan terhadap penggunaan dan pelaksanaan otoritas kekuasaan.

Himpunan Mahasiswa Islam juga tidak pernah berhenti mengkritik pemerintah jika dianggap ada sistem pemerintahan yang tidak lagi efisien digunakan sehingga harus dilakukan pembenahan struktur dan kelembagaan yang memungkinkan bagi terciptanya otoritas kekuasaan dari lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab. Maka tak berlebihan ketika jendral Soedirman pernah berucap “HMI adalah bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam, Tapi HMI juga adalah; Harapan Masyarakat Indonesia”.

Dari pengkaderan yang merupakan fungsi organisasi kemudian melahirkan para intelektual-intelektual bangsa yang dapat merubah dan membawa bangsa Indonesia kearah yang yaitu “masyarakat adil makmur” dan melalui pengkaderan Himpunan Mahasiwa Islam selalu melakukan dan membentuk kader bangsa yang muslim, Intelektual, dan profesional, karena seluruh kader Himpunan Mahasiswa Islam di tujukan untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan, sehingga para insan Kader Himpunan Mahasiswa Islam siap dan dapat di manfaatkan oleh seluruh golongan yang ada di tengah-tengah masyarakat selagi tujuannya tidak bertentangan dengan mission Himpunan Mahasiswa Islam.

Oleh sebab itu  menjadi keharusan bagi Himpunan Mahasiswa Islam untuk tetap melahirkan kader-kader yang memiliki karakter kepemimpinan yang bertanggung jawab untuk mewujudkan visi atau cita ideal yang termaktub dalam mission Himpunan Mahasiswa Islam, sehingga Himpunan Mahasiswa Islam beserta steak holdernya bisa menjadi pengokoh dan pemersatu keutuhan bangsa. Selain itu, Himpunan Mahasiswa Islam Berperan sebagai organisasi perjuangan yang telah urgensitas terhadap peran ke-HMI-an yaitu Kontrol sosial “Social Of Control” dan juga agen Perubahan “Agen Of Change”, yang sebagai peniup peluit (whistle blower) atas setiap gejolak-gejolak yang terjadi di negeri ini yang dapat menghambat kemajuan Negara Indonesia serta sebagai kelompok penekan (pressure) atas setiap regulasi  menuju pemerintahan yang baik dan bersih. Karena di dalam tujuan  Himpunan Mahasiswa Islam  terdapat tujuan yang menjadi inti yaitu “Terwujudnya Masyarakat Adilmakmur”.

DAFTAR PUSTAKA
Aa Nurdiaman, "Pendidikan Kewarganegaraan: Kecakapan Berbangsa dan Bernegara", PT Grafindo Media Pratama.
Agus Pramusinto, Waryudi Pramusinto, Governance Reform Di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Yang Demokratis Dan Birokrasi Yang Professional, Yogyakarta, 2009.
Agussalim Sitompul, sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam 1947-1975,Bina Ilmu,Surabaya.
Jalaludin Rahmat, Rekayasa Sosial 199-200, PT Remaja Rosda Karya.
Lev, Daniel S, Hukum Dan Politik Di Indonesia: Kesinambungan  Dan Perubahan, LP3S, Yogyakarta, 1990.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Madani, Jakarta, 1992.
Natsar Desi Mahnudi, Rekonstruksi Pemikiran dan Pergerakan Himpunan Mahasiswa Islam, LPMI, 2006.
Peter L.Berger, Thomas Lucmann, tafsir social atas kenyataan, LP3ES, 1990.
Setiawan Djody, Reformasi dan Elemen-Elemen Revolusi, Jakarta, 2009.
St Sularto, "Masyarakat warga dan pergulatan demokrasi: menyambut 70 tahun Jakob Oetama", Penerbit Buku Kompas, 2001.
 

TAFSIR TUJUAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HmI)

A. PENDAHULUAN
Tujuan yang jelas diperlukan untuk suatu organisasi, hingga setiap usaha yang dilakukan oleh organisasi tersebut dapat dilaksanakan dengan teratur dan terarah. Bahwa tujuan suatu organisasi dipengaruhi oleh suatu motivasi dasar pembentukan, status dan fungsinya dalam totalitas dimana ia berada. Dalam totalitas kehidupan bangsa Indonesia, maka HMI adalah organisasi yang menjadikan Islam sebagai sumber nilai, motivasi dan inspirasi berstatus sebagai organisasi mahasiswa yang berperan sebagai sumber insani pembangunan bangsa dan berfungsi sebagai organisasi yang bersifat independen.
Pemantapan fungsi kekaderan HMI ditambah dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia sangat kekurangan tenaga intelektual yang memiliki keseimbangan hidup yang terpadu antara pemenuhan tugas duniawi dan ukhrowi, iman dan ilmu, individu dan masyarakat, sehingga peranan kaum intelektual yang semakin besar dimasa mendatang merupakan kebutuhan yang paling mendasar.
Atas faktor tersebut, maka HMI menetapkan tujuannya sebagaimana dirumuskan dalam pasal 5 AD ART HMI yaitu :

"TERBINANYA INSAN AKADEMIS, PENCIPTA, PENGABDI YANG BERNAFASKAN ISLAM DAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS TERWUJUDNYA MASYARAKAT ADIL MAKMUR YANG DIRIDLOI ALLAH SWT".

Dengan rumusan tersebut, maka pada hakekatnya HMI bukanlah organisasi massa dalam pengertian fisik dan kuantitatif, sebaliknya HMI secara kualitatif merupakan lembaga pengabdian dan pengembangan ide, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan membimbing anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan dengan cara-cara perjuangan yang benar dan efektif.

B MOTIVASI DASAR KELAHIRAN DAN TUJUAN ORGANISASI
Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan Islam sebagai agama yang Haq dan sempurna untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai daengan fitrahnya sebagai khalifatullah di muka bumi dangan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadiratnya.
Kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang dan terpadu antara pemenuhan dan kalbu, iman dan ilmu, dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan ukhrowi. Atas keyakinan ini, maka HMI menjadikan Islam selain sebagai motivasi dasar kelahiran juga sebagai sumber nilai, motivasi dan inspirasi. Dengan demikian Islam bagi HMI merupakan pijakan dalam menetapkan tujuan dan usaha organisasi HMI.

Dasar motivasi yang paling dalam bagi HMI adalah ajaran Islam. Karena Islam adalah ajaran fitrah, maka pada dasarnya tujuan dan mission Islam adalah juga merupakan tujuan daripada kehidupan manusia yang fitri, yaitu yang tunduk kepada fitrah kemanusiaannya. Tujuan kehidupan manusia yang fitri adalah kehidupan yang menjamin adanya kesejahteraan jasmani dan rohani secara seimbang atau dengan kata lain kesejahteraan materiil dan kesejahteraan spiritual. Kesejahteraan yang dimaksud akan terwujud dengan adanya amal saleh (kerja kemanusiaan) yang dilandasi dan dibarengi dengan keimanan yang benar. Didalam amal kemanusiaan inilah manusia akan mendapat kebahagiaan dan kehidupan yang sebaik-baiknya. Bentuk kehidupan yang ideal secara sederhana kita rumuskan dengan "kehidupan yang adil dan makmur".

Untuk menciptakan kehidupan yang demikian, Anggaran Dasar menegaskan kesadaran mahasiswa Islam Indonesia untuk merealisir nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Dalam Kebijaksanaan /Perwakilan serta mewujudkan Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah SWT.

Perwujudan daripada pelaksanaan nilai-nilai tersebut adalah berupa amal saleh atau kerja kemanusiaan. Dan kerja kemanusiaan ini akan terlaksana secara benar dan sempurna apabila dibekali dan didasari oleh iman dan ilmu pengetahuan. Karena inilah hakikat tujuan HMI tidak lain adalah pembentukan manusia yang beriman dan berilmu serta mampu menunaikan tugas kerja kemanusiaan (amal soleh). Pengabdian dalam bentuk amal soleh inilah pada hakekatnya tujuan hidup manusia, sebab dengan melalui kerja kemanusiaan manusia mendapatkan kebahagiaan.

C. BASIC DEMAND BANGSA INDONESIA
Sesungguhnya kelahiran HMI dengan rumusan tujuan seperti pasal 5 Anggaran Dasar tersebut adalah dalam rangka menjawab dan memenuhi kebutuhan dasar (basic need) bangsa Indonesia setelah mendapat kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 guna memformulasikan dan merealisasikan cita-cita hidupnya. Untuk memahami kebutuhan dan tuntutan mereka, maka kita perlu melihat dan memahami keadaan dan sejarah mereka sebelumnya. Sejarah Indonesia dapat kita bagi dalam 3 (tiga) periode yaitu:
1.      Periode (Masa) Penjajahan
Penjajahan pada dasarnya adalah perbudakan. Sebagai bangsa terjajah sebenarnya bangsa Indonesia pada waktu itu telah kehilangan kemauan dan kemerdekaan sebagai hak asasinya. Idealisme dan tuntutan bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kemerdekaan. Oleh karena itu timbullah pergerakan-pergerakan nasional dimana pimpinan-pimpinan yang dibutuhkan adalah mereka yang mampu menyadarkan hak-hak asasinya sebagai suatu bangsa.
2.      Periode (Masa) Revolusi
Periode ini adalah masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorong oleh keinginan yang luhur maka bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. dalam periode ini yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah adanya persatuan solidaritas dalam bentuk mobilitas kekuatan fisik guna melawan dan menghancurkan penjajah. Untuk itu dibutuhkan adalah "solidarity making" diantara seluruh kekuatan nasional sehingga dibutuhkan adanya pimpinan-pimpinan nasional type solidarity maker.
3.      Periode (Masa) Membangun
Setelah Indonesia merdeka dan kemerdekaan itu mantap berada di tangannya maka timbullah agar cita-cita dan idealisme sebagai manusia yang bebas dapat direalisir dan diwujudkan. Karena periode ini adalah periode pengisian kemerdekaan, yaitu guna menciptakan masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur. Maka mulailah pembangunan nasional. Untuk melaksanakan pembangunan, faktor yang sangat diperlukan adalah ilmu pengetahuan.
Pimpinan nasional yang dibutuhkan adalah negarawan yang "problem solver" yaitu type "administrator" disamping ilmu pengetahuan diperlukan pula adanya iman/akhlak sehingga mereka mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). Manusia yang demikian mempunyai garansi yang obyektif untuk menghantarkan bangsa Indonesia ke dalam suatu kehidupan yang sejahtera, adil dan makmur serta kebahagiaan. Secara keseluruhan basic demand bangsa Indonesia tersebut dengan tegas tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 dalam alinea ke-dua yaitu terbinanya negara Indonesia yang:
1.      Merdeka,
2.      Bersatu dan Berdaulat,
3.      Adil dan Makmur.
Tujuan 1 dan 2 secara formal telah kita capai tetapi tujuan ke-3 sekarang sedang kita perjuangkan. Suatu masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur hanya akan terbina dan terwujud dalam suatu pembaharuan dan pembangunan terus menerus yang dilakukan oleh manusia-manusia yang beriman, berilmu pengetahuan dan berkepribadian, dengan mengembangkan nilai-nilai kepribadian bangsa.

D. KUALITAS INSAN CITA HMI
Kualitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yakni ideal yang terwujud oleh HMI di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Kualitas tersebut sebagai mana dirumuskan dalam pasal tujuan (pasal 5 AD HMI) adalah sebagai berikut:

Kualitas Insan Akademis
Berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis.
Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan kesadaran.
Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu yang dipilihnya, baik secara teoritis maupuan teknis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan.

Kualitas Insan Pencipta; Insan Akademis, Pencipta
Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada, dan bergairah besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan bersikap dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan.
Bersifat independen dan terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian potensi, kreatifnya dapat berkembang dan menemukan bentuk yang indah-indah.
Dengan ditopang kemampuan akademisnya dia mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran Islam.

Kualitas Insan Pengabdi; Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi
Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama umat.
Sadar membawa tugas insan pengabdi bukanya hanya membuat dirinya baik, tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menjadi baik.
Insan akademis, pencipta dan pengabdi adalah yang pasrah cita-citanya yang ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesamanya.


Kualitas Insan yang bernafaskan Islam: Insan Akademis, Pencipta dan Pengabdi yang bernafaskan Islam
Islam yang telah menjiwai dan memberi pedoman pola pikir dan pola lakunya tanpa memakai merk Islam. Islam akan menjadi pedoman dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan mission Islam. Dengan demikian Islam telah menafasi dan menjiwai karyanya.
Ajaran Islam telah berhasil membentuk "unity of personality" dalam dirinya. Nafas Islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema antara dirinya sebagai warga negara dan dirinya sebagai muslim insan ini telah meng-integrasi-kan masalah suksesnya dalam pembangunan Nasional bangsa ke dalam suksesnya perjuangan umat Islam Indonesia dan sebaliknya.

Kualitas insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT :
Insan akademis, Pencipta dan Pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Berwatak, sanggup memikul akibat-akibat yang dari perbuatannya sadar bahwa menempuh jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral.
Spontan dalam menghadapi tugas, responsif dalam menghadapi persoalan-persoalan dan jauh dari sikap apatis.
Rasa tanggung jawab taqwa kepada Allah SWT, yang menggugah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
Korektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Percaya pada diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai "khalifah fil ardhi" yang harus melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan. Pada pokoknya insan cita HMI merupakan "Man of future" insan pelopor yaitu insan yang berfikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara operatif bekerja sesuai yang dicita-citakan.
Ideal type dari hasil perkaderan HMI adalah "Man of inovator" (duta-duta pembaharu). Penyuara "Idea of progress" insan yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia yang beriman berilmu dan mampu beramal soleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).
Dari lima kualitas lima insan cita tersebut pada dasarnya harus dipahami dalam tiga kualitas insan Cita yaitu kualitas Insan akademis, kualitas insan pencipta dan kualitas insan pengabdi. Ketiga kualitas insan pengabdi tersebut merupakan insan Islam yang terefleksikan dalam sikap senantiasa bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adi dan makmur yang diridhoi Allah SWT.

E. TUGAS ANGGOTA HMI
Setiap anggota HMI berkewajiban berusaha mendekatkan kualitas dirinya pada kualitas insan cita HMI seperti tersebut di atas. Tetapi juga sebaliknya HMI berkewajiban untuk memberikan pimpinan, bimbingan dan kondusif bagi perkembangannya potensi kualitas pribadi-pribadi anggota-anggota dengan memberikan fasilitas-fasilitas dan kesempatan-kesempatan. Untuk setiap anggota HMI harus mengembangkan sikap mental pada dirinya yang independen untuk itu :
Senantiasa memperdalam hidup kerohanian agar menjadi luhur dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Selalu tidak puas dan selalu mencari kebenaran.
Jujur dan tidak mengingkari hati nurani atau hanief.
Teguh dalam pendirian dan obyektif rasional menghadapi pendirian yang berbeda.
Bersifat kritis dan berfikir bebas kreatif.
Hal tersebut akan diperoleh antara lain dengan jalan:
Senantiasa mempertinggi tingkat pemahaman ajaran Islam yang dimilikinya dengan penuh gairah.
Aktif berstudi dalam fakultas yang dipilihnya.
Mengadakan tentir club untuk studi ilmu jurusannya dan club studi untuk masalah kesejahteraan dan kenegaraan.
Giat dalam studi dan selalu mengikuti perkembangan situasi.
Selalu mengadakan perenungan terhadap ilmu-ilmu yang sudah dimilikinya dan mengemukakan pendapatnya sendiri.
Selalu hadir dalam forum ilmiah.
Memelihara kesehatan badan dan aktif mengikuti karya bidang kebudayaan.
Selalu berusaha mengamalkan dan aktif dalam mengambil peran dalam kegiatan HMI.

Bahwa tujuan HMI sebagai dirumuskan dalam pasal AD HMI pada hakikatnya adalah merupakan tujuan dalam setiap anggota HMI. Insan cita HMI adalah gambaran masa depan HMI. Suksesnya seorang HMI dalam membina dirinya untuk mencapai insan cita HMI berarti dia telah mencapai tujuan HMI. Insan cita HMI ini pada suatu waktu akan merupakan Ïntelectual community"atau kelompok intelegensia yang mampu merealisir cita-cita umat dan bangsa dalam suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera spiritual, adil dan makmur serta bahagia (masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT).

INDEPENDENSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HmI)

Menurut fitrah kejadiannya, maka manusia diciptakan bebas dan merdeka. Karenanya kemerdekaan pribadi adalah hak yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari pada kemerdekaan itu. Sifat dan suasana bebas dan kemerdekaan seperti diatas, adalah mutlak diperlukan terutama pada fase/saat manusia berada dalam pembentukan dan pengembangan. Masa/fase pembentukan dari pengembangan bagi manusia terutama dalam masa remaja atau generasi muda.

Mahasiswa dan kualitas-kualitas yang dimilikinya menduduki kelompok elit dalam generasinya. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis adalah ciri dari kelompok elit dalam generasi muda, yaitu kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang didasarkan pada obyektif yang harus diperankan mahasiswa bisa dilaksanakan dengan baik apabila mereka dalam suasana bebas merdeka dan demokratis obyektif dan rasional. Sikap ini adalah yang progresif (maju) sebagai ciri dari pada seorang intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas.

Atas dasar keyakinan itu, maka HMI sebagai organisasi mahasiswa harus pula bersifat independen. Penegasan ini dirumuskan dalam pasal 7 AD HMI yang mengemukakan secara tersurat bahwa "HMI adalah organisasi yang bersifat independen"sifat dan watak independen bagi HMI adalah merupakan hak azasi yang pertama.

Untuk lebih memahani esensi independen HMI, maka harus juga ditinjau secara psichologis keberadaan pemuda mahasiswa islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam yakni dengan memahami status dan fungsi dari HMI.

STATUS DAN FUNGSI HMI
Status HMI sebagai organisasi mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam mewujudkan (final gool). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai "kekuatan moral"atau moral force yang senantiasa melaksanakan fungsi "sosial control". Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen. 
 
Mahasiswa, setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaharuan masyarakat atau "agen of social change". Kelompok mahasiswa dengan sikap dan watak tersebut di atas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat yang akan datang. 

Oleh sebab itu,  fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi yang paling pokok. Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa depan maka kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis. Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi sebagai "duta-duta pembaharuan sosial" dalam pengertian harus menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam semesta dan dalam sejarah umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab bagi kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran Illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap kadernya harus mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam.
Watak dan sifat mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (Hanief) maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi kehidupan bangsa dan negaranya.

SIFAT INDEPENDEN HMI
Watak independen HMI adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader HMI. Implementasinya harus terwujud di dalam bentuk pola pikir, pola pikir dan pola laku setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan "Hakekat dan Mission" organisasi HMI dalam kiprah hidup berorganisasi bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Watak independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pikir pola sikap dan pola laku setiap kader HMI akan membentuk "Independensi etis HMI", sementara watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI akan membentuk "Independensi organisatoris HMI". 
Independensi etis adalah sifat independensi secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifat yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Watak dan kepribadian kader sesuai dengan fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran adalah ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA. Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader HMI berarti pengaktualisasian dinamika berpikir dan bersikap dan berprilaku baik "habluminallah" maupun dalam "habluminannas" hanya tunduk dan patuh dengan kebenaran.

Aplikasi dari dinamika berpikir dan berprilaku secara keseluruhan merupakan watak azasi kader HMI dan teraktualisasi secara riil melalui, watak dan kepribadiaan serta sikap-sikap yang : 
Cenderung kepada kebenaran (hanif)
Bebas terbuka dan merdeka
Obyektif rasional dan kritis
Progresif dan dinamis
Demokratis, jujur, dan adil

Independensi organisatoris adalah watak independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika HMI, baik dalam kehidupan intern organisasi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Independensi organisatoris diartikan bahwa dalam keutuhan kehidupan nasional HMI secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif, kontruktif, korektif, dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala usaha pembangunan demi mencapai cita-cita semakin hari semakin terwujud. Dalam melakukan partisipasi partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara organisasi HMI hanya tunduk serta teguh kepada prinsip-prinsip kebenaran dan objektifitas.

Dalam melaksanakan dinamika organisasi, HMI secara organisatoris tidak pernah "commited"dengan kepentingan pihak manapun ataupun kelompok dan golongan maupun, melainkan tunduk dan terikat kepada kepentingan kebenaran, objektivitas, kejujuran, dan keadilan. Agar secara organisatoris HMI dapat melakukan dan menjalankan prinsip-prinsip independensi organisatorisnya, maka HMI dituntut untuk mengembangkan "kepemimpinan kuantitatif" serta berjiwa independen sehingga perkembangan, pertumbuhan dan kebijaksanaan organisasi mampu diemban selaras dengan hakikat independensi HMI. Untuk itu HMI harus mampu menciptakan kondisi yang baik dan mantap bagi pertumbuhan dan perkembangan kualitas-kualitas kader HMI. Dalam rangka menjalin tegaknya "prinsip-prinsip independensi HMI" maka implementasi independensi HMI kepada anggota adalah sebagai berikut :

Anggota-anggota HMI terutama aktifitasnya dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan HMI. Oleh karena itu, tidak diperkenankan anggota HMI melakukan kegiatan-kegiatan dengan membawa organisasi atas kehendak pihak luar mana pun juga. Mereka tidak dibenarkan mengadakan komitmen-komitmen dengan bentuk apapun dengan pihak luar HMI selain segala sesuatu yang telah diputuskan secara organisatoris.

Alumni HMI senantiasa diharapkan untuk aktif berjuang menruskan dan mengembangkan watak independensi etis dimanapun mereka berada dan berfungsi sesuai dengan minat dan potensi dalam rangka membawa hakikat dan mission HMI. Dan menganjurkan serta mendorong alumni untuk menyalurkan aspirasi kualitatifnya secara tepat dan melalui semua jalur pembaktian baik jalur organisasi profesional kewiraswastaan, lembaga-lembaga sosial, wadah aspirasi poilitik lembaga pemerintahan ataupun jalur-jalur lainnya yang semata-mata hanya karena hak dan tanggung jawabnya dalam rangka merealisir kehidupan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Dalam menjalankan garis independen HMI dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, pertimbangan HMI semata-mata adalah untuk memelihara mengembangkan anggota serta peranan HMI dalam rangka ikut bertanggung jawab terhadap negara dan bangsa. Karenanya menjadi dasar dan kriteria setiap sikap HMI semata-mata adalah kepentingan nasional bukan kepentingan golongan atau partai dan pihak penguasa sekalipun. Bersikap independen berarti sanggup berpikir dan berbuat sendiri dengan menempuh resiko. Ini adalah suatu konsekuensi atau sikap pemuda. Mahasiswa yang kritis terhadap masa kini dan kemampuan dirinya untuk sanggup mewarisi hari depan bangsa dan negara.


PERANAN INDEPENDENSI HMI DI MASA MENDATANG
Dalam suatu negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini maka tidak ada suatu investasi yang lebih besar dan lebih berarti dari pada investasi manusia (human investment). Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir tujuan, bahwa investasi manusia kemudian akan dihasilkan HMI adalah manusia yang berkualitas ilmu dan iman yang mampu melaksanakan tugas-tugas manusia yang akan menjamin adanya suatu kehidupan yang sejahtera material dan spiritual adil makmur serta bahagia.

Fungsi kekaderan HMI dengan tujuan terbinanya manusia yang berilmu, beriman dan berperikemanusiaan seperti tersebut di atas maka setiap anggota HMI dimasa datang akan menduduki jabatan dan fungsi pimpinan yang sesuai dengan bakat dan profesinya.
Oleh karena itu hari depan HMI adalah luas dan gemilang sesuai status fungsi dan perannya dimasa kini dan masa mendatang menuntut kita pada masa kini untuk benar-benar dapat mempersiapkan diri dalam menyongsong hari depan HMI yang gemilang. Dengan sifat dan garis independen yang menjadi watak organisasi berarti HMI harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran. Maka konsekuensinya adalah bentuk aktifitas fungsionaris dan kader-kader HMI harus berkualitas sebagaimana digambarkan dalam kualitas insan cita HMI. Soal mutu dan kualitas adalan konsekuensi logis dalam garis independen HMI harus disadari oleh setiap pimpinan dan seluruh anggota-anggotanya adalah suatu modal dan dorongan yang besar untuk selalu meningkatkan mutu kader-kader HMI sehingga mampu berperan aktif pada masa yang akan datang.

SEJARAH PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
Sejarah HMI

Sejarah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI          

a. Definisi sejarah
Sejarah adalah segala sesuatu peristiwa/kejadian yang terjadi di masa lampau dan menjadi pedoman, pengalaman maupun pandangan di masa kini dan masa akan datang.

B. Latar belakang sejarah berdirinya HmI
Kalau ditinjau secara umum ada 4 (empat) permasalahan yang menjadi latar belakang sejarah berdirinya HMI.

1. Situasi Dunia Internasional
Berbagai argumen telah diungkapkan sebab-sebab kemunduran ummat Islam. Tetapi hanya satu hal yang mendekati kebenaran, yaitu bahwa kemunduran ummat Islam diawali dengan kemunduran berpikir, bahkan sama sekali menutup kesempatan untuk berpikir. Yang jelas ketika ummat Islam terlena dengan kebesaran dan keagungan masa lalu maka pada saat itu pula kemunduran menghinggapi kita.
Akibat dari keterbelakangan ummat Islam , maka munculah gerakan untuk menentang keterbatasan seseorang melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh. Gerakan ini disebut Gerakan Pembaharuan. Gerakan Pembaharuan ini ingin mengembalikan ajaran Islam kepada ajaran yang totalitas, dimana disadari oleh kelompok ini, bahwa Islam bukan hanya terbatas kepada hal-hal yang sakral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk itu sasaran Gerakan Pembaharuan atau reformasi adalah ingin mengembalikan ajaran Islam kepada proporsi yang sebenarnya, yang berpedoman kepada Al Qur'an dan Hadist Rassullulah SAW.
Dengan timbulnya ide pembaharuan itu, maka Gerakan Pem-baharuan di dunia Islam bermunculan, seperti di Turki (1720), Mesir (1807). Begitu juga penganjurnya seperti Rifaah Badawi Ath Tahtawi (1801-1873),
Muhammad Abduh (1849-1905),
Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Wahabisme) di Saudi Arabia (1703-1787),
Sayyid Ahmad Khan di India (1817-1898),
Muhammad Iqbal di Pakistan (1876-1938) dan lain-lain.

2. Situasi NKRI (KEBANGSAAN)
Tahun 1596 Cornrlis de Houtman mendarat di Banten. Maka sejak itu pulalah Indonesia dijajah Belanda. Imprealisme Barat selama ± 350 tahun membawa paling tidak 3 (tiga) hal :
•         Penjajahan itu sendiri dengan segala bentuk implikasinya.
Missi dan Zending agama Kristiani.
•         Peradaban Barat dengan ciri sekulerisme dan liberalisme.
•         Setelah melalui perjuangan secara terus menerus dan atas rahmat Allah SWT maka pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta Sang Dwi Tunggal Proklamasi atas nama bangsa Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya.
Polemic yang menjadi latar belakang primer berdirinya HmI setelah kemerdekaan  RI
  Faktor Internal
Hadirnya PKI yang menguat pada awal kemerdekaan RI dan ingin merubah ideology pancasila ke ideology komunis.
  Faktor Eksternal
Belanda belum mengakui kemerdekaan RI dengan kembali ingin menjajah RI sehingga terjadilah AMB I pada tahun 1946 yang melahirkan perjanjian Renville dan AMB II yang melahirkan perjanjian lingga jati pada tahun 1948.

3. Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di Indonesia (KEUMMATAN)
Kondisi ummat Islam sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
Pertama : Sebagian besar yang melakukan ajaran Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan seperti dalam upacara perkawinan, kematian serta kelahiran.
Kedua : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekkan ajaran Islam sesuai yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ketiga : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh mistikisme yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja.
Keempat : Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, selaras dengan wujud dan hakekat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-benar dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia.
Kelima  : hadirnya 2 organisasi islam dari kaum priyayi (NU) dan kaum abangan (MUI) yang saling mengklaim bahwa aliran merekalah yang benar sehingga melahirkan ambiguitas terhadap masyarakat awam.

4.Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan (KEMAHASISWAAN)
Ada dua faktor yang sangat dominan yang mewarnai Perguruan Tinggi (PT) dan dunia kemahasiswaan sebelum HMI berdiri.
Pertama: sistem yang diterapkan dalam dunia pendidikan umumnya dan PT khususnya adalah sistem pendidikan barat, yang mengarah kepada sekulerisme yang "mendangkalkan agama disetiap aspek kehidupan manusia".
Kedua : adanya Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Surakarta dimana kedua organisasi ini dibawah pengaruh Komunis. Bergabungnya dua faham ini (Sekuler dan Komunis), melanda dunia PT dan Kemahasiswaan, menyebabkan timbulnya "Krisis Keseimbangan" yang sangat tajam, yakni tidak adanya keselarasan antara akal dan kalbu, jasmani dan rohani, serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat.
Ketiga : Sistem sekularisasi dalam pendidikam sehingga menyebabkan degradasi nilai local jenius mahasiswa Indonesia.

C. BERDIRINYA HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI

Latar Belakang Pemikiran
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh LAFRAN PANE, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I. Tentang sosok Lafran Pane, dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda Lafran Pane lahir di desa pagurabaan kec.Sipirok 38 Km dari kaki gunung sibual-bual ibukota padang sidemuan Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim pernah menganyam pendidikan di Pesantren, Ibtidaiyah, Wusta dan sekolah Muhammadiyah.

Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: "Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.

Peristiwa Bersejarah 5 Februari 1947
Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang berakhir dengan kegagalan. Lafran Pane mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan secara mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir. Ketika itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5 Februari 1947, disalah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya dalam memimpin rapat antara lain mengatakan "Hari ini adalah pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan"
Pada awal pembentukkannya HMI bertujuan diantaranya antara lain:

1. Mempertahankan kemerdekaan RI dan mengangkat harkat dan martabat bangsa.
2. menjalankan syariat islam.

Sementara tokoh-tokoh pemula / pendiri HMI antara lain :
  Lafran Pane (Yogya),
  Karnoto Zarkasyi (Ambarawa),
  Dahlan Husein (Palembang),
  Maisaroh Hilal (Singapura),
  Suwali,
  Yusdi Ghozali (PII-Semarang),
  Mansyur, Siti Zainah (Palembang),
  M. Anwar (Malang),
  Hasan Basri,
  Marwan,
  Zulkarnaen,
  Tayeb Razak,
  Toha Mashudi (Malang),
  Baidron Hadi (Yogyakarta).

Faktor Pendukung Berdirinya HMI
Posisi dan arti kota Yogyakarta:
Yogyakarta sebagai Ibukota NKRI dan Kota Perjuangan
Pusat Gerakan Islam
Kota Universitas/ Kota Pelajar
Pusat Kebudayaan
Terletak di Central of Java.
Kebutuhan Penghayatan dan Keagamaan Mahasiswa
Adanya tuntutan perang kemerdekaan bangsa Indonesia
Adanya STI (Sekolah Tinggi Islam), BPT (Balai Perguruan Tinggi) Gajah Mada, STT (Sekolah Tinggi Teknik).
Adanya dukungan Presiden STI Prof. Abdul Kahar Muzakir
Ummat Islam Indonesia mayoritas

Faktor Penghambat Berdirinya HMI

Munculnya reaksi-reaksi dari :
Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY)
Gerakan Pemuda Islam (GPII)
Pelajar Islam Indonesia (PII)
Fase-Fase Perkembangan HMI dalam Perjuangan Bangsa Indonesia
1. Fase Konsolidasi Spiritual (1946-1947)   
Sudah diterangkan diatas       

2. Fase Pengokohan (5 Februari 1947 - 30 November 1947)        
Selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan yang datang silih berganti, yang kesemuanya itu semakin mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegak dan kokoh.     

Fase Perjuangan Bersenjata (1947 - 1949) 
Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun kegelanggang pertempuran melawan agresi yang dilakukan oleh Belanda, membantu Pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakkan PKI di Madiun 18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono dan wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu Pemerintah menumpas pemberontakkan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci itu nampak sangat menonjol pada tahun '64-'65, disaat-saat menjelang meletusnya G30S/PKI.            

Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)           
Selama para kader HMI banyak yang terjun ke gelanggang pertempuran melawan pihak-pihak agresor, selama itu pula pembinaan organisasi terabaikan. Namun hal itu dilakukan secara sadar, karena itu semua untuk merealisir tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas Agama dan tugas Bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan Rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksankanlah tugas-tugas konsolidasi internal organisasi. Disadari bahwa konsolidasi organisasi adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.       

Fase Tantangan (1964 - 1965)          
Dendam sejarah PKI kepada HMI merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi HMI. Setelah agitasi-agitasinya berhasil membubarkan Masyumi dan GPII, PKI menganggap HMI adalah kekuatan ketiga ummat Islam. Begitu bersemangatnya PKI dan simpatisannya dalam membubarkan HMI, terlihat dalam segala aksi-aksinya, Mulai dari hasutan, fitnah, propaganda hingga aksi-aksi riil berupa penculikan, dsb.    
Usaha-usaha yang gigih dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak menjadi kenyataan, dan sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa yang kontra revolusi, PKI dengan puncak aksi pada tanggal 30 September 1965 telah membuatnya sebagai salah satu organisasi terlarang.  

Fase Kebangkitan HMI sebagai Pelopor Orde Baru (1966 - 1968)          
HMI sebagai sumber insani bangsa turut mempelopori tegaknya Orde Baru untuk menghapuskan orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha itu tampak antara lain HMI melalui Wakil Ketua PB Mari'ie Muhammad memprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25 Oktober 1965 yang bertugas antara lain : 1) Mengamankan Pancasila. 2) Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam penumpasan Gestapu/ PKI sampai ke akar-akarnya. Masa aksi KAMI yang pertama berupa Rapat Umum dilaksanakan tanggal 3 Nopember 1965 di halaman Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta, dimana barisan HMI menunjukan superioitasnya dengan massanya yang terbesar. Puncak aksi KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang mengumandangkan tuntutan rakyat dalam bentuk Tritura yang terkenal itu. Tuntutan tersebut ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan sehingga tidak sedikit dari pihak mahasiswa menjadi korban. Diantaranya antara lain : Arif rahman Hakim, Zubaidah di Jakarta, Aris Munandar, Margono yang gugur di Yogyakarta, Hasannudin di Banjarmasin, Muhammad Syarif al-Kadri di Makasar, kesemuanya merupakan pahlawan-pahlawan ampera yang berjuang tanpa pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan ummat serta keselamatan bangsa serta negara. Akhirnya puncak tututan tersebut berbuah hasil yang diharap-harapkan dengan keluarnya Supersemar sebagai tonggak sejarah berdirinya Orde Baru.        

Fase Pembangunan (1969 - 1970)
Setelah Orde Baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen (meski hal ini perlu kajian lagi secara mendalam), maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). HMI pun sesuai dengan 5 aspek pemikirannya turut pula memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam era awal pembagunan. Bentuk-bentuk partisipasi HMI baik anggotanya maupun yang telah menjadi alumni meliputi diantaranya : 1) partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan, 2) partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran 3) partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.          

Fase Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970 - sekarang )         
Suatu ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya adalah kebebasan berpikir dikalangan anggotanya, karena pada hakikatnya timbulnya pembaharuan karena adanya pemikiran yang bersifat dinamis dari masing-masing individu. Disebutkan bahwa fase pergolakan pemikiran ini muncul pada tahun 1970, tetapi geja-gejalanya telah nampak pada tahun 1968. Namun klimaksnya memang terjadi pada tahun 1970 di mana secara relatif masalah- masalah intern organisasi yang rutin telah terselesaikan. Sementara di sisi lain, persoalan ekstern muncul menghadang dengan segudang problema.    
BAB VIII "KESIMPULAN DAN PENUTUP"
Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sbb:
1.      Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya, yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu mamancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya. 

2.      Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan. Ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang tuguh kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi wewenang penuh dari pada agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya di tengah alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia tidak melebihkan diri sehingga mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan kemanusiaan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai mahluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain Dengan ibadah manusia dididik untuk memilki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuatikhlas, yaitu pemurniaan pengabdian kepada Kebenaran semata.

3.      Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yanag sungguh - sungguh secara essensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang maupun waktu. Yaitumenegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha - usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai - nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usaha itu ialah "amar ma'ruf”, disamping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai - nilai kemanusiaan atau nahi mungkar. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha - usaha kearah penungkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.

4.      Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itupersyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi dan oleh sikap yang tegas kepada musuh - musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.

5.      Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuang kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu, manusia harus mengetahui arah yang benar dari pada perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan mengahancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahun harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan diantaranya yang terbaik.

Dengan demikian, tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu beriman,berilmu dan beramal.

BAB VII "KEMANUSIAAN DAN ILMU PENGETAHUAN"
Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan, dapatlah disimpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada kemanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh (95:6).  

Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikanya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri kemanusiaan. Sikap pri kemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan manusia?. 

Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula perjalanan ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada yaitu kebenaran mutlak (Tuhan) (28:88). Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan (6:57). 

Oleh karena itu manusia berikhtiar dan merdeka, ialah yang bergerak. Gerakan itu tidak lain dari pada gerak maju kedepan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak statis. Dia bukanlah seorang tradisional, apalagi reaksioner (17:36).  Dia menghendaki perubahan terus menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencarai kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam dari sejarah umat manusia.

Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri (41:53).

Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan kepada kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa (35:28). Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (58:11). 

Ilmu pengetahuan ialah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna dapat mengarahkanya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar dapat menguasai dan menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi ummat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau rasio (45:13). 

Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap (3:137). Hukum sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan menuruti hawa nafsu (91:9-10). 

Tetapi cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang (12:111). Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya kearah kemajuan dan kebaikan. 

BAB VI "KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI"
Telah kita bicarakan tentang hubungan antara individu dengan masyarakat dimana kemerdekaan dan pembatas kemerdekaan saling bergantungan, dan dimana perbaikan kondisi masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika kemerdekaan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas) maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya.

Akibatnya pertarungan keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan atau anarchi (92:8-10). Sudah barang tentu menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam masyarakat (5:8). Siapakah yang harus menegakkan keadilan, dalam masyarakat? Sudah barang pasti ialah masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya satu kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan (2:104).

Kualitas terpenting yang harus dipunyainya, ialah rasa kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan yang tak terbatas pada Tuhan. Di samping itu diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau setidak-tidaknya mereka adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.

Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan kadilan. Maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara dan pemerintah ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada kemungkinan perusakkan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia sebaliknya setiap orang mengambil bagian pertanggungjawaban dalam masalah-masalah atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.

Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada didalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri sendiri (Hadist: “kullukum raain wakullukum mas uulun ‘an raiyyatih” -Bukhari & Muslim). Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu (42:28, 42:42). Kekuatan yang sebenarnya didalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat.

Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip kegotongroyongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang musti dilaksanakan (4:58). Ketaatan rakyat kepada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib dilaksanakan. Didasari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak) dan Rasulnya (pengajar tentang Kebenaran) (4:59). Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan YME (5:45).

Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau pembagian kekeyaan diantara anggota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rejeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perjuangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi disatu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa dilain pihak (57:20). Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya - yaitu bila sudah mencapai batas maksimal - pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya (17:16).

Dalam masyarakat yang tidak adil, kekeyaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun dalam kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kezaliman.Orang-orang kaya menjadi pelaku daripada kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada dipihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat (4:160-161, 26:182-183, 2:279, 28:5).

Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kapitalisme dengan mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat (2:278-279). Sesudah syirik, kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (104:1-3). Maka menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma'ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi atau cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kamanusiaan diperbolehkan (yang ma'ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan) (3:110).

Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan prisip Ketuhanan YME, dalam hal ini pengakuan berketuhanan YME tetapi tidak melaksanakannya sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai yang tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata (61:2-3).

Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaanya, tetapi justru dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan dan kapital itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan.

Oleh karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana diterapkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan andanya tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang kontinyu, sebagai bentuk formil peringatan kepada tuhan. Sembahyang yang benar akan lebih efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah kekejian dan kemungkaran (29:45). Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang benar (Hadist: “sembahyang adalah tiang agama. Barangsiapa mengerjakannya berarti menegakkan agama. Barangsiapa meninggalkannya berarti merobohkan agama” -Baihaqi). Sembahyang menyelesaikan masalah - masalah kehidupan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara instrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan sepiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak (31:30). Pengabdian yang tidak tersalurkan secara benar kepada tuhan YME tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain. Dan membahayakan kemanusiaan. Dalam hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhadap kemanusiaan.

Dalam masyarakat yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan kaya dan miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas - batas kewajaran dan kemanusian dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (private ownership) atas harta kekayaan dan adanya perbedaan - perbedaan tak terhindar dari pada kemampuan - kemampuan pribadi, fisik maupun mental (30:37).

Walaupun demikian usaha - usaha kearah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang - orang kaya dalam jumlah presentase tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin (9:60). Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar, sah, dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana penindasan atas manusia oleh manusia dihapuskan (2:188).

Sebagaimana ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika hanya digunakan hak itu tidak bertentangan, pemilikan pribadi menjadi batal dan pemerintah berhak mengajukan konfiskasi.

Seorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas - batas tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata - rata penggunaan dalam masyarakat (25:67). Penggunaan yang berlebihan (tabzier atau israf) bertentangan dengan perikemanusiaan (17:26-27). Kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dalam masyarakat membuat akibat destruktif (17:16). Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat (taqti) merusakkan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama (47:38).

Hal itu semuanya merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan (10:55). Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberikan bagian yang wajar dari padanya (7:10).

Pemilikan oleh seseorang (secara benar) hanya bersifat relatif sebagai mana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki tuhan, untuk kepentingan umum (57:7). Maka kalau terjadi kemiskinan, orang - orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang - orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga (70:24-25). Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana yang diperlukan oleh pribadi-pribadi agar diandan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai dengan kainginan-keinginannya untuk dapat menerima tanggungjawab atas kegiatan-kegiatnnya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah pendidikan, kecakapan yang wajar kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.

BAB V "INDIVIDU DAN MASYARAKAT"
Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih berharga daripada kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai mahkluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.

Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya (43:32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri: sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial, dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda (5:48).

Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya saja (92:4). Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (17:84, 39:39). Peningkatan kemanusiaan tidak dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap orang keleluasaan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.

Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah mahkluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu (12:53, 30:29).

Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang, kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia (5:2).

Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia (99:7-8). Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian - sesudah sejarah (9:74, 16:30). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan (29:69).

Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan, jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong-royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (49:13, 49:10).

BAB IV "KETUHANAN YANG MAHA ESA DAN PERIKEMANUSIAAN"
 
Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.

Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.

Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (31:30). Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (3:60). Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME.

Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho" daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan (92:19-21).

Kata "iman" berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan YME (3:19). Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME (33:39). Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.

Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.

Pembagian kemanusiaan yang tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan.

Oleh karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (26:226). Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal saleh" (harfiah: pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman (lihat Qur’an: aamanu wa’amilushshaalihaat, tdk kurang dari 50 x pengulangan kombinasi kata). Jadi Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati (24:39). Oleh karena itu semangat Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban (9:109).

"Syirik" merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (31:13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik (6:82). Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya (Hadist, “sesunggunya sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil, yaitu riya - pamrih”. Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.

"Musyrik" adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (3:64). Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan (28:4). Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain.

Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan). Maka ketuhanan menimbulkan sikap yang adil kepada sesama manusia (16:90). 

BAB III KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR) DAN KEHARUSAN UNIVERSAL (TAKDIR)

Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang daripada kemauan baiknya. Keikhlasan adalah gambaran terpenting daripada kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (external) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akherat. Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus (8:25). Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima akibat baik dan buruk dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akherat tidak terdapat pertanggung jawaban bersama, tapi hanya ada pertanggung jawaban perseorangan yang mutlak (2:48, 31:33). Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup ditengah alam dan masyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.

Jadi individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir, dari pada kemanusiaan, serta letak kebenarannya daripada nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena individu adalah penanggung jawab terakhir dan mutlak daripada awal perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.

Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari pada kemanusiaan. Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder, ialah bahwa individu dalam suatu hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup ditengah alam sebagai makhluk sosial hidup ditengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan.

Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam kontek hidup ditengah masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam - hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri - yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya "keharusan universal" atau "kepastian umum" dan “takdir”(57:22).

Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam kontek hidup di tengah alam dan masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukan, maka apakah bentuk yang harus dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif daripada kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kretif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan "ikhtiar" artinya pilih merdeka. 

Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, manusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggung jawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri (13:11). Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.

Manusia tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan diri karena suatu kemunduran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada dirinya sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu (57:23).

BAB II PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG KEMANUSIAAN
Telah disebutkan di muka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief) (30:30). "Dlamier" atau hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (51:56, 3:156).
Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari mahluk-mahluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.

Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatanya (19:105, 53:39). Nilai- nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang kongkrit (61:2-3). Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan (16:97, 4:111).
Hidup yang pernuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan-kemajuan - baik yang mengenai alam maupun masyarakat - yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya (29:6).
Dia diliputi oleh semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (4:125). Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (39:18). Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom, hikmah) (2:269). Dia berpengalaman luas, berpikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya (6:125). Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf (3:134). Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik
Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.
Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rokhani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akherat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (98:5).
Dia seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari pada kecenderungannya yang suci yang murni (2:207, 76:89). Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih) (2:264). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberinya kebahagiaan (35:10). Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.
Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.







BAB I "DASAR-DASAR KEPERCAYAAN'
Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan" meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain Allah" memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai - nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan dengan insting dan indera.
Sesuatu yang diperlukan itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rasul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan" atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain (16:89).

Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah.
Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas (112: 1-4) menerangkan secara singkat; katakanlah : "Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa”. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin (57:3), dan "kemanapun manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan" (2:115). Dan "Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada" (57:4). Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.
Sebagai "yang pertama dan yang penghabisan", maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada "persetujuan" atau "ridhanya". Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain). 
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti (6:73, 25:2). Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara harmonis (23:14). Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya (31:20)). Maka alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku didalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri (10:101).

Jadi kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana (38:27). Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi (95:4, 17:70). Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan "Khalifah" atau wakil Tuhan di bumi (6:165). Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (11:61). Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut "sejarah". Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau "rajanya".
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri (33:72). Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan.
Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah "perubahan dan perkembangan", sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan olehNya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya (29:20). Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu (28:88). Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu (17:72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya (17:26).

Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu (58:11). Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah).
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. - Tuhan Allah Yang Maha Esa (41:37).
Ini disebut "Tauhid" dan lawannya disebut "syirik" artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban kemanusiaan menuju kebenaran.
Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja (1:4, 22:56, 40:16). Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu manusia yang bersifat mutlak dihadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah (2:48). Selanjutnya kiamat merupakan "hari agama", maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya / kehidupan akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadiannya (7:187).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar