Sabtu, 26 Agustus 2017

SOCRATES


Sokrates; Maju Tak Gentar Membela Yang Benar


“Akan kusajikan kepada kalian bukti yang kuat dan menyajikan tentang hal itu---bukan cuma kata-kata, tapi suatu bukti yang kalian hargai, yakni tindakan.  Dengarkanlah aku sementara aku menceritakan pengalamanku kepada kalian, supaya kalian dapat mengetahui bahwa aku tidak mau menyerah kepada satu orang hanya karena takut mati, supaya aku tidak bertindak melawan apa yang adil.  Aku juga tidak mau melakukan hal itu, seandainya-pun aku akan seketika kehilangan nyawaku.  Kepada kalian aku akan menyebut hal-hal kasar yang lumrah terjadi di ruang pengadilan; namun hal-hal ini benar”---Apologia-Sokrates


A. Riwayat Hidup
Sokrates laihir di Athena, di Deme Alopeke, sekitar tahun 470 SM dengan wajah buruk dan miskin.  Louis-Andre Dorion,  Platon dan Xenophon menggambarkan fisik Sokrates; hidung pesek dan lebar, matanya melotot keluar, bibir bawahnya tebal, perutnya buncit dan besar.  Sedemikian jelek sehingga dua muridnya menamaknnya dengan Silene.  Sokrates tidak menyembunyikannya, misalnya mencari pakaian yang bisa menyamarkan kejelekan tubuhnya.  Musim panas atau dingin, memakai pakaian yang sama dan berjalan kemana-mana dengan telanjang kaki.  Meski  buruk rupa, Sokrates adalah figur perayu ulung sehingga  anak-anak muda kaya mengikutinya dan mulai ikut-ikutan berjalan dengan kaki telanjang, berhenti mandi dan lain-lain---Aristophanes menciptakan kata baru “bertingkah seperti Sokrates (esokraton)” untuk menggambarkan  pengikut setia Sokrates yang “rambutnya panjang, kotor dan  kelaparan.
Sokrates tidak menulis satu bukupun namun semua sekolah filsafat yang muncul sesudahnya menganggap sebagai guru mereka.  Hidup Sokrates (menurut pengakuannya sendiri) merupakan wujud ketaatannya pada “yang ilahi”.  Sementara yang ilahi, sebagaimana aku meyakininya sepenuhnya, memberiku kewajiban untuk menjalankan kehidupan filosofis dengan memeriksa diriku dan diri orang lain.  Kehidupan Soktares adalah sikap yang sepenuhnya taat kepada polis (negara kota) Athena  seperti warga negara lainnya; ikut serta dalam berbagai pertempuran karena warga Athena wajib membela negaranya. Aktif menjadi anggota lembaga demokratis polisnya, dan berbicara terbuka mengungkap pendapatnya disitu. Namun akhirnya diangap pemberontak dan dihukum mati oleh polis Athena dengan tuduhan memberi pengaruh buruk kepada anak-anak  muda, mengajarkan atheisme (tidak mempercayai dewa-dewi yang di hormati polis) serta memasukan dewa-dewi baru yang tidak dikenal. Pamflet tulisan polykrates menuduh Sokrates: a) menjadi inspirator Kritis Alkibiades (musuh-musuh demokrasi), b) mengajak para pengikutnya  tidak mentaati istitusi demokrasi (misalnya pemilihan   pemimpin dengan model undian) dan c) menjadi partisan rejim Tirani 30.
Selain Platon dan Xenophon, banyak tulisan lain bernada apologetis untuk menunjukan bahwa Sokrates adalah model orang yang hidup menurut keutamaan, bahwa pertemuan dan perbincangan nya dengan anak-anak muda bukan untuk ‘’merusak’’ melainkan memperbaiki hidup mereka.  Sokrates tidak pernah dekat dengan rejim manapun.  Ia menjadi korban situasi politik yang berkembang saat itu yang serba resah (saat-saat menyakitkan pasca kekalahan perang saudara pada tahun 404 SM), munculnya bencana baru dalam ujud Tiran 30, pendirian lagi demokrasi yang diwarnai hawa balas dendam antara unsur dalam masyarakat dan kekecewaan atas para “intelektual”---kaum sofis dimana Sokrates dianggap salah satunya---yang telah mengharubirukan Athena namun ternyata tidak pernah membawa Athena berjaya.  Sokrates dianggap orang berbahaya dalam konteks seperti itu, sama seperti dulu ia juga dianggap musuh rejim Tirani 30.
Louis-Andre Dorion, dalam Socrate  memberi argumentasi mengenai hukuman mati Sokrates; Pertama, “tuduhan atheisme”,  baik Platon maupun Xenophon menunjukkan bahwa Sokrates adalah orang saleh yang tetap menghormati Zeus dan dewa-dewi yang bertahta di gunung Olympus jadi tentu saja ia tidak mengkritik para dewa-dewi yang tidak bermoral.  Kedua, tuduhan mengintrodusir “dewa-dewi baru” merujuk kepada Sokrates yang sering mengatakan bahwa  mendapat “inspirasi” dari yang ilahi.  Cara bertindak demikian, sama sekali tidak dilarang mengingat orang-orang Athena sering menggunakan peramal dan para normal yang memiliki klaim yang sama tentang “inspirasi”.  Ketiga, bahwa Sokrates “merusak anak-anak muda” lebih dalam motif politis untuk pembungkaman Sokrates.  Tuduhan ini mau mengatakan tentang pengaruh berbahaya yang telah disebarkan Sokrates di kalangan anak-anak muda.  Praktek elegkhos/dialektika dalam arti penyanggahan yang diajarkan Sokrates membuat mereka mampu membongkar kedok “sok tahu”  orang-orang “tua” yang selama ini di tokohkan sebagai “pandai bijaksana”.  Bahwa Alkibiades, Xarmides dan Kritias---tiga orang yang dianggap musuh-musuh demokrasi dan  ketiganya terlibat di Pemerintahan Tiran 30 atau berkolaborasi dengan Sparta---orang-orang muda yang dekat dengan Sokrates.

B. Membela yang Benar
Sokrates membela diri tidak seperti yang biasa dilakukan  pengacara yang rela memelintir argumentasi untuk memenangkan hati hakim.  Di depan model juri rakyat yang melakukan voting untuk mengadili kasusnya, Sokrates “memenangkan kasusnya” justru kelihatan provokatif.  Sokrates menolak bersikap seolah-olah  butuh dikasihani dengan meratap dan memohon-mohon---Ia tidak peduli dengan penilaian orang mengenai citra dirinya.  Sikap keras kepala Sokrates selama pengadilan juga berkontribusi sehingga proses pengadilan berujung pada keputusan fatal---sebenarnya tidak menjadi maksud para penuduhnya (mereka tidak bermaksud menghukum mati dan hukuman pembuangan sudah lebih dari cukup.  Seperti dalam Apologia; “kalian tahu, aku telah dituduh dihadapanmu oleh banyak orang untuk waktu yang lama, bahkan sebetulnya sudah selama bertahun-tahun sampai sekarang oleh orang yang tidak mengatakan satu kata kebenaranpun.  Orang-orang inilah yang aku takutkan, lebih dari Anytus dan kerumunannya, meskipun mereka juga berbahaya.  Tapi orang-orang itu lebih berbahaya, wahai saudara-saudara (para pengadil); mereka telah memengaruhi pikiran kalian sejak masa kanak-kanak kalian, dan telah membuat tuduhan-tuduhan terhadapku yang menyakitkan kalian.
Di Apologia 38d-e dikisahkan; “Wahai saudara-saudara, barangkali kalian membayangkan bahwa aku telah dijatuhi hukuman mati karena aku tidak memakai argumen yang seharusnya dapat kupergunakan untuk meyakinkan kalian,  seandainya aku percaya bahwa aku dapat mengatakan atau melakukan suatu apapun yang dapat membebaskanku.  Tetapi ini sama sekali tidak benar.  Aku telah dijatuhi hukuman mati bukan karena aku tidak memiliki argumen, melainkan karena aku tidak memiliki sifat tidak tahu malu dan tidak memiliki keinginan untuk berbicara kepada kalian dengan memakai kata dan ungkapan yang paling menyenangkan kalian, yakni menangis dan meratap, dan melakukan serta mengatakan (e) banyak hal lain  yang aku nilai sangat tidak patut bagi diriku---hal-hal yang biasa kalian dengar dari orang lain.  Tetapi, sama seperti aku tidak berpikir, selama pembelaan diriku, bahwa aku harus melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh seorang bebas hanya karena aku sedang dalam bahaya, maka kinipun aku sama sekali tidak menyesali gaya pembelaan diriku seperti yang sudah aku perlihatkan.  Malah aku harus lebih jauh lagi menyampaikan pembelaan diri yang seperti ini, lalu mati, ketimbang aku tetap hidup dengan membela diriku sendiri dengan gaya orang lain”

C. Filsafat Socrates
Di Athena 25 abad yang lalu, Sokrates menjadi inspirasi bagi jamannya. Kaum megarik, kaum sinis, Platon (dan Platonisme), Epikurisme dan Stoicisme, adalah contoh aliran-aliran filsafat yang melandaskan diri pada guru kaum Megarik, dengan pelopornya Euklides, mengembangkan aspek Socrates yang jago dialog sanggahan (elekhos). Kaum Kirenaik yang dipimpin  Aristippos menekankan aspke  <<humanisme agnostik>>  Socrates.  Sementara Anthistenes yang pemimpin aliran kaum Sinis, akan mengikuti cara hidup Sokrates yang meremehkan segala apa yang bersifat material dan adat kebiasaan masyarakat yang terlalu konvensional dan <<baik-baik>>.
Sokrates “tidak tahu apa’’. Namun, menurutnya, kita semua “tidak tahu apa-apa’’.  Dalam filsafat,Socrates bersikap sebagai orang yang mencari dan belajar sehingga selalu dalam posisi tidak tahu.sebagai guru par excellence, Socrates adalah murid abadi yang berupaya menggapai pengetahuan (dalam arti sophia/kebijaksanaan) yang senantiasa lolos dari tangkapannya.Kebijaksanaan tak pernah bisa di rengkuh,digenggam,dihentikan dan diobjekkan persis karena kebijaksanaan adalah milik semua orang tanpa satu orang pun bisa mengatakan sebagai miliknya. pengetahuan akan kebijaksanaan hanya bisa di tangkap secara sementara dalam dialog dalam perbincangan  antara mita wicara.
Figur Sokrates sebagai orang bijak yang  ”tidak tahu apa-apa’’ hanya salah satu gambaran yang di berikan orang-orang Yunani kuno kepada Sokrates. Xenopon menggambarkan Soktares sebagai ahli pendidikan yang membentuk para politisi Athena. Para filsuf abad ke-18 figur Socrates (rasionalis).   Aristophanes menggambarkan Socrates sebagai bagian dari kaum phusikoi (para pemikir tentang physis/nature/kodrat-alam). Dan Platon sebagai mana Socrates sebagai figur yang selalu mengatakan bahwa “dirinya tidak tahu apa-apa’’.  Kisah hidup dan  pemikirannya kita ketahui dari penulis-penulis yang hidup di jamannya (Aristophanes), dari murid (Platon dan Xenophon) atau dari kesaksian tidak langsung  (misalnya dari Aristoteles). Ia senantiasa berusaha mengisi hidupnya dengan cara urip in pepadhang (hidup secara terang, selalu jelas dengan dirinya sendiri). Baginya, setiap ide, pengetahuan, pikiran dan bahkan cara hidup, selalu harus dikonfrontasikan dengan orang lain. Kebenaran adalah jalan yang tak pernah selesai, kecintaan pada kebenaran  (filsafat) adalah praktek hidup, dan hidup adalah tuntutan untuk urip in pepadhang (hidup secara terang, dengan berani dan rela hati meninggalkan kegelapan dan seluruh kerumitannya yang sumir berbau kemunafikan).

D. Sikap Politik
Pada tahun 431 SM pecah perang saudara yang di kenal dengan nama perang Peloponessos (berakhir tahun 404 SM). Athena, yang hegemoninya atas polis-polis  lain di Yunani sedang  membesar, mendirikan konfederasi bernama Liga Delos. Ia berhadapan dengan resistensi polis-polis lain di bawah pimpinan Sparta yang mendirikan Liga Peloponessos. Pada tahun  (429 SM), Athena di landa wabah sampar, dan pada saat inilah Perikles meninggal dunia.  Lima tahun kemudian (424 SM) Sokrates kembali berpartisipasi dalam peperangan polisnya  Athena melawan Thebes di kota Delion. Pada tahun 422 SM dan  Sokrates kembali membela polisnya di Amfipolis. Sekitar tahun 420 SM, lewat orakel di Delphoi, dewa apollon menyatakan bahwa Sokrates adalah orang yang palng bijaksana. Atas dasar inspirasi ini, Sokrates memulai perjalanan hidupnya untuk menanyai, memeriksa, dan menguji orang-orang sejamannya di Athena. Sekitar tahun 412 SM, dikisahkan bahwa Sokrates menolak tawaran Arkhelaos, raja Makedonia, untuk bergabung ke istananya bersama penyair dan ahli-ahli musik Yunani lainnya seperti Agathon dan Euripides. Mulai tahun 407 SM, Platon menjadi murid Sokrates. Dan setahun kemudian (406 SM) Sokrates terpilih menjadi prutaneis di majelis. Keberanian politisi yang ia tunjukan ketika di bawah pemerintahan Tirani 30, dengan risiko di kenai hukuman mati, Sokrates menolak perintah para Tiran supaya ia ikut menangkap (secara ilegal) Leon dari Salamis. Hal ini menunjukan bahwa di bawah  rejim politisi apa pun, Sokrates selalu teguh memegang prinsipnya untuk tidak melakukan sesutau yang tidak adil/benar.
Setelah puluhan tahun perang saudara, Athena akhirnya di kalahkan Sparta. Muncullah Tirani 30, rejim boneka buatan Sparta dan salah satu anggotanya bernama Kritias (sahabat Sokrates). Tahun ini tercatat kematian Alkibiades (salah satu sahabat Sokrates yang membelok ke Sparta). Hanya setahun Para Tiran berkuasa, pada tahun 403 SM, rejim demokrasi di Athena di pulihkan.  Pada saat ini, Anaxgoras dan Protagoras sebelum Sokrates di hadapkan ke pengadilan dan di jatuhi hukuman mati. Sokrates sebenarnya bisa memilih hukuman pengasingan untuk menghindar dari kematian. Namun kecintaan dan ketaatannya kepada polis mendorongnya memilih hukuman mati meminum racun. Sikap hidupnya yang tanpa kompromi hendak urip in pepadhang sehingga hidup etis ia pegang erat-erat di anggap mengganggu di masa demokrasi Athena.
Sokrates menolak memainkan unsur penting dalam proses demokrasi formal yang di sebut politik citra; bertindak “seolah-olah”...” supaya suara terbanyak terbujuk mengikutinya. Bagi Sokrates, kebenaran dan jalan hidup  politiknya, dalam polisnya, dihayati Sokrates secara atipik. Membedakan publik (apa-apa yang kelihatan dan tampak di depan umum) dan privat (apa-apa yang mestinya di jaga sebagai ruang intim pribadi masing-masing). Mereka bisa membedakan apa yang bersifat publik (misalnya, harta publik milik polis, partisipasi dalam pemerintah dan pertahanan polis) dan apa yang bersifat privat (yang brekenaan dengan kepentingan pribadi, hidup keluarga, hidup ekonomi berkenaan dengan harta milik pribadi, serta pendidikan anak-anak termasuk sekolah-sekolah filsafat).
Sokrates menyerang inti model politik demokrasi yang di pusatkan pada suara terbanyak kaum kebanyakan. Di mata Sokrates, dari pada memilih kebenaran, orang kebanyakan lebih muda di alihkan perhatiannya pada apa-apa yang tampaknya benar. Padahal bagi Sokrates, soal pilihan tidak bisa di buat main-main. “Supaya sebuah piliihan itu tepat, menurutku, ia harus di landaskan pada pengetahan (episteme)”  dan bukan pada opini (doxa) atau faktor-faktor irasional yang bermain di wilayah subliminal. Semua yang berkaitan dengan hasrat emosional (thumos) dan hasrat epithumia (makan, minum dan seks, singkatnya uang) merupakan wilayah irasional yang membuat akal sehat kita berkabut dan tidak mampu lagi mengatakan dan memilih mana yang benar. Sokrates menjalankan apa yang di sebut sebagai private politics, yang baginya adalah satu-satunya politik yang sebenarnya---mohon jangan marah jika aku memberitahu kalian kebenaran. Sesungguhnya, tidak ada orang yang kehidupnya akan terpelihara oleh kalian atau kebanyakan orang lainnya, jika orang itu sungguh-sungguh melawan banyak ketidak adilan dan pelanggaran hukum, dan berusaha mencegah semuanya ini dalam kota kita. Melainkan, siapapun yang dengan sungguh-sungguh berjuang untuk apa yang adil, dia harus, jika ingin tetap bertahan hidup untuk waktu yang pendek sekalipun, bertindak secara pribadi dan bukan di muka umum (idioteuein alla me demosieuein)” (Apologia, 31d-32a, terj. Iones Rakhmat, hl.110).
Politik yang sebenarnya, seperti hidup yang sebenar-benarnya, adalah memperjuangkan yang baik dan adil. Praktek politik yang politicking, entah dari seorang diktator, sekumpulan demagog atau anarki massa, di tolak Sokrates. Dan memperjuangkan politik otentik seperti ini risikonya, selain sibuk “memeriksa diri dan orang lain”, juga kemiskinan material karena tidak sempat memperhatikan apa-apa yang normalnya menjadi ambisi orang: kekayaan, posisi sosial dan politis.  Kesibukan politisnya tidak ia jalankan di depan khalayak ramai, melainkan dalam dialog satu lawan satu, dalam relasi intim dan private.  Keterlibatan Sokrates pada kehidupan polisnya ia tunjukan lewat ketekunan memeriksa diri dan orang lain dengan metode elegkhos (dialog sanggahan) yang secara konsisten ia terapkan dimana pun ia bertemu mitra dialog. Di mulut Sokrates sendiri, hidup seperti itulah yang merupakan politik otentik.  Sebagaimana yang diungkapkannya sendiri; sementara aku sudah berpikir untuk tidak berdiam diri saja atau menganggur dalam kehidupanku? Malah sebetulnya aku telah mengabaikan hal-hal yang paling diperhatikan orang; mencari uang, mengurus perkebunan, mendapatkan kehormatan sipil dan militer atau posisi kekuasaan lainnya  atau mengambil bagian dalam kelompok dan partai politik yang terbentuk dalam kota kita.
Politik otentik Socrates adalah hidup dalam arti sedalam-dalamnya, yang dijalankan dengan memeriksa diri dan orang lain, serta mencari dan mengusahakan kebenaran/keadilan dan kebaikan secara pribadi maupun dalam hidup bersama.  C.D.C. Reeve, Socrates, menerangkan bahwa hidup kita, entah itu yang bersifat pribadi maupun publik (politis), meski terarahkan  kepada kebijaksanaan (wisdom) dan kebaikan (goodness).  Sebagai warga negara sebuah entitas politis, secara pribadi kita mesti mengusahakan agar jiwa kita menjadi yang terbaik dan sebijaksana mungkin.  Dan pun bila mau masuk dalam hidup politik (menjadi jenderal, pimpinan politik atau anggota partai politik), tugas pertama yang mesti di emban adalah mengusahakan bahwa polis itu sendiri (dengan masing-masing warga negara didalamnya) akan menjadi yang terbaik dan sebijaksana mungkin.

E. Daimonion Sokrates
Hidup Sokrates mengikuti bisikan dari daimonion yang mencegahnya melakukan tindakan tertentu. Daimonion ini yang membuat Sokrates menghindari politik. Sokrates berbicara mengenal tanda dari yang ilahi (to tou theou semeion) atau suara daimonion (daimonion fone) yang kerap datang kepadanya sejak masa kanak-kanak yang melarangnya melakukan atau mengatakan sesuatu, namun suara itu tidak pernah mendorongnya melakukan sesuatu (Apologia 31c-d,40a-b (bdk. 24c), 41 d; Euthyphron 3b). Ioanes rakhmat kata daimon ini merujuk pada  <<bagian irasional>>  jiwa Sokrates yang membberikan instruksi positif (sebagaimana di kemukakan oleh john burnet), atau sebuah <<kepercayaan religius>> (Brickhouse dan Smith), atau sebuah suara batin yang bertindak sebagai hati nuraninya (Roslyn Weiss). Sokrates menyatakan dirinya merasa mendapatkan kekuatan yang melampaui daya manusiawi. Ia sadar akan keterbatasan rasio manusiawi dan menyadari adanya kekuatan supra rasional yang  mendorongnya melakukan itu semua. Pertama, dalam Aplogia, Sokrates cukup menekankan keterbatasan (pengetahuan manusiaw);    Kedua ada kesan kuat bahwa Sokrates sendiri percaya bahwa misi yang diembannya bersifat “religius” dan;  ketiga, dalam mengembang misi sepanjang hidupnya Sokrates sering kali menggambarkan dirinya  “dihinggapi”  kekuatan tersebut---Henri Bergson dengan tegas mengatakan bahwa Sokrates benar-benar percaya suara dari daimonion-nya.
Misi yang ia emban adalah misi religius dan mistik dalam arti yang kita pahami saat ini, artinya, seluruh ajaran Sokrates yang rasional sebenarnya tergantung pada sesuatu yang suprarasioanal (suara daimonion ). Sikap Sokrates sendiri terhadap sesuatu yang berulang kali ia katakan sebagai daimonion, sesuatu yang memiliki ciri illahi. Di teks Apologia kita tahu bahwa (yang illahi) itu dikatakan (tidak pernah memberitahukan sesuatu secara positif).  Adalah (yang illahi) mencegahnya melakukan ini atau itu. Namun “yang illahi” ini tidak pernah mewahyukan secara positif sesuatu yang harus di lakukan (yang illahi) itu hanya mengintervensi tindakan sehari-hari Sokrates dalam bentuk negasi, seolah-olah “yang illahi” dalam dirinya sendiri tetap tertutup dalam misterinya sendiri. Sepertinya “yang illahi” memang hanya bisa di dekati oleh rasio Sokrates secara (negatif).   Sokrates mendengarkan suara daimonion yang berujud negasi, namun mengenai apa yang mesti dibuat, daimonion itu diam seribu basa.
Barang kali sadar akan karakter “yang illahi” yang tak bisa ditembus rasio manusia inilah Sokrates berbicara memakai bahasa jamannya tentang daimon. Sebuah entitas antara “yang illahi” dan manusia.   “Semua yang di sebut daimon berada di antara para dewa dan kaum mortal.  Terletak di antara yang satu dan yang lainnya, ia memenuhi interval (antara keduanya).  Para dewa tidak pernah mencampuri (urusan) manusia (secara langsung); lewat para daimon- lah para dewa berbicara dan berkomunikasi dengan manusia, entah pada saat bangun maupun pada saat tidur.

F. Penutup
Sokrates, setelah empat abad  kematiannya orang-orang Kristiani melihat dalam diri  filsuf dan pemikir spekulatif ini figur pendahulu Yesus Kristus.  Kelompok religius lain juga melihat semacam Budha-nya Barat atau  Konfusius-nya Barat. Bahkan para  filsuf modern menjadi terpilah-pilah;  Montaigne sangat terinspirasi  doktrin moral Sokratik.  Rousseau melihat bayangan dirinya sendiri dalam figur Sokrates sebagai “orang benar yang tertindas”.  Voltaire agak sinis menyebutnya “orang Athena yang cerewet”  dan memberi julukan  “si bijak berhidung pesek” namun Voltaire sangat bersimpati kepada figur yang menjadi korban intoleransi (agama).  Hegel melihat dalam figur Sokrates “momen pembalikan terpenting bagi Roh yang mulai mengarahkan dirinya ke interrioritas”.
Dalam momen sejarah, Sokrates adalah hero tragis yang sudah mulai melihat bahwa “subjektivitas ditemukan dalam kesadaran diri yang mengandung universalitas.  Namun sayangnya, kesadaran itu belum mampu mengaktualkan yang universal di luar dirinya secara objektif.  Kierkegaard akan berbicara dengan penuh hormat kepada Sokrates, sang bidan.  Di mata murid-muridnya, bidan ini hanyalah pembantu supaya mereka bisa kembali pada diri sendiri dan menemukan apa yang menjadi pusat dari diri mereka sendiri.  Sedangkan Nietzche, benci sekaligus kagum di depan “ wajah ganda yang sangat misterius dan ironis”.  Nietzche menyebutnya “rakyat jelata”, “dekaden”, “blasteran” yang membenci kehidupan dan menderita hipertrodi (pembengkakan) rasio.  Dan Henri Bergson justru melihat dalam diri Sokrates mistikus sehingga menempatkannya diantara para nabi dan kaum santo (orang suci) karena pandangannya tentang “moral yang terbuka”.  Maurice Marleau Porty memuja Sokrates sebagai “patron” para filsuf yang berani mengambil resiko demi pemikiran yang bebas dan hidup.  Sokrates memang berwajah seribu, enigmatik dan tak bisa digenggam.  Karena hidup dan kematiannya yang luar biasa historisitas figur ini berubah semacam mitos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar